Di sisi lain, Juliet tengah meminta izin kepala divisinya untuk cuti.
Dia sebenarnya merasa tak enak, tapi dia harus melakukannya. Dari seberang, ia dapat mendengar Kepala Divisinya menghela napas. “Juliet, kau memiliki performa yang baik dalam pekerjaan. Tolong berhentilah terobsesi terhadap kekasihmu itu, kau akan rugi sendiri.” Juliet tersenyum pilu. Ternyata semua orang pun sudah bisa melihat dengan jelas. “Bu Kepala divisi, aku sudah sadar akan hal itu. Kali ini, cuti terakhirku untuk menyelesaikan semuanya.” Terdengar helaan napas dari seberang sebelum akhirnya atasan Juliet itu setuju. Begitu panggilan telepon berakhir, Juliet pun kembali fokus mengemudi. Dia menajamkan matanya sambil mencengkram kemudi mobil dengan erat. “Argan, semua yang aku berikan padamu, aku akan mengambilnya lagi! Lihat saja saat kau pulang kerja nanti. Semoga kau suka dengan hasil karyaku.” Tak lama, Juliet pun sampai di apartemen Argan dengan napas mulai sesak. Terlebih bayangan perselingkuhan yang dilakukan Argan dengan Rania kembali di pikirannya. Dia tak sekuat yang ia pikirkan. Namun, Juliet mencoba menahan perasaannya. “Sudahlah...” Dengan segera, ia menuju kamar Argan. Begitu masuk, matanya langsung menangkap sebuah bingkai foto yang masih terpajang di meja kecil dekat ranjang. Itu adalah foto dirinya dan Argan saat mereka berlibur bersama, saat kebahagiaan masih terasa nyata untuk Juliet. “Kenapa dia masih menyimpan foto itu?” ucapnya. Perlahan, Juliet meraih foto itu. Jemarinya menyusuri permukaan kaca bingkai, mengenang momen di mana mereka tersenyum, saling menatap penuh cinta. Tapi cinta seperti apa yang sebenarnya Argan berikan? Semua hanya kebohongan. Ketika Juliet hendak meletakkan kembali foto itu, sesuatu di belakang bingkai menarik perhatiannya. Dengan hati-hati, ia menariknya keluar. Foto Argan dan Rania. Seketika, tubuh Juliet membeku. “Jadi ini yang sebenarnya,” gumamnya pelan. Ia menggenggam foto itu lebih erat, menyadari satu hal yang seharusnya sudah ia sadari sejak lama. Argan bukan hanya seorang penghianat, ia adalah seorang penipu ulung yang lihai mempermainkan hati. Dan Juliet tidak akan membiarkan dirinya menjadi korban pria sialan itu lagi! Juliet menatap laptop dengan merek terkenal yang ia belikan untuk argan. Di sampingnya, ada beberapa barang lain yang dulu dengan penuh cinta ia hadiahkan kepada pria itu sampai mengorbankan makanan bergizi untuk tubuhnya. Sekarang, semua itu tak lebih dari pengingat pahit tentang kebodohannya. “Sudah waktunya mengambil semua barang-barang yang aku beli!” Tanpa ragu, ia mengumpulkan barang-barang itu dalam satu tas besar. Setelah semuanya terkemas, Juliet menarik napas dalam. Ia ingin sekali memporak-porandakan kamar Argan. Membalas dendam dengan cara yang lebih kasar! Namun, rasanya tak cukup puas jika hanya sampai di situ saja. Jadi, dia harus menahan diri. Setelah selesai, Juliet gegas keluar dari apartemen, membawa tas berisi barang-barang mahal itu. Sesampainya di mobil, Ia membuka ponselnya dan mulai menggulir percakapan lamanya dengan argan, percakapan tentang utang yang tak pernah dibayar oleh pria itu. Mulai dari 5 juta, 2 juta, lalu 10 juta dengan alasan ibunya sakit, 5 juta lagi dengan alasan orang tuanya terlilit hutang, 7 juta dengan alasan mengganti kerugian di kantor, 11 juta dengan alasan tabungan pernikahan, dan 10 juta terakhir dengan alasan membantu orang tuanya memperbaiki rumah. Juliet mengepalkan tangan. Betapa bodohnya dia! Segera wanita itu mengumpulkan semua bukti transfer yang pernah ia lakukan untuk Argan, mengarsipkan semuanya sebagai senjata balas dendamnya di kemudian hari. Setelah memastikan semua bukti sudah tersimpan rapi, Juliet pun memacu mobilnya menuju tempat pembelian barang bekas. Barang-barang itu masih dalam kondisi sangat baik, dan ia cukup yakin akan mendapatkan harga yang lumayan. Dan ternyata dugaannya benar. Bahkan setelah menjualnya, jumlah uang yang ia dapatkan jauh lebih besar. Hal itu membuat Juliet tersenyum puas. Setidaknya, ia berhasil mendapatkan kembali sebagian kecil dari apa yang telah Ia korbankan untuk pria itu. Menjelang sore, Juliet kembali ke rumah dan mencoba menghubungi Argan. Pembalasan selanjutnya pun dimulai. Dengan suara yang dibuat lemah dan sedikit isakan, ia berkata, “Argan... Aku benar-benar sedang butuh bantuanmu...” Di seberang sana, Argan terdengar terkejut. “Babe, kau kenapa?” “Aku butuh uang, sekitar 50 juta. Aku ada masalah, dan aku tidak tahu harus bagaimana lagi...” Juliet menarik napas seolah sedang menahan tangis. “Sebenarnya, Kepala divisi sudah mau meminjamkan aku uang, tapi aku harus menunggu sampai jam kantor selesai. Sedangkan aku butuh sekarang juga...” “50 juta?” Argan terdengar ragu. “Sebanyak itu sebenarnya untuk apa, Babe?”Pagi itu udara terasa lebih lembut dari biasanya, sinar matahari menembus jendela ruang keluarga dengan hangat. Wilson sudah rapi dengan setelan jasnya, koper kecil di tangan, siap berangkat ke luar kota untuk urusan bisnis. Di ruang tengah, Juliet tengah membantu Nathan dan Nathania menyantap sarapan mereka yang hampir selesai. Wilson mendekat, lalu membungkuk untuk mencium kening Juliet dengan penuh kasih sayang. “Aku harus pergi sekarang,” ucapnya lembut, matanya menatap Juliet sejenak, memastikan istrinya baik-baik saja. “Maaf ya, Sayang. Aku terpaksa meninggalkan mu dan anak-anak untuk dua hari ini.” Juliet mengangguk, meski tampak berat melepas kepergian suaminya. “Hati-hati, jangan lupa kabari kalau sudah sampai. Dan... jangan terlalu keras bekerja, ya.” Wilson tersenyum, lalu beralih pada si kembar. Nathan memeluk kaki ayahnya erat-erat, sedangkan Nathania mengangkat tanganny
Pagi itu toko roti milik Chaterine masih sepi. Aroma roti panggang dan kopi yang baru diseduh memenuhi ruangan, memberikan kehangatan yang nyaman. Chaterine tengah merapikan beberapa kue di etalase saat lonceng pintu berdenting pelan. Luis masuk dengan senyum santai dan tangan di saku celana, mengenakan jaket tipis dan celana kain rapi seperti biasa. “Aku membawakan kopi dari kedai langgananmu yang lama,” ucap Luis sambil mengangkat gelas kertas dan meletakkannya di meja kecil dekat kasir. Chaterine terkekeh ringan, “Rada kopi dari Kedai itu sudah tidak seenak dulu sebenarnya... tapi terima kasih. Tumben sekali pagi-pagi mampir kesini?” Luis duduk santai di bangku pelanggan. “Aku hanya ingin melihat mu sebelum hari ini jadi terlalu sibuk. Dan… sebenarnya, aku juga ada rencana.” Chaterine menoleh, matanya menyipit curiga. “Rencana? Apa lagi? Jangan bilang kau butuh bantuan riset soal bisnis makanan?” Luis tert
Mata Karina berkaca-kaca saat menatap dua garis merah muda yang muncul jelas di alat uji kehamilan di tangannya. Tangannya gemetar, tapi bibirnya tersenyum lebar, nyaris tak percaya. Napasnya sempat tercekat, dan dia menutup mulutnya sendiri dengan telapak tangan sambil tertawa kecil penuh syukur. “Reiner…” bisiknya pelan, lalu memanggil sedikit lebih keras, “Rein, sini sebentar!” Reiner yang baru saja keluar dari kamar mandi, masih mengeringkan rambutnya dengan handuk, langsung berjalan cepat ketika melihat ekspresi Karina yang berbeda dari biasanya. Saat Karina menyodorkan alat itu padanya, Reiner sempat mengerutkan kening bingung, lalu dalam beberapa detik, wajahnya berubah total. “K-Kita hamil?!” serunya nyaris tak percaya. Karina mengangguk pelan, dan Reiner langsung memeluknya erat, mengangkat tubuh Karina sedikit dan memutarnya penuh tawa. “Ya ampun, kita hamil! Akan punya anak!” Karina terkekeh. “Aku. Aku yan
Hubungan yang dulu retak kini telah menyatu kembali meski prosesnya perlahan, tapi semuanya kini terasa lebih nyata. Setelah pesta ulang tahun Nathan dan Nathania yang kedua, tidak hanya hubungan Juliet dengan Veronica membaik, tetapi juga dinamika seluruh keluarga mulai berubah menjadi lebih hangat dan mendukung. Karina kini menjadi penghubung yang kuat di antara Juliet dan Veronica. Dia selalu memastikan bahwa ibunya tidak terlalu mendesak dan Juliet tidak merasa tertekan oleh hal itu. Karina lebih dewasa, lebih tenang, dan mengisi peran sebagai kakak dengan penuh tanggung jawab. Dia tidak lagi canggung merangkul Juliet atau memuji adiknya di depan umum. Veronica pun kini sepenuhnya berubah. Sikapnya lembut, tutur katanya penuh pengertian. Dia sering datang bersama Karina, bukan hanya untuk menemui Nathan dan Nathania, tetapi juga untuk sekadar membantu Juliet di dapur atau menemaninya menata bunga. Hal-hal kecil yang dulu terasa mustahil, kini menj
Hari itu rumah Wilson dan Juliet dihias penuh warna ceria, balon pastel, pita warna-warni, dan spanduk besar bertuliskan “Happy 2nd Birthday Nathan & Nathania” terpasang tepat di taman belakang. Aroma manis kue ulang tahun memenuhi udara, bercampur tawa anak-anak yang sudah mulai berdatangan bersama orang tuanya. Juliet sibuk membantu para pengasuh menyiapkan makanan kecil, sementara Wilson menyambut para tamu dengan senyum hangat. Nathan dan Nathania mengenakan pakaian kembar, kaus putih dengan celana dungaree, lengkap dengan topi ulang tahun di kepala. Mereka tampak menggemaskan saat tertawa-tawa mengejar balon di halaman. Lalu… sebuah mobil hitam berhenti di depan rumah. Karina keluar lebih dulu, mengenakan gaun pastel lembut. Di belakangnya, perlahan… Veronica turun dari mobil. Ia mengenakan pakaian yang sederhana, tanpa perhiasan mencolok. Wajahnya terlihat tegang, tapi dia berusaha tersenyum. Di tangannya, ada dua kotak kado untuk Nathan dan Na
Malam itu terasa sunyi meski di dalam rumah ada beberapa orang. Veronica duduk di ruang tamu dengan tangan yang terus gemetar meskipun ia berusaha menyembunyikannya. Di sampingnya, Karina sesekali menatap sang ibu, memberi isyarat tenang, bahwa ia ada di situ, terus menemani. Juliet duduk di seberang. Wajahnya datar, tidak dingin, tidak juga hangat. Mencoba hanya untuk mendengarkan. Veronica membuka mulut berkali-kali, tetapi selalu tertahan. Dadanya sesak. Lidahnya kelu. Bahkan untuk mengatakan “maaf”, rasanya tidak cukup. Karena dia tahu, yang dirusaknya bukan hanya kenangan masa kecil Juliet, tapi juga kepercayaan, dan arti keluarga. Akhirnya, setelah hening yang sangat panjang, suara Veronica pecah pelan. “Ibu… tidak tahu harus mulai dari mana…” Juliet tetap diam, hanya menatapnya. Veronica menunduk, kedua tangannya mengepal di atas pangkuan. “Ibu menyesal…” bisiknya. “Sangat menyesal. Ibu ta