Tubuh Zia terasa melemas, tetapi ia tak mampu melawan. “Pak bolehkan saya menelepon editor saya dulu, sebelum saya memberikan ponsel saya?”
Pak Sadin terlihat mengangguk. “Tentu saja, Nona!” jawab pak Sadin ramah.
“Terima kasih, Pak,” ucapnya ramah, kemudian tangannya langsung membuka ponsel miliknya dan mencari nomor Risma dan ditekannya tulisan panggil.
“Hallo, Kak Risma. Kak kenapa nggak bilang kalau ponselku nantinya disita?” keluh Zia pada Risma tanpa menyapanya dahulu saat sudah tersambung.
“Kalau aku bilang, kamu pasti makin ngeluh dari malam hari sampai pagi. Terus kamu tidak akan bisa tidur, nanti bangunmu kesiangan,” sahut Risma dari balik telepon.
Gadis itu menarik napas panjang. Ia tak bisa menyalahkan tindakan editor, sekaligus sahabatnya. Memang ucapan Risma benar, jika Zia sedang kesal ia akan kesulitan untuk tidur dan selalu bangun kesiangan.
“Kamu nggak perlu khawatir dengan ayahmu! Aku sudah menengoknya dan mengatakan kalau kamu ada project menulis di luar kota, di sana susah sinyal.” Jelas Risma, seperti mengerti tujuan Zia meneleponnya.
“Terima kasih banyak, Kak Risma,” ucap Zia kemudian mengakhiri panggilan teleponnya.
Zia menarik napas berat nan cepat, tetapi laju mobil pak Sadin melambat. Ternyata ia sudah mendekati sebuah portal jalan. Bagian kanan dan kirinya terdapat tembok tinggi yang tertutup rerumputan. Mungkin lebih mirip lorong.
Titt! Zia memperhatikan pak Sadin yang mengeluarkan sebuah kartu dan menempelkannya pada mesin portal. Ia pernah melihat mesin tersebut di tempat parkir elektrik. Setelah terdengar bunyi, papan portal yang menghalangi jalan raya tersebut sudah terbuka.
“Untuk menuju rumah tuan Sean harus melawati portal itu dan hanya para pekerja dan keluarga inti saja yang memiliki kartu ini. Setiap pintu keluar rumah tuan Sean terdapat portal. Keamanan rumah ini terjamin, Nona tak perlu khawatir!” jelas Pak Sadin.
Gadis itu hanya menjawab, “Ooh,”. Ia tak tahu harus bereaksi seperti apa. Takjub? Sepertinya bukan itu yang sedang ia rasakan saat mendengar penjelasan pak Sadin.
Entah kenapa Zia merasa kalau penjelasan asistennya Sean adalah sebaliknya. “Kamu terkurung di rumah tuan Sean, dan tidak bisa melarikan diri,” itulah yang ditangkap hati dan pikirannya, hingga wajahnya berubah lemas.
Sekitar lima meter setelah melewati portal tadi, terlihat pintu gerbang yang tingginya dua meter dan berbentuk setengah lingkaran dengan berwarna putih. Pintu gerbang itu terbuka dengan sendirinya seolah menyambut Zia yang akan memasuki penjara rumah. Namun, tatapan matanya langsung berubah kagum karena halaman rumahnya yang luas terdapat aneka bunga-bunga di sepanjang jalan.
Jika dideskripsikan lebih mirip taman kota yang indah. Sebelah kananya terdapat kolam ikan, ada patung ikan berukuran besar dan dari mulut ikat itu meluncur air. Rumahnya lebih pas jika dikatakan mansion.
Lalu di sebelah kanannya terdapat ayunan dan pohon bunga yang tinggi nan rindang. Tampak nyaman sekali, ia pasti akan menemukan banyak inspirasi untuk tulisannya jika bersantai di sana. Tanpa terasa mereka sudah berhenti di depan pintu utama mansion milik Sean.
Saking megahnya, beranda utamanya saja lebih mirip seperti lobi. Di bagian tengah pintu ada air mancur yang sangat tinggi serta patung kuda yang sedang mengangkat kedua kakinya. Patung kuda itu dikelilingi jalan yang berfungsi agar mobil yang berhenti di depan pintu tidak perlu memundurkan kendaraanya. Cukup memutar mengitari pancuran tersebut.
“Selamat datang, Nona!”
Gadis itu terkejut saat ada yang membuka pintu sampingnya. Ia terlalu terpana melihat keindahan mansion milik Sean, hingga tak menyadari ada seorang pelayan yang datang untuk membukakan pintu samipingnya. Pak Sadin tersenyum padanya, seolah senyuman semangat dan senyuman selamat tinggal padanya. Zia tak punya pilihan lain selain turun dari mobilnya pak Sadin.
“Barang-barang Nona, akan kami bawa ke kamar Nona,” ucap pelayan yang membukakan pintunya.
Zia pun mengikuti langkah pelayan wanita itu yang langsung membawanya masuk dan melewati ruang tamu yang mewah. Berbagai ornamen putih dan emas mewarnai seluruh ruangan tersebut. Rasa takjubnya muncul kembali saat melihat keindahan dalam mansion tersebut.
“Nama saya Asti. Nona bisa memanggil saya jika memerlukan sesuatu, dan ini adalah kamar Nona,” tunjuk pelayan wanita yang mengaku bernama Asti setelah ia berhenti di depan pintu kamar.
“Ah, terima kasih,” sahut Zia ramah.
Asti pun membukakan pintu kamar tersebut. “Silahkan beristirahat dulu, Nona. Nanti siang tuan Sean akan pulang untuk makan siang di rumah bersama Nona.”
"Apa? Siapa yang mau pulang makan siang denganku?"
Bukan hal yang mudah untuk memancing tuan David menghampiri Resa. Wanita itu bahkan sengaja memilih kembali ke rumah bordil untuk melancarkan aksinya. Tentu saja ia sudah memikirkan segala konsekuensinya.Resa sengaja menyebar rumor kalau dirinya pernah bercinta dengan tuan David hingga diancam oleh Agnes, putrinya tuan David. Untungnya Resa mempunyai bukti pertemuannya dengan Agnes dan kebersamaannya dengan lelaki tua itu, hingga banyak yang percaya dengan rumornya.“Jadi selama ini Mami menghilang karena diancam sama Agnes, anaknya tuan David?” tanya salah satu wanita berpakaian minim seperti dirinya di antara kumpulan wanita lainnya saat menunggu para pengunjung datang.“Mau gimana lagi, aku harus cari aman ‘kan?” jawab Resa memasang wajah sedih.Tiba-tiba fokus para wanita itu berpindah pada laki-laki berpakaian rapi di belakang Resa. Lelaki itu berdehem keras hingga membuat Resa memutar tubuhnya. Wanita itu lantas tersenyum tipis si lelaki itu. Tentu saja, Resa mengenalnya.Tanpa
Resa menerima panggilan telepon dari Nania, temannya yang dulu sama-sama bekerja di rumah bordil. Nania memberi info kalau ia mempunyai informasi tentang tuan David yang menjadi dalang kecelakaan Sean. Tentu saja ia memilih menemuinya, berharap mendapatkan informasi tentang lelaki itu dan membuat tuan David dipenjara.Sebelum Resa menemui Nania, ia mengintai wanita itu dari jauh. Ia harus memastikan kalau dirinya tidak dijebak. Ya, ini bukan kali pertamanya Resa melarikan diri dari rumah bordil, hingga ia tahu betul bagaimana orang-orang yang berada di balik rumah bordil. Para pemilik rumah bordil pastinya tak akan tinggal diam jika karyawannya yang menjajakan tubuhnya melarikan diri.“Kenapa suasananya tampak sepi, yah?” guman Resa saat mengawasi Nania yang berdiri di depan minimarket seberang jalan tempat dirinya berada. Resa terus mengawasi setiap sudutnya hingga ia menemukan keganjalan. Nania terlihat gelisah dan terus melirik ke arah kiri jalan. Resa pun menelusur ke arah terseb
Sean langsung dilarikan ke ruang operasi. Ia terlalu syok hingga jantungnya lemah dan terlalu memaksakan bergerak, membuat tulang rusuknya yang sudah retak bertambah banyak. Dokter memutuskan untuk memasang gips sementara pada tulang rusuknya sampai tulang rusuknya kembali pulih.Akan tetapi pasca operasi, lelaki itu belum menunjukkan tanda-tanda ingin membuka matanya, padahal sudah enam jam berlalu. Tuan Alan hanya bisa termenung memandangi tubuh anak lelakinya yang kini terpasang berbagai alat untuk memantau perkembangannya. Ada rasa bersalah pada dirinya karena sudah membuat Sean bertambah parah, tetapi lelaki tua itu masih tetap pada prinsipnya menjaga anak lelakinya dari Zia.“Tuan Alan, apa tidak sebaiknya membawa nona Zia kemari. Saya yakin sebenarnya tuan Sean sudah sadar, hanya saja ia menanti nona Zia,” saran pak Sadin yang masih mengenakan baju pasien pada tuan Alan.“Jangan sebut nama gadis itu! Sean hanya harus terbiasa hidup tanpa gadis itu! Lagi pula pertemuan mereka si
“Zia, dengarkan Ibu! Lelaki itu sangat mencintai kamu, Ibu yakin dia bisa meyakinkan ayahnya untuk menerima kamu. Apa kamu tega meninggalkan lelaki itu, padahal kamu juga sangat mencintainya, ‘kan?” suara Resa terdengar lembut mencoba meyakinkan Zia.Namun, anak gadisnya menatapnya penuh curiga, padahal ia menunjukkan wajah sungguh-sungguh. Entah mengapa, Zia tak percaya dengan ekspresi ibunya. Gadis itu lalu tersenyum tipis dan kecut.“Apa ini rencana Ibu juga?” tanya Zia datar membuat Resa sedikit bingung.“Rencana apa?” Resa berbalik tanya.“Ibu berharap aku terus di sisi Sean agar dia terus menjamin kehidupan Ibu? Begitu ‘kan? Ibu sengaja membantu Sean dengan dalih berbagi informasi, padahal dia sangat melindungi dan menjaga keselamatan Ibu, karena dia tahu kamu adalah ibu dari gadis yang dicintainya.” Zia menduga pikiran wanita di hadapannya yang sudah melahirkan dirinya.Resa terkejut. Bibirnya sedikit gemetar dan wajahnya mulai pucat. Zia tersenyum ketir.“Ternyata benar. Ibu b
“Zia, maafkan Ibu, Nak.” Resa menghampiri putrinya yang duduk bersimpuh di depan teras rumah sakit. Air mata Zia mendadak terhenti saat melihat Resa meraih pundaknya dan ikut duduk bersimpuh di hadapannya. Marah, kesal dam emosi menyelimuti dirinya, tetapi gadis itu tengah tak berdaya untuk meluapkan semua rasanya. Tubuhnya bahkan terasa lemas hingga Resa dapat menarik punggungnya ke depan dan memeluknya erat. “Kenapa harus Ibu yang menjadi alasan aku dan paman Sean terpisah,” lirih Zia diikuti air matanya yang makin banjir. “Aku benci kamu, Bu,” ucapnya tanpa sadar. Namun, Zia tak kuasa melawan Resa yang justru makin memeluknya erat. Wanita itu terus terisak dan berulang kali mengucapkan kata maaf. Sementara Zia makin terlihat limpung dan tak bisa berpikir jernih, hingga Resa melepaskan pelukannya dan menatapnya pilu. “Ibu puas ‘kan? Hidupku hancur dan benar-benar hancur, Bu. Baru kali ini aku merasa hidup karena paman Sean, tapi Ibu membuatnya celaka dan aku yang disalahkan, Bu,”
“Tuan Sean dalam bahaya,” seru Alex, anak buahnya Sean setelah mendapatkan telepon dari Sean. “Zaid dan Faris kamu jaga di sini! Sisanya ikut saya!” perintahnya pada anak buahnya yang sudah ia kumpulkan di ruang tengah.Seluruh anak buahnya yang tengah berjaga di rumah tempat Resa berada langsung bergegas sigap. Termasuk Resa yang mendengar suara Alex dari dalam kamarnya langsung bergegas ke luar. Bukan tanpa sebab, ia tahu kalau lelaki itu akan dalam bahaya sebab Resa tahu pasti tuan David tak akan tinggal diam.“Tunggu!” teriak Resa setelah berlari cepat keluar kamar.Alex dan anak buahnya langsung terhenti. Mereka langsung berbalik ke arah Resa. Wanita itu memasang wajah cemas, gelisah dan rasa bersalah.“Aku ikut dengan kalian,” pinta Resa dengan tatapan memohon.“Maaf, Nyonya. Kami tidak ada waktu untuk mengurusi Nyonya,” sahut Alex kesal. Ia merasa Resa membuang waktunya.“Aku tahu pelakunya adalah tuan David. Jadi, aku harus ikut dan membuktikannya sendiri,” seru Resa lantang.