Juliet mengernyitkan kening kala merasakan pandangannya kabur.
Belum lagi, kepalanya sakit, seperti dihantam palu baja berulang kali. Wanita bermata almond itu mengerjap beberapa kali–mencoba mengumpulkan kesadarannya, hingga ia tersadar bahwa ruangan tempatnya ini sangatlah asing. “Aku ada di mana…?” bisiknya, hampir tak terdengar. Ingatan Juliet benar-benar terputus setelah meminum wine di Bar Starlight. Ya, semalam, Juliet sebenarnya berencana memberikan kejutan ulang tahun untuk kekasihnya. Sebuah jam mahal yang diinginkan pria itu telah dia persiapkan. Namun siapa sangka, Juliet justru menemukan pria itu berselingkuh dengan sahabat Juliet sendiri. Entah sejak kapan perselingkuhan diantara mereka terjadi. Semakin Juliet mengingat, semakin sesak dadanya. Patah hati dan marah, Juliet membalas dendam dengan mencampur lem perekat ke dalam pelumas yang mereka gunakan untuk saat berhubungan intim secara diam-diam. Tidak peduli apa yang akan terjadi dengan mereka, sakit dihatinya benar-benar tidak terbendung lagi. Juliet sempat mendengar mereka kesakitan, tapi tidak memuaskan rasa sakit hati Juliet. Wanita itu pun pergi dan minum ke Bar–sesuatu yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Tapi, mengapa bisa ia berakhir di sini? Sembari memikirkan semua, Juliet pun mencoba bangkit dari tempat tidur secara perlahan. Hanya saja … di detik berikutnya, wanita itu membeku kala selimut yang menutupi tubuhnya melorot perlahan. Tidak ada sehelai benang pun yang menutupi tubuhnya dan ada begitu banyak bercak di dada dan pahanya! Deg! Jantungnya seperti ingin loncat keluar. Ia pun menutup mulutnya dengan perasaan tak percaya. Ternyata, dia benar-benar bisa segila itu semalam. Dengan perasaan takut dan waspada, Juliet lantas menoleh perlahan ke sisi ranjang, mencoba melihat siapa yang berada di sebelahnya. Hah? Dan apa yang dilihat Juliet, membuat tubuhnya terasa lumpuh. Seorang pria tidur di sampingnya dan dia adalah …. Wilson Andrean, CEO baru di tempat Arga, kekasih pengkhianatnya itu, bekerja! “Ya ampun...” bisiknya. Meski baru menjabat, tetapi Arga tak hentinya mengeluhkan Wilson yang sangatlah dingin, ambisius, dan tidak manusiawi. Hal itu membuat Juliet yang beberapa kali mampir untuk mengantar makan siang Arga menjadi segan saat tak sengaja berpapasan dengan Wilson. “Astaga…” ngeri Juliet yang lantas menatap wajah Wilson yang masih terlelap. Tubuh kekar pria itu terekspos saat sebagian selimut terangkat, membuktikan bahwa ini nyata bukan mimpi buruk. “Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan?” panik Juliet, hingga tanpa sadar mengeluarkan suara pelan. Sayangnya, itu justru membuat Wilson mengerang pelan dan membuka matanya dengan malas. Ketika pandangan mereka bertemu, Juliet merasa darahnya berhenti mengalir. Wilson tiba-tiba menatapnya dengan tatapan tajam. “Bukankah kau kekasih Arga, manajer personalia di perusahaan ku?” Deg! Juliet tidak bisa berkata apa-apa. Jangan-jangan, dia yang menyerang Wilson? Wajahnya memanas karena malu, takut, dan bingung. Ditariknya selimut lebih erat, mencoba menutupi dirinya. “P–Pak CEO, ampuni aku, ya? Apa yang… terjadi semalam, aku sepertinya kerasukan setan jelangkung karena minum wine kebanyakan,” ucap Juliet dengan suara gemetar. Wilson menghela napas. Namun tak lama kemudian, dia tersenyum sinis. “Benarkah? Jadi, bagaimana kau akan bertanggung jawab atas pelecehan yang kau lakukan padaku semalam?” Hah? “P–pelecehan apa? Yang akan ada bekasnya kan aku, bukan pak CEO! Eh....” Wanita itu sontak menutup mulutnya, terkejut sendiri oleh ucapannya. Belum lagi, dia dapat melihat Wilson Andrean menatapnya tajam!Setelah penantian panjang yang disertai dengan doa, kekhawatiran, dan rasa cinta yang begitu besar, akhirnya hari yang dinantikan tiba juga. Pagi itu, Juliet mulai merasakan kontraksi yang semakin intens. Wilson, yang sudah siaga sejak semalam, langsung membawa Juliet ke rumah sakit ditemani oleh Karina dan Chaterine yang terlihat jauh lebih tegang daripada biasanya. Di ruang bersalin, waktu seakan melambat. Namun setelah beberapa jam yang menegangkan, tangisan pertama bayi perempuan itu terdengar memenuhi ruangan, nyaring, kuat, dan membelah kesunyian dengan begitu menggetarkan hati. Juliet menangis. Wilson, yang menggenggam tangan istrinya erat-erat selama proses persalinan, langsung mencium kening Juliet penuh haru. Dokter menyampaikan bahwa bayi mereka lahir dengan sehat dan sempurna. Juliet juga dalam kondisi baik, tidak ada komplikasi. Perasaan lega langsung menyelimuti semua orang. “Selamat ya, Tuan dan Nyonya. Putri Anda cantik sekali,” ujar perawat sambil menggendong bay
Suatu sore yang mendung, Laura dan Thom duduk di sebuah kafe kecil yang sepi di sudut kota. Suasananya tenang, hanya terdengar rintik hujan yang turun perlahan di luar jendela. Thom terlihat santai, memutar gelas kopinya, sementara Laura tampak gugup, matanya sesekali menatap keluar, lalu menatap Thom lagi. “Thom…” ucap Laura pelan. Thom menoleh cepat, memperhatikan nada suara Laura yang terdengar lebih berat dari biasanya. “Kenapa, Laura?”“Ada yang mau aku ceritakan. Tentang aku, masa laluku… dan siapa aku yang sebenarnya.” Thom mengangguk tenang, memberi ruang tanpa memotong pembicaraan Laura. Laura menarik napas panjang. Lalu, ia mulai bercerita. “Aku bukan pegawai kantor biasa. Aku… anak dari keluarga yang cukup berada. Ayahku seorang pebisnis yang cukup besar, punya koneksi di mana-mana. Selama ini aku menyembunyikannya karena aku ingin mengenalmu sebagai diriku sendiri. Bukan sebagai orang yang semua
Hari-hari setelah kabar kehamilan Juliet tersebar, suasana rumah berubah hangat dan penuh perhatian. Tidak hanya dari Wilson yang nyaris tidak pernah meninggalkan sisi istrinya di luar pekerjaannya, tapi juga dari seluruh keluarga besar mereka. Chaterine dan Luis sering datang ke rumah membawa makanan bergizi buatan sendiri. Chaterine bahkan rajin mengecek jadwal makan Juliet, memastikan calon cucu ketiganya tumbuh sehat sejak dalam kandungan. Padahal wanita itu juga sedang sibuk dengan bayinya sendiri. “Kau harus makan teratur, Janetta. Jangan terlalu kelelahan,” kata Chaterine sambil menata sup ayam hangat di meja makan. Juliet tersenyum lembut. “Terima kasih, Ibu mertua... aku benar-benar merasa dimanjakan sejak hamil.” Veronica, yang dulu sempat jauh, kini menjadi sosok ibu yang sangat perhatian. Ia rajin menyarankan ramuan herbal sehat dan sesekali menemani Juliet ke dokter saat Wilson tak bisa. “Waktu Ibu ha
Wilson menginjak pedal gas sedalam mungkin. Suara deru mobil menggema di telinganya, tapi pikirannya hanya dipenuhi satu hal, hanya Juliet. Panggilan telepon dari pelayan rumah masih terngiang di benaknya. “Tuan… Nyonya Juliet pingsan… dia belum sadar sejak tadi. Kami sudah membawanya ke rumah sakit supaya mendapatkan perawatan yang lebih intensif…” Dalam kepanikan, Wilson sempat kehilangan kendali. Mobilnya menabrak pembatas jalan hingga bagian depan penyok, dan darah mengalir dari pelipis kirinya. Tapi dia tidak berhenti. Dengan napas terengah dan tangan gemetar, dia tetap membawa mobilnya hingga sampai di parkiran rumah sakit. Tanpa pikir panjang, dia keluar dan berlari dengan darah masih mengalir di sisi wajahnya. Beberapa orang memperhatikan, beberapa suster bahkan menghampirinya, tapi Wilson hanya mengucap, “Aku baik-baik saja! Istri ku… di mana istriku sekarang?” Sesampainya di depan ruang IGD, matanya mencari-ca
Tangis haru memenuhi ruangan bersalin saat suara tangisan bayi yang nyaring terdengar untuk pertama kalinya. Karina menoleh lemah ke arah Reiner yang menggenggam tangannya erat, dan pria itu tidak bisa menahan air mata saat dokter mengangkat bayi kecil mereka, seorang bayi perempuan mungil yang sehat dan sempurna. Reiner mencium kening Karina sambil terisak, “Terima kasih… terima kasih banyak, Sayang. Semua berkat mu, kau luar biasa hebat, Sayang.” Karina pun menangis pelan, bukan karena sakit lagi, melainkan karena rasa syukur yang luar biasa. “Kita jadi orang tua, Reiner… Dia cantik sekali…” Tak lama kemudian, Veronica dan Juliet yang menunggu di luar langsung bergegas masuk setelah diizinkan. Begitu melihat bayi kecil itu dalam pelukan Karina, Veronica langsung menutup mulutnya, menahan tangis haru. Juliet tidak mampu berkata-kata, hanya air matanya yang jatuh melihat keajaiban hidup yang lahir dari k
Saat Wilson tiba di rumah, suasana terasa hangat seperti biasa. Nathan dan Nathania berlari kecil menyambut ayah mereka, dan Juliet, seperti biasa, menyambut Wilson dengan senyum yang lembut. Tidak ada yang aneh, tidak ada yang berubah dari sikap Juliet, setidaknya secara lahiriah untuk saat itu. Namun, setelah makan malam dan anak-anak tidur, Juliet pergi ke kamar untuk membereskan koper Wilson. Dengan tangan terampil dan hati yang biasa tenang, dia mengeluarkan satu per satu pakaian suaminya. Tapi saat dia mengangkat salah satu kemeja putih Wilson, pandangannya langsung tertahan pada satu sisi. Ada noda samar berwarna merah muda di bagian kerah kemeja Wilson. Juliet mematung sejenak. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Ia mendekatkan kain itu ke wajahnya, mengamatinya lebih teliti, dan jelas, itu adalah noda lipstik. Tidak mungkin Wilson menggunakan lipstik. Sejauh ini, Wilson hanya menggunakan lip balm saja. Alis Juliet mengern