Paginya Raina harus menghadapi pertanyaan juga rengekan Amara.
Wajar saja, Amara berpikir jika papanya benar-benar menginap disini. Rupanya malah meninggalkannya.Sampai siang pun Amara masih marah. Dia sampai tak mau makan. Diberi pengertian juga percuma karena anak sekecil ini mana mau mengerti.Suara ketukan pintu terdengar."Mbok tolong buka pintunya," pinta Raina. Dia masih merayu Amara untuk makan.Hari ini kios donatnya libur, dia tak menerima orderan. Tidak mungkin ojek online yang datang."Mas Lukman, mba." Kata mbok Darti tergopoh-gopoh masuk ke kamar Raina."Suruh masuk saja." Ucapnya sambil menghela nafas panjang.Setelah tak berhasil membujuk Amara untuk makan, Raina keluar saja menemui tamunya."Hai.." sapa lelaki itu ramah.Raina membalas sapaan itu dan mempersilahkannya duduk."Aku bawa mainan untuk Amara. Dimana dia?" Tanya Lukman sBaru turun dari mobil, Amar mendengar jeritan itu. Tak hanya Amar, mbok Darti juga mendengar. Beberapa tetangga juga sempat keluar karena penasaran berasal darimana suara itu.Rumah tampak sepi. Pintu tertutup dan dikunci. Suara teriakan yang lebih keras berasal dari dalam.Suara Raina. Amar hapal sekali. Apalagi ada sendal lelaki yang berada di teras depan. Pasti ada sesuatu yang tak beres.Amar mengetuk dan mendobrak pintu tapi gagal. Membuka jendela terhalang terali.Mbok Darti mengarahkan Amar memutar ke arah belakang dimana area belakang rumah belum di pagar.Amar berlari mengitari beberapa rumah karena perumahan ini saling berdempet.Untungnya pintu belakang rumah tidak dikunci sehingga Amar bisa masuk dan mencegah hal buruk terjadi.Amar melihat lelaki itu berada di atas badan Raina yang menangis. Tak ada lagi suara teriakan dikeluarkannya.Mendidih darah Amar melihat itu semua. Dia menarik
"Raina, kembalilah padaku."Amar menatap mantan istrinya lekat, sebuah ketulusan terpancar dari mata coklatnya yang indah.Raina tertegun. Hatinya terharu. Ternyata Amar belum sama sekali berpaling darinya. Tak terasa matanya berkaca-kaca. Tiga kata tadi mampu membuat riak di hati Raina.Sesungguhnya, Raina masih ragu. Dia belum tahu apa yang diinginkan hatinya.Jika berjauhan dari Amar, ia ingin lelaki itu muncul menenangkan hatinya yang kelabu.Tetapi ketika berdekatan, Raina malah menciptakan jarak yang sulit untuk dilompati."Maafkan aku, mas.." ucap Raina tertunduk. Tak ada kata lain yang bisa diucapkannya saat ini. "Aku belum bisa."Amar mengangguk lemah. Untuk ketiga kalinya ia kembali di tolak. Maksud hati ingin menyambung tali yang terlepas, tapi sang pemilik tak ingin tali itu disentuh."Tidak apa-apa. Aku mengerti." Jawabnya getir.Raina mungkin masih trauma, kan
Sepi.Itu yang Raina rasakan. Satu bulan ini belum ada kunjungan dari mantan suaminya walau mereka beberapa kali bertukar pesan hanya untuk memberitahu kabar Amara.Jika Amara biasanya cerewet bertanya dimana papanya, sekarang tidak lagi karena Amar rutin melakukan video call dengan putri cantiknya itu.Bukannya Raina tidak terbiasa tanpa kehadiran Amar tapi entah kenapa hatinya gundah gelisah. Terlebih terakhir ia lihat Lyandra sengaja mendekatkan tubuhnya pada Amar. Wanita yang cantik, terpelajar dan sopan. Sangat serasi jika dipasangkan dengan Amar.Raina hanya menggeleng. Dia tak perlu memikirkan mantan suaminya, seperti kata Wijaya kalau Amar juga berhak bahagia.Tak seperti biasa, Raina ingin sekali mengajak Amara menikmati sore di luar.Kebetulan ada pasar malam tak jauh dari perumahan. Pasar itu mulai buka dari jam 4 sore dan banyak sekali permainan anak-anak disana.Menjadi ibu tunggal sedikit menguras
"Mama!"Raina tersentak kaget karena panggilan Amara. "Minum Susu!" Ucap Amara sambil menunjuk bibirnya.Raina menghela nafas panjang, di tangannya sudah membawa gelas Amara. Tapi ketika ia ingin keluar kamar, tak sengaja ia mendengar percakapan ayah dan anak itu karena kamarnya memang tepat di sebrang meja makan."Tunggu sebentar."Amar menyadari kehadiran Raina dan memberi kode pada ayahnya untuk berhenti membahas masalahnya dengan Raina.Wijaya berdeham. "Besok sore kita pulang, kalian bersiaplah." Tepat sekali ketika Raina melintasi mereka menuju dapur.Raina menoleh. "Besok sore, pa?""Iya. Besok pagi mamamu mau beli oleh-oleh dulu katanya.""Kenapa cepat sekali?" Protes Amar."Kamu pikir papa gak punya pekerjaan disana? Restoranmu disana siapa yang mau ngurus?""Ya sudah kalau begitu." Amar pasrah. Ia mengerti betapa kerasnya lelaki p
Raina berusaha menikmati perjalanannya kali ini. Anggap saja sebagai liburan. Raina akui kalau dia bukan wanita yang mandiri. Selama dua tahun tinggal berpisah dengan mantan mertuanya, Raina tak pernah sekalipun pergi mengajak Amara berlibur selayaknya orangtua yang lain. Anggaplah ini sebagai penebusnya.Amara juga tampak senang. Mulutnya tak berhenti bertanya. Jika biasanya sang papa yang menjadi sumber jawabannya, kini ada sang kakek dan nenek yang siap melayani pertanyaan bahkan perintah si kecil. Sengaja kali ini Wijaya memakai sopir pribadi, di usianya yang mulai senja dia tak sanggup mengemudi jarak jauh.Mereka akhirnya tiba di tujuan setelah hampir 12 jam perjalanan. Wijaya menyewa satu kamar dengan 3 kamar tidur. Rumah seperti vila.Ruang tamu dan keluarga terpisah tanpa sekat. Dapur yang luas dengan meja makan disana.Karena sudah malam dan Amara tertidur, Raina masuk ke kamar saja beristirahat."Amar g
Paginya Raina harus menghadapi pertanyaan juga rengekan Amara. Wajar saja, Amara berpikir jika papanya benar-benar menginap disini. Rupanya malah meninggalkannya.Sampai siang pun Amara masih marah. Dia sampai tak mau makan. Diberi pengertian juga percuma karena anak sekecil ini mana mau mengerti.Suara ketukan pintu terdengar."Mbok tolong buka pintunya," pinta Raina. Dia masih merayu Amara untuk makan. Hari ini kios donatnya libur, dia tak menerima orderan. Tidak mungkin ojek online yang datang."Mas Lukman, mba." Kata mbok Darti tergopoh-gopoh masuk ke kamar Raina."Suruh masuk saja." Ucapnya sambil menghela nafas panjang.Setelah tak berhasil membujuk Amara untuk makan, Raina keluar saja menemui tamunya."Hai.." sapa lelaki itu ramah.Raina membalas sapaan itu dan mempersilahkannya duduk."Aku bawa mainan untuk Amara. Dimana dia?" Tanya Lukman s