LOGINBrak!
Pintu toilet wanita terbuka dengan keras dan seseorang masuk. Sebelum gadis itu sempat mengerti apa yang terjadi, suara pukulan memecah keheningan, diikuti ringisan kesakitan dari Andrew. “Aarghh!” pekik Andrew yang terjatuh menghantam ubin lantai toilet sambil memegangi rahangnya. Daisy terhuyung-huyung ke samping sambil menghirup napas panjang yang membuatnya batuk. Mata Daisy kabur oleh air mata, tetapi dia bisa melihat sosok yang menolongnya dengan jelas. “Tuan Jade?” Daisy terisak pelan sambil mengusap kasar dadanya. Jade menatap Andrew dengan tajam, seperti siap meninju lagi jika pria itu mendekat. “Kau–” Andrew tersentak, mata merahnya membulat saat menyadari siapa yang memukul. “Aiiishh!” Daisy menelan ludah saat melihat Andrew perlahan bangkit. “Sialan!” maki Andrew sebelum berlari keluar toilet. Jade berbalik menghadap Daisy, dan ketegangan dalam wajahnya berubah menjadi kekhawatiran. "Apa kamu baik-baik saja?" tanya Jade sambil memegang kedua bahu Daisy dan menelusuri wajah gadis itu. Daisy cepat-cepat menghapus air matanya dengan punggung tangan. Namun pada saat yang bersamaan, gerakan itu membuat lengan kemejanya tersingkap, dan memar keunguan yang mencakup pegelangan tangannya terlihat jelas. Jade tidak sengaja melihat itu. "S-saya baik-baik saja. Terima kasih sudah menolong saya." Daisy segera menutupi lengannya kembali. Bola mata Daisy bergerak liar menatap lantai dan keringat dingin membasahi pelipisnya. Melihat kondisi Daisy, Jade mengurungkan niat untuk bertanya lebih jauh. Tiba-tiba, pintu toilet terbuka lagi. Tiga orang masuk, Bianca dan kedua orang tuanya. Wajah mereka menegang begitu melihat Daisy dan Jade, terlebih tangan Jade masih memegang bahu gadis itu. “Oh?” Olga tersenyum pucat, tetapi tatapannya menusuk Daisy. “Ada apa ini? Kami mencarimu ke mana-mana, Jade. Sebentar lagi sesi foto keluarga.” Daisy segera menunduk dan melepaskan diri dari genggaman Jade, berusaha membuat pusat perhatian tidak tertuju padanya. Kehadiran Bianca membuat setiap otot di tubuh Daisy semakin tegang. Jade menatap antara Daisy dan Keluarga Lulla beberapa kali. Ada sesuatu yang aneh dari cara mereka menatap Daisy, juga sikap gadis itu yang tampak ketakutan. Bianca segera menggandeng lengan Jade dengan percaya diri. "Jade, Sayang, apa yang kamu lakukan di sini bersama seorang pelayan?" tanya Bianca sambil tersenyum. "Apa kamu salah masuk toilet, Jade?" Tawa Neil terdengar sumbang, tangannya menepuk pelan bahu Jade dan menariknya menjauhi Daisy. "Toilet pria ada di seberang sana." Jade tampak terganggu dengan tindakan Neil yang berlebihan. Dahinya mengernyit dalam, tetapi pria itu tidak protes. "Ya, Tuan Jade salah masuk toilet." Daisy menjawab lebih dulu dengan cepat. "Saya sedang memberitahunya." Daisy menunduk, berharap suaranya tidak bergetar seperti jantungnya. Jade mengangkat salah satu alis dan melirik Daisy tidak percaya. "Pergilah ke toilet yang benar, Jade," pinta Olga kembali bersuara. "Fotografer dan orang tuamu sudah menunggu." Jade enggan meninggalkan Daisy. Namun tampaknya gadis itu ingin Jade mengikuti kemauan orang tua Bianca. “Terima kasih informasinya,” ucap Jade, ikut memainkan skenario yang dibuat Daisy. Pria itu segera keluar, diikuti oleh Neil dan Olga. Sementara Bianca menunggu sampai langkah ketiga orang itu menjauh, lalu berbalik perlahan ke arah Daisy. Aura kehangatan palsu yang tadi Bianca gunakan di depan Jade, lenyap dalam sekejap. Bianca mendekat. "Kau tidak sedang menggoda tunanganku, kan, Jalang?" tanya Bianca sambil mengangkat dagu Daisy dengan kasar, jari-jarinya menggigit kulit gadis itu. Daisy membeku, napasnya tercekat. “T-ti–tidak, Kak.” “Bagus.” Bianca mendekatkan wajahnya pada wajah Daisy. “Karena kau tidak punya apa-apa untuk ditawarkan pada pria mana pun. Tubuhmu hancur, jelek, rusak. Sangat tidak menarik!” Daisy meremas bajunya dengan kuat, menahan nyeri di dalam dada. “Tidak ada seorang pun yang akan mau melihatmu lebih dari sekadar lalat yang mengganggu. Jadi jangan pikir kau bisa membuat Jade tertarik padamu," lanjut Bianca penuh penekanan. Satu tetes air mata jatuh lagi. Bianca menghempaskan wajah Daisy dengan kasar dan bergegas keluar tanpa menoleh lagi. Daisy mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat, kuku-kukunya menancap ke telapak tangan. ‘Tubuh yang seperti ini, nyatanya membuat kekasih aslimu menginginkannya,’ batin Daisy memanas, tetapi tidak sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Sesi foto keluarga dimulai beberapa menit kemudian di area yang telah disiapkan khusus, dengan latar belakang bunga putih dan emas yang elegan. Keluarga Lulla berdiri di samping orang tua Jade, berbaris dengan sempurna seperti ornamen mahal di atas lemari kristal. Ibu Jade tampak anggun dengan gaun elegan, sementara ayahnya tampak sangat berwibawa. Sedikit banyak, Daisy bisa melihat sifat dingin dan intimidatif Jade menurun dari siapa. Daisy berdiri jauh di belakang, menonton mereka bergurau dan tertawa di antara sesi foto. Sejenis kerinduan lama yang Daisy coba kubur muncul kembali, kerinduan pada mendiang ibunya. Wanita sederhana yang selalu memeluk Daisy hangat, meskipun hidup mereka serba kekurangan. Daisy menunduk, menahan rasa perih di dadanya. Daisy cepat-cepat meminta temannya bertugas jaga untuk menggantikannya. "Aku perlu ke dalam sebentar," bisik Daisy, tidak ingin menangis di sekitar para tamu yang ramai. Temannya mengangguk, tidak menanyakan apa-apa. Daisy masuk ke area pekerja, sebuah ruang kecil di balik panggung aula. Tempat itu sunyi, sangat cocok untuk menenangkan diri. Daisy hendak duduk ketika suara percakapan dari ujung ruangan membuatnya menahan langkah. Dua orang pembantu yang datang dari rumah Keluarga Lulla sebagai perbantuan sedang berbicara sambil menyusun piring. “Kasihan, ya,” ujar salah satunya. “Kabarnya, Daisy diminta menjadi pelayan seperti kita hari ini.” "Daisy lahir dari rahim mantan pembantu keluarga ini. Bakat genetiknya memang hanya seputar dapur dan melayani. Tidak ada yang bisa diharapkan dari gadis seperti itu," timpal yang lain. Keduanya tertawa senang, sama sekali tidak menyadari bahwa Daisy ada di sekitar mereka.“Tolong berdiri.” Daisy terkejut ketika tangan Jade menggenggam lengannya dan menarik gadis itu bangkit dari lantai. Tubuh Daisy limbung, tetapi genggaman Jade menjaga keseimbangannya. “Jangan pernah bersujud seperti itu lagi di hadapan saya,” pinta Jade sambil menahan napas. “Dan, saya setuju dengan permintaanmu. Rahasiamu aman.” Daisy mengangkat wajah. Ada sisa air mata di pelupuknya. "Terima kasih, Tuan." Masalah kesalahpahaman selesai, kini mereka sibuk menyiapkan agenda selanjutnya. Daisy membantu Jade merapikan berkas-berkas untuk rapat pagi. Sesekali Daisy merasakan debaran aneh tiap kali Jade berdiri terlalu dekat. “Kemeja saya mana?” tanya Jade sambil membuka lemari hotel. Pria itu lagi-lagi berjalan di sekitar Daisy hanya dengan handuk yang melilit di pinggangnya. Daisy menunjuk tanpa menatap. “Sudah saya setrika, Tuan. Bagian kanan.” Jade memperhatikan pipi Daisy yang memerah. “Jika kamu kurang sehat, kamu boleh istirahat.” “Saya baik-baik saja,” balas Daisy cep
Jade menoleh, satu tangannya masih memegang koper yang terbuka.“Tidak bisakah kau mengetuk pintu dulu?” tegur Jade, kemudian menjawab, “supaya koordinasi lebih mudah, Daisy.”“Ah ya,” ucap Jade lagi, kali ini sambil merogoh sesuatu dari saku celananya dan mendekat. “Kunci khusus pintu penghubung ini, kamu yang pegang. Silakan kunci saja.”Daisy menerima uluran kunci itu, meski wajahnya masih tampak terkejut.“Baik, Tuan,” sahut Daisy kemudian.“Istirahat yang cukup,” tukas Jade sambil berjalan menjauh. “Besok jadwal kita padat.”Daisy mengangguk cepat, lalu menutup pintu penghubung dari sisinya.Walaupun sudah mandi dengan air dingin, jantung Daisy masih belum merasa tenang. Namun tubuhnya terasa sangat lelah.Baru hitungan menit sejak Daisy terlentang di kasur, kelopak matanya mulai terasa berat.Daisy hampir saja terpejam ketika ponsel di atas nakas berbunyi. Pesan masuk dari Bianca.Hanya membaca namanya saja, wajah Daisy memucat.[Di mana kamu, Jalang?]Daisy menegang. Dia membac
Daisy membuka blazernya sambil menahan debaran dalam dada yang semakin tidak terkendali.Ketika kain itu terbuka sepenuhnya, mata Jade menggelap dan rahangnya mengeras."Daisy," panggil Jade dengan suara rendah. "Siapa yang melakukan ini?"Daisy tetap diam, tidak berani menatap mata bosnya.Jade tiba-tiba merangkul bahu Daisy lebih dekat dan membawanya untuk duduk di tepi sofa yang ada di kamar."Tunggu di sini," perintah Jade.Sebelum Daisy sempat membalas, Jade pergi ke kamar mandi.Jade membawa kotak P3K saat kembali dan duduk di depan Daisy.Gadis itu tersentak."Tuan Jade, Anda harus berpakaian dulu," ucap Daisy gugup sambil melihat ke arah lain.Jade mengabaikan komentar itu dan membuka kotak P3K. Dia mencari salep memar dan mulai mengoleskannya dengan lembut ke setiap memar di lengan Daisy.Kali ini sentuhannya sangat hati-hati, seakan takut membuat memar Daisy bertambah parah."Dengarkan saya," ucap Jade sambil terus mengobati memar itu. "Apa pun yang terjadi dan siapa pun yan
"Tuan Jade,” panggil Daisy dengan suara yang mulai bergetar. “Tuan adalah pria baik yang tidak mungkin melecehkan wanita. Saya percaya Tuan, jadi tolong menjauh.”“Sialan!” Jade tiba-tiba memalingkan wajahnya dengan kasar, membuat Daisy terdorong mundur.Pria itu mengusap wajahnya frustasi dengan napas yang masih terengah-engah."Maaf," ucap Jade penuh penyesalan. "Maafkan saya, Daisy."Jantung Daisy masih berdetak seperti genderang perang, pipinya memanas. Dia tidak berani bergerak, mendekat, atau pun menjauh.Mobil akhirnya berhenti di depan rumah Jade yang megah. Daisy dapat melihat taman luas dengan kolam ikan mas di halaman depan."Kamar saya ada di lantai atas," instruksi Jade sambil berjalan tertatih-tatih, meraih pundak Daisy untuk menopang diri. "Bantu saya."Daisy merasa segan, tetapi ketika melihat kondisi Jade yang benar-benar memburuk, dia tidak memiliki pilihan lain.Dengan hati-hati, Daisy memandu pria itu naik tangga marmer yang lebar dan melewati koridor panjang denga
Pagi hari keesokannya, ponsel Daisy berdenting saat dia baru saja tiba di kantor Poseidon Exports Suri.Pesan masuk dari kontak dengan emotikon berbentuk es.[Ada rapat di luar, saya akan sampai di kantor saat siang. Kamu tangani urusan yang ada di kantor.]Daisy segera membalas dengan cepat, “Baik, Tuan Jade.”Waktu terus berlalu. Daisy menangani panggilan telepon, menjawab surel, dan mengatur jadwal Jade dengan baik.Jade tiba di kantor pada pukul dua siang."Selamat siang, Tuan Jade." Daisy segera berdiri dan menyambut kehadiran bosnya.Jade tidak membalas sapaan gadis itu. Matanya bergerak dari wajah ke lengan Daisy yang tertutup oleh blazer panjang berwarna biru tua.Pria itu ingin memastikan bahwa memar yang kemarin dia lihat, memang benar ada atau hanya salah lihat.Namun, lengan blazer Daisy kali ini lebih panjang daripada seragam pelayan kemarin."Masuk ke ruangan saya," perintah Jade akhirnya sambil berbalik dan melangkah menuju pintu yang mengarah ke ruang pribadinya.Daisy
Brak!Pintu toilet wanita terbuka dengan keras dan seseorang masuk.Sebelum gadis itu sempat mengerti apa yang terjadi, suara pukulan memecah keheningan, diikuti ringisan kesakitan dari Andrew.“Aarghh!” pekik Andrew yang terjatuh menghantam ubin lantai toilet sambil memegangi rahangnya.Daisy terhuyung-huyung ke samping sambil menghirup napas panjang yang membuatnya batuk.Mata Daisy kabur oleh air mata, tetapi dia bisa melihat sosok yang menolongnya dengan jelas.“Tuan Jade?” Daisy terisak pelan sambil mengusap kasar dadanya.Jade menatap Andrew dengan tajam, seperti siap meninju lagi jika pria itu mendekat.“Kau–” Andrew tersentak, mata merahnya membulat saat menyadari siapa yang memukul. “Aiiishh!”Daisy menelan ludah saat melihat Andrew perlahan bangkit.“Sialan!” maki Andrew sebelum berlari keluar toilet.Jade berbalik menghadap Daisy, dan ketegangan dalam wajahnya berubah menjadi kekhawatiran."Apa kamu baik-baik saja?" tanya Jade sambil memegang kedua bahu Daisy dan menelusuri







