Share

Part 2

Angga menatap punggung Andini yang bergerak menjauh. Rasa bersalah tentu saja dia rasakan. Tapi Angga juga tidak ada pilihan lain selain menuruti apa kata orangtuanya yang tidak ingin menanggung malu karena anaknya batal menikah.

Dan kandidat satu-satunya adalah Andini. Sahabatnya yang sudah dianggap seperti anak sendiri oleh kedua orangtuanya.

Angga merasa tidak berguna karena sudah membuat sahabatnya sedih. Pernikahan ini tidak mudah di terima oleh Andini. Semua salahnya yang terlalu buru-buru untuk menikahi Vika tanpa mencari tahu bagaimana watak gadis itu terlebih dahulu.

Saat pertama mengenal Vika sampai pada akhirnya Angga memberanikan diri untuk melamarnya, Vika selalu menunjukkan sikap yang baik. Entah di depan Angga ataupun di depan orangtua Angga.

Vika juga pernah bercerita kalau dia memiliki mimpi untuk menjadi seorang penyanyi yang terkenal. Dia memiliki suara yang bagus dan tergabung dalam sebuah grup campursari yang sering di minta untuk mengisi acara-acara pernikahan atau yang lainnya.

Tapi Angga tidak pernah menyangka kalau Vika akan senekat ini membatalkan pernikahan mereka demi bisa mengikuti audisi menyanyi.

Padahal, jika Vika akan meneruskan kariernya setelah menikah, Angga tidak akan melarangnya. Justru Angga akan mendukung sampai Vika bisa menggapai mimpinya.

Sayangnya, Vika lebih memilih mengakhiri rencana pernikahannya daripada harus berjuang bersama setelah menikah nanti.

"Yang sabar ya, Ga. Kamu kan, sudah hafal kalau Andini nggak menyukai suatu hal sikap dia bagaimana. Tapi nanti bapak akan memberi pengertian untuk Andini." Seno menepuk bahu calon menantunya. 

Siapa sangka kalau lelaki yang hampir setiap hari datang ke rumahnya itu akan segera menjadi menantunya.

Angga mengangguk. "Iya, Pak. Andini juga butuh waktu untuk menerima ini semua."

Seno mengangguk paham. Memang bukan hal yang mudah untuk di terima oleh Andini yang cenderung keras kepala.

"Kalau begitu, kami sekeluarga pamit ya, Mas Seno. Segala keperluan kedepannya besok bisa kita bahas lagi." Hardi berpamitan pada Seno. Tangannya menepuk bahu Seno tanda keakraban yang terjalin.

"Iya, Pak Hardi. Kami sekeluarga mengucapkan banyak terimakasih atas kedatangannya. Hati-hati dijalan."

Hardi kemudian membawa keluarganya untuk pulang kembali ke rumah.

Saat sampai di depan gerbang rumah Andini, Angga melihat kamar Andini yang lampunya sudah paham. Angga tahu kalau Andini belum tidur. Andini hanya mematikan lampunya dan berdiam diri sampai dia tertidur sendiri. Hal itu sudah menjadi kebiasaan Andini. 

***

"Angga, Angga. Kok, bisa-bisanya sampai hampir batal nikah. Perempuan kayak gitu kok, dulu kamu pilih. Andini saja yang dekat, yang sudah jelas baiknya nggak kamu pilih."

Elsa, kakak Angga satu-satunya yang juga baru datang dari Bandung mengangguk menyetujui ucapan Aris. "Aku juga heran, Om. Tampangnya aja yang ganteng. Tapi masih saja di sia-siakan. Dari dulu aku udah nyuruh sama Andini aja, Om. Soalnya feeling aku sama cewek itu udah nggak baik. Eh, ternyata bener, kan? Tapi Angga aja yang nggak mau dengar kata-kata aku sama ibu."

"Yang penting masih ganteng kan, Mbak." Angga berucap dengan jumawa.

Mendengar ucapan Om Aris, adik dari ayahnya, membuat Angga hanya tersenyum tipis. Dalam hati dia membenarkan ucapan Om-nya. Kenapa dulu bisa-bisanya dirinya kepincut dengan biduan itu? 

Tapi Angga tidak membenarkan ucapan Aris yang menyinggung soal Andini. Rasa di antara mereka hanya sebatas sahabat. Andini sendiri juga sudah memiliki seorang kekasih. Jadi tak pernah terlintas di pikiran Angga untuk menjadikan Andini sebagai istrinya.

***

Sejak acara lamaran kemarin, Andini tidak bisa di hubungi sama sekali. Angga merasa tidak tenang, takut kalau Andini juga akan pergi. Sama seperti yang Vika lakukan.

Angga nekat datang ke rumah Andini. Padahal, para orangtua mengharuskan mereka untuk menjalani tradisi pingitan. Dimana kedua calon pengantin tidak boleh bertemu sebelum sah menjadi suami istri.

Saat sampai di rumah Andini, Angga melihat Andini sudah rapi dan bersiap untuk pergi. Angga segera mendekati Andini dan merebut kunci motor Andini begitu saja.

"Mau kemana, Ndin?"

Andini enggan menatap Angga. "Bukan urusan kamu," jawab Andini tanpa melihat Angga.

Angga menghela napas pelan. "Jelas ini urusan aku. Kamu, kan_"

"Calon istri kamu?" Andini memotong ucapan Angga. Selanjutnya dia tertawa sinis. "Udah tau."

"Kalau udah tau kenapa nggak bilang ke aku kalau mau pergi? Handphone kamu juga mati. Aku jadi nggak bisa hubungin kamu."

Lagi-lagi Andini tertawa sinis. "Kenapa harus bilang ke kamu?"

"Ndin..."

"Udah, sini kunci motornya." Andini kembali merebut kunci motor yang ada di genggaman Angga. 

"Minggir!" ucapnya ketus sambil menjalankan motornya.

Angga langsung mengikuti Andini dari belakang. Tidak peduli dengan penampilannya yang hanya memakai celana selutut dan kaos oblong polos.

Setelah perjalanan hampir tiga puluh menit, Andini menghentikan motornya di tempat kerja Gilang. Ternyata apa yang sejak tadi dipikirkan Angga benar, Andini menemui Gilang, pacarnya.

Angga mencari tempat yang dekat tapi aman untuk bisa mendengarkan apa yang akan Andini dan Gilang bicarakan. Keduanya kini sudah duduk di bangku penjual siomay yang ada di samping tempat fotokopi dimana Gilang bekerja.

"Ada apa sih, Ndin? Kenapa panas-panas gini nekat kesini?" Gilang memulai percakapan.

Andini terlihat menunduk. Raut wajahnya menunjukkan bahwa dia sedang bingung.

"Ndin?" Gilang kembali bersuara karena Andini tak kunjung meresponnya.

"Maaf." Satu kata yang Angga dengar dari mulai Andini. "Sepertinya... Hubungan kita harus berakhir."

Gilang sempat terdiam setelah mendengar Andini berucap. Namun akhirnya dia memegang kedua bahu Andini dan mengangkat wajah Andini yang menunduk menyembuhkan air matanya. "Kamu bercanda, Ndin?"

Andini menggeleng pelan. Membuat Gilang mengusap wajahnya dengan kasar. Wajahnya terlihat bingung dan kecewa. "Kenapa?" tanya Gilang pada akhirnya.

Angga sudah ketar-ketir menunggu jawaban dari Andini. Kira-kira apa yang akan dia katakan pada Gilang sebagai alasan mereka harus mengakhiri hubungan mereka.

"Aku akan menikah."

Jawaban Andini membuat Gilang memejamkan matanya. "Dengan siapa?" tanya Gilang setelah dia berhasil mengontrol emosinya.

"Angga."

Gilang mengepalkan kedua tangannya. Dari wajahnya bisa di lihat bahwa dia sedang marah besar. Kepalan tangannya di angkat lalu meninju angin sambil berteriak emosi. 

Andini sendiri hanya bisa menunduk dan berkali-kali mengusap air matanya. "Dari dulu aku sudah mengira kalau kalian ada hubungan, Ndin. Mana ada hubungan pertemanan antara laki-laki dan perempuan tapi tidak ada rasa yang lebih."

Andini menggeleng kuat untuk mematahkan pemikiran Gilang. "Enggak, Lang. Aku dan dia murni sahabat."

"Tapi kenapa malah mau menikah? Kamu tahu aku sedang berjuang untuk kita berdua. Tapi kenapa kamu lebih memilih menikah dengan dia? Apa karena aku orang nggak punya, Ndin? Apa kamu nggak sabar nunggu aku punya uang yang cukup untuk memberi kehidupan yang baik buat kamu?"

"Nggak, Lang." Andini menggeleng. "Itu semua nggak bener. Aku terpaksa_"

"Cukup, Ndin. Aku kecewa sama kamu." Gilang langsung beranjak dari tempat duduknya dan kembali masuk ke tempat kerjanya. Tidak lama kemudian, Gilang keluar lagi dengan membawa tas serta helmnya. 

Gilang mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Membuat Andini berteriak histeris meminta Gilang untuk berhenti.

Andini terduduk di trotoar. Dia menelungkupkan wajahnya dan menangis sesenggukan. Tidak dia pedulikan tatapan orang-orang yang seolah ingin tahu permasalahan yang sedang terjadi.

Angga memberanikan diri untuk mendekati Andini. "Ndin," ucapnya sambil menyentuh bahu Andini yang terguncang karena tangisannya.

Andini menyingkirkan tangan Angga dengan kasar. "Apa lagi?" Teriak Andini dengan penuh emosi. "Puas kamu melihat semua ini? Puas kamu melihat hubunganku dengan Gilang hancur? Kamu egois, Ga. Aku benci sama kamu!!"

Tanpa memperdulikan Angga lagi, Andini segera pergi meninggalkan tempat itu. Dan Angga pun membiarkan Andini untuk sendiri tanpa berniat untuk mengikuti kemana lagi Andini akan pergi. 

***

Berbagai usaha Angga lakukan asalkan bisa mendapatkan maaf dari Andini. Karena itu Angga sengaja mengajak adik dari Andini, Bayu, untuk bekerja sama. Tentu saja Angga harus membujuk Bayu dan mengiming-imingi Bayu dengan sesuatu yang sudah lama dia inginkan.

Tugas Bayu kali ini adalah mengajak Andini untuk pergi dengan alasan refreshing. Beruntung Bayu tidak perlu berusaha keras karena dalam sekali bujukan saja Andini sudah mengiyakan ajakannya.

Angga menyuruh Bayu untuk membawa Andini ke sebuah bukit kecil. Dimana, dari puncaknya pemandangan akan terlihat sangat indah. Apalagi pemandangan matahari terbenam ataupun matahari terbit.

Tanpa beristirahat terlebih dahulu setelah dari rumah sakit, Angga langsung pergi ke tempat yang sudah di sepakati. Angga sudah menyiapkan segala sesuatunya. Tinggal menunggu Andini dan Bayu datang.

Sekitar lima belas menit lamanya Angga menunggu, Bayu dan Andini datang dengan napas yang terengah-engah. Andini memang tidak begitu menyukai mendaki. Tapi Angga tahu kalau Andini sangat menyukai pemandangan dari ketinggian seperti ini.

"Bagus, Bay. Pinter juga ya, kadang-kadang." Andini memekik kecil lalu mengacak rambut Bayu yang rapi.

"Berantakan, Mbak." Bayu menggerutu kesal dan membenarkan rambutnya lagi. "Aku dari dulu emang pinter. Mbak Andini aja yang kurang perhatian sama adik sendiri."

"Dih. Lebay banget kayak cewek ABG."

Angga tertawa kecil mendengar perdebatan antara kakak dan adik itu. Angga membiarkan Andini untuk menikmati pemandangan langit senja terlebih dahulu. Baru setelah itu Angga akan mendekati Andini untuk meminta maaf. 

"Mbak Andini masih marah ya, sama Mas Angga?"

"Kenapa tanya soal itu? Di suruh sama si Angga, ya?"

Dengan cepat Bayu menggelengkan kepalanya. "Enggak, Mbak. Cuma pengen tahu aja."

"Ya... Gimana ya, Yu?"

"Bay aja, Mbak. Jangan Yu begitu. Memang namaku Ayu?" Bayu menggerutu karena Andini memanggilnya dengan sebutan Yu.

Andini tertawa lepas. Lalu berdehem pelan dan melanjutkan ucapannya. "Mau tetap marah, juga nggak akan merubah keadaan, Bay. Kalau nggak marah, dianya ngeselin banget. Kenapa harus Mbak yang jadi korban?"

"Korban enak, kan, mbak?"

"Enak apanya?"

"Bisa ena-ena sama sahabat sendiri."

"Hey!" Andini menjitak dahi Bayu. "Masih kecil pikiran udah kesana aja!"

"Sakit, Mbak." Bayu mengusap dahinya. "Lagian Bayu udah 17+. Bukan anak kecil lagi."

Angga mencoba menahan tawanya mendengar percakapan mereka. Lagipula dia tidak habis pikir dengan pemikiran Bayu yang sudah sampai di situ. Anak jaman sekarang. 

"Terus hubungan mbak sama si Gilang itu gimana, mbak?"

"Ya udahan. Mau gimana lagi? Masak pacaran sama dia nikahnya sama orang lain. Sedih sih, udah pasti. Tapi ya sudahlah. Jalannya memang begini."

"Pasrah amat, Mbak?"

"Kamu punya ide biar mbak nggak usah pasrah begini? Kabur, kawin lari sama si Gilang mungkin."

Bukan Bayu, tapi Angga yang panik sendiri mendengar ucapan Andini. 

"Jangan coba-coba, Ndin." Akhirnya Angga bersuara. Dia takut kalau Andini semakin ngawur dengan ucapannya.

Andini langsung menoleh dan terkejut melihat Angga sudah ada di belakangnya.

"Kok, kamu disini?" Andini terlihat kebingungan. Kemudian Andini melirik Bayu yang pandangan matanya menuju ke sembarang arah menghindari tatapan Andini yang menghunus tajam.

"Kalian sekongkol, ya?" tebak Andini dengan benar.

Bayu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sedangkan Angga menggosok-gosok hidungnya yang juga tidak terasa gatal sama sekali.

"Nyebelin banget, sih, kalian." Andini menghentakkan kakinya, lalu membalikkan badan dan ingin segera pergi dari hadapan Angga dan Bayu.

Tapi saat Andini membalikkan badannya, Andini melihat beberapa anak kecil. Masing-masing memegang setangkai mawar merah lalu berucap dengan serempak, "Mbak Andini, maafin Mas Angga, ya."

Andini tak bisa berkata-kata. Dia menolehkan kepalanya dan mendapati Angga tengah tersenyum lembut dan juga membawa banyak jenis coklat yang di bentuk menjadi sebuah buket besar. Kapan dan darimana Angga mendapatkannya? Karena sebelumnya Andini tidak melihat benda itu di dekat Angga.

Angga berjalan mendekati Andini lalu memberikan buket coklat itu. "Maafin aku, ya, Ndin. Karena kesalahan dan keegoisanku, banyak hal dalam hidup kamu yang berubah. Termasuk hubungan kamu dengan Gilang. Aku nggak bisa menjanjikan bahwa hidup kita nanti akan bahagia terus. Tapi aku bisa memastikan kalau aku akan terus berusaha untuk memberikan yang terbaik buat kamu."

Tangan Andini mengusap air matanya yang entah sejak kapan sudah membasahi pipinya. Rasanya begitu terharu melihat kegigihan Angga untuk mendapatkan maaf darinya. 

"Di maafin, kan?" Angga bertanya untuk memastikan.

Andini mengangguk dan tersenyum tipis. "Iya," jawab Andini dengan pelan.

Senyum bahagia terukir di wajah Angga. Dia merentangkan kedua tangannya untuk memeluk Andini. Tapi Andini buru-buru menghalangi Angga dengan menutup wajah Angga menggunakan buket coklat yang besar itu.

"Jangan ngelunjak!" ucap Andini dengan tegas. 

Angga tersenyum salah tingkah. Dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Maaf, Ndin. Habisnya seneng udah dapat maaf dari... Ehm! Calon istri."

Bukannya tersipu atau salah tingkah, Andini justru menatap Angga dengan sinis. "Jujur, sih. Jijik banget dengar kamu ngomong begitu," ucap Andini yang membuat Angga tertawa keras. 

Sejujurnya Angga juga merasa aneh ketika menyebut Andini dengan sebutan calon istri. Siapa sangka kalau sahabatnya sejak kecil itu akan segera menjadi istrinya. 

"Mas Angga." Panggilan Bayu mengalihkan perhatian Angga. "Jangan lupa, ya, janjinya kemarin," ucap Bayu yang langsung di acungi jempol oleh Angga.

Andini memandang keduanya dengan tatapan curiga. "Dia janji apa sama kamu, Yu?"

"Bayu, Mbak. Bay aja jangan Yu," protes Bayu yang tidak di tanggapi oleh Andini. 

"Janji apa?" desak Andini. 

"Udahlah, Ndin. Jangan di marahin terus si Bayu." Angga menengahi mencoba melindungi Bayu. Bagaimanapun juga dia sudah berperan banyak dalam rencananya hari ini.

"Kalian berdua sama aja." Andini mendengus kesal dan memilih untuk meninggalkan keduanya.

"Aaaaa..." Sayangnya, Andini terpeleset kerikil-kerikil kecil. Beruntung Angga dengan sigap menangkap tubuh Andini sehingga Andini tidak terjatuh ke tanah. Untuk sesaat, keduanya saling berpandangan. 

"Ciyeee..."

"Ciyee ciyee...

Andini langsung berusaha untuk berdiri dengan sempurna. Angga dan Andini sama-sama merasa salah tingkah. Lupa kalau disana masih ada anak-anak yang menyaksikan keduanya. 

"Kamu nggak apa-apa? Kaki kamu terkilir enggak?" 

Andini menggelengkan kepalanya. "Aku nggak apa-apa," jawabnya sewot. "Mau pulang," lanjut Andini dan langsung berjalan melewati Angga begitu saja. 

🌹🌹🌹

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status