Share

Part 3

Perjalanan pulang, Andini tidak dibiarkan untuk naik motor Bayu. Malam sudah menyapa dan udara begitu dingin. Andai bisa, Bayu sendiri diminta untuk naik mobil. Tapi motor Bayu tidak ada yang membawa pulang atau tidak ada tempat penitipan motor di sekitar bukit tersebut. 

Lagi pula, Bayu sendiri lebih memilih untuk naik motor ketimbang naik mobil. Selain membanggakan dirinya adalah laki-laki, Bayu juga mengatakan bahwa dia tidak ingin mengganggu Andini dan Angga yang barangkali ingin berduaan saja.

Andini memutar bola matanya. Jengah mendengar godaan Bayu. Kalau saja Andini bisa, Andini juga lebih memilih untuk naik motor bersama Bayu. Tapi Angga mengancam akan menelepon ayah Andini jika Andini tidak menuruti keinginan Angga.

Andini kesal. Dengan kasar dia membuka pintu mobil Angga dan menutupnya dengan keras. Mentang-mentang ayahnya tidak bisa di bantah, hal itu di jadikan senjata bagi Angga.

"Mampir toserba dulu, ya." 

"Buat apa? Mau langsung pulang." Andini membalas ucapan Angga dengan ketus. 

"Kenapa masih ketus begitu, sih, ngomongnya? Kan, tadi udah maafin aku."

Andini memejamkan matanya. Lalu membuang napas panjang. Sejak hari lamaran kemarin, Andini selalu merasa kesal jika itu menyangkut soal Angga. Hanya tadi waktu di bukit saja Andini bisa sedikit melunak.

"Ya udah, maaf." Andini mengalah. "Mau apa kita ke toserba?"

"Ada beberapa yang harus di beli, Ndin untuk seserahan."

"Kan, kemarin udah ada?" Andini menyela ucapan Angga dengan cepat.

"Kemarin itu pilihan Vika semua. Memangnya kamu mau pakai selera dia?"

Andini membuang tatapannya ke luar jendela. "Ya enggak, sih," jawabnya pelan. "Terus yang kemarin mau diapakan? Kan, sayang barang-barangnya."

"Semua bisa jadi duit lagi kalau udah di tangan si Shella."

Shella adalah sepupu Angga yang menjalani bisnis jualan online dengan sistem palugada. Apa lu cari gua ada. Dengan artian, semua barang yang bisa di jual, ya dia jual. Asalkan bisa jadi uang, Shella akan menjalaninya.

"Kamu nanti pilih yang kamu mau, sesuai yang biasa di buat seserahan. Baru nanti kita minta tolong Shella untuk menghiasnya di atas baki."

Andini mengangguk pasrah. Terserah Angga saja. Lagipula dia yang membayarnya, kan? Bukan matre, tapi Andini mencoba realistis. Laki-laki memang harus modal. Lagipula Andini sebenarnya juga tidak meminta aneh-aneh.

***

Berbelanja. 99% wanita pasti menyukai hal ini. Termasuk Andini. Satu persatu barang yang di sukai Andini masuk ke dalam troli belanja tanpa melihat harga. 

Angga yang mendorong trolinya pun tersenyum melihat Andini yang sibuk memilih dan memasukkan barang ke dalam troli.

Hingga sampai di bagian pakaian dalam, Andini menyuruh Angga untuk berhenti di depan gang bagian pakaian dalam wanita.

"Kenapa?" tanya Angga berpura-pura tidak paham dengan kemauan Andini.

"Udah tunggu sini aja. Aku malu."

"Kenapa malu, sih? Mau pilih yang mana aja kan, nanti yang lihat cuma aku."

Tanpa berpikir panjang, Andini langsung menyentil dahi Angga hingga Angga mengaduh kesakitan. "Makanya jangan ngeres itu otak."

Andini langsung meninggalkan Angga yang masih mengusap dahinya. Tapi saat Andini sedang memilih pakaian dalam, dengan gilanya Angga berbicara dengan sedikit meninggikan suaranya. "Lingerie-nya jangan lupa, Ndin."

Mata Andini membulat mendengar suara Angga yang terdengar begitu jelas bahkan di jarak lima meter. Rasanya Andini ingin menyembunyikan wajahnya di kolong rak karena malu di lihat orang-orang yang sedang tertawa geli mendengar ucapan Angga.

"Punya calon suami gini amat, ya Allah," gerutu Andini sambil mengetuk-ngetukkan kepalanya ke rak pakaian dalam.

***

"Skincare sama body care aku mau dari produk ini, ya?" Andini menunjukkan sebuah gambar yang menampilkan aneka skincare dan body care yang terbuat dari bahan herbal. "Temanku yang jual, nanti aku pesan ke dia. Bayar, ya."

"Bebas, Ndin."

Dari dulu Angga memang tidak pernah perhitungan jika dengan Andini. Apa yang Andini inginkan, selagi Angga mampu pasti Angga akan memenuhinya. 

Andini tidak pernah meminta pada Angga. Angga yang dengan sukarela memberikannya pada Andini. 

Beberapa kali Andini sempat keceplosan mengatakan dia sedang menginginkan sesuatu. Sayangnya belum bisa di beli karena belum gajian.

Tapi keesokan harinya, Angga datang dengan membawa barang yang di inginkan Andini. 

Sejak saat itu, Andini tidak lagi bercerita pada Angga tentang apa yang dia inginkan. Karena sudah pasti Angga akan memberikannya secara cuma-cuma. Awalnya senang, tapi lama-lama Andini tetap merasa sungkan. 

"Ke rumahku dulu, nanti aku antar pulang."

Andini tidak memprotes ucapan Angga. Lagipula rumah mereka dekat. Tidak sampai lima menit jalan kaki juga sudah sampai. Jadi Andini tidak masalah dengan hal itu.

Angga langsung menyuruh Andini untuk masuk ke dalam rumah. Sedangkan Angga akan menurunkan barang belanjaan mereka terlebih dahulu dan membawanya masuk ke dalam rumah.

"Eh, ada calon pengantin." Elsa langsung menarik tangan Andini untuk masuk ke dalam rumah. Keduanya berpapasan di depan pintu rumah Angga.

"Bu, ada Andini, nih," teriak Elsa memanggil ibunya. 

"Nggak usah teriak-teriak, Elsa." Wiwit dan Hardi sedang duduk di ruang tamu. Di depan mereka ada sepasang suami istri yang Andini ketahui dengan jelas mereka adalah orangtua Vika.

Sudah pasti mereka datang ke rumah Angga untuk meminta maaf pada orangtua Angga atas kelakuan anaknya yang memalukan dan mengecewakan semua orang. 

Andini langsung menyalami mereka berempat. "Angga mana, Ndin?" tanya Hardi.

"Masih di depan, Pakde." 

Wiwit mengerutkan dahinya. "Kok, manggilnya masih Pakde to, Nduk? Panggil bapak sama ibu. Sama seperti Elsa dan Angga. Kamu kan, sebentar lagi jadi istrinya Angga."

Andini tersenyum canggung. Dia mengangguk malu. Rasanya sungkan di bilang sebentar lagi akan menikah dengan Angga di depan orangtua Vika. Mantan calon mertua Angga.

"Jadi Andini yang ini yang akan di nikahi Angga besok Minggu, Pak, Bu," ucap Wiwit pada kedua orangtua Vika.

Orangtua Vika tersenyum aneh setengah malu. 

Tak berapa lama kemudian, Angga masuk dengan membawa barang-barang yang mereka beli tadi dengan di bantu Kevin, keponakan Angga alias anaknya Elsa yang berusia enam tahun.

Raut wajahnya terlihat terkejut mendapati mantan calon mertuanya sedang duduk di ruang tamu rumahnya.

Dengan menyisihkan rasa kecewanya pada Vika, Angga menyalami keduanya dan menyapa mereka dengan baik. Yang salah adalah Vika, bukan kedua orangtuanya. Jadi tidak ada alasan bagi Angga untuk marah pada orangtua Vika.

"Sudah lama, Pak?" tanya Angga untuk berbasa-basi.

"Sudah, Angga. Ini kita berdua juga mau pamit pulang," kata bapak Vika.

Orangtua Angga tidak ada niatan untuk menahan orangtua Vika meskipun hanya sekedar basa-basi. Mereka terlanjur kecewa, tapi tetap mencoba untuk bersikap baik dan tidak mengedepankan emosi. 

Toh mereka juga akan tetap mengadakan acara pernikahan Angga. Tentu saja dengan yang jauh lebih baik dari Vika, yaitu Andini.

Setelah orangtua Vika pulang, Wiwit segera menarik tangan calon menantunya itu untuk bergabung dengan anggota keluarga yang lain.

Keluarga Angga yang sebelumnya sudah beberapa kali dia temui saat mereka pulang kampung.

Sambutan mereka begitu antusias pada Andini. Gadis yang baik yang dulu hanya sebagai sahabat Angga kini akan segera menjadi bagian dari mereka.

"Habis dari mana tadi, Ndin?" tanya Ningsih, adik ipar Wiwit.

"Habis dari_"

"Jalan-jalan, Bulek. Kangen-kangenan." Dengan cepat Angga menyela ucapan Andini. Tentu dengan jawabannya yang selalu di luar nalar Andini.

(Bulek : panggilan di Jawa untuk adik kandung atau adik ipar perempuan dari ayah atau ibu)

Ningsih mendecih pelan. "Anak jaman sekarang, nggak bisa nggak ketemu sehari aja. Harusnya kan, kalian di pingit."

"Ya nggak apa-apa, dong, Bulek. Siapa tau juga bisa nyicil, kan?"

"Nyicil apa, Ga?" tanya Andini yang tidak paham dengan maksud Angga.

Semua orang dewasa yang sedang berkumpul itu tertawa kecil mendengar pertanyaan Andini yang terdengar polos.

"Nyicil beli seserahan tadi, Ndin." Angga mencoba meluruskan ucapannya sebelum Andini salah paham dan semakin kesal padanya.

Sedangkan Andini hanya ber'oh ria menanggapi jawaban Angga.

***

Malam ini Andini kembali tidak bisa memejamkan matanya. Meskipun Andini sudah bisa menerima takdirnya yang akan segera menikah dengan Angga, tapi tetap saja hatinya terasa kosong karena kandasnya hubungannya dengan Gilang.

Setelah kemarin Andini mengatakan semuanya pada Gilang, Gilang memblokir nomor Andini dan semua akun Andini. Andini tidak bisa lagi menghubungi Gilang untuk sekedar mengulang kata maafnya. 

Lelaki itu, dia sangat mencintai Andini. Tiga tahun menjalin hubungan bukanlah waktu yang singkat. Mereka punya mimpi untuk hidup bersama namun Gilang harus menyiapkan segalanya untuk mencukupi kebutuhan Andini setelah menjadi istri nanti.

Itu alasan utama Gilang tak kunjung melamar Andini meskipun sudah tiga tahun lamanya mereka berpacaran.

Hubungan mereka bukan hubungan yang mulus tanpa masalah. Sejak awal orangtua Andini juga tidak begitu menyukai Gilang. Bukan masalah ekonomi yang menjadi masalah bagi orangtuanya. Hanya karena Gilang tak kunjung memberi kepastian pada hubungan mereka tapi selalu mengajak Andini pergi ke sana kemari berdua.

Orangtua Andini khawatir kalau sampai Gilang berbuat yang aneh-aneh pada Andini. 

Selain itu, mereka juga sering bertengkar karena persahabatan Andini dan Angga. Gilang tak pernah sekalipun mempercayai bahwa antara Andini dan Angga itu tidak ada rasa apapun kecuali hubungan persahabatan.

Dan kejadian ini, membuat Gilang berpikiran bahwa dugaannya selama ini itu benar. Angga dan Andini ada hubungan khusus.

Gilang tidak tahu bagaimana cerita yang sebenarnya. Dan Andini rasa, Andini juga tidak perlu lagi menjelaskan apapun pada Gilang. Karena semua tidak akan mengembalikan semuanya. Pernikahan Andini dan Angga tetap berjalan, dan hubungan Andini dengan Gilang tidak pernah bersatu lagi.

"Apa kabar kamu, Lang?" gumam Andini sambil mengusap wajah Gilang pada foto yang ada di galeri handphonenya.

"Aku minta maaf ya, udah nyakitin kamu. Aku pun juga sakit dengan semua ini."

Tiga hari lagi pernikahannya dengan Angga akan digelar. Rasanya masih seperti mimpi bagi Andini. 

Angga, lelaki yang usianya empat tahun lebih tua darinya itu akan segera menjadi suaminya. Sahabatnya sejak kecil akan segera menikahinya. Menjalani kehidupan berdua.

Andini kecil tidak memiliki seorang teman bermain yang seumuran. Kalau tidak lebih muda dari Andini, pasti lebih tua dari Andini. Dan Andini kecil tipe anak yang tomboi. Dia tidak suka bermain dengan yang lebih muda darinya karena menurut Andini mereka terlalu cengeng.

Hanya dengan Angga yang empat tahun lebih tua Andini bisa berteman karena merasa mereka cocok untuk berteman.

Bahkan, seiring mereka dewasa, pertemanan mereka semakin akrab. Banyak yang salah paham dengan hubungan pertemanan diantara keduanya. Termasuk Gilang dan Vika, juga mantan-mantan pacar Andini dan Angga.

Dan adanya pernikahan ini, hanya akan membenarkan asumsi mereka selama ini. Tapi ya sudahlah. Hal itu bukan sesuatu yang perlu di pikirkan dengan berat oleh Andini maupun Angga.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status