Setelah menguatkan diri, Juliet perlahan membuka pintu kamarnya. Aroma harum roti panggang dan kopi menyambutnya, membuat perutnya yang kosong langsung berbunyi pelan.
“Wah, aku kira Pak Wilson memasak bubur,” pikir Juliet. Di dapur, Wilson tengah sibuk membalik roti di atas wajan. Ia mengenakan kaus santai berwarna abu-abu dan celana training gelap, terlihat begitu berbeda dari sosoknya yang biasanya rapi dengan setelan jas. Meskipun sudah beberapa kali melihatnya, rasanya Juliet masih belum terbiasa.Yah... Memang benar Wilson itu ketampannya akan bertambah berkali lipat saat menggunakan pakaiannya santai. Juliet berdiri sejenak di ambang pintu, merasa canggung harus bertemu dengan Wilson setelah apa yang terjadi semalam. Ia memainkan ujung lengan bajunya, ragu untuk melangkah masuk. Wilson akhirnya menoleh dan tersenyum kecil. “Kau sudah bangun? Bagaimana perasaanmu? Apa sudah membaik?” tanyanya sambil menuangkan kopi ke dalam caWilson duduk di depan laptopnya, jari-jarinya bergerak lincah di atas keyboard. Dengan penuh kehati-hatian, ia membuat sebuah akun email baru, tanpa ada embel-embel nama yang bersangkutan dengannya, tanpa jejak, dan menggunakan identitas samaran berbahasa asing. Ia tahu, jika Juliet benar-benar berada di balik perusahaan online itu, maka ia pasti sangat berhati-hati dan akan langsung menolak segala bentuk komunikasi yang mencurigakan. Setelah memastikan semuanya aman, Wilson mulai menyusun pesan. ‘Halo tim kreatif, saya tertarik untuk menggunakan jasa desain dari perusahaan Anda. Saya sedang mempersiapkan identitas merek untuk sebuah produk internasional dan membutuhkan dukungan visual branding yang profesional. Mohon informasinya mengenai alur kerja serta ketersediaan tim Anda.’ Pesan itu dikirim dengan nada profesional, seolah benar-benar klien asing yang ingin bekerja sama. Wilson sengaja tidak menggunakan gaya bahasa yang biasa ia pakai. Ia menyandarkan tubuhnya ke kurs
Larisa baru saja mengganti pakaian kerjanya. Sore itu, setelah seharian bekerja, ia duduk di lantai ruang tamu sambil mengawasi Nathan dan Nathania yang sedang bermain dengan tumpukan balok warna-warni. Tawa kecil mereka membuat kelelahan Larisa sedikit mereda. “Ah, kalau mereka ruang seperti ini, lelah kerja seharian juga sudah langsung hilang.” Ia mengambil ponselnya, sekadar untuk membuka berita, dan saat itu pula matanya terpaku pada salah satu tajuk utama. "Pernikahan Wilson dan Karina Dibatalkan Mendadak Tamu Panik, Keluarga Hanya Terdiam.” Larisa membeku. Matanya tidak berkedip menatap layar. Ia mengetuk judul berita itu dengan jari gemetar, lalu mulai membaca dengan lebih teliti lagi. Disebutkan bahwa Wilson tiba-tiba jatuh sakit saat hendak mengucapkan janji pernikahan, bahkan sampai pingsan di depan altar. Acara yang seharusnya sakral itu berubah menjadi kepanikan yang luar biasa. Larisa menelan ludahnya. Jemarinya menggenggam erat ponsel, dan dadanya terasa
“Sayang... kenapa kau begini?” Viana memandangi putrinya yang terhuyung di ambang pintu rumah, bau alkohol yang menyengat menyelimuti tubuh Karina begitu terendus. Dengan sigap, ia membantu Karina duduk di sofa, sementara tangis pilu gadis itu mulai pecah lagi. “Apa salahku, Bu… kenapa Wilson tidak pernah bisa melihat aku?” Karina menggumam dengan suara parau, matanya sembab, dan bibirnya bergetar. “Aku cantik... aku pintar... aku sudah sabar untuk tunggu dia bertahun-tahun. Tapi tetap... dia cuma mau Juliet saja!” Viana menghela napas panjang, menahan sesak di dadanya. Ia mengelus rambut Karina dengan lembut, tapi hatinya bagai diremukkan. Rasa kasihan pada Karina bercampur dengan kemarahan yang makin membakar. “Tenang, sayang. Semua akan Ibu atur. Wilson akan menyesal... dan dia akan kembali padamu. Walaupun dia tetap tidak mau bersamamu, Ibu pastikan tidak akan pernah ada wanita yang berani berada di sis
Sore itu, suasana di rumah keluarga Wijaya terasa sangat hening. Karina duduk di ruang tengah dengan tatapan kosong, menatap televisi yang menyala tanpa benar-benar memperhatikan apa yang sedang ditayangkan saat itu. Kedua tangannya bersilang di dada, sementara tubuhnya bersandar malas di sofa. Ia terlihat letih, bukan karena kelelahan fisik, melainkan karena beban hati yang tidak kunjung reda meskipun sudah berkali-kali dia mencobanya. Sudah beberapa bulan berlalu sejak pembatalan pernikahannya dengan Wilson. Namun luka itu belum juga mengering. Sejak kejadian itu, Karina menghabiskan hampir seluruh waktunya di kantor dan sisanya di rumah, menolak untuk bersosialisasi atau sekadar menikmati hidup dengan sedikit lebih sibuk. Ia menutup diri, seolah dunia telah berhenti berputar setelah Wilson memilih untuk tidak menikah dengannya. Namun, harapan untuk terus
Hari itu, suasana ruang kerja Wilson dipenuhi kesibukan. Tumpukan laporan harian memenuhi mejanya, sementara layar laptop menampilkan grafik perkembangan proyek. Wilson berusaha fokus, namun pikirannya terasa berat. Sejak beberapa minggu terakhir, bayang-bayang masa lalu terus menghantui malam-malamnya. Kini, saat siang menjelang sore, suara getar ponsel pun mengejutkannya. Nama Rafael terpampang di layar. Jantung Wilson berdetak kencang. Ia tahu, Rafael tidak akan menghubunginya jika tidak membawa kabar penting. Dengan cepat, Wilson menjawab panggilan itu. Belum sempat ia bertanya, Rafael sudah berbicara dengan nada serius namun tertahan, “Lihat pesan yang baru saja aku kirim. Kau perlu melihatnya sendiri. Sekarang.” Tanpa mematikan sambungan telepon, Wilson membuka kotak masuk pesannya. Sebuah pesan masuk, berisi satu foto. Begitu gambar itu terbuka, Wilson tercengang. Matanya melebar, napasnya mulai tercekat. Itu adalah foto dirinya, dengan tuksedo hitam elegan, berdi
Setelah berbulan-bulan terkungkung dalam tekanan dan kepura-puraan, Wilson mulai menyadari bahwa dia tidak bisa terus bergantung pada sistem yang selama ini memenjarakannya, terutama kendali yang dimiliki kedua orang tuanya atas hidupnya. Ia tahu benar, ketika suatu hari kebenaran akhirnya terungkap, tidak akan ada lagi tempat baginya di rumah ini. Oleh karena itu, dia harus bersiap mulai dari sekarang. Malam-malam dilaluinya dalam keheningan, bukan untuk beristirahat, melainkan memetakan jalan keluar untuk masalahnya. Wilson mulai menyusun rencana dengan penuh kehati-hatian. Ia membaca buku-buku bisnis, menonton video dan seminar daring secara diam-diam, dan mulai mencatat berbagai ide yang terlintas di benaknya. Ia tahu, ide saja tidak cukup. Maka, Wilson membuka rekening pribadi yang tidak diketahui siapa pun. Uang yang seharusnya ia habiskan untuk hal-hal yang tidak penting, ia simpan dan kelola. Ia mulai mencari rekan kerja potensial y