Malam turun pelan-pelan, membungkus kota kecil itu dalam keheningan. Di dalam kamar apartemen sederhana itu, hanya terdengar suara napas pelan Nathan dan Nathania yang telah terlelap di ujung ruangan kamar.
Juliet duduk di tepi ranjang, merapikan selimut dengan jemarinya yang gugup. Wilson, berdiri di dekat jendela, menatap langit gelap tanpa berkata sepatah kata pun. Canggung. Sunyi. Meski mereka masih suami-istri secara hukum dan hati, jarak waktu dan rasa asing di antara mereka begitu nyata dirasakan setelah bertemu kembali. Juliet menarik napas dalam-dalam. “Kau bisa tidur di sebelah sana. Kau pasti tidak nyaman, kan?” ujarnya pelan, menunjuk sisi ranjang. Wilson menoleh perlahan, mengangguk. “Baiklah. Terima kasih.” Ia berjalan pelan, duduk di sisi yang dimaksud, lalu menghela napas sambil menatap lantai kosong. Keheningan kembali turun. Mereka hanya bisa mendengar detik jKafe kecil itu tidak terlalu ramai sore ini, tapi tetap terasa hangat dan hidup. Bangunannya bergaya minimalis dengan dominasi warna kayu alami, aroma kopi segar menyambut setiap tamu yang masuk atau bahkan sekedar lewat. Wilson berdiri di balik meja bar, memperhatikan setiap sudut ruang dengan detail. Beberapa karyawan menyapa dengan sopan. Wilson membalas mereka dengan anggukan dan senyum ringan. Meskipun ini bukan pertama kalinya dia datang sejak beberapa pekan, tetap saja, suasana di sini terasa seperti miliknya sendiri, rumah yang lain. Ia memeriksa laporan keuangan dari tablet, memperhatikan stok bahan baku, bahkan ikut memeriksa suhu pendingin penyimpanan bahan makanan. Ketika dia mulai merasa semuanya aman, ponselnya justru bergetar di saku. ‘Ibu.’ Wilson memandang layar itu beberapa detik. Wajah ibunya seakan terpantul dari huruf-huruf kecil di layar ponsel, wajah seorang wanita ambisius yang terlalu sering membenarkan luka demi pencapaian pribadinya. Tangan Wi
Pagi itu, sinar matahari masuk lembut melalui celah tirai ruang makan apartemen. Juliet baru saja merapikan peralatan makan setelah sarapan sederhana mereka berempat. Wilson, yang masih sedikit berantakan rambutnya, tampak sibuk menggendong Nathania yang sejak tadi terus saja rewel. “Tumbuh gigi saja menyiksa mu. Rasanya aku jadi tidak rela kau tumbuh gigi. Tapi, kalau tidak ada gigi...” gumam Wilson lembut, mencoba menenangkan gadis kecil itu sambil mengayunkan pelan tubuh Nathania dalam pelukannya. Juliet menoleh sambil menahan tawanya, menyandarkan tubuhnya pada meja dapur sambil memandang ke arah mereka berdua. Ada senyum halus yang terukir di wajahnya, senyum yang tidak dipaksakan. Nathan, yang duduk di karpet bermain tidak jauh dari sana, sibuk dengan balok mainannya, kadang melirik ke arah Ayah dan saudara kembarnya dengan rasa ingin tahu. Meskipun gerak-gerik Wilson masih agak canggung, terlihat jelas bahwa dia benar-benar berusaha. Sesekali dia mencium ubun-ubun
Pagi itu, sinar matahari masuk lembut melalui celah tirai ruang makan apartemen. Juliet baru saja merapikan peralatan makan setelah sarapan sederhana mereka berempat. Wilson, yang masih sedikit berantakan rambutnya, tampak sibuk menggendong Nathania yang sejak tadi terus saja rewel. “Tumbuh gigi saja menyiksa mu. Rasanya aku jadi tidak rela kau tumbuh gigi. Tapi, kalau tidak ada gigi...” gumam Wilson lembut, mencoba menenangkan gadis kecil itu sambil mengayunkan pelan tubuh Nathania dalam pelukannya. Juliet menoleh sambil menahan tawanya, menyandarkan tubuhnya pada meja dapur sambil memandang ke arah mereka berdua. Ada senyum halus yang terukir di wajahnya, senyum yang tidak dipaksakan. Nathan, yang duduk di karpet bermain tidak jauh dari sana, sibuk dengan balok mainannya, kadang melirik ke arah Ayah dan saudara kembarnya dengan rasa ingin tahu. Meskipun gerak-gerik Wilson masih agak canggung, terlihat jelas b
Udara malam terasa dingin di balkon apartemen yang begitu sunyi. Wilson terbangun karena ponselnya bergetar terus. Ia menoleh ke samping, memastikan Juliet masih tertidur dengan tenang, lalu bangkit perlahan dan keluar dari kamar, menyusuri lorong hingga ke balkon untuk menjawab panggilan telepon itu. “Halo, Rafael… Ada apa menelepon ku selarut ini?” tanya Wilson dengan suara serak dan menahan kantuk. Di ujung sana, suara Rafael terdengar tegang, cepat, dan penuh beban. “Aku tidak bisa menundanya lagi, Wilson. Aku tahu siapa dalang di balik kecelakaanmu dulu…” Wilson seketika terdiam. Napasnya tercekat. Jantungnya berdetak lebih cepat. Rasa kantuknya menghilang entah ke mana. “Katakan… siapa orangnya?” “Luis.” jawab Rafael singkat. “Tuan Luis. Ayah kandungmu sendiri.” Wilson memejamkan mata. Dunia terasa berputar sesaat. Tangannya mencengkeram pinggiran balkon begitu kuat, seolah ingin memastikan dirinya masih berdiri dengan tegak. “Tidak… Kau benar-benar yakin?”
Ruangan itu sunyi. Hanya suara detak jam yang terdengar, berdentang pelan di dinding ruang tamu yang mewah namun terasa menekan penuh emosi, dan dingin. Wilson masih berdiri tegak di hadapan kedua orang tuanya. Tatapannya tidak gentar, wajahnya tegas dan penuh peringatan. Menepis tangan Ayahnya, dia enggan bersentuhan terlalu lama. “Aku akan mengatakan ini satu kali lagi saja,” ujar Wilson pelan, namun tegas, suaranya tajam bagai pisau. “Jika kalian masih terus mencampuri hidupku, masih berani mendekati orang-orang terdekat ku, jangan salahkan aku yang tidak peduli hubungan darah diantara kita.” Wilson mengepalkan tinjunya, nadanya yang makin meninggi, “Aku benar-benar tidak peduli siapa kalian. Aku akan melawan. Aku bahkan tidak ragu untuk menghancurkan kalian, ayah dan ibu kandungku sendiri jika itu satu-satunya cara untuk melindungi diri dan orang-orang terdekat ku.”
Keesokan harinya, berita kepulangan Juliet dan anak-anaknya masih belum tersebar. Namun Wilson tahu, waktu itu akan segera datang. Ia pun mulai menyusun langkah demi langkah yang tepat dan pasti. Mengurus legalitas ulang pernikahannya dengan Juliet. Mengumumkan pengunduran diri secara resmi dari proyek bisnis keluarga. Mempersiapkan segala dokumen untuk melindungi Juliet dari tekanan hukum dan sosial yang akan terjadi. Terlalu cepat, tapi keputusan Wilson sudah tidak bisa dibantah lagi. Di rumah keluarga Wilson, sang ibu mulai mencurigai sesuatu. Ia mendengar kabar dari orang kepercayaannya bahwa Wilson sebenarnya sedang tidak menghadiri undangan bisnis, ataupun tinggal di rumah keluarga, dan ada beberapa transaksi properti yang dilakukan diam-diam. Namun, transaksi itu sangat rumit untuk dipecahkan. “Pasti ada yang disembunyikan anak itu,” gumam ibunya dengan nada dingin. **** Sore itu, Wilson sedang duduk di balkon apartemen sederhana tempat tinggal barunya be