Tuan Luis dan Nyonya Chaterine duduk dengan ekspresi dingin di hadapan Juliet, meletakkan selembar surat perjanjian di meja kecil ruang tunggu rumah sakit tempat Wilson berada saat ini. “Apa yang kau tunggu, hah?” nanya Nyonya Catherine dengan ada bicaranya yang terdengar begitu dingin. “Apa Kau bodoh, hah?! Anakku meregang nyawa karena ulahmu! Bagaimana bisa kau mengulur-ngulur waktu seperti ini terus?” Julia tertunduk. Dokumen itu adalah syarat, bukan permintaan. Jika Juliet ingin mereka membantu menyelamatkan Wilson, maka dia harus menandatangani perjanjian untuk pergi dari kehidupan Wilson selamanya, tanpa pernah kembali, apapun yang terjadi nanti. Juliet menatap kertas itu dengan pandangan kosong. Tangannya mengepal erat, matanya dipenuhi air mata yang tidak sanggup dia bendung lagi. Dadanya sesak, seperti ditimpa beban raksasa yang tidak mampu dia angkat. Surat itu begitu kejam, tapi lebih kejam lagi adalah kenyataan bahwa Wilson kini berada di ujung antara hidup dan mati
Esok paginya, setelah menyiapkan diri dengan tenang, Wilson mengantar Juliet ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan kesehatan. Mereka sudah mendaftarkan nama secara online, sehingga masih ada waktu sebelum giliran mereka tiba nanti. Wilson pun mengajak Juliet untuk sarapan ringan terlebih dahulu di sebuah kedai kecil tidak jauh dari rumah sakit. Setelah memesan makanan, Wilson melihat ada penjual susu hangat favorit Juliet di seberang jalan. Ia pun berkata, “Tunggu sebentar di sini, aku belikan susu hangat kesukaanmu, ya.” Juliet mengangguk sambil tersenyum dan menunggu di pinggir trotoar, menikmati udara pagi yang terasa menyegarkan. Namun, tidak sampai satu menit setelah Wilson menyeberang, sebuah mobil hitam melaju dengan kecepatan tinggi dari arah yang berlawanan. Suara mesin meraung keras, membuat beberapa orang yang berada di sekitar mulai menoleh. Juliet yang awalnya tenang, tiba-tiba menyadari bahwa mobil tersebut melaju lurus ke arah tempatnya berdiri.“Hah!” Mat
Juliet berbaring di kamar, membungkus tubuhnya dengan selimut agak tipis sambil memeluk bantal kecil. Meskipun obat yang diminumnya mulai membuat tubuhnya terasa lebih ringan, rasa lelah masih belum sepenuhnya hilang. Ia memutuskan untuk tidak memaksakan diri dan memilih banyak beristirahat, seperti yang sudah dia janjikan pada Wilson sebelum pria itu memutuskan pergi untuk survei tempat untuk pertemuannya dengan klien dari luar negeri. Sementara itu, menjelang sore hari, Wilson bersiap-siap untuk pergi melakukan survei tempat yang sudah ia incar sejak beberapa waktu lalu. Tempat itu akan menjadi awal dari kelancaran rencana bisnis barunya, sesuatu yang ia harap bisa menjadi pondasi masa depan yang lebih stabil untuk dirinya dan Juliet. Tujuannya untuk memberikan kehidupan yang layak bagi Juliet masih menjadi prioritasnya. Sebelum berangkat, Wilson sempat menengok ke kamar, memastikan Juliet tertidur dengan nyaman. Ia mendekat, mengecup kening Juliet dengan lembut, lalu berbis
Setibanya di rumah, Wilson segera disambut oleh Juliet yang berlari kecil ke arahnya dengan senyum yang lebar. Senyum yang sederhana itu, entah mengapa, mampu menenangkan seluruh kelelahan dan kemarahan dalam diri Wilson. Wajah Juliet yang berseri-seri tampak begitu cantik di matanya, membuat Wilson tidak bisa menahan diri untuk langsung menarik Juliet ke dalam pelukannya, mengecup puncak kepalanya beberapa kali dengan penuh sayang kasih. Juliet pun bertanya, “Bagaimana? Apa polisi bisa membantu kita?” Wilson menghela napas pelan, mencoba mengatur ekspresinya agar tetap terlihat tenang. Ia tersenyum tipis lalu mengangguk. “Polisi bilang kalau mereka akan bergerak cepat. Katanya akan segera mencari tahu siapa pelakunya,” jawabnya. Juliet mengangguk lega, meski masih menyimpan sedikit kecemasan di wajahnya. Ia mempercayai setiap kata Wilson tanpa adanya' perasaan curiga sedikit pun. Wilson menatap Juliet dalam-dalam. Ia tahu bahwa apa yang baru saja ia katakan bukan sepenuhnya
“Apa sebenarnya maksud anda?” Wilson mengepalkan tangannya dengan kesal ketika mendengar pernyataan dari pihak kepolisian yang membuat darahnya mendidih. Salah satu petugas dengan nada datar mengatakan bahwa laporan tersebut belum bisa diproses karena: “Apa lagi? Kurangnya bukti konkret, seperti rekaman CCTV atau saksi mata yang jelas. Tidak adanya kerusakan atau luka fisik serius, sehingga dianggap belum memenuhi unsur tindak pidana berat. Tidak bisa dipastikan motif pribadi atau murni tindakan iseng, karena belum ada bukti yang mengarah ke pelaku tertentu.” Wilson tersenyum dengan ekspresi kesal. “Belum ada ancaman tertulis atau verbal langsung kepada korban, sehingga kasus ini dianggap belum memiliki dasar kuat untuk diselidiki lebih dalam juga.” Mendengar semua alasan itu, Wilson semakin menatap petugas dengan pandangan tajam. Ia merasa seperti dihentikan oleh tembok tak kasat mata yang penuh kepentingan. Padahal, yang ia inginkan hanyalah keadilan dan rasa aman bagi Ju
Malam itu selesai makan, Wilson dan Juliet duduk di teras rumah. Awalnya, suasana tenang tapi tiba-tiba saja mendadak berubah mencekam. Wilson dan Juliet yang tengah duduk berdampingan, menikmati semilir angin malam sambil saling menggenggam tangan dan berbincang ringan mengenai rencana esok hari, tiba-tiba dikejutkan oleh sebuah batu yang melesat cepat ke arah mereka. “Awas, Juliet!” Prang!!! Refleks, Wilson menarik tubuh Juliet ke pelukannya, melindungi wanita itu dari hantaman benda asing yang nyaris mengenainya. Batu itu akhirnya menghantam kaca rumah di belakang mereka hingga pecah berderai, menciptakan suara keras yang memecah ketenangan malam itu. Juliet terkejut dan memegang lengan Wilson erat-erat. Napasnya memburu karena syok. “Kau tidak apa-apa? Apa batu itu sempat mengenai mu?” tanyanya dengan ekspresi yang mulai terlihat panik. Juliet menggelengkan kepalanya. “Tidak... aku cuma terkejut saja.” Wilson segera menoleh ke arah luar pagar, mencoba mencari tahu siapa
Juliet duduk di depan laptopnya dengan dahi yang mengerut. Berkali-kali ia mengklik “kirim lamaran”, dan berkali-kali pula notifikasi penolakan masuk bahkan sebelum ia sempat menutup tab lamaran terakhirnya. Waktu penolakan itu terlalu cepat, tidak mungkin mereka membaca CV atau surat lamaran yang sudah dia siapkan dengan bersungguh-sungguh. Beberapa penolakan bahkan memberikan alasan yang tidak masuk akal, seperti “posisi sudah tidak tersedia lagi” padahal lowongan baru saja diunggah, atau “tidak memenuhi kualifikasi” meskipun Juliet sangat sesuai dengan syarat yang telah ditentukan. Perasaan tidak nyaman mulai menyelimuti pikirannya. Juliet menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan gelisah yang muncul. Ia merasa seolah ada sesuatu yang lebih besar yang menghalangi langkahnya, tapi ia belum tahu apa itu. “Apa ini kebetulan? Atau memang ada yang salah dengan CV lamaran kerja ku?” gumamnya pelan. Juliet menghela napas panjang, mulai mempertimbangkan kemungkinan terburuk, bahwa
Juliet mengerutkan kening. “Apa kau yakin bisa menghadapinya?” Wilson mengangguk dengan penuh keyakinan. “Dulu aku sempat percaya bahwa untuk bertahan aku harus mengikuti aturannya. Tapi sekarang aku tahu, kekuatan yang sebenarnya bukan datang dari apa yang dia berikan, tapi dari apa yang bisa aku bangun sendiri. Dan bersamamu, aku merasa lebih dari cukup untuk memulainya dari awal. Ingat ya, dari awal, bukan dari nol.” Wilson menutup laptopnya dan meraih tangan Juliet. “Aku tidak takut kehilangan kekayaan. Yang aku takutkan hanyalah kehilanganmu. Kedengarannya seperti buaya darat, tapi aku sungguh mengatakan yang sebenarnya.” Juliet terdiam, lalu tersenyum. Di balik segala konflik dan tekanan dari luar, ia tahu bahwa kekuatan terbesar Wilson bukan pada posisinya di perusahaan ayahnya, tapi pada keberaniannya untuk memilih jalan sendiri meskipun dia sadar benar pasti akan menemukan kesulitan. Juliet menghela napas. Ia menepuk punggung tangan Wilson. “Aku percaya padamu. Hanya
Pagi itu, cahaya matahari yang lembut masuk melalui celah tirai, menghangatkan kamar dan perlahan membangunkan Wilson dari tidurnya. Ia membuka matanya perlahan, lalu segera menoleh ke samping. Di sana, Juliet masih terlelap dengan posisi tubuh sedikit meringkuk. Wajahnya tampak begitu damai dan polos, tanpa sedikit pun riasan. Bahkan, Wilson merasa Juliet terlihat lebih muda dari biasanya, senyum kecil tergambar di sudut bibirnya yang alami berwarna kemerahan itu. Wilson tersenyum hangat, lalu mengangkat tubuhnya sedikit untuk bisa lebih dekat memandangi wajah wanita yang kini menjadi istrinya. Detik berikutnya, Juliet menggeliat pelan dan membuka matanya, langsung bertemu dengan tatapan lembut Wilson yang begitu menyelami pemikirannya. Ia tersentak sedikit dan spontan menutup wajahnya dengan selimut, pipinya memerah karena malu. Sejak pernikahan mereka kemarin, rasanya ia tidak siap jika harus bangun tidur dengan situasi seperti sekarang ini. “Hei, istriku... selamat pagi,”