Larisa menjalankan pekerjaannya dengan penuh tanggung jawab seperti biasa. Setelah proses penyelidikan internal yang dilakukan bersama Roy, akhirnya dalang di balik kecurangan dana administrasi perusahaan berhasil diungkap. Pelaku terbukti telah menyalahgunakan wewenangnya untuk kepentingan pribadi dan langsung diberhentikan dari perusahaan. Bahkan juga mendapatkan sanksi hukum. Sejak saat itu, Larisa dipercaya penuh untuk menangani seluruh urusan administrasi. Ia kini menjadi penanggung jawab utama, dan kepercayaan itu membuatnya semakin termotivasi untuk bekerja lebih baik lagi. “Terima kasih atas kerja kerasmu, Larisa,” ucap Roy suatu pagi saat menyerahkan laporan terbaru. “Kau benar-benar sudah bekerja keras.” “Kita beruntung punya seseorang yang bisa diandalkan.” Larisa tersenyum tenang. “Saya hanya melakukan tugas saja, Tuan. Tapi saya akan pastikan tidak akan ada kejadian seperti
Seperti yang telah direncanakan, Wilson mulai berusaha menjalin kedekatan kembali dengan Reiner. Ia mengirim pesan singkat, mengajak untuk makan siang atau sekadar bertemu dan mengobrol santai seperti yang biasa mereka lakukan dahulu. Namun, setiap kali ajakan itu disampaikan dengan hangat, Reiner selalu memberikan berbagai alasan untuk menolak. “Maaf, Wilson... minggu ini jadwalku padat sekali di kantor. Aku sudah berjanji kepada orang tuaku untuk fokus dengan pekerjaan ku. Sekali lagi, maaf.” “Aku sedang kurang sehat, mungkin lain waktu saja. Maaf ya...” “Saat ini aku sedang berada di luar kota untuk urusan keluarga. Mungkin akan kembali lusa. Maaf...” Alasannya terus berganti, tetapi satu hal yang tetap sama di pikiran Wilson, Reiner sela
Hari-hari pun berlalu dengan lebih tenang. Wilson mulai bisa bernapas lega karena Chaterine dan Luis tidak lagi terus-menerus menuntutnya soal pernikahan dengan Karina. Meskipun tekanan itu masih terasa di sekelilingnya, setidaknya untuk sementara mereka memberinya ruang untuk bernapas lega. Dengan beban pikiran yang sedikit berkurang, Wilson pun bisa fokus kembali pada pekerjaannya di perusahaan. Ia mulai mengatur ulang jadwal, memimpin rapat-rapat penting, dan mengejar ketertinggalan yang sempat terbengkalai akibat sakitnya beberapa waktu lalu. Di balik meja kerjanya, Wilson kadang masih termenung. Ada sesuatu dalam dirinya yang terasa kosong, seperti ada bagian penting yang hilang dan belum bisa ia pahami bahkan sampai detik ini. Tapi untuk sekarang, bekerja adalah satu-satunya hal yang bisa membuat pikirannya tetap sibuk. Meskipun, anehnya tingkat konsentrasi Wilson seperti menurun. “Aku harus terus maju… meski belum tahu ke mana arah hatiku yang sebenarnya,” guma
Malam itu suasana di ruang tamu kediaman keluarga Andreas terasa begitu tegang. Ibunya Karina, duduk dengan punggung tegak, matanya menatap tajam ke arah Wilson yang duduk di seberangnya. Ia datang tanpa basa-basi, hanya satu tujuan, untuk menuntut kejelasan. “Aku hanya ingin tahu satu hal darimu, Wilson,” ucap Ibunya Karina, nadanya dingin. “Kapan kau akan menikahi Karina? Jangan terus membuang waktu kami. Kesabaranku juga ada batasnya.” Wilson terdiam sesaat. Matanya menatap lantai, lalu menatap wanita paruh baya itu dengan tatapan yang tidak bisa lagi menyembunyikan perasaannya. “Aku... aku tidak bisa terus seperti ini terus,” jawab Wilson pelan tapi tegas. “Yang aku tahu saat ini adalah aku tidak mencintai Karina. Dan aku tidak pernah benar-benar merasa kalau aku mencintainya seperti yang kalian semua katakan selama ini padaku.” Mata Ibunya Karina membelalak. Suaranya langsung meninggi. “Apa maksud ucapan mu, Wilson
Wilson membuka matanya perlahan. Pandangannya masih buram, kepala terasa berat dan dadanya nyeri seperti diremas. Sebelum sempat bertanya apa pun, suara Karina langsung memenuhi gendang telinganya. “Wilson, kau sudah sadar!” serunya sambil bangkit dari kursi dan mendekat. “Ayo kita kembali ke gedung. Semua tamu masih menunggu. Kita harus selesaikan pernikahan ini, kan?” Pernikahan? Sekarang juga? Wilson pun mengerutkan kening. Tubuhnya terasa lemah, tetapi yang lebih menyakitkan adalah kenyataan bahwa permintaan pertama yang ia dengar bukan tentang keadaannya, melainkan desakan untuk menikah. Ia melirik ke arah kedua orang tuanya yang hanya berdiri diam di sudut ruangan. Tidak ada ekspresi khawatir. Tidak ada pertanyaan tentang rasa sakit yang ia rasakan saat ini. “Wilson?” Karina kembali memanggil, suaranya mulai terdengar cemas. “Kau bisa mendengar apa yang aku katakan barusan, kan?”
Wilson masuk ke kamarnya dengan langkah yang terasa berat. Suara bentakan Catherine masih terngiang di telinganya, membuat dadanya terasa sesak dan kesal. Ia menutup pintu perlahan, lalu menyandarkan punggungnya di sana sambil menatap kosong ke sekeliling ruangan.“Sebentar lagi hari pernikahan kalian terjadi, jangan membuat ulah, Wilson!!” Ada rasa tidak nyaman yang sulit dijelaskan. Lagi-lagi seperti ada sesuatu yang penting, yang telah hilang.“Kenapa selalu begini? Kenapa aku sebenarnya?” Tiba-tiba dahinya mengernyit saat mengingat sesuatu. “Ikat rambut itu…” gumamnya pelan. Wilson segera melangkah ke arah lemari kecil di sudut ruangan, tangannya langsung membuka laci satu per satu. Ia menggeledahnya dengan cepat namun hati-hati. Laci pertama, kosong. Laci kedua, hanya berisi dokumen dan jam tangan. Laci ketiga, hanya tumpukan barang lama yang tidak begitu penting. Ia beralih ke meja belajar, membo