Alaric tengah berada di dekat jendela, tangannya menggenggam sebuah gelas berisi minuman penuh yang belum dia teguk. Dia dapat melihat Hiraya berdansa dengan seseorang tadi malam, dan tentu saja dia akan mengenali Tuan Rosemeijer dimana pun dia berada.
Dia mengenalinya ketika dia datang ke Firedale untuk pertama kali, mencoba peruntungan bisnis dan membawa banyak sekali orang-orang di klub menuju jalannya. Entah berhasil atau tidak, pangeran itu tak tahu.
Namun jika Hiraya ingin berurusan dengannya, dia merasa bahwa dia tak bisa mencegahnya — rela atau tidak.
Atau mungkin dia harus menampakkan diri dan mengambilnya kembali. Abraham Rosemeijer tidak memiliki kesempatan apapun jika itu adalah sang putra mahkota. Dia bisa saja melakukan itu jika dia adalah seseorang yang egois, atau dia bisa saja melakukannya jik
Dimitri takkan pernah melupakan warna rambut tersebut, yang hitam legam panjang hingga ke pinggang begitu berbeda dengan dirinya yang pirang. Dia selalu mengingat bahwa gadis itu mengungkapkan rasa irinya karena rambutnya yang emas.“Aku selalu menginginkan rambut pirang,” dia memprotes, kentara di ingatannya. “Tak adil jika hanya kau yang memilikinya.”“Kau seharusnya meminta ibumu untuk memberikanmu ini,” tawanya saat itu.Putra sang duke berjalan menembus kerumunan, mata tak lepas darinya sementara gadis itu tengah tersenyum pada seseorang, membungkuk setelah menyerahkan kartu dansanya.Dia pasti akan menari dengan seseorang lagi.Tak masalah.Dimitri akan mengambil kartu dansa itu dan menuliskan setiap bagian kosong dengan namanya. Hingga tak ada lagi yang tersisa darinya dan debutante itu akan menjadi miliknya seorang. Atau mungkin dia harus bersiap untuk beberapa strategi dimana dia bisa meminangnya.Dia teringat perkataan sang ratu pada saat setelah Alaric meninggalkan mereka.
Hiraya memperhatikan Diora yang menari dengan seseorang, tangannya menggenggam sebuah gelas yang tak lagi terisi — batinnya memaksanya untuk terus minum untuk melupakan apa yang baru saja dia ketahui.Alaric adasalah sang putra mahkota.Mungkin akan ada banyak orang yang mengatakan bahwa dia seharusnya mengetahuinya. Mungkin Diora atau bahkan Julian akan mengatakan itu padanya. Namun dia merasa dirinya terlalu terkecoh akan ide bahwa sang pangeran takkan pernah menyembunyikan identitasnya.Bahwa dia akan begitu bangga dengan statusnya hingga dia akan memamerkannya ke semua orang. Tak terkecuali seorang gadis asing bertopeng yang bertemu dengannya.Mungkin dia seharusnya berpikir lebih jauh bahwa Alaric tak pernah menyembunyikan apapun darinya — laki-laki itu memberi nama aslinya, terus bertanya jika dia benar-benar tak pernah mengenalnya. Namun Hiraya mungkin kepalang lugu untuk menyadarinya.Dia seharusnya tak menyalahkannya. Jika ada seseorang yang harus disalahkan, itu adalah diri
Alaric tak tahu apa yang dia pikirkan ketika dia melihat Hiraya berada di sisi sang putra marquess. ada sebuah perasaan yang mengatakan bahawa dia tengah iri, bahwa ada perasaan tak terima bahwa gadis itu tak terganggu sama sekali terhadap laki-laki tersebut.Seharusnya begitu.Alaric sadar diri bahwa dia memanglah menyukai sang gadis, dia hanya belum tahu tentang bagaimana dia mampu membuatnya membuka hati padanya. Namun bukankah tak sopan untuk Hiraya jika dia mengutarakan rasa ketidaksukaannya?Lagipun ada rasa sadar diri bagi sang pangeran bahawa Hiraya tak tertarik padanya. Bahkan jika fakta yang sebenarnya adalah sebaliknya, gadis itu takkan pernah menunjukkannya.Jadi disinilah dia, terpaku dan terdiam sementara menatap mereka.Dimitri menoleh padanya, tersenyum kecil. “Jika ada panah yang mampu tersangkut dan terarah dari matamu, Tuan Mustwatcher akan sudah kehilangan nyawanya dan aku khawatir bahwa aku harus menghibur gadisku karena berkabung.”"Gadismu?” ulangnya, mengernyitk
Hiraya tak tahu jika dia harus mengucapkan syukur atau tidak.Malam itu, dia menyadari betapa dingin perlakuan Alaric padanya. Alih-alih pangeran tersebut yang akan menawarkannya menaiki keretanya (dan dia tak yakin jika dia akan sampai di rumahnya jika dia berada berdua dengannya di ruangan tertutup), atau mungkin mengatakan sesuatu yang akan menguji kesabarannya, dia justru melewatinya begitu saja.Bahkan hingga dia memanggil bukan nama depannya, melainkan marganya.Itu cukup bagi Hiraya untuk meyakinkan diri bahwa dia telah menyerah. Dan dia merasa senang untuk itu. Dia akan mampu melanjutkan kehidupannya tanpa gelisah bahwa sang pangeran menginginkan sedikit lagi kepuasan darinya.Bahwa hidupnya akan tetap seperti ini tanpa ada lagi perubahan yang mungkin saja terjadi. Bahwa dia akan membantu di rumah pamannya tanpa beban, lalu mungkin menemani Diora dalam pencarian suaminya.Dia akan begitu bersyukur jika itu adalah yang terjadi.Walaupun ada sedikit rasa curiga di dalam dadanya.
“Halo, Hiraya.”Gadis itu menutup pintu ketika mendengarnya bicara, suaranya dingin ketika dia beralih dari jendela. Dia dapat melihatnya duduk di sebuah kursi yang selalu dia tempati, di depannya adalah meja kosong dimana dia akan meletakkan kue dan teh.“Nah,” ujarnya. “Kau tahu dimana kau harus meletakkan itu ‘kan?”Hiraya beranjak ke depannya, dengan hati-hati meletakkan nampan tersebut di atas pahanya sebelum memindahkan teko dan cangkir ke atas meja, menuangkan teh hangat lalu meletakkan kue kering di sampingnya.Dia menyerahkan cangkir yang telah terisi pada sepupunya, yang mengangkat alis sebelum menerimanya. Hiraya mengawasinya menyeruput minuman, menatap ke luar.Dari sudut pandang seperti ini, Helena seperti gadis bangsawan biasa, yang pandangannya begitu jauh dan sulit digapai, dia akan menarik hati banyak bangsawan dengan apa yang dia tunjukkan saat ini. Namun Hiraya tak bisa melupakan bagaimana dia memukuli para pelayan.Dia tak bisa melupakan cambuk di punggungnya.Gadi
Hiraya mengira bahwa Alaric telah melupakannya. seharusnya begitu dengan bagaimana dia mengabaikannya malam itu. Namun dia memperhatikan sekuntum bunga dan sebah surat yang ada di atas meja. Anna, Fergus, dan yang lainnya menunggu agar dia membukanya.Dia mendongak pada Anthony. "Kurir mana yang mengirim ini?”penerima pesan itu menggelengkan kepala. "Yang jelas bukan dari istana, Nona,” dia menjelaskan. "Namun bahkan dari namanya. aku yakin sekali bahwa itu adalah sang pangeran.”"Kau dungu," Sahut Fergus. "Jika itu bukan sang putra mahkota dan nona kita telah berharap banyak–”Gadis itu menutup matanya. Dia benar-benar tidak berharap banyak. Faktanya, dia tak berharap. Dia menatap surat itu. Salahnya karena dia tak berbelok saat itu, ketika Alaric mengenalinya. Dia sudah mengetahui rumah ini. Takkan butuh waktu lama baginya untuk datang kemari."Apa ada yang tahu tentang surat ini?”Anthony menggelengkan kepala. "Aku membawanya secepat yang aku bisa.”Hiraya mengangguk, meraup bunga
Hiraya membaringkan tubuhnya ke atas ranjang, menghela nafas ketika Alaric mengusap kepalanya, meraih beberapa helai dari rambutnya dengan dua jarinya dan meletakkan mereka ke bawah hidungnya. Mata gadis itu bergetar ketika sang pangeran memindahkan pandangan padanya, hidung masih menghirup aroma yang tersisa di rambutnya.Dia meraih kerah kemejanya, menariknya ke dalam sebuah ciuman yang dengan senang hati diterima oleh laki-laki itu, tangan mengusap lengannya sebelum naik ke lehernya, menekan dimana nadinya berada, membuatnya menarik nafas, kepala mendongak.Alaric menurunkan bibir ke atas nadi tersebut, mengecupnya beberapa kali sebelum berpindah dan membuat tanda di bagian-bagian lehernya yang lain.Hiraya dapat merasakan tekanan tubuh di atasnya, dan bibir yang menjelajahi lehernya, tangan yang menyentuh dadanya. Gadis itu menutup mata, tangannya sendiri tiba di atas rambut laki-laki itu, meremasnya erat sementara kakinya mengejang.Ada tawa berat dari lehernya, dan sebuah ciuman
“Ini tak berhasil.”Dimitri memutar matanya, mengerang. Dia tengah duduk di salah satu sofa ruang rekreasi milik Alaric, di dalam istana dimana dia menganggap itu menjadi rumah mainnya. Dia memperhatikan sepupunya yang menatap cangkirnya, bosan.“Lagipula,” mulai putra sang duke. “Siapa yang menyuruhmu menuliskan surat padanya?”Pangeran itu menoleh padanya, mata tajam.“Benar,” ujarnya lagi. “Tak ada.”“Rencanamu jelek,” dia menuduh, seperti di malam ketika dia mengatakan sarannya. Dimitri kembali menghela nafas. “Bagaimana bisa kau membuatku berpura-pura tak peduli padanya. Dia bisa saja berjalan di dinginnya malam saat itu — aku bisa saja menawarkan keretaku padanya saat itu.”Dimitri mengangguk. “Lalu apa? Kau juga akan menawarkan ranjangmu?”Alaric mengalihkkan pandangan, menggerutu. “Aku takkan.”Dia memperhatikan sepupunya — sang pangeran, putra mahkota kerajaan mereka. Seseorang yang tak lagi polos dan mampu memikat hati banyak orang. Namun justru lemah dan kebingungan ketika