“Benarkah?” Tania menanggapi tanpa takut. “Akan aku cari sampai dapat,” sambungnya kemudian.Rafael mendengus. Tangannya menarik Tania mendekat. Wajah mereka kini tak berjarak sama sekali. “Tidak akan kamu temukan,” sahut Rafael.Tania mencoba mundur karena ujung hidung mereka saling bersentuhan. Namun, Rafael malah memaksa Tania tetap menunduk. “Karena kamu satu-satunya,” sambung Rafael.Rafael mengakhiri ucapannya dengan jari yang menyusuri rambut Tania, menariknya perlahan mendekat. Pria itu menyambut bibir Tania hangat. Tania terkejut. Kedua matanya membelalak. Ia hendak mengangkat tubuh, tapi Rafael menahannya.Pria itu meringis kemudian. “Jangan membuatku bergerak, Tania,” lirih Rafael, pelan. “Tutup saja matamu, Sayang.” Pria itu memberikan perintah yang tak bisa dibantah. Tangan Rafael menahan Tania, membuat Tania tertunduk kembali. Tania tidak bisa menghindar, takut menyakiti pria itu.“Mmh ….” Tania bergerak tak nyaman saat kecupan Rafael berubah menuntut. Ia menggelen
“Aku akan menemani Rafael malam ini. Dia terlihat tidak baik.” Tania memberikan penjelasan. Dika tidak mendengarkan dengan serius. Ia hanya mengangguk sekilas, lalu berpamitan.“Kabari aku kalau terjadi sesuatu,” ujar Dika seraya berlari pergi. Sepertinya asisten itu sedang diburu waktu. Tania pun masuk kembali ke apartemen. Tepat di depan pintu, Tania menghela.‘Apa sebaiknya aku pulang saja?’ Keraguan dalam hati Tania membuatnya kalut. Perlahan, Tania berjalan kembali ke kamar Rafael. Ia duduk di samping pria itu. Wajah Rafael berkerut, seperti sedang menahan kesakitan. “Tenanglah,” ucap Tania. “Aku temani kamu malam ini.”Tania membuat Rafael nyaman dalam selimut. Ia kemudian membelai kepala Rafael lembut. “Aku di luar. Tidur yang nyenyak,” sambung Tania. Tania mengambil tempat di sofa. Ia tak sadar kapan mulai memejamkan mata sampai akhirnya pagi menyapa. Prang!Tania tersentak kaget. Kantuknya hilang seketika. Ia langsung berdiri dan menghampiri sumber suara. Di dapur, ad
“Mereka sudah tau.” Rafael menjawab tak peduli.Pria itu menjauhkan sendok setelahnya. Suasana jadi berubah tak nyaman. Tania menghela pelan. Makanan yang sebelumnya lezat, berubah hambar. Ini salahnya. “Maaf, aku harusnya tidak merusak selera makanmu.” Tania ikut menjauhkan piring. Sekarang, makanan mereka jadi bersisa. Rafael terdiam sesaat. Pria itu terlihat sedang memendam kesalnya. Namun, tak lama tangan Rafael kembali bergerak. Pria itu menghabiskan sisa makanan di piringnya. “Tidak perlu pedulikan orang tuaku. Aku sudah cukup dewasa untuk mengurus hidupku sendiri,” tutur Rafael.“Aku yakin aku sudah mengatakannya padamu berkali-kali!” Sikap sinis Rafael kembali.Sepertinya, topik orang tua adalah hal yang tidak disukai Rafael. Namun, Tania tak bisa berhenti membicarakannya. “Enggak boleh marahan sama orang tua, nanti jadi anak durhaka gimana?” Tania mencoba menasihati.Rafael tidak menjawab. Pria itu memilih beranjak dari kursi dan kembali ke sofa. Tania melihat Rafael y
“Dia lebih suka ikan atau udang?” Tania bertanya pada Dika. Ia memang mengajak asisten pribadi sang pacar untuk berbelanja. Tania sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk mengisi kulkas Rafael. Semoga uangnya cukup.“Yang mana saja!” Dika selalu menjawab dengan kalimat yang sama. Saat Tania memilih sayuran, buah, dan daging, jawaban Dika sama. Apa pria itu tidak punya saran?“Pak Direktur akan menyukai apa pun yang kamu berikan padanya, meski itu cuma kulit pisang!” Dika mengacungkan pisang yang ada di dalam trolley Tania. Entah kenapa pria itu jadi emosi. Apa karena Tania terlalu lama belanja?“Oke. Tunggu aku di depan kasir aja kalau kamu capek,” sahut Tania. Mungkin Dika butuh istirahat. Bisa jadi pria itu perlu duduk dan menyesap secangkir kopi. “Tidak. Aku harus mengawasimu, dengan kedua mataku sendiri,” tegas Dika. Pasti Rafael mengancam lagi. Tania jadi terpaksa menyelesaikan acara belanjanya cepat. Ia mengisi trolley tanpa banyak berpikir. Di kasir, Tania mulai menyesa
“Istirahatlah. Aku mau pulang,” pamit Tania. Ia sudah memastikan Rafael berbaring nyaman. Rafael sudah makan, juga minum obat. “Aku sudah meminta Dika mengantarmu. Tunggu ia datang.” Rafael memberikan perintah seperti biasa. Kali ini, Tania tidak menolak. Ia hanya mengiyakan. Tak lama, Dika tiba. “Aku akan menjengukmu lagi besok. Selamat tidur.” Tania melambaikan tangan. Rafael memberikan senyum sampai Tania menghilang dari pandangannya. Di luar apartemen, Dika langsung bertanya tidak sabaran.“Apa barusan Pak Direktur tersenyum?” Dika terlihat sangat heran. Pria itu bertanya dengan kedua mata melotot pada Tania. Dika benar-benar ingin dijawab. “Iya,” sahut Tania kalem. “Memangnya kenapa?”Dika memicing curiga. Pria itu menilik penampilan Tania dari atas sampai ke bawah. “Apa saja yang terjadi? Kalian melakukan apa?” Dika tak menutupi rasa ingin tahunya. Pria itu mencecar Tania dengan banyak pertanyaan. Tania sampai menggeram kesal. “Aku rasa, aku tidak perlu mengatakan semu
“Tak masalah,” sahut Tania singkat. Tangannya lanjut bergerak di pinggang Rafael. Satu hentakan dan Tania bisa melihat semuanya. Namun, Rafael menghentikan Tania. “Aku akan tetap memakainya.” Rafael masuk ke dalam bathtub tanpa melepas celana.Pria itu berendam dengan sebelah tangan terangkat. Tania pun mendekat, membantu Rafael.“Mau aku bantu mencuci rambutmu?” Tania membawa botol sampo di tangannya. Ia langsung bergerak tanpa menunggu Rafael menjawab. Biarlah, kali ini Tania akan melakukan semua yang ia inginkan tanpa menunggu persetujuan. Rafael pun tidak bergerak, seolah mengizinkan. Pria itu membiarkan Tania menuangkan sampo sambil memijat kepalanya lembut. “Aku tidak terlalu keras, kan?” Tania memastikan jika ia tidak menyakiti Rafael.Ia juga berhati-hati dengan luka di dahi Rafael. Sebisa mungkin Tania tidak membuat Rafael tak nyaman. “Aku bilas dulu ya, takut kena lukamu.” gumam Tania. Ia segera membilas sampo di kepala Rafael, sebelum busanya menyebar. Rafael tidak
“Aku bisa melakukannya sendiri.” Rafael mendahului jawaban Tania. Wajah Tania yang kalut dan bimbang membuat Rafael memutuskan. Pria itu tak ingin Tania serba salah. “Begini saja cukup,” sambung Rafael.Tania terdiam saat Rafael mengancingkan bajunya sendiri. Logika, juga hatinya sedang bertengkar hebat saat ini. ‘Haruskah aku membantunya?’ Tania bergumam dalam hati. ‘Dia sudah bilang tidak perlu!’ Akal sehat Tania ikut menyahut. Andai saja Tania bisa bersikap tak peduli. Namun, ia bukan orang yang seperti itu. Rafael telah menyelamatkan Tania. Tanpa Rafael, mungkin ia sudah tidak bernyawa sekarang. “Aku akan membantumu.” Tania mengajukan diri. “Aku bisa membantumu. Aku tidak masalah dengan itu,” sambungnya kemudian. “Lagipula … kita sudah pernah—”“Tunggu!” Rafael menyela. Pria itu sampai menatap Tania tak percaya. “Apa kamu serius?”Padahal Tania mendengar sendiri jika Rafael tidak mengharapkan apa pun. Kenapa ia malah dengan sukarela maju?“Pikirkan lagi,” tegas Rafael. “A
“Kenapa?” Rafael bisa merasakan Tania yang terus menatapnya tajam. “Ada yang ingin kamu tanyakan padaku?” Tania sedang membantu proses administrasi Rafael sebelum keluar rumah sakit. Ia memaksa ingin menemani. “Tidak,” sahut Tania. “Aku cuma sedang ingat pada adikku yang menyebalkan ….”Tuduhan Tyo benar-benar membuat Tania jadi menaruh curiga pada Rafael. Ia sampai jadi memiliki rencana untuk menggeledah apartemen Rafael diam-diam.“Terima kasih. Semoga cepat sembuh!” Setelah perawat memberi izin, Tania pun mendorong kursi roda Rafael ke pintu keluar. Di sana, sudah ada Dika yang menunggu. “Hati-hati, Pak Direktur!” Dika memperingatkan Rafael saat masuk ke mobil.Tania membantu Rafael duduk sebelum mobil mereka bergerak menuju apartemen. Di lobi apartemen, Tania membantu mendorong kursi roda Rafael seperti sebelumnya. Sementara Dika, setia mengekor di belakang, membawa barang-barang.“Pak!” Dika memanggil saat Rafael membuka pintu apartemennya. “Saya lupa kalau ada pekerjaan yan
“Bisa tidak kamu katakan padaku sejak kapan kita saling mengenal?” Tania lelah juga karena Rafael terus memancing rasa penasarannya.Rasanya kepala Tania sampai botak. Ia mencoba mengingat, tapi tak ada satu pun yang terlintas. “Ayo makan bersamaku. Akan aku jawab pertanyaanmu nanti.” Rafael mengajukan penawaran. Tania memicing curiga. Namun, rasa penasaran mengalahkan kewaspadaan Tania. “Aku beli makanan dulu,” ucap Tania seraya beranjak. Namun, Rafael mencegahnya. Ia meraih handphone dari atas nakas dan menghubungi Dika dalam satu gerakan jari. “Siapkan makan malam.” Rafael mengakhiri panggilan setelah satu kalimat. Tania memandang Rafael sambil mendengus. Hidup memang akan lebih mudah jika memiliki jabatan.“Ini makanannya, Pak Direktur.” Dika membawakan pesanan Rafael tak lama kemudian. Tania mewakili menerima makanan itu sambil mengucapkan terima kasih. Dika langsung pamit setelahnya. “Kamu makan duluan, baru aku.” Rafael mengajukan syarat. Tania berdecak kesal, tapi tet