Share

Part 7

Sebenarnya, Andini tidak terlalu bisa memasak. Dia hanya bisa memasak makanan sederhana saja. Seperti pagi ini, Andini hanya mampu memasak nasi goreng dengan telur ceplok di atasnya sebagai topping.

Dua piring nasi goreng sudah tersaji di atas meja. Entah bagaimana rasanya, namun Andini puas melihat hasil karya tangannya yang tak pernah di asah dalam hal memasak.

Andini kembali naik ke lantai atas. Bukan untuk membangunkan Angga. Tapi untuk mengganti pakaiannya dengan baju kerja. Sejak awal memang Andini tak mau terlalu banyak ikut campur dalam urusan Angga. Termasuk masalah kapan dia harus bangun dan tidur kembali.

Orang yang dulu sangat dekat seolah tak terpisahkan itu kini bak orang asing yang hidup dalam satu atap.

Andini benar-benar membatasi dirinya agar tak terlalu dekat dengan Angga. Perasaannya sebagai seorang sahabat terasa sulit jika harus di ubah menjadi perasaan sebagai sepasang suami istri meskipun sudah seharusnya begitu.

Cukup lima belas menit saja Andini sudah siap dengan setelan kerjanya. Celana bahan berwarna hitam dengan atasan seragam batik khusus untuk hari Rabu dengan warna jilbab yang menyesuaikan warna baju sudah membalut tubuh indah Andini.

Tubuh ramping tinggi semampai, begitu proposional menjadi impian hampir semua wanita. 

Angga sudah berada di meja makan saat Andini menuruni tangga.

"Cantik banget istriku." Angga memuji Andini.

Bukannya tersipu, Andini justru mengangkat sebelah bibirnya, menandakan bahwa ucapan Angga tak berefek apapun pada hati Andini.

"Dari dulu udah cantik."

Angga mengangguk membenarkan. Andini memang sudah cantik sejak kecil. "Ini masakan kamu atau beli?"

"Memangnya ada orang jualan nasi goreng pagi-pagi begini? Kenapa? Nggak enak, ya? Ya udah jangan di makan!"

"Sensitif amat, Bu. Memangnya aku bilang kalau nasi gorengnya nggak enak?"

Bibir Andini merengut kesal. Mendudukkan dirinya di kursi yang berhadapan dengan Angga lalu mulai menyendok nasi goreng miliknya.

Rasanya tak terlalu buruk untuk ukuran Andini yang baru belajar memasak. Terlalu asin sedikit masih bisa di maklumi oleh lidahnya.

"Aku antar aja." Angga bersuara. Memecah keheningan di antara mereka.

Andini menggelengkan kepalanya, menunggu makanan di mulutnya tertelan untuk membuka suara. "Enggak usah. Nanti pulangnya repot. Kamu masuk malam, kan?" Andini membuka suara setelah makanannya tertelan. Masih mengingat bahwa untuk lima hari ke depan, jadwal Angga untuk masuk malam.

"Aku bisa jemput kamu dulu sebelum ke rumah sakit."

"Enggak usah, Angga. Nanti yang ada kamu malah telat. Udah, deh. Lagian biasanya aku juga berangkat sendiri." Andini berdiri meninggalkan Angga. Membawa dua piring yang sudah tandas isinya itu ke dapur untuk di cuci.

"Seharian ini aku ngapain ya, nggak ada kamu?" Angga sedikit mengeraskan suaranya karena yakin Andini tak begitu mendengarnya karena suara Angga teredam oleh air kran yang menyala.

"Bebas. Mau cari istri baru juga boleh. Habis itu aku di ceraikan," jawab Andini dengan asal.

Berbeda dengan Andini yang terlihat santai dengan ucapannya, Angga justru terlihat kesal dengan sikap Andini yang masih saja menolak pernikahan mereka. Padahal, pernikahan sudah terjadi.

"Ini mulut lemes banget sih, kalau ngomong." Angga mencubit pelan kedua bibir Andini. "Di aamiinin malaikat gimana? Mau jadi janda? Apa susahnya, sih, Ndin jalanin pernikahan ini? Yang menikah dengan sahabatnya nggak cuma kita doang, kok. Tapi mereka bisa bahagia. Bahkan sampai punya anak."

"Itu karena mereka saling cinta, Angga. Nggak kayak kita. Kita menikah karena_"

"Kalau aku cinta sama kamu, kamu mau apa?" Dengan cepat Angga menyela ucapan Andini. Membuat Andini terdiam dengan jantungnya yang berdegup kencang.

"Aku nggak cinta sama kamu, Angga."

Meninggalkan Angga yang masih berdiri di tempatnya, Andini mengambil tas kerjanya dan berangkat bekerja tanpa berpamitan dengan Angga.

Air mata Andini mengalir deras di pipinya. Meratapi nasib dirinya yang di paksa menikah dengan Angga. 

Ya, seharusnya Andini bisa mencoba menerima pernikahan ini dan menjalaninya seperti pasangan yang lainnya.

Andini juga membenarkan, tidak hanya mereka yang menikah dengan sahabat sendiri dan bisa berakhir bahagia. Tapi Andini tidak bisa menerima Angga. Sebab sedikitpun Andini belum bisa melupakan Gilang yang kini entah dimana dan bagaimana kabarnya.

Semua akses komunikasi dengannya di blokir. Andini tidak bisa menghubungi Gilang lagi. Bahkan untuk stalking akunnya saja sudah tidak bisa. Hanya untuk sekedar tahu, bagaimana kabarnya.

***

Semakin hari, Andini semakin menjaga jarak dengan Angga. Apalagi keduanya jarang bertemu karena pekerjaan. Keduanya bagaikan orang asing yang tinggal dalam satu atap.

Saat Angga sudah pulang dari dinas malam, Andini sudah tertidur lelap. Belum juga Angga bangun pagi, Andini sudah berangkat ke kantor. Sore hari, Angga sudah berangkat ke rumah sakit sebelum Andini sampai rumah.

Hal itu membuat Angga semakin sulit untuk mendekati Andini. Semakin sulit untuk membuat Andini mencintainya. 

Berbeda dengan Andini yang terlihat biasa saja meskipun sudah empat hari terakhir tak menyaksikan wajah sahabat yang telah menjadi suaminya.

Andini seolah tak peduli Angga pulang atau tidak, Angga pulang jam berapa. Seandainya tega, Andini juga tidak memikirkan perut lelaki itu. 

Oleh karena itu setiap pagi Andini tetap menyiapkan sarapan. Entah hasil tangannya sendiri, atau dia beli makanan matang di warung depan komplek.

Setelahnya, Andini akan berangkat ke kantor tanpa berpamitan pada Angga yang masih terlelap.

"Hari libur gini mau tetap pergi, Ndin? Apa nggak di rumah aja? Sesekali kasih waktu untuk keluarga."

Hari ini Andini akan pergi bersama teman-temannya. Hal ini sudah di rencanakan jauh-jauh hari. Libur kerja, mereka ingin sesekali refreshing daripada rebahan di rumah. 

"Kita serumah, tapi empat hari kita nggak saling bertatap muka begini. Apa nggak ada niatan untuk memperbaiki hubungan kita?"

Rasanya Angga mulai jengah dengan sikap Andini. Marah boleh, tapi semua sudah terjadi. Dan memang takdir mereka berjodoh. Kenapa Andini tidak bisa berpikir sampai ke sana?

Yang dia pikirkan hanya kesenangannya sendiri tanpa memikirkan perasaan Angga.

"Hubungan yang bagaimana yang harus kita perbaiki, Ga?" tantang Andini. Tak ada rasa takut saat melihat mata Angga yang sudah terlihat marah.

"Terima pernikahan kita. Terima takdir kalau kenyataannya kita berjodoh." Angga meninggikan suaranya.

"Aku nggak bisa, Angga. Aku sayang sama kamu. Tapi tetap sebagai sahabat, bukan suami."

"Tapi kenyataannya sekarang kita ini suami istri."

Angga menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan kasar. Berulangkali dia lakukan untuk meredam emosinya yang mulai memuncak. 

"Apa yang kamu mau?" tanya Angga pelan, namun begitu menusuk hati Andini. 

Ada rasa takut di hati Angga saat Angga bertanya seperti itu. Takut kalau jawaban Andini ternyata meminta perpisahan.

"Kamu minta perpisahan?" pancing Angga dengan penuh penekanan.

Andini terdiam. Sebenarnya ini yang dia mau sejak awal. Tapi entah kenapa hatinya sakit mendengar Angga bertanya seperti itu.

"Akan aku kabulkan jika itu membuatmu bahagia. Jika bersamaku hanya akan menambah luka di hati kamu, maka akan aku kabulkan semua yang kamu minta asalkan kamu bahagia. Aku memang mulai mencintai kamu. Tapi aku tidak bisa berbuat lebih kalau orang yang aku cintai tidak mau bertahan di sampingku menerima pernikahan ini."

Angga berlalu meninggalkan Andini yang masih terdiam dan menundukkan kepalanya. 

Air mata Andini mengalir deras. Hatinya terasa amat sangat sakit mendengar ucapan Angga. Andini akui, dirinya sudah sangat keterlaluan.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ananda Ari Susanti
kapan lg ya next episode nya..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status