Share

Part 9

Andini mengerjap pelan. Matanya menyesuaikan cahaya lampu yang menyala dengan terang. 

Ketika dia berusaha menggerakkan tubuhnya, dia mengernyitkan keningnya. Tubuhnya terasa sulit untuk digerakkan. Seperti ada beban yang menimpa tubuhnya.

Seketika Andini menjauhkan tubuhnya saat dia menyadari tubuhnya sedang berada dalam pelukan Angga.

Guling yang semalam dijadikan pembatas sudah teronggok di atas lantai. Entah siapa yang membuangnya, yang jelas Andini merasa tidak terima karena Angga mencari kesempatan untuk memeluk dirinya tanpa ijin.

"Hai, istri," sapa Angga dengan renyah saat matanya juga terbuka setelah merasakan gerakan di sampingnya.

Andini memasang wajah datar. "Geli banget dipanggil begitu," balasnya sedikit ketus.

"Istri orang lain dipanggil begitu seneng, tersipu. Ini kenapa istriku dipanggil begitu malah kayak gini ekspresinya, sih?"

"Itu orang lain, bukan aku," ujar Andini tak mau kalah. "Itu guling kenapa bisa ada di bawah? Kamu buang, ya?" tanya Andini sambil menunjuk guling dengan dagunya.

Angga mengendikkan bahunya dengan cuek sambil beranjak dari tempat tidur. "Mana aku tau. Jatuh sendiri kali. Kalau nggak ya kamu yang jatuhin sendiri."

"Enggak mungkin aku yang buang, Ga. Pasti kamu, kan? Bilang aja mau cari-cari kesempatan buat peluk aku. Dasar_"

"Sssttt!" Angga menempelkan jari telunjuknya pada bibir Andini. Membuat Andini terdiam seketika.

Dadanya berdegup kencang saat wajah Angga begitu dekat dengan wajahnya. Ditambah lagi dengan Angga yang membuka sedikit bibirnya, lalu berbisik di telinga Andini dengan pelan. "Jangan ngomel mulu pagi-pagi. Udah adzan, tuh. Wudhu, terus sholat."

Tubuh Andini menegang, terdiam di tempatnya. Sentuhan kecil dari Angga saja sudah bisa membekukan tubuhnya seperti ini. 

Andini masih diam meskipun Angga sudah berlalu dari hadapannya dan masuk ke dalam kamar mandi.

Segera Andini mengumpulkan kesadarannya, lalu kembali ke kamarnya sendiri. Setelah ini dia juga harus mandi dan menyiapkan sarapan sebelum dia berangkat bekerja.

***

"Mbak Ningsih udah lahiran? Kok, aku nggak tau? Kapan lahirannya, Mbak?"

Andini berjalan memasuki halaman rumah Ningsih. Ningsih sedang berjemur dengan memangku bayinya. Terakhir Andini bertemu dengan Ningsih, wanita itu masih dalam keadaan hamil besar.  

"Udah kemarin lusa, Ndin. Kamu kemarin nggak keluar rumah, ya, sampai nggak tau aku udah lahiran."

Andini tersenyum canggung. Malu karena tetangga dekat tapi tidak tau apa-apa. "Iya, Mbak. Kemarin capek banget, jadi seharian cuma di rumah aja," jawabnya sedikit berbohong. 

Kemarin hatinya sudah kalut karena tak mendapatkan kabar apapun tentang Angga. Dan hal itu membuatnya malas melakukan aktivitas apapun selain menyiapkan makanan untuk Angga.

"Jangan terlalu capek. Pengantin baru butuh tenaga banyak, loh, Ndin."

"Buat apa, Mbak? Kayaknya setiap hari kita biasa-biasa aja, Mbak."

Ningsih tertawa kecil mendengar jawaban Andini yang tidak nyambung dengan apa yang dia maksud. "Kalau masih pengantin baru biasanya tenaganya dobel-dobel, sih."

"Apaan, sih, Mbak? Aku nggak paham, deh. Beneran."

Lagi-lagi Ningsih tertawa. Mungkin memang Andini masih terlalu polos dalam hal seperti ini, pikirnya.

"Eh, semalam keganggu nggak sama tangisan anakku? Dia nangis kenceng banget kalau lagi haus."

"Semalam?" Andini memastikan.

Ningsih menganggukkan kepalanya. "Iya. Semalam dia nangis kenceng banget, Ndin."

Semalam memang Andini mendengar tangisan bayi. Dia pikir itu hantu, anak dari wanita hamil yang kemarin lusa meninggal. Ternyata suara tangisan itu berasal dari anak bayi Ningsih.

Dalam hati Andini merutuki Angga yang begitu licik mengambil kesempatan tersebut untuk menakut-nakuti Andini. Angga tau kalau Andini penakut. 

Setelah ini, Andini akan memberi pelajaran untuk Angga yang sudah tega membodohinya. Bahkan semalam mengambil kesempatan agar bisa memeluknya. 

"Mbak, aku pulang dulu, ya. Takut Angga udah nunggu sarapannya. Nanti sore aku kesini lagi, deh, sama Angga. Sekalian bawa kado buat dedek bayinya. Ih, gemes banget, sih, Mbak." Andini mengusap pelan pipi lembut bayi yang masih merah yang ada di pangkuan Ningsih.

"Nggak usah repot-repot, Ndin. Didoain aja udah seneng, kok. Kamu cepetan nyusul, ya, punya yang lucu begini."

Mendengar itu, Andini tersenyum canggung. Jangankan punya, proses pembuatannya saja Andini belum melakukannya. "Iya, mbak. Aku pamit, ya."

"Iya, Ndin."

***

Angga sedang mengenakan sepatunya saat Andini datang dengan langkah tergesa. Tanpa basa-basi, Andini memukul Angga menggunakan bantal sofa yang ada di dekat Angga.

"Apa, sih, Ndin? Datang-datang main pukul aja."

"Ngeselin banget kamu, Ga! Emang dasar licik! Nyebelin!"

Keduanya berlarian di dalam rumah. Andini masih memegang bantal dan dipukulkan ke Angga.

"Ndin, udah, Ndin. Kamu kenapa, sih?"

"Aku sebel sama kamu, Angga. Kamu licik, nyebelin!"

Andini kembali mengayunkan bantal tersebut. Sayang, bukan Angga yang terkenal pukulan justru kaki Andini tersandung kaki meja sehingga dia terjatuh. Tubuhnya menabrak Angga sehingga Angga ikut terjatuh. Andini menimpa tubuh Angga.

Dengan napas yang masih memburu karena kelelahan berlari, mereka berdua saling menatap lekat.

Jantung Andini semakin berdebar kencang kala tangan Angga mengusap pipi Andini dengan lembut. "Kenapa?" tanya Angga dengan lembut pula.

Andini menghembuskan nafas dengan kasar. Bangun dari atas tubuh Angga dan duduk di atas karpet bersandar pada sofa. "Semalam kamu ngerjain aku, kan?"

"Ngerjain gimana, sih? Orang tidur mana bisa ngerjain kamu?"

"Iiihhhhh...."

"Aduh, Ndin, sakit." Angga berteriak kesakitan saat Andini mencubit perutnya dengan keras. "Dari kemarin KDRT mulu kamu itu."

"Biarin. Itu hukuman buat suami yang suka ngerjain istrinya."

"Ciye, suami, ciyeee.... Sekarang bilangnya udah suami istri, ya?"

Pipi Andini bersemu merah. "Apaan, sih! Nggak usah mengalihkan pembicaraan. Semalam itu suara tangisan anaknya Mbak Ningsih, kan? Yang kemarin malam juga. Kamu sengaja bohongin aku buat cari kesempatan, kan?"

Tadinya, Angga ingin menahan tawanya mendengar Andini mengomel. Tapi akhirnya tawa itu pecah juga. Angga tertawa terbahak sampai perutnya terasa kram.

"Apanya yang lucu, sih?"

"Aku nggak bohong, Ndin. Kan, memang ada anak bayi nangis. Kamu aja yang penakut."

"Iya juga, sih." Andini membenarkan ucapan Angga. Memang ada suara bayi menangis. Angga pun tak mengatakan kalau itu hantu. Andini saya yang overthingking. "Kalau gitu, nanti malam aku tidur sendiri lagi."

"Jangan, dong." Angga menyela dengan cepat. 

"Kenapa?"

"Nggak ada tidur sendiri lagi mulai sekarang. Nurut sama suami. Kalau nggak nurut bisa dosa."

"Ih, nggak mau. Aku tetap mau tidur sendiri."

"Oke kalau gitu." Angga menegakkan tubuhnya. Dia melipat kedua lengan kemejanya hingga ke siku. Angga menatap Andini dengan lekat. Bibirnya menyunggingkan sebuah senyuman misterius.

Tanpa Andini siap, Angga mendekatkan wajahnya ke wajah Andini. Membuat Andini menjauhkan wajahnya, tapi tak bisa terlalu jauh karena tubuhnya sudah mentok pada sofa. "Mau apa kamu, Ga?" tanya Andini dengan suara bergetar. Jantungnya kembali berlompatan. Pikirannya sibuk menerka apa yang akan Angga lakukan.

"Nurut sama aku, atau aku unboxing kamu saat ini juga!"

"Angga gila!"

Tangan Andini berusaha mendorong tubuh Angga yang semakin dekat. Tapi justru kedua tangannya terkurung dalam genggaman Angga. Andini tak bisa bergerak banyak karena Angga sudah menduduki kaki Andini yang sedang selonjoran.

"Minta hakku sendiri masa dibilang gila, sih, Ndin? Ayolah. Aku udah tahan ini selama hampir dua bulan, loh. Nggak kasian kamu sama aku? Punya istri tapi nggak dikasih jatah. Pengen itu tapi nggak bisa padahal ada kamu yang halal untuk aku apa-apain. Please, Ndin. Nahan kayak gitu tuh nggak enak."

"Angga... Jangan bikin aku takut. Kamu tau aku belum siap."

"Belum siap atau tidak mau?"

"Belum siap, Angga. Kasih aku waktu untuk itu."

"Sampai kapan?"

Andini menggelengkan kepalanya. "Aku nggak tau."

"Kalau gitu kamu harus mau tidur sama aku terus kalau kamu nggak mau aku paksa saat ini juga."

Andini menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Matanya terpejam dan akhirnya dia mengambil keputusan. "Oke," jawabnya yang membuat Angga tersenyum lebar.

"Good girl!" ucap Angga sembari mengacak jilbab Andini yang sudah berantakan padahal belum berangkat bekerja.

Angga bernapas lega. Setidaknya dia dan Andini bisa selangkah lebih dekat lagi setelah kemarin dia mengucapkan cinta pada Andini.

🌹🌹🌹

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status