Share

Part 8

"Hallo, La. Bilang ke temen-temen hari ini aku nggak jadi ikut, ya?"

"Kenapa, Ndin? Kita udah rencanakan ini jauh-jauh hari, loh. Kamu juga paling antusias waktu kita usul pergi ke pantai."

Andini menghembuskan napas pelan. Memang sedikit menyesal tak bisa pergi ke pantai dengan teman-temannya. Tapi sepertinya kali ini rumah tangganya lebih penting dari apapun. Andini tidak bisa pergi dari rumah dalam keadaan Angga yang sedang marah.

"Iya, maaf. Maaf banget, La. Bilang ke temen-temen aku minta maaf, ya. Have fun buat kalian."

"Oke kalau gitu, Ndin. Aku sampaikan ke teman-teman."

Andini hanya bisa memperhatikan pintu kamar Angga yang tertutup rapat. Andini tau Angga tengah kecewa kepadanya. Mungkin Angga sudah mulai lelah menghadapi sikapnya yang enggan untuk berdamai dengan keadaan.

Mendadak Andini takut kalau Angga benar-benar mengabulkan permintaan Andini selama ini. Yaitu berpisah. Andini takut Angga akan benar-benar menceraikan dirinya.

Pintu kamar Angga terbuka. Dan Angga berjalan cepat menuruni anak tangga. Berlalu begitu saja tanpa memperdulikan Andini yang terus memperhatikan Angga.

Andini segera mengejar Angga yang keluar dari rumah tanpa sepatah kata pun. "Angga," panggilnya dengan ragu. 

Angga menoleh dan menatap Andini dengan penuh tanya meskipun tidak bersuara sedikitpun. 

"Kamu mau kemana?"

"Bukankah kemanapun aku pergi kamu tidak pernah peduli?" sindir Angga, membuat Andini menunduk malu. Air matanya kembali berjatuhan menyadari Angga mulai berubah.

Tanpa memperdulikan Andini, Angga pergi begitu saja. Membiarkan Andini terpaku di tempatnya sambil menatap kepergian Angga dengan air mata yang terus mengalir.

Angga telah berubah. Dan semua karena kesalahannya.

Tak ingin terlalu berlarut dalam kesedihannya, Andini akhirnya mengerjakan pekerjaan rumah satupun belum dia sentuh sejak pagi. Dia sibuk menyiapkan keperluannya untuk pergi yang akhirnya batal karena dia lebih memilih Angga.

Andini berpikir mungkin saja Angga sedang butuh waktu untuk sendiri. Barangkali jika dia melihat Andini hanya akan terbawa emosi saja.

Angga bilang, dia sudah mulai mencintai Andini. Andini tak bisa lupa akan ucapan Angga yang satu itu.

Tapi bagi Andini, perasaan itu masih terlalu jauh untuk dirinya yang sedang berusaha menerima keadaan.

Perasaan khawatir muncul di hati Andini saat Angga belum juga pulang sampai malam hari. Berkali-kali Andini mencoba menghubungi Angga, tapi tidak bisa. Nomornya tidak aktif sama sekali. Pesan yang dia kirimkan masih centang satu sejak siang hari tadi.

Rasanya Andini ingin pergi ke rumah mertuanya. Menanyakan apakah Angga ada di sana atau tidak. Tapi itu tidak mungkin dia lakukan. Takut kalau mereka akan tahu bahwa antara Angga dan dirinya sedang tidak baik-baik saja.

Andini juga tidak tahu kemana harus mencari Angga. Malam-malam begini Andini takut untuk keluar rumah sendirian. Apalagi tanpa tujuan yang pasti.

"Kamu dimana, Ga?" Andini meneteskan air matanya. Menyesali semua yang sudah dia lakukan. 

Saat ini dia hanya bisa berandai-andai. Andai Andini bisa menurunkan sedikit egonya. Andai dia bisa mencoba menerima kenyataan. Dan seandainya Andini bisa memutar waktu. Pasti saat ini Angga ada di sampingnya.

Andini terperanjat saat mendengar suara pintu dibuka. Dia menghela napas lega saat melihat Angga-lah yang membuka pintu rumah.

Lega karena bukan maling. Juga lega karena Angga akhirnya pulang.

Tanpa ragu, Andini berlari menghampiri Angga dan memeluk Angga dengan erat. "Kamu kemana? Aku khawatir banget sama kamu. Aku nungguin kamu dari tadi. Telponin kamu tapi nggak aktif. Padahal aku mau minta maaf."

Diam-diam Angga menyunggingkan senyuman. Tapi dia belum ingin menanggapi ucapan panjang Andini. Tidak sia-sia dia rebahan seharian di rumah mertuanya sambil bermain PS dengan Bayu tanpa mengaktifkan handphonenya.

Angga sudah bekerja sama dengan keluarga Andini untuk memberi sedikit pelajaran kepada Andini. Beruntung Angga memiliki mertua dan adik ipar yang satu frekuensi dengannya.

Andini mendongak, menangkup wajah Angga dengan kedua tangannya. "Kamu nggak apa-apa, kan? Masih marah sama aku?"

Mata bulat Andini yang memerah dan terus meneteskan air mata membuat Angga tak tega berlama-lama mendiamkan Andini. "Aku nggak kemana-mana. Seharian main PS sama Bayu di rumah kamu."

Seketika wajah Andini berubah kesal. Dia mencubit dengan keras perut Angga tanpa ampun. "Anggaaaa!!!!" Andini memekik kesal.

"Aduh, Ndin. Sakit, Ndin."

"Ngeselin banget, sih, kamu, Ga! Aku di sini khawatir sama kamu. Nangisin kamu. Mau makan nggak enak karena nggak ada kabar dari kamu. Bisa-bisanya kamu main PS sama Bayu dan handphone kamu nggak aktif sama sekali. Aku sebel sama kamu, Angga!"

"Iya, Ndin, maaf. Udah, sakit banget ini."

Andini mendorong tubuh Angga dengan pelan. Dan dia pergi begitu saja dari hadapan Angga sambil mengusap air mata yang kembali menetes karena kekesalan hatinya.

"Ndin, aku minta maaf." Angga berusaha mengejar Andini. "Ndin." Angga segera memeluk tubuh Andini saat dia berhasil meraih tangan Andini dan membuat langkah Andini terhenti.

"Maaf," ucap Angga pelan.

"Kamu jahat, Ga. Kamu nggak tau gimana khawatirnya aku sama kamu. Mau cari kamu kemana aku nggak tau."

"Iya. Aku minta maaf, ya. Aku cuma ingin tahu, seberapa berharganya kehadiran aku untuk kamu, Ndin. Aku ingin tau apakah kehadiranku masih kamu harapkan atau tidak. Terimakasih, ya, sudah mengkhawatirkan aku. Terimakasih sudah berharap aku kembali. Aku cinta sama kamu, Ndin. Cinta seorang suami kepada istrinya."

Andini tak menjawab. Tapi pelukannya yang semakin erat di tubuh Angga, membuat Angga tersenyum senang. Setidaknya ucapan cinta Angga tak ditepis lagi oleh Andini.

***

Malam ini mereka tidak langsung tidur dalam satu kamar meskipun kata cinta itu telah terucap dari bibir Angga. Juga meskipun Andini tidak menolak lagi pernyataan cinta dari Angga.

Semua itu Andini yang meminta dengan alasan bahwa dia belum siap jika harus dalam satu kamar dengan Angga. Takut Angga macam-macam, katanya. Padahal, mau apapun sudah sah. Tidak akan menggerebek mereka jika mereka melakukan yang iya-iya.

Tanpa Andini sadari, Angga sudah membayangkan malam ini akan memeluk Andini dalam tidurnya. Dan wajah Andini yang pertama kali dia lihat saat esok pagi dia membuka kedua matanya.

Selain itu, Angga juga sudah membayangkan akan melewati malam pertamanya dengan sahabat yang kini menjadi istri yang dia cintai. Angga lelaki normal. Itu kebutuhannya, juga haknya sebagai suami. Tapi dia juga tidak akan memaksa Andini jika Andini belum siap melakukannya.

"Ndin..." panggil Angga dengan nada suara tak rela saat mereka harus berpisah di lantai dua. Andini ke kamarnya, dan Angga ke kamarnya sendiri. 

"Apa, sih, Ga?"

"Ke sini aja, yuk," ajaknya sambil menarik pelan tangan Andini untuk masuk ke dalam kamar Angga.

"Kapan-kapan aja, deh."

"Aku kayak minta jatah ke pacar, deh, Ndin."

Andini terbahak. "Uhhh... Kasian banget, sih." Andini mengusap pipi Angga. "Kasih aku waktu, ya," lanjutnya pelan. 

Dan akhirnya Angga pun mengangguk pasrah, membiarkan Andini masuk ke dalam kamarnya sendiri tanpa mengajak Angga.

Tapi Angga tak kurang akal. Malam ini dia harus bisa tidur dengan memeluk Andini. "Ndin..."

"Apalagi, Angga?" Andini sudah hampir menutup pintu saat Angga kembali memanggilnya.

"Kamu ingat tetangga belakang yang meninggal kemarin?"

"Kenapa memangnya?"

"Dia lagi hamil. Semalam ada suara bayi baru lahir lagi nangis. Tetangga pada dengar, Ndin."

"Anggaaa... Jangan bikin takut."

"Ini udah jam dua belas, loh, Ndin. Bentar lagi pasti_"

"Stop, Angga. Jangan bikin takut." Angga berusaha menahan senyumnya saat Andini kembali keluar dan menggandeng tangan Angga. 

"Ini ngapain?" tanya Angga berpura-pura tidak mengerti dengan yang dilakukan Andini.

"Jadi takut tidur sendirian."

"Terus mau tidur sama siapa? Katanya nggak mau tidur sama aku."

"Iiihhh... Awas, ya, kalah sampai kamu macam-macam."

"Satu macam aja, kok, Ndin. Enggak apa-apa, kan? Kita, kan_"

Belum sempat Angga menyelesaikan ucapannya, Andini langsung menjerit ketakutan saat mendengar suara tangisan bayi.

Dia segera menarik tangan Angga dan masuk ke dalam kamar Angga. Berbaring di atas tempat tidur sambil memeluk Angga dengan erat.

Angga tersenyum puas.

Tetangga mereka yang meninggal kemarin memang sedang hamil muda.

Tapi kemarin sore tetangga samping rumahnya juga habis melahirkan anak pertama mereka. Dan suara tangisan bayi itu, bukan tangisan hantu atau yang lain. Melainkan tangisan dari bayi tetangga sebelah. Bayi berumur dua hari.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status