Share

Bab 6 : Bocah 5 Tahun

Author: Nadira Dewy
last update Last Updated: 2025-03-27 12:52:29

Juliet menggigit bibirnya, menahan tawa kecil yang hampir lolos. “Aku harus bayar uang sekolah adikku dan beberapa tunggakannya. Aku janji akan mengembalikan uangnya saat Kepala Divisi transfer nanti.”

Argan terdiam cukup lama. Juliet bisa membayangkan pria itu sedang berpikir keras.

“Argan, kumohon...” Juliet berbisik pelan, memaksimalkan kesan putus asa.

“Ah, baiklah. tapi, janji untuk transfer aku setelah Kepala divisi mengirimkan uang padamu, ya?” ucap Argan dan suaranya terdengar masih tidak rela.

“Iya.”

Dan beberapa detik kemudian, 50 juta itu pun sampai di account bank Juliet!

Melihat itu, Juliet pun tertawa terbahak-bahak.

“Bagus! Argan, kau selalu berjanji akan mengembalikan setiap uang yang pinjam dariku. Kurang lebih, seperti itulah caramu meminjam uang dariku selama ini. Jadi... cobalah rasakan bagaimana rasanya menikmati janji palsu,” ucap Juliet.

Dia pernah berpikir bahwa hidupnya pasti akan hancur lebur dan berantakan jika tidak bersama dengan argan lagi.

Ternyata tidak juga.

Dia merasa lebih lega.

“Hem... Untung saja aku selalu menolak saat dia ingin mengajakku melakukan hubungan intim,” gumamnya.

Dulu, Juliet sangat ketakutan karena orang tuanya selalu berkata bahwa malam pertama itu sangat menyakitkan, biasanya orang akan berteriak. Jadi, kalau sudah pasangan suami istri orang lain tidak akan peduli.

Ah, tapi kan juga sudah melakukannya dengan Wilson! Bahkan Juliet baik-baik saja meskipun memang ada perasaan tidak nyaman di bagian bawah sana.

Ting!

Seolah tahu sedang dipikirkan, sebuah pesan tiba-tiba masuk dari Wilson.

‘Jangan lupa tentang nanti malam.’

Deg!

Juliet menggigit bibir bawahnya. Meski hanya lewat chat, tetap terasa ngeri.

“Apa aku berpura-pura amnesia saja?”

Jelas tidak bisa menghindari Wilson, ia terpaksa menemui pria itu.

Malam harinya, di sebuah kafe yang berada tidak jauh dari tempat Juliet tinggal.

Juliet duduk berhadapan dengan Wilson.

Pria itu menatapnya tanpa ekspresi, sorot matanya tajam dan menusuk, membuat Juliet merasa seperti seekor mangsa di hadapan pemangsa yang menakutkan.

Ruangan itu terasa begitu sunyi. Padahal, ada pengunjung lain juga di sana.

Juliet meremas jemarinya sendiri di pangkuan, mencoba menahan kegelisahan yang terus menghantui pikirannya. Ia tidak tahu pembahasan menakutkan apa yang akan mereka bahas sehingga harus datang ke sini, tapi sejak awal ia sudah merasakan firasat buruk.

Ingin tenggelam saja rasanya.

Wilson akhirnya mulai membuka suara, suaranya dingin dan dalam.

“Bagaimana perasaanmu setelah melecehkan seorang pria?”

Juliet sontak menegang. Matanya membelalak, dadanya terasa sesak. “Pembahasannya hanya tentang itu lagi?” pikirnya.

“Apa maksud Anda, Pak CEO? Aku kan sudah minta maaf, apa masih tidak cukup?” suaranya bergetar, antara bingung dan marah.

Wilson menyandarkan tubuhnya ke kursi, tetap menatapnya dengan sorot tajam. “Jangan pikir harga diriku hanya sepadan dengan kata maaf saja.”

Juliet menggigit bibir bawahnya.

Sial!

Dia kesal.

Harga diri, katanya? Padahal, Juliet juga memiliki harga diri.

Namun, harga diri seorang Juliet sepertinya dianggap gaib oleh Wilson.

Melecehkan???

Tuduhan itu begitu brengsek, dan jelas tidak cocok jika diarahkan pada seorang gadis polos yang hanya ingin membalas dendam. Padahal, Juliet itu masih amat polos sebelumnya.

Dia merasa telah kehilangan banyak, dia di rusak. Tapi, kenapa dia tertekan seolah dia tersangkanya?

“Pak Wilson, aku tidak melakukan apa pun yang pantas disebut seperti itu,” Juliet akhirnya bersuara, mencoba mempertahankan ketenangannya. “Bukannya kalau orang dewasa melakukan itu adalah hal yang lumrah?”

Wilson terkekeh pelan, tapi nadanya penuh ancaman. “Benarkah? Tubuhmu memang dewasa, tapi otak mu seperti bocah 5 tahun yang bahkan gila sendiri karena cinta monyet. Jangan sok dewasa di hadapan ku.”

Juliet mengepalkan tangannya di bawah meja. Matanya menyiratkan perasaan sebal.

Bocah 5 tahun?

“Cih! Bocah 5 tahun mana yang bisa menghidupi pacarnya selama bertahun-tahun?” pikirnya.

Juliet menghela napasnya. Dia tidak bisa mengelak lagi. Wilson sepertinya membutuhkan lebih daripada hanya kata maaf.

“Baiklah... aku mengaku kalau aku salah kepada Pak Wilson. Jadi, Pak Wilson maunya bagaimana?” tanya Juliet pasrah.

Wilson tersenyum dingin. “Karena aku orang yang murah hati, maka aku suka permintaan maaf yang lebih mengesankan.”

Juliet mengerutkan keningnya. “Apa?” Ia mulai berpikir, lalu terperangah sendiri. Juliet langsung menyilangkan lengannya menutupi bagian dadanya. “Jangan bilang...”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Malam Panas dengan Atasan Mantan   Bab 215 : Kesempatan Kedua

    Sore itu, Wilson sedang berada di ruang tengah sambil menemani anak-anaknya bermain ketika Juliet menghampiri dengan membawa dua cangkir teh. Dia duduk di samping suaminya, lalu berkata pelan, “Aku tadi melihat Ayah mu di depan rumah Ibumu lagi.” Wilson diam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Aku tahu. Sudah beberapa kali juga. Kadang dia bantu bersih-bersih, kadang cuma duduk di teras, mengobrol sebentar dengan Ibu. Kadang juga membawa camilan.” Juliet memperhatikan wajah suaminya yang tampak tenang. “Kau tidak merasa khawatir?” Wilson menggeleng pelan. “Dulu aku mungkin akan marah. Tapi sekarang aku cuma ingin melihat mereka tenang, terutama Ibu. Setelah semua yang dia lewati, aku rasa dia pantas memilih sendiri, mau hidup dengan damai sendiri atau memaafkan Ayah dan memulai lagi dari awal.” Juliet menatap Wilson, lalu menggenggam tangannya. “Kau jadi sangat dewasa belakangan ini.” Wilson tersenyum pahit. “Aku cuma belajar dari

  • Malam Panas dengan Atasan Mantan   Bab 214 : Usaha Luis

    Luis tertunduk, matanya menatap lantai dengan pandangan kosong. Kata-kata Chaterine terasa seperti bilah tipis yang mengiris pelan-pelan, tidak membunuh, tapi menelanjangi penyesalan yang selama ini dia sembunyikan di balik gengsi dan egonya. Chaterine tersenyum tipis, senyum yang pahit, bukan karena benci, tapi karena luka yang terlalu lama dibiarkan membusuk. “Kesempatan untuk bersama lagi, Luis?” ucapnya pelan, hampir terdengar getir. “Itu hal paling bodoh yang pernah kudengar selama ini.” Luis mendongak pelan, sorot matanya mencari sedikit harapan yang tulus. “Dulu, kau sendiri yang bilang kau tidak pernah mencintaiku,” lanjut Chaterine. “Puluhan tahun aku mencoba tinggal di rumah itu, mencoba menjadi nyonya besar seperti yang semua orang harapkan… tapi kau selalu menunjukkan kebencianmu. Kau mendorong ku jauh-jauh. Kau membuat aku merasa kecil, tidak layak, dan tidak pernah cukup untuk bisa sedikit berharga di hadapan mu.” Dia menari

  • Malam Panas dengan Atasan Mantan   Bab 213 : Ketenangan yang Sesungguhnya

    Chaterine duduk diam di kursi tua dekat jendela, tempat yang akhir-akhir ini sering menjadi sudut favoritnya. Angin sore menyentuh lembut tirai tipis yang bergoyang perlahan. Matanya terpaku pada jalan di depan rumah, dan benar saja, sebuah mobil berhenti perlahan di sana. Mobil hitam itu sudah sangat familiar. Itu sudah pasti mobil Luis. Detik itu juga, dada Chaterine terasa berat. Tangannya yang menggenggam mug teh hangat gemetar pelan. Dia tidak bangkit. Dia hanya duduk diam, membiarkan mobil itu tetap di sana sementara pikirannya kembali ke masa lalu, puluhan tahun menikah, bertahan, berharap, meski berkali-kali hanya mendapat tatapan dingin dan kalimat penuh penekanan bahwa “aku tidak pernah mencintaimu.” Kini semuanya sudah berakhir. Pernikahan itu sudah bubar. Namun anehnya, setelah semua ikatan dilepas, Luis justru datang setiap malam. Duduk diam di dalam mobil. Menatap ke rumah ini. Tidak pernah turun. Tidak pernah bicara. Hanya menatap, lalu

  • Malam Panas dengan Atasan Mantan   Bab 212 : Kehilangan Kepercayaan

    Beberapa hari setelah pernikahan yang tenang dan penuh ketulusan itu, Reiner dan Karina menerima kejutan dari Veronica. Seorang asisten pribadi datang mengantarkan sebuah map kulit elegan berisi tiket perjalanan, itinerary, dan dokumen reservasi eksklusif. “Ini hadiah bulan madu dari Ibu,” begitu bunyi catatan tangan Veronica yang disisipkan di dalam map. “Nikmati waktumu, Karina. Kau pantas mendapatkan kebahagiaan seutuhnya. Ajak suamimu menikmati hidup.” Karina sempat terdiam membaca surat itu, matanya berkaca-kaca. Veronica memang tidak selalu banyak bicara soal perasaan, tetapi setiap tindakannya selalu memiliki makna yang dalam. Reiner yang duduk di samping Karina langsung menggenggam tangan istrinya, tersenyum penuh makna. Mereka pun memulai perjalanan bulan madu mereka ke berbagai negara yang sudah ditentukan. mulai dari Santorini yang romantis, menikmati senja di balkon hotel tepi tebing, kemudian ke Tuscany

  • Malam Panas dengan Atasan Mantan   Bab 211 : Kebahagiaan yang Jujur

    Malam itu Wilson baru saja mematikan lampu kamar dan menarik selimut ketika layar ponselnya menyala. Satu notifikasi masuk dari Reiner. Dengan setengah malas, Wilson mengambil ponselnya. Tapi saat dia membaca nama pengirim dan melihat thumbnail gambar yang menyertainya, matanya langsung terbuka lebar. Dia segera membuka pesan itu. Di sana, satu kalimat singkat tertulis. “Kami sudah menikah hari ini. Maaf tidak mengundang mu dan Juliet. Karina takut kalian tidak akan nyaman.” Disertai foto Reiner dan Karina yang berdiri berdampingan di altar dengan senyum bahagia. Wilson terdiam beberapa detik. Lalu, perlahan, senyuman kecil terbit di wajahnya. Ia menggeleng pelan, antara heran, lega, dan sedikit tidak percaya. “Sayang...” panggilnya pelan sambil menyodorkan ponsel. “Lihat ini.” Juliet yang sedang merapikan bantal menoleh dan mengambil ponsel dari tangan Wilson. Begitu melihat isi pesannya, mata Jul

  • Malam Panas dengan Atasan Mantan   Bab 210 : Sebuah Pernikahan

    Beberapa hari setelah Karina menyampaikan niatnya kepada Veronica dan mendapat dukungan, ia dan Reiner mulai melangkah dengan lebih serius. Mereka tidak menginginkan pesta yang besar. Tidak ada kemewahan yang mencolok, tidak ada sorotan media, dan tidak ada undangan dari kalangan sosialita. Hanya Veronica, saksi luar, saksi dari Reiner, dan orang dari pihak yang akan menikahkan mereka. Di sebuah sore yang tenang, mereka duduk bersama di kafe favorit Karina, kafe yang secara tidak langsung mempertemukan banyak takdir dalam hidup mereka. Di atas meja, ada buku catatan, laptop, dan beberapa brosur tempat pernikahan yang sederhana namun elegan. “Aku masih tidak percaya kita akan sampai di titik ini,” kata Karina, sambil menatap Reiner dengan senyum kecil. “Aku percaya dari hari pertama kita memiliki jalan untuk bersama,” jawab Reiner dengan nada hangat.Karina pun tersenyum. Mereka mulai memilih tema. Karina ingin ses

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status