LOGINMata Daisy membulat. Dia merasakan dadanya berdegup cepat.
"Bekerja di luar jam kerja harus ada persetujuan dari kedua belah pihak, Tuan Jade." Daisy merasakan keberanian itu datang tiba-tiba. Dia berdiri tegak di hadapan Jade, meski lututnya terasa mulai melemas. “Apa?” Wajah Jade mengeras, dan ada kilatan di mata cokelatnya yang membuat Daisy ingin segera menelan kembali kata-katanya. Daisy menarik napas dalam-dalam. Nampan di tangan gadis itu bergetar, tetapi Daisy menahannya sekuat mungkin. "Saya tidak bisa lembur hari ini," lanjut Daisy dengan suara sedikit bergetar. Sebelum Jade sempat membalas, Daisy buru-buru membungkuk. “Selamat atas pertunangan Anda, Tuan.” Daisy terdengar kaku. “Saya turut berbahagia. Mohon maaf, saya izin ke belakang.” Sebelum Jade sempat membalas, Daisy sudah berbalik dan melangkah keluar dari area tersebut. Gadis itu bisa merasakan sorot mata Jade membuntuti punggungnya sampai dia menghilang melewati pintu samping aula. Toilet wanita tampak sepi ketika Daisy masuk. Gemuruh pesta hanya terdengar samar dari sini. Daisy langsung menuju wastafel, membuka keran, dan memercikkan air ke wajahnya. Air dingin itu sedikit membantu mengusir panas yang membakar pipi Daisy. Ketika Daisy mengangkat kepala, cermin di depannya menampilkan seorang gadis dengan manik hitam membulat lebar dan napas yang terengah. Daisy memegang tepi wastafel, mencoba menstabilkan napasnya. “Bagaimana bisa?” tanya Daisy pelan. “Dari berapa banyak kebetulan yang bisa terjadi di dunia ini, kebetulan yang menghampiriku justru adalah ini? Tuan Jade bertunangan dengan Kak Bianca?!” Sepekan lalu, ketika Daisy akhirnya diterima bekerja di Poseidon Exports Suri tanpa tahu bahwa itu perusahaan tunangan kakak angkatnya, tidak ada seorang pun dari Keluarga Lulla yang menyadari. Mereka terlalu sibuk dengan kehidupan mereka sendiri, acara-acara sosial dan urusan bisnis. Daisy bisa datang dan pergi seperti hantu, dan tidak seorang pun di rumah itu akan bertanya di mana dia berada. Itu sebenarnya yang Daisy inginkan. Ketiadaannya itu adalah kebebasan kecil yang selalu dia impikan. Namun sekarang? Kebebasan itu terasa akan runtuh. “Kalau mereka tahu aku bekerja di perusahaan tunangan Kak Bianca, apa mereka akan memaksaku berhenti?” Daisy meremas ujung apron basahnya. Daisy menutup mata. Pertanyaan itu membuat dadanya terasa sesak. “Dan jika Tuan Jade juga tahu …” Daisy menghela napas kasar, “kalau aku dan Kak Bianca memiliki hubungan keluarga, meski tidak sedarah, apakah beliau akan tetap mengizinkan aku untuk bekerja di perusahaannya?” ‘Tidak. Pasti tidak!’ Hati Daisy yang menjawab tanpa ragu. Tidak masuk akal untuk mempekerjakan asisten pribadi yang ternyata adalah adik angkat dari calon istrinya. Itu akan memantik masalah. Dan dari yang Daisy amati selama seminggu bekerja, Jade tidak menyukai hal seperti itu. Daisy membuka mata dan mengembuskan napas panjang. “Sudah banyak yang aku lalui di rumah itu,” desah Daisy sambil mengangkat lengan kirinya dan menyingsingkan sedikit kain seragam ke atas. Bekas memar keunguan menyembul, membuat mata Daisy berkaca-kaca. Malam sebelum wawancara kerja, Bianca mengamuk karena gaun pertunangannya hilang. Dia menuduh Daisy yang mengambilnya. Karena Daisy terus membantah, Bianca justru semakin kasar. Kakak angkatnya itu menarik rambut Daisy, memukulinya dengan batang sapu, bahkan menampar pipinya berkali-kali sambil memaki Daisy pembawa sial. Saat Daisy sudah terkulai lemas, gaun itu baru ditemukan di ruang cuci oleh salah satu pembantu di rumah. Bianca pergi meninggalkan Daisy begitu saja ke ruang cuci tanpa meminta maaf. Itu bukan pertama kalinya Bianca menyiksa Daisy, tapi malam itu adalah yang terparah. Daisy hampir tidak bisa bangun keesokan paginya. Namun, gadis itu memaksakan diri untuk tetap pergi wawancara. Daisy menggeleng, menyadarkan dirinya dari ingatan buruk itu. Dia menutup lengan kemejanya lagi sambil menatap bayangannya di cermin. Posisi sebagai asisten pribadi Jade hanya terbuka karena asisten pribadi sebelumnya akan cuti melahirkan selama satu tahun. “Aku tidak bisa menyerah saat jalan keluar untuk pergi dari rumah itu sudah ada di depan mata,” bisik Daisy pada diri sendiri. “Setahun. Aku hanya perlu bertahan satu tahun saja.” Daisy mengangguk mantap dan tersenyum tipis. Dia akan merahasiakan pekerjaannya pada Keluarga Lulla, dan juga merahasiakan statusnya pada Jade. Tiba-tiba terdengar suara berisik dari salah satu bilik toilet. Seperti seseorang menabrak pintu dari dalam. Daisy menoleh cepat, bertepatan dengan pintu bilik yang terbuka. “Andrew?” Daisy mengernyitkan dahi. Sosok itu keluar sambil menggosok mata. Mata Andrew tampak merah, entah karena marah, mabuk, atau bangun dari tidur. Rambutnya juga berantakan. Daisy menarik napas tajam dan langsung mencium aroma alkohol menyengat dari Andrew. “Daisy?” Andrew menyipit, lalu tersenyum miring. “Kau bukan Bianca.” “Ini toilet wanita,” tegas Daisy sambil mundur satu langkah. “Kau salah tempat.” Andrew mengabaikan itu. Pria itu melangkah maju dan terus meringis seperti baru melihat sesuatu yang menarik. “Aku menunggu Bianca, tapi dia lama sekali.” Andrew tertawa. “Sepertinya sekarang aku akan bermain denganmu dulu, Daisy.” Darah Daisy langsung mengalir cepat. “Jangan mendekat!” pinta Daisy sambil mengangkat kedua tangannya ke depan untuk menjaga jarak dari Andrew. “Keluar dari sini, Andrew. Sekarang!” Andrew justru semakin mendekat. Tubuhnya yang lebih tinggi menekan Daisy ke dinding. Daisy menahan napas, panik merayap dari ujung kaki hingga kepala. “Ayo, jangan pura-pura polos,” bisik Andrew dengan suara serak. “Kau pasti kesepian di rumah itu. Bianca tidak berbagi apa pun denganmu, kan?” “Lepaskan aku!” Daisy mendorong sekuat tenaga, tetapi tubuh Andrew jauh lebih kuat. Andrew menyentuh lengan Daisy, mengurung gadis itu di antara tubuhnya dan dinding toilet. Napas Andrew yang berbau alkohol menguar, membuat Daisy mual. “Andrew, berhenti! Kau gila!” seru Daisy sambil terus mendorong kekasih asli Bianca yang mulai menciumi lehernya. “Bianca masih sibuk dengan tunangannya. Aku bosan, Daisy. Lagipula, sebenarnya kau lebih cantik dan seksi dari Bianca,” ucap Andrew sambil tersenyum miring. Daisy menggigit bibir hingga hampir berdarah. Semua rasa sakit dari tahun-tahun terakhir kembali merayap, seperti tangan-tangan tidak terlihat yang menyeretnya kembali ke kegelapan. Daisy membuka mulut dan berteriak, “Tolong! Ada orang–” Namun Andrew lebih cepat. Pria itu langsung menutup mulut Daisy dengan tangannya dan menekan keras hingga dia hampir kehilangan napas. ‘Setelah disiksa Kak Bianca bertahun-tahun, apa aku harus tetap diam ketika kekasih aslinya mencoba melecehkanku?!’ Air mata Daisy segera membasahi pipinya.“Tolong berdiri.” Daisy terkejut ketika tangan Jade menggenggam lengannya dan menarik gadis itu bangkit dari lantai. Tubuh Daisy limbung, tetapi genggaman Jade menjaga keseimbangannya. “Jangan pernah bersujud seperti itu lagi di hadapan saya,” pinta Jade sambil menahan napas. “Dan, saya setuju dengan permintaanmu. Rahasiamu aman.” Daisy mengangkat wajah. Ada sisa air mata di pelupuknya. "Terima kasih, Tuan." Masalah kesalahpahaman selesai, kini mereka sibuk menyiapkan agenda selanjutnya. Daisy membantu Jade merapikan berkas-berkas untuk rapat pagi. Sesekali Daisy merasakan debaran aneh tiap kali Jade berdiri terlalu dekat. “Kemeja saya mana?” tanya Jade sambil membuka lemari hotel. Pria itu lagi-lagi berjalan di sekitar Daisy hanya dengan handuk yang melilit di pinggangnya. Daisy menunjuk tanpa menatap. “Sudah saya setrika, Tuan. Bagian kanan.” Jade memperhatikan pipi Daisy yang memerah. “Jika kamu kurang sehat, kamu boleh istirahat.” “Saya baik-baik saja,” balas Daisy cep
Jade menoleh, satu tangannya masih memegang koper yang terbuka.“Tidak bisakah kau mengetuk pintu dulu?” tegur Jade, kemudian menjawab, “supaya koordinasi lebih mudah, Daisy.”“Ah ya,” ucap Jade lagi, kali ini sambil merogoh sesuatu dari saku celananya dan mendekat. “Kunci khusus pintu penghubung ini, kamu yang pegang. Silakan kunci saja.”Daisy menerima uluran kunci itu, meski wajahnya masih tampak terkejut.“Baik, Tuan,” sahut Daisy kemudian.“Istirahat yang cukup,” tukas Jade sambil berjalan menjauh. “Besok jadwal kita padat.”Daisy mengangguk cepat, lalu menutup pintu penghubung dari sisinya.Walaupun sudah mandi dengan air dingin, jantung Daisy masih belum merasa tenang. Namun tubuhnya terasa sangat lelah.Baru hitungan menit sejak Daisy terlentang di kasur, kelopak matanya mulai terasa berat.Daisy hampir saja terpejam ketika ponsel di atas nakas berbunyi. Pesan masuk dari Bianca.Hanya membaca namanya saja, wajah Daisy memucat.[Di mana kamu, Jalang?]Daisy menegang. Dia membac
Daisy membuka blazernya sambil menahan debaran dalam dada yang semakin tidak terkendali.Ketika kain itu terbuka sepenuhnya, mata Jade menggelap dan rahangnya mengeras."Daisy," panggil Jade dengan suara rendah. "Siapa yang melakukan ini?"Daisy tetap diam, tidak berani menatap mata bosnya.Jade tiba-tiba merangkul bahu Daisy lebih dekat dan membawanya untuk duduk di tepi sofa yang ada di kamar."Tunggu di sini," perintah Jade.Sebelum Daisy sempat membalas, Jade pergi ke kamar mandi.Jade membawa kotak P3K saat kembali dan duduk di depan Daisy.Gadis itu tersentak."Tuan Jade, Anda harus berpakaian dulu," ucap Daisy gugup sambil melihat ke arah lain.Jade mengabaikan komentar itu dan membuka kotak P3K. Dia mencari salep memar dan mulai mengoleskannya dengan lembut ke setiap memar di lengan Daisy.Kali ini sentuhannya sangat hati-hati, seakan takut membuat memar Daisy bertambah parah."Dengarkan saya," ucap Jade sambil terus mengobati memar itu. "Apa pun yang terjadi dan siapa pun yan
"Tuan Jade,” panggil Daisy dengan suara yang mulai bergetar. “Tuan adalah pria baik yang tidak mungkin melecehkan wanita. Saya percaya Tuan, jadi tolong menjauh.”“Sialan!” Jade tiba-tiba memalingkan wajahnya dengan kasar, membuat Daisy terdorong mundur.Pria itu mengusap wajahnya frustasi dengan napas yang masih terengah-engah."Maaf," ucap Jade penuh penyesalan. "Maafkan saya, Daisy."Jantung Daisy masih berdetak seperti genderang perang, pipinya memanas. Dia tidak berani bergerak, mendekat, atau pun menjauh.Mobil akhirnya berhenti di depan rumah Jade yang megah. Daisy dapat melihat taman luas dengan kolam ikan mas di halaman depan."Kamar saya ada di lantai atas," instruksi Jade sambil berjalan tertatih-tatih, meraih pundak Daisy untuk menopang diri. "Bantu saya."Daisy merasa segan, tetapi ketika melihat kondisi Jade yang benar-benar memburuk, dia tidak memiliki pilihan lain.Dengan hati-hati, Daisy memandu pria itu naik tangga marmer yang lebar dan melewati koridor panjang denga
Pagi hari keesokannya, ponsel Daisy berdenting saat dia baru saja tiba di kantor Poseidon Exports Suri.Pesan masuk dari kontak dengan emotikon berbentuk es.[Ada rapat di luar, saya akan sampai di kantor saat siang. Kamu tangani urusan yang ada di kantor.]Daisy segera membalas dengan cepat, “Baik, Tuan Jade.”Waktu terus berlalu. Daisy menangani panggilan telepon, menjawab surel, dan mengatur jadwal Jade dengan baik.Jade tiba di kantor pada pukul dua siang."Selamat siang, Tuan Jade." Daisy segera berdiri dan menyambut kehadiran bosnya.Jade tidak membalas sapaan gadis itu. Matanya bergerak dari wajah ke lengan Daisy yang tertutup oleh blazer panjang berwarna biru tua.Pria itu ingin memastikan bahwa memar yang kemarin dia lihat, memang benar ada atau hanya salah lihat.Namun, lengan blazer Daisy kali ini lebih panjang daripada seragam pelayan kemarin."Masuk ke ruangan saya," perintah Jade akhirnya sambil berbalik dan melangkah menuju pintu yang mengarah ke ruang pribadinya.Daisy
Brak!Pintu toilet wanita terbuka dengan keras dan seseorang masuk.Sebelum gadis itu sempat mengerti apa yang terjadi, suara pukulan memecah keheningan, diikuti ringisan kesakitan dari Andrew.“Aarghh!” pekik Andrew yang terjatuh menghantam ubin lantai toilet sambil memegangi rahangnya.Daisy terhuyung-huyung ke samping sambil menghirup napas panjang yang membuatnya batuk.Mata Daisy kabur oleh air mata, tetapi dia bisa melihat sosok yang menolongnya dengan jelas.“Tuan Jade?” Daisy terisak pelan sambil mengusap kasar dadanya.Jade menatap Andrew dengan tajam, seperti siap meninju lagi jika pria itu mendekat.“Kau–” Andrew tersentak, mata merahnya membulat saat menyadari siapa yang memukul. “Aiiishh!”Daisy menelan ludah saat melihat Andrew perlahan bangkit.“Sialan!” maki Andrew sebelum berlari keluar toilet.Jade berbalik menghadap Daisy, dan ketegangan dalam wajahnya berubah menjadi kekhawatiran."Apa kamu baik-baik saja?" tanya Jade sambil memegang kedua bahu Daisy dan menelusuri







