แชร์

Bab 2

ผู้เขียน: Ummu Amay
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-04-12 15:26:40

Sepersekian detik Hanna terdiam. Ia mencoba memahami kalimat yang lelaki tua di depannya katakan.

"Maaf, Pak, saya sedang terburu-buru, dan saya tidak bisa memenuhi permintaan Anda."

Setelahnya Hanna pun berbalik pergi.

"Kalau kamu tidak terburu-buru berarti kamu mau jadi menantu saya?" tanya lelaki tua itu setengah berteriak, masih memaksa. Namun, Hanna hanya tersenyum dan tidak menanggapi ucapan lelaki tua yang kemudian didatangi oleh seorang pria muda.

"Kakek tidak apa-apa?" tanya pria itu dengan wajah cemas.

Sang kakek menggeleng. "Tidak. Kakek baik- baik saja. Laptop milikmu juga selamat," ucapnya seraya menyerahkan tas hitam kepada si pria yang adalah cucunya itu.

Pria itu mengambil tas tersebut dari tangan si kakek. Ia merasa bersyukur karena barang yang teramat penting itu selamat dari aksi pencurian yang baru saja digagalkan.

"Kakek bicara dengan siapa tadi?" Pria tampan yang siang itu mengenakan jas hitam menutupi kemeja putih dan dasi biru tuanya, bertanya sembari mengingat punggung seorang gadis yang berlari menuju lobi rumah sakit.

"Calon istri kamu." Lelaki tua itu menjawab sembari tersenyum.

"Apa, calon istri?"

"Ya," jawab si lelaki tua yang bernama Hartono itu sambil berjalan menuju mobil. "Gadis tadi yang telah menyelematkan tas milikmu."

Lelaki yang masih terlihat kaget itu kemudian menyusul langkah sang kakek yang kini disambut oleh supir pribadinya.

"Maafkan saya, Pak. Karena kelalaian saya Anda hampir celaka." Supir yang usianya setengah baya itu tampak menyesal. Kepalanya menunduk dengan penyesalan yang amat sangat.

"Tidak apa-apa, Bayu. Hanya saja lain kali kamu harus lebih hati-hati."

"Baik, Pak. Terima kasih dan sekali lagi maaf."

Hartono hanya menepuk pundak sang supir. Ia kemudian masuk ke mobil dan duduk di bangku belakang. Lain dengan pria muda yang di belakangnya yang menatap supir tersebut dengan pandangan kesal. Karena keteledorannya, hampir saja ia kehilangan laptop miliknya itu.

"Kakek tidak serius 'kan dengan ucapan Kakek tentang perempuan tadi?" Rupanya sang cucu masih penasaran dengan kalimat yang tadi Hartono ucapkan.

"Sejak kapan Kakek tidak serius? Kakek 'kan sudah bilang kalau kamu masih belum bisa memperkenalkan perempuan yang mau kamu jadikan istri, maka Kakek sendiri yang akan carikan," lanjutnya.

"Aku juga 'kan janji akan secepatnya kenalkan calon istriku." Dengan sikapnya yang dingin, pria bernama Rafael itu membalas tak mau kalah.

"Tapi, waktu yang Kakek berikan sudah habis. Waktu dua tahun yang Kakek berikan tidak kamu pergunakan dengan baik. Kakek sampai harus menanggung malu karena anggapan teman-teman Kakek yang mengatakan kalau kamu tidak suka perempuan."

"Jangan dengarkan mereka," jawab Rafael dengan wajah menahan emosi. Tuduhan yang mengatakan dirinya gay, sudah sampai ke telinganya, dan itu membuatnya sangat marah.

"Makanya kamu buktikan bahwa anggapan mereka itu salah."

"Aku sedang berusaha, Kek. Tapi, mencari pasangan hidup itu tidaklah mudah. Banyak dari mereka yang mengajukan diri hanya karena nama keluarga Bachtiar."

"Tapi, tidak dengan seorang gadis yang baru Kakek temukan di parkiran tadi. Sepertinya dia tidak akan mengincar harta keluarga kita." Hartono memotong, berkata dengan binar mata yang tampak bahagia.

Rafael yang duduk di sebelah sang kakek menatap aneh. "Dari mana Kakek tahu? Apakah Kakek sudah lama mengenalnya?" Lelaki berusia tiga puluh lima tahun itu tak setuju.

Hartono menggeleng. "Tidak. Kakek bahkan baru bertemu dengannya tadi. Hanya tahu namanya, tak lebih dari itu."

Seketika Rafael memejam kedua matanya dramatis.

"Orang yang Kakek baru kenal mau Kakek jodohkan sama aku? Apa Kakek ini sengaja ingin menjadikan aku kelinci percobaan?"

Bukannya menjawab, Hartono malah tersenyum seolah mengejek emosi yang tengah cucunya rasakan.

"Aku menolak." Rafael mengambil keputusan.

"Tidak ada penolakan. Ingat, Rafael, kamu harus menepati janjimu."

"Tapi, tidak begini caranya, Kek." Rafael tampak frustrasi.

"Apapun caranya atau warisan yang Kakek janjikan tidak jadi jatuh ke tanganmu."

"Kalau bukan ke aku, lantas Kakek akan berikan ke siapa?"

Sial bagi Rafael, sang kakek malah tersenyum penuh tanda tanya.

Di tempat lain, Hanna tengah terisak sebab kabar yang baru saja dokter sampaikan mengenai kondisi ibunya.

"Bu Sinta harus dioperasi secepatnya. Obat-obatan yang kami berikan sudah tidak lagi mampu melawan penyakitnya."

Hanna terdiam. Sudah sejak awal sang ibu masuk rumah sakit dokter menyarankan untuk dilakukan tindakan operasi. Tapi, saat itu Hanna menolak karena tidak memiliki uang, dan ia mencoba bernegosiasi supaya dokter memberikan obat saja, berharap supaya penyakit yang menggerogoti penyakit sang ibu tidak menyebar luas. Namun, sepertinya sang ibu tak mampu bertahan hanya dengan mengandalkan obat-obatan yang masuk melalui selang infus tersebut.

"Be-berapa biaya operasi yang harus saya siapkan, Dok?" tanya Hanna dengan suara pelan.

"Menurut bagian administrasi, biaya untuk tindakan operasi Bu Sinta sekitar dua ratus juta."

'Apa! Dua ratus juta?' batin Hanna syok. Kekhawatirannya benar. Operasi untuk penyakit ibunya memang tidak sedikit.

"Ya, dan itu hanya untuk biaya operasinya saja belum termasuk biaya selama Bu Sinta dirawat juga obat-obatan pendukung lainnya."

Hanna mendengar dengan perasaan tak menentu. Terbayang banyaknya jumlah uang yang harus ia siapkan.

"Kapan batas waktu untuk saya menandatangani surat tindakan operasi ibu saya, Dok?"

"Secepatnya lebih baik. Kalau bisa siang ini juga Anda harus mengambil keputusan."

Hanna tampak kebingungan. Dari mana ia harus mencari uang untuk operasi ibunya. Hutangnya di kantor sudah menumpuk. Tidak mungkin ia mengajukan pinjaman lagi, terlebih uang yang dibutuhkan sangatlah besar. Pasti atasannya tidak akan menyetujui pengajuannya.

"Apakah saya harus langsung bayar saat penandatanganan?"

"Tidak. Seluruh tagihan rumah sakit akan diberikan saat pasien keluar dari rumah sakit."

Seketika Hanna pun mengangguk, mendadak menyetujui permintaan operasi yang dokter sarankan.

'Yang penting ibu bisa operasi sekarang. Dari mana uangnya, aku akan pikirkan nanti,' batin Hanna bicara.

Pada akhirnya Hanna bisa bernapas lega. Ia melihat dokter meminta para petugas medis bersiap setelah langkahnya meninggalkan ruangan dokter.

Saat Hanna hendak menuju bagian loket administrasi guna penandatanganan surat operasi, tanpa sengaja ia bertubrukan dengan seorang pria yang berlawanan arah dengannya.

"Apakah kau buta?" Pria itu berkata sinis setelah ponsel miliknya jatuh ke lantai.

"Eh, maafkan saya. Maaf karena saya tidak fokus melihat ke depan," ucap Hanna sembari mengambil ponsel yang jatuh tadi.

Sang pria mengambil ponselnya dari tangan Hanna dengan gerakan yang sangat cepat. Tatapannya sangat sinis membuat Hanna hanya menunduk dan memilih diam.

"Kamu beruntung karena ponsel saya tidak rusak," ucap lelaki itu lagi yang ternyata adalah Rafael.

Hanna tidak menjawab. Ia tak mau menambah kemarahan si pria karena kecerobohannya. Ia hanya mengucap syukur di dalam hati karena ponsel yang ia ambil tadi baik-baik saja.

"Mba Hanna!" Saat kondisi di antara Hanna dan Rafael belum kondusif, seseorang memanggil nama Hanna melalui pengeras suara.

"I-iya, saya!" balas Hanna dengan berteriak.

"Sekali lagi, maafkan saya. Tapi, saya harus pergi." Hanna berkata pada si pria sebelum melangkah, lalu berjalan cepat menuju bagian administrasi.

"Perempuan itu namanya Hanna," ucap Rafael seolah teringat sesuatu.

Saat berbicara di mobil tadi ia mendengar nama itu keluar dari mulut sang kakek.

"Namanya Hanna. Kakek baru tahu itu saja. Tapi, Kakek akan mencari tahu lebih banyak tentang dirinya dan memintanya lagi supaya menerima lamaran Kakek untukmu."

***

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Malam Pertama Penuh Gairah Bersama Cucu Presdir   Bab 106

    Hening yang tercipta setelah pernyataan Rafael terasa begitu terasa hingga membuat Hanna sulit bernapas. Ibunya masih menggenggam tangannya, sementara Yoga menatapnya dengan campuran khawatir dan bersalah —seolah kejadian itu adalah kesalahannya, padahal sama sekali bukan.Rafael menatap keduanya, memastikan tidak ada luka, tidak ada sesuatu yang terlewat.“Bu,” ucap Rafael akhirnya, nadanya menurun namun tetap tegas, “mulai hari ini, kediaman Ibu akan dijaga. Saya akan kirim dua orang. Mereka tidak akan mengganggu aktivitas Ibu, tapi Ibu tidak boleh keluar sendirian untuk sementara.”Ibunya Hanna tampak hendak menolak, tetapi kemudian ia melihat lagi cara Rafael berdiri, tegap, terlihat bahaya, dan sepenuhnya mengambang pada satu hal —melindungi Hanna dan orang-orang sekitarnya.Ia mengangguk pelan. “Baik, Nak Rafael.”Yoga mengangkat tangan sebentar, suaranya pelan, “Aku juga akan dijaga?”Rafael menatapnya tanpa banyak ekspresi. “Ya.”Yoga hendak mengangguk, tetapi ia berhenti keti

  • Malam Pertama Penuh Gairah Bersama Cucu Presdir   Bab 105

    Pagi baru saja menghangatkan teras kediaman Bachtiar ketika Hanna melangkah keluar dari ruang utama. Setelah percakapan berat dengan Hartono, kepalanya masih penuh suara-suara yang menyisakan decak ngeri. Ia berjalan dengan langkah pelan, seperti seseorang yang sedang belajar kembali mengatur napasnya sendiri.Rafael berdiri menunggunya, bersandar di dinding dengan kedua tangan terlipat. Begitu melihat Hanna keluar, ia segera menjauh dari dinding dan menghampirinya.“Hanna?” suaranya rendah, khawatir.Hanna mengangguk kecil. “Kita bicara di kamar nanti. Sekarang … aku butuh udara.”Rafael mengizinkan, tetap mengikuti beberapa langkah di belakangnya seperti bayangan yang tak mau hilang.Namun, baru lima langkah mereka berjalan, seorang pelayan berlari kecil dari arah gerbang utama.“Pak Rafael! Non Hanna! Ada tamu datang.”Rafael mengerutkan dahi. “Tamu? Siapa?”“Bu Sinta, ibunya Nona Hanna. Dan satu orang lagi —seorang laki-laki bernama Yoga.”Hanna terhenti.“Apa?” suaranya keluar le

  • Malam Pertama Penuh Gairah Bersama Cucu Presdir   Bab 104

    “Kenapa ini terdengar sangat rumit dan berbahaya?” Hanna membatin, jari-jarinya menekan sampul map hingga memucat.Rasa dingin merambat perlahan dari tengkuk ke punggungnya. Bukan hanya karena apa yang baru saja ia dengar, tetapi karena tatapan Hartono dan Rafael sama-sama mengarah padanya.Sebagai pusat ancaman.Sebagai sasaran utama.Meski ia tidak pernah meminta satu pun dari semua ini.Rafael melangkah mendekat, berdiri tepat di samping kursi Hanna. Satu tangannya bergerak seolah ingin menyentuh bahu Hanna, namun ia tahan —mungkin takut menyulitkan perasaan Hanna, mungkin juga karena Hartono masih memperhatikan.“Hanna,” panggil Rafael lembut namun tegas.Hanna mendongak. Tatapan Rafael bukan belas kasihan. Bukan pula rasa bersalah. Melainkan ketegasan orang yang sedang membangun dinding pelindung di sekitarnya.“Aku tidak akan membiarkan satu pun menyentuhmu,” lanjutnya.Hanna menelan ludah. Kata-kata itu menghangatkan, sekaligus membuat dadanya sesak.“Rafael benar,” sambung Har

  • Malam Pertama Penuh Gairah Bersama Cucu Presdir   Bab 103

    Hening menyelimuti ruangan setelah kalimat itu. Seolah udara ikut membeku bersama bayang-bayang masa lalu yang kembali hidup.Rafael perlahan berdiri. “Kek … kalau benar Rana kembali, dia tidak akan berhenti hanya dengan mengganggu Hanna. Dia akan menyasar perusahaan. Nama keluarga. Bahkan—”“Ya,” potong Hartono pelan, namun tegas. “Dan itu sebabnya kita tidak boleh lengah.”Hanna menatap keduanya, dada sesak. “Apa… Rana punya alasan untuk membalas dendam pada keluarga ini?”Hartono menghela napas. Dalam. Berat. Napas seorang lelaki yang sudah melewati banyak perang, tapi tak menyangka harus menghadapi yang satu ini.“Rana adalah orang yang Kakek anggap keluarga.” Hartono bersandar sedikit, wajahnya tampak lebih tua dari beberapa menit sebelumnya. “Ayahmu, Rafael, juga sangat mempercayainya. Dia masuk ke dalam lingkaran terdekat kami. Tetapi ketika proyek timur bermasalah … dia menghilang. Tanpa jejak. Tanpa menjelaskan apa pun.”Rafael menambahkan dengan suara rendah, “Dia pergi begi

  • Malam Pertama Penuh Gairah Bersama Cucu Presdir   Bab 102

    Ruang utama itu selalu memiliki wibawa tersendiri. Pilar kayu jati menjulang kokoh, lukisan-lukisan lama keluarga Bachtiar menghiasi dinding, dan aroma teh pahit kesukaan Hartono masih menggantung di udara.Namun pagi ini, semuanya terasa lebih berat. Seolah ruangan itu sendiri menahan napas.Hartono duduk di kursi kepala meja panjang. Bahunya tegap meski usianya sudah lanjut, rambutnya memutih sempurna, namun matanya —mata yang dulu membangun Bachtiar Grup dari nol, masih setajam baja.Rafael memberi Hanna isyarat untuk duduk di sampingnya, lalu ia sendiri berdiri tegak di hadapan kakeknya.Hartono mengangkat pandangan ketika mereka tiba. “Duduklah, kalian berdua.” Suaranya dalam, tenang, tapi menyimpan tekanan yang membuat udara sejenak menegang.Hanna menelan ludah, mencoba mengatur napas. Ia selalu menghormati Hartono. Bagaimana pun juga, lelaki tua itulah yang membuatnya menjadi bagian dari keluarga konglomerat tersebut —meski statusnya hanyalah kontrak.Namun, tatapan lelaki tua

  • Malam Pertama Penuh Gairah Bersama Cucu Presdir   Bab 101

    Cahaya pagi menyusup masuk melalui tirai tipis kamar Hanna, membentuk garis-garis lembut di lantai marmer. Biasanya, pagi di rumah itu terasa hangat dan tenang. Namun hari ini, hawa ketakutan semalam masih menggantung seperti bayangan yang menolak pergi.Hanna duduk di pinggir ranjang, tangan memegangi map cokelat berisi catatan ayahnya. Rasa dingin dari sampul kertas itu seolah menembus kulitnya.Ia belum tidur —hanya menutup mata sebentar setelah Rafael memastikan semua penjagaan ditingkatkan dan pengawal ditempatkan di depan pintu.Ketukan lembut terdengar.Hanna menoleh. Rafael masuk tanpa suara, masih memakai kemeja hitam yang sama sejak semalam. Rambutnya sedikit berantakan, wajahnya lelah —namun sorot matanya tajam dan fokus, seperti seseorang yang tidak boleh goyah walau tubuhnya ingin runtuh.“Kau bangun lebih pagi dari perkiraanku.” Rafael duduk di sampingnya. “Tidak bisa tidur?”Hanna menggeleng pelan. “Tidak setelah… semua itu.”Rafael menghela napas dan menyandarkan siku

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status