Sore itu, Wilson sedang berada di ruang tengah sambil menemani anak-anaknya bermain ketika Juliet menghampiri dengan membawa dua cangkir teh. Dia duduk di samping suaminya, lalu berkata pelan, “Aku tadi melihat Ayah mu di depan rumah Ibumu lagi.” Wilson diam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Aku tahu. Sudah beberapa kali juga. Kadang dia bantu bersih-bersih, kadang cuma duduk di teras, mengobrol sebentar dengan Ibu. Kadang juga membawa camilan.” Juliet memperhatikan wajah suaminya yang tampak tenang. “Kau tidak merasa khawatir?” Wilson menggeleng pelan. “Dulu aku mungkin akan marah. Tapi sekarang aku cuma ingin melihat mereka tenang, terutama Ibu. Setelah semua yang dia lewati, aku rasa dia pantas memilih sendiri, mau hidup dengan damai sendiri atau memaafkan Ayah dan memulai lagi dari awal.” Juliet menatap Wilson, lalu menggenggam tangannya. “Kau jadi sangat dewasa belakangan ini.” Wilson tersenyum pahit. “Aku cuma belajar dari
Luis tertunduk, matanya menatap lantai dengan pandangan kosong. Kata-kata Chaterine terasa seperti bilah tipis yang mengiris pelan-pelan, tidak membunuh, tapi menelanjangi penyesalan yang selama ini dia sembunyikan di balik gengsi dan egonya. Chaterine tersenyum tipis, senyum yang pahit, bukan karena benci, tapi karena luka yang terlalu lama dibiarkan membusuk. “Kesempatan untuk bersama lagi, Luis?” ucapnya pelan, hampir terdengar getir. “Itu hal paling bodoh yang pernah kudengar selama ini.” Luis mendongak pelan, sorot matanya mencari sedikit harapan yang tulus. “Dulu, kau sendiri yang bilang kau tidak pernah mencintaiku,” lanjut Chaterine. “Puluhan tahun aku mencoba tinggal di rumah itu, mencoba menjadi nyonya besar seperti yang semua orang harapkan… tapi kau selalu menunjukkan kebencianmu. Kau mendorong ku jauh-jauh. Kau membuat aku merasa kecil, tidak layak, dan tidak pernah cukup untuk bisa sedikit berharga di hadapan mu.” Dia menari
Chaterine duduk diam di kursi tua dekat jendela, tempat yang akhir-akhir ini sering menjadi sudut favoritnya. Angin sore menyentuh lembut tirai tipis yang bergoyang perlahan. Matanya terpaku pada jalan di depan rumah, dan benar saja, sebuah mobil berhenti perlahan di sana. Mobil hitam itu sudah sangat familiar. Itu sudah pasti mobil Luis. Detik itu juga, dada Chaterine terasa berat. Tangannya yang menggenggam mug teh hangat gemetar pelan. Dia tidak bangkit. Dia hanya duduk diam, membiarkan mobil itu tetap di sana sementara pikirannya kembali ke masa lalu, puluhan tahun menikah, bertahan, berharap, meski berkali-kali hanya mendapat tatapan dingin dan kalimat penuh penekanan bahwa “aku tidak pernah mencintaimu.” Kini semuanya sudah berakhir. Pernikahan itu sudah bubar. Namun anehnya, setelah semua ikatan dilepas, Luis justru datang setiap malam. Duduk diam di dalam mobil. Menatap ke rumah ini. Tidak pernah turun. Tidak pernah bicara. Hanya menatap, lalu
Beberapa hari setelah pernikahan yang tenang dan penuh ketulusan itu, Reiner dan Karina menerima kejutan dari Veronica. Seorang asisten pribadi datang mengantarkan sebuah map kulit elegan berisi tiket perjalanan, itinerary, dan dokumen reservasi eksklusif. “Ini hadiah bulan madu dari Ibu,” begitu bunyi catatan tangan Veronica yang disisipkan di dalam map. “Nikmati waktumu, Karina. Kau pantas mendapatkan kebahagiaan seutuhnya. Ajak suamimu menikmati hidup.” Karina sempat terdiam membaca surat itu, matanya berkaca-kaca. Veronica memang tidak selalu banyak bicara soal perasaan, tetapi setiap tindakannya selalu memiliki makna yang dalam. Reiner yang duduk di samping Karina langsung menggenggam tangan istrinya, tersenyum penuh makna. Mereka pun memulai perjalanan bulan madu mereka ke berbagai negara yang sudah ditentukan. mulai dari Santorini yang romantis, menikmati senja di balkon hotel tepi tebing, kemudian ke Tuscany
Malam itu Wilson baru saja mematikan lampu kamar dan menarik selimut ketika layar ponselnya menyala. Satu notifikasi masuk dari Reiner. Dengan setengah malas, Wilson mengambil ponselnya. Tapi saat dia membaca nama pengirim dan melihat thumbnail gambar yang menyertainya, matanya langsung terbuka lebar. Dia segera membuka pesan itu. Di sana, satu kalimat singkat tertulis. “Kami sudah menikah hari ini. Maaf tidak mengundang mu dan Juliet. Karina takut kalian tidak akan nyaman.” Disertai foto Reiner dan Karina yang berdiri berdampingan di altar dengan senyum bahagia. Wilson terdiam beberapa detik. Lalu, perlahan, senyuman kecil terbit di wajahnya. Ia menggeleng pelan, antara heran, lega, dan sedikit tidak percaya. “Sayang...” panggilnya pelan sambil menyodorkan ponsel. “Lihat ini.” Juliet yang sedang merapikan bantal menoleh dan mengambil ponsel dari tangan Wilson. Begitu melihat isi pesannya, mata Jul
Beberapa hari setelah Karina menyampaikan niatnya kepada Veronica dan mendapat dukungan, ia dan Reiner mulai melangkah dengan lebih serius. Mereka tidak menginginkan pesta yang besar. Tidak ada kemewahan yang mencolok, tidak ada sorotan media, dan tidak ada undangan dari kalangan sosialita. Hanya Veronica, saksi luar, saksi dari Reiner, dan orang dari pihak yang akan menikahkan mereka. Di sebuah sore yang tenang, mereka duduk bersama di kafe favorit Karina, kafe yang secara tidak langsung mempertemukan banyak takdir dalam hidup mereka. Di atas meja, ada buku catatan, laptop, dan beberapa brosur tempat pernikahan yang sederhana namun elegan. “Aku masih tidak percaya kita akan sampai di titik ini,” kata Karina, sambil menatap Reiner dengan senyum kecil. “Aku percaya dari hari pertama kita memiliki jalan untuk bersama,” jawab Reiner dengan nada hangat.Karina pun tersenyum. Mereka mulai memilih tema. Karina ingin ses