Hening sejenak. Hanya detak jantung Yogi yang bergema di telinga, berdebar-debar seperti genderang perang. "Pak Calvin... Kenapa Bapak ...?" Ucapannya terhenti, tersangkut di tenggorokan, sementara tubuhnya gemetar hebat. Tatapan Calvin menusuk, mata pria itu menyala merah padam, rahangnya mengeras seperti batu, napasnya memburu. "Aku sudah memperingatkanmu! Jangan menemuiku, jangan mendekati Viona! Kenapa kau tidak pernah mendengar?!" Suara Calvin menggelegar, penuh amarah yang membara. Tinjunya mengepal, siap melayang ke wajah Yogi, namun Venny datang tepat waktu, menghalangi serangan itu. "Maafkan saya, Pak." Venny menyela, suaranya gemetar, mencoba meredam badai yang mengamuk. "Ini salah saya. Saya ngidam... Mas Yogi terpaksa melakukannya." Tatapan Calvin beralih ke Venny, tajam dan penuh curiga. "Ngidam? Jangan bercanda! Apa hubungannya?!" Calvin membentak, tak percaya. "Istri saya... dia
"Opa nggak maksa, Nak. Opa cuma mau nemenin kamu sunat," jelas Andre, sedikit khawatir Calvin salah paham. "Iya, Kak. Ayah cuma usul Kenzie disunat besok. Kenzie 'kan udah mau enam tahun, usia yang pas untuk sunat," Viona menambahkan, berusaha menjelaskan. Penjelasan dari Kenzie saja mungkin kurang cukup. "Ooh… ya udah, disunat saja. Ayah juga setuju kok. Mumpung hari libur, kan?" Calvin menatap sang anak. "Ih Ayah, jahat! Kenzie kan nggak mau!" Kenzie mengerucutkan bibirnya, kesal. "Kenapa nggak mau, Sayang?" tanya Calvin, bingung. Viona menarik napas dalam-dalam. "Ada temen Kenzie yang kemarin sunat, Kak. Dia… meninggal. Karena kelalaian dokter. Dokternya… memotong kemalu*annya terlalu banyak, sampai dia pendarahan hebat dan tidak tertolong." Mata Calvin membulat sempurna. Tubuhnya menegang, bayangan cerita Viona begitu nyata di benaknya. Dia merasakan sebuah sentakan dingin yang menjalar di
Erick tampak terkejut. Dahinya berkerut. "Kamu ini bicara apa? Kenapa tiba-tiba begitu?" "Pak Calvin mencurigai kita berdua, dan dia mengancam saya, Pak." Suara Yogi gemetar, terdengar jelas ketakutan dalam suaranya. "Apa yang dia katakan?" Erick mendesak, rasa tidak percaya bercampur dengan amarah. "Kalau saya masih mengusik rumah tangganya, dia akan memastikan saya bernasib sama dengan Nona Agnes. Masuk penjara." "Terus kamu takut?" Erick bertanya, suaranya dingin. "Tentu saja saya takut, Pak. Apalagi Pak Calvin orang kaya, dia pasti bisa membayar polisi untuk menangkap saya." Suara Yogi semakin kecil, hampir tak terdengar. "Payah sekali kamu! Sama Calvin saja takut. Terus, kenapa dia bisa curiga kepada kita berdua? Apakah kamu memberitahu sesuatu padanya?" Erick bertanya dengan nada penuh amarah, suaranya meninggi.
Di taman kota yang asri, suasana sejuk dan tenang menyelimuti mereka. Pepohonan rindang dan gemericik air mancur menciptakan oase kedamaian di tengah hiruk pikuk Jakarta. Mereka beralaskan tikar, menikmati makan siang ala camping. Andre, Dinda, Calvin, Viona, dan Kenzie tertawa lepas, berbagi bekal makan siang yang sederhana namun terasa istimewa. Aroma nasi hangat dan lauk pauk sederhana memenuhi udara, menambah kehangatan suasana. Kicau burung dan desiran angin menjadi musik latar yang merdu. Momen sederhana ini terasa begitu berharga, sebuah pelarian singkat dari rutinitas kota yang padat. "Sayang banget Chika dan Candra nggak diajak, pasti kalau ada mereka, bisa tambah seru, Yah," kata Calvin di sela-sela makan siang mereka. "Memangnya kenapa mereka nggak diajak, Kak?" tanya Viona, bingung. "Candra lagi liburan di Bogor, sementara Chika ada les, Vio," jawab Dinda.
"Apa, Opa? Bulung Kenzie habis?" Mata Kenzie membulat sempurna, jeritan histeris pecah di ruangan itu. "Kenzie nggak mau, Opa! Kenzie nggak mau!!" Tangisnya menggema, mengiris hati siapapun yang mendengarnya. "Tidak, Nak! Jangan khawatir!" Dokter menepuk-nepuk pundak Kenzie dengan lembut, berusaha menenangkannya. "Opamu salah paham. Dokter tidak akan 'menghabiskan' bu*rungmu. Dokter hanya perlu memotong sedikit bagian yang terluka. Bayangkan saja seperti… kamu akan disunat, ya?" "Su-sunat?!" Mata Kenzie kembali membulat, serangan panik dan ketakutan menyergap. Membuatnya kembali pingsan. "Kenzie!!" Andre mencoba membangunkan Kenzie, menggoyangkan tubuhnya, namun dokter menghentikannya. "Biarkan saja, Pak. Dia hanya shock. Saya akan memberikan suntikan bius, dan sebaiknya Bapak menunggu di luar. Operasinya akan segera di
"Ayah... bagaimana keadaan Kenzie? Bagaimana ini bisa terjadi?" tanya Calvin, suaranya bergetar, langkahnya tergesa-gesa saat tiba di rumah sakit. Wajahnya pucat pasi, mencerminkan kecemasan yang mendalam. Dia, Dinda, dan Viona segera menghampiri Andre yang duduk di depan ruang UGD, ketegangan terpancar dari raut wajah mereka. "Jadi ceritanya ...." Andre berdiri, suaranya sedikit gemetar saat memulai penjelasan. Dia menceritakan semuanya, detail demi detail. Ketiga orang itu awalnya menegang, gidik ngeri membayangi pikiran mereka. Namun, di ujung cerita, sebuah rasa syukur yang mendalam memenuhi hati mereka. Operasi Kenzie berjalan lancar. "Alhamdulillah... anakku memang kuat, Yah," ucap Calvin, suaranya bercampur syukur dan kelegaan. Air mata haru hampir menetes dari sudut matanya. "Ada hikmahnya juga, ya, Kak... bu*rung si Kenzie tersangkut di sleting. Jadi 'kan dia nggak bisa ngelak buat disunat," kata Viona, suaranya te
Suatu malam yang remang di sebuah diskotik, Yogi menarik Venny ke sudut ruangan, memperkenalkan istrinya kepada temannya, Dora. Niat jahat tersirat jelas di mata Yogi. Dia bermaksud menawarkan Venny, istrinya yang sedang hamil, untuk menjadi kupu-kupu malam. Venny, dengan gaun malamnya yang menawan namun tak mampu menyembunyikan perut buncitnya, merasa sesak. Rasa takut dan cemas bercampur menjadi satu. "Aku mau kamu tawarkan dia kepada pelangganmu, Dor," bisik Yogi, suaranya dingin dan tanpa ampun. Venny hanya bisa menunduk, air mata mengancam untuk tumpah. Dora, pria bertulang lunak dengan kemeja pink mencolok, mengamati Venny dari atas hingga bawah. Pandangannya terhenti pada perut Venny yang membuncit. "Lho, dia lagi hamil, Yog?" tanyanya, tak percaya. Dora ini sudah lama menjadi Mami di diskotik itu. Dan rata-rata anak didik yang berada dibawah naungannya selalu laku keras. "Enggak, dia enggak hamil," ja
"Apa kamu mengenalku?" Erick mengerutkan dahi, memerhatikan wajah Venny. Berbeda dengan Venny yang tahu Erick, meskipun itu hanya dari foto yang pernah Yogi tunjukkan. Namun, Erick justru tak mengenalinya, karena memang dia belum pernah bertemu dengan Venny sebelumnya. "Oh enggak kok, Pak," jawab Venny yang memilih berbohong. Dia merasa takut jika jujur nanti Erick akan berubah pikiran untuk tak jadi membelinya. "Tapi kenapa tadi kamu menyebut namaku? Tau dari mana?" "Oh itu ... dulu aku pernah kerja di perusahaan Bapak. Tapi mungkin Bapak sudah lupa." Venny menjawab secara asal, dijadikan bahan alasan. "Benarkah?" Mata Erick berbinar, tampak senang mendengarnya. "Memangnya kamu pernah kerja di kantorku dibagian apa?" "Saya permisi dulu kalau begitu ya, Om. Selamat bersenang-senang." Dora pamit, lalu menutup pintu dengan rapat. M
"Kamu pergilah ke pasar tradisional, terus cari ayam yang masih hidup, Ken, lalu sekalian minta disembelih. Tapi bulunya tidak perlu dicabut dan cari bulunya yang bagus, ya?"Permintaan Bunda membuatku mengerutkan dahi. Ada yang aneh."Kenapa bulunya nggak boleh dicabut dan harus dicari yang bagus?" tanyaku, suaraku terdengar sedikit ragu, kebingungan memenuhi dada. Ini bukan permintaan yang biasa."Karena bulunya itu yang mau dipakai. Si Zea kepengen makan sup bulu ayam katanya, jadi nanti Bunda mau masakin untuknya." Jawaban Bunda semakin membuatku heran."Sup… bulu ayam?" Nama masakan itu terdengar asing di telingaku, benar-benar aneh. "Memangnya bulu ayam bisa dimakan ya, Bun? Setahuku nggak bisa deh." Aku menggelengkan kepala tak percaya.Bunda terkekeh pelan. "Memang nggak bisa, lagian nggak ada dagingnya juga, Ken." Ternyata Bunda juga menyadari keanehannya."Terus... ngapain juga si Zea kepengen makan bulu ayam? Pakai di sup segala lagi." Keheranan dan kekhawatiran
"Ih enggak!" bantahku dengan gelengan kepala, lalu membuka pintu kamar. "Kalau begitu aku mau mandi dulu deh." "Ya sudah, sana mandi. Ayah tunggu di ruang makan, ya? Jangan lupa cukuran juga biar enak dipandang." Ayah kembali tertawa mengejek, lalu melangkah pergi turun dari anak tangga. Cukuran katanya? Apanya yang perlu dicukur? Rambutku saja masih pendek. Baru kemarin aku potong rambut. * * * "Ken… kamu sudah mendengar dari Zea belum, masalah mahar pernikahanmu?" tanya Ayah, suaranya santai terdengar di antara gemuruh mesin mobil yang kami tumpangi. Hari ini Ayah tidak membawa mobilnya, katanya sedang diservis di bengkel. Kami berangkat kerja bersama. "Sudah, Yah. Kenapa memangnya?" Aku menoleh sebentar, dahiku berkerut, sebelum kembali fokus menyetir. Pertanyaan Ayah membuatku sedikit penasaran. "Masalah rumah dan mobilnya, nanti biar Ayah yang cari. Pak D
Keduanya lalu menatap kembali Zea. "Selain itu, apa lagi yang Kakek sampaikan?" tanya Ayah, suaranya lembut.Zea terdiam sejenak, menunduk, ragu untuk melanjutkan. "Dia ...," bisiknya pelan, "Memintaku untuk memaafkan apa yang Pak Kenzie perbuat.""Lalu, kamu jawab apa?" tanya Ayah lagi, tatapannya penuh perhatian."Belum sempat aku jawab, Yah, tapi Kakek sudah keburu pergi. Dipanggil pun tidak menjawab," jawab Zea lirih."Apakah wajah Kakek menyeramkan? Bagaimana saat kamu melihatnya?" Kali ini Bunda yang bertanya, suaranya dipenuhi kekhawatiran.Aku sendiri sebenarnya ingin bertanya juga, tapi pertanyaan Bunda dan Ayah seakan mewakili semua rasa ingin tahuku."Wajahnya sama seperti di foto, Bun. Cuma... agak glowing saja."Ayah menatapku, lalu mendekat dan menggenggam tanganku erat. Tanpa sepatah kata, dia menarikku berdiri dari tepi kasur."Sekarang kamu istirahat dulu ya, Zea. Nanti Bibi bawakan
"Rumah sakit, Bun." Kataku tegas, tak ada waktu untuk ragu. "Ya sudah, ayo. Bunda ikut untuk menemani." "Iya." Aku mengangguk cepat, kemudian menggendong Zea dengan hati-hati. Bunda mengikuti dari belakang, sambil memainkan ponselnya. "Bunda memangnya nggak apa-apa ikut aku? Nanti kalau Ayah cariin gimana?" tanyaku sedikit khawatir. "Ini... Bunda sudah kirim chat sama Ayah. Dia tadi masih tidur, nanti kalau sudah bangun terus nyariin, pasti dia buka HP." Jawab Bunda tenang, menenangkan kekhawatiranku. "Oh gitu, ya sudah." Aku lega mendengarnya. Setelah kami bertiga masuk ke dalam mobil, aku segera melajukan mobil menuju rumah sakit terdekat. Jalanan malam terasa sunyi, hanya diiringi debaran jantungku yang semakin cepat. Setibanya di sana, aku langsung menggendong Zea menuju ruang UGD, jantungku berdebar kencang berharap dia segera mendapatkan penanganan. Bunda dan aku duduk di kursi tunggu, kesunyian terasa mencekam di antara deru napas cemas kami. "Bun... Bunda nggak
"Zea ...."Suara berat itu mengalun lembut, namun berhasil menggetarkan jantungku. Seorang pria berdiri di hadapanku, siluetnya samar-samar dalam cahaya remang.Wajahnya memang asing, namun aura bijaksana terpancar darinya. Usia senjanya terlihat jelas dari kerutan yang menghiasi wajahnya yang sawo matang, bercahaya meski dipenuhi garis-garis waktu. Rambutnya seputih salju, hampir sepenuhnya memutih. Dia mengenakan jubah putih panjang yang menambah kesan misterius.Pikiran berputar cepat.Siapa dia? Bagaimana dia tahu namaku? Dan lebih penting lagi, bagaimana dia bisa berada di sini, di depan kamarku, di tengah malam begini? Selama aku tinggal di sini, aku belum pernah melihatnya sebelumnya."Boleh nggak kita bicara sebentar?" tanyanya, matanya menatapku dalam-dalam, penuh arti. Tatapan yang seolah menembusku, membaca isi hatiku."Bicara apa? Tapi maaf ... Kakek ini siapa, ya?" Aku bertanya, suaraku sedikit gemetar karena rasa was-was yang mulai menguasai. Aku memperhatikann
"Jangan bilang kamu selingkuh dengannya?" Pertanyaan mendadak Pak Kenzie membuatku tersentak. Tuduhan yang begitu tiba-tiba dan tanpa sebab itu sungguh membuatku marah. Apa-apaan dia ini? Mobil yang dikendarainya langsung berhenti. "Bapak ini ngomong apa sih?! Pak Bahri itu mantan bosku di rumah makan Padang, masa Bapak lupa?" "Ingat, tapi kenapa dia menghubungimu? Pasti ada alasannya, kan? Pasti karena kalian ada hubungan!" Nada bicaranya semakin meninggi, menunjukkan ketidakpercayaannya yang begitu besar. "Astaghfirullah, Pak... Bapak jangan su'uzon padaku! Aku sama dia nggak ada hubungan apa-apa. Dia cuma mau main ke sini." Aku berusaha menjelaskan dan bersikap tenang, walau amarahku masih menggelayuti. "Main?" Matanya membulat, tatapannya tajam seperti elang yang mengintai mangsa. Menurutku, reaksinya itu terlalu berlebihan. Pak Kenzie ini selain plin plan dan menyebalkan, dia juga lebay. "Itu sudah cukup membuktikan kalau dia naksir sama kamu, Zea. Seharusnya tadi k
"Kalau kita sudah bercinta, aku bisa tidur nyenyak, dan aku bisa lebih mudah memikirkan biaya mahar itu.” Pak Kenzie menghela napas, mencoba menjelaskan dengan sabar, namun nada bicaranya terdengar sedikit memaksa supaya aku menuruti permintaannya. "Tidur nyenyak?" Aku mendengus kesal. Itu terdengar tak masuk akal. “Jangan mengada-ada, Pak. Setiap malam bukannya Bapak tidur nyenyak?" "Enggak kok." Dia menggeleng cepat, membantah. "Semalam buktinya Bapak tidur nyenyak.” Aku sengaja menekankan kata ‘nyenyak’, karena aku jelas-jelas mendengar dengkur kerasnya semalam. Dia berdusta! “Kamu nggak akan mengerti, Zea. Yang tau tentang ini hanyalah laki-laki. “Kenapa bisa begitu?” tanyaku, merasa kecewa. “Kalaupun dijelaskan, kamu tetap tidak akan paham." Cih! Sifat menyebalkannya muncul
“Niat Ayah dan Bunda datang ke rumah Papa sebenarnya ingin mengabarkan pernikahan kita, Pak. Tapi Papa malah membahas mahar,” kataku, menjelaskan inti kejadian pagi tadi. Pak Kenzie mengerutkan dahi. “Papamu meminta mahar untuk pernikahan kita?” Aku mengangguk cepat, “Iya. Semua ini gara-gara Juragan Udin. Papa berniat menjodohkanku dengannya karena Juragan Udin berani memberikan mahar rumah dan mobil.” Mata Pak Kenzie membulat. Dia tampak terkejut. “Memangnya Ayah dan Bunda tidak memberitahu Papamu kalau kamu sedang mengandung anakku?” Aku menggeleng pelan, “Tidak, Pak. Sepertinya mereka melakukan itu karena takut Papa marah.” “Terus, Papamu meminta mahar apa untuk pernikahan kita?” “Rumah, mobil, dan uang seratus juta,” jawabku, mencoba bersiap menghadapi reaksinya. Aku sudah menduga dia akan terkejut. “Apa?!” Seruannya kali ini lebih keras, menunjukkan keterkejutan yang nyata. Aku menunduk, menahan malu. “Maafkan Papaku, Pak. Seharusnya Ayah dan Bunda tidak langsung
Aku menghela napas lega, ketika kami bertiga akhirnya pulang dari rumah Papa. Meskipun sejak kecil aku tinggal di sana, hampir tak ada sedikit pun kenyamanan yang kudapatkan.Rumah itu lebih terasa seperti penjara daripada tempat tinggal yang sesungguhnya. Kenangan pahit lebih banyak terukir daripada kebahagiaan.Sangat jauh berbeda dengan saat aku tinggal di rumah Ayah Calvin dan Bunda Viona. Baru beberapa hari, aku sudah merasa betah, nyaman, dan diterima sepenuhnya. Bahkan kenyamanan itu sudah kurasakan jauh sebelum mereka menerimaku sebagai calon menantunya. Di sini, aku merasakan kasih sayang dan kehangatan yang selama ini tak pernah kurasa.Hari ini cuaca sangat panas sekali, tubuhku terasa lengket dan gerah. Sebaiknya aku mandi dulu untuk menyegarkan tubuh. Aku juga teringat kalau harus pergi ke mall bersama Pak Kenzie.“Zea… kamu mau ke mana?” Bunda Viona bertanya, suaranya lembut dan perhatian. Pertanyaannya membuat langkah