LOGINSepersekian detik Hanna terdiam. Ia mencoba memahami kalimat yang lelaki tua di depannya katakan.
"Maaf, Pak, saya sedang terburu-buru, dan saya tidak bisa memenuhi permintaan Anda." Setelahnya Hanna pun berbalik pergi. "Kalau kamu tidak terburu-buru berarti kamu mau jadi menantu saya?" tanya lelaki tua itu setengah berteriak, masih memaksa. Namun, Hanna hanya tersenyum dan tidak menanggapi ucapan lelaki tua yang kemudian didatangi oleh seorang pria muda. "Kakek tidak apa-apa?" tanya pria itu dengan wajah cemas. Sang kakek menggeleng. "Tidak. Kakek baik- baik saja. Laptop milikmu juga selamat," ucapnya seraya menyerahkan tas hitam kepada si pria yang adalah cucunya itu. Pria itu mengambil tas tersebut dari tangan si kakek. Ia merasa bersyukur karena barang yang teramat penting itu selamat dari aksi pencurian yang baru saja digagalkan. "Kakek bicara dengan siapa tadi?" Pria tampan yang siang itu mengenakan jas hitam menutupi kemeja putih dan dasi biru tuanya, bertanya sembari mengingat punggung seorang gadis yang berlari menuju lobi rumah sakit. "Calon istri kamu." Lelaki tua itu menjawab sembari tersenyum. "Apa, calon istri?" "Ya," jawab si lelaki tua yang bernama Hartono itu sambil berjalan menuju mobil. "Gadis tadi yang telah menyelematkan tas milikmu." Lelaki yang masih terlihat kaget itu kemudian menyusul langkah sang kakek yang kini disambut oleh supir pribadinya. "Maafkan saya, Pak. Karena kelalaian saya Anda hampir celaka." Supir yang usianya setengah baya itu tampak menyesal. Kepalanya menunduk dengan penyesalan yang amat sangat. "Tidak apa-apa, Bayu. Hanya saja lain kali kamu harus lebih hati-hati." "Baik, Pak. Terima kasih dan sekali lagi maaf." Hartono hanya menepuk pundak sang supir. Ia kemudian masuk ke mobil dan duduk di bangku belakang. Lain dengan pria muda yang di belakangnya yang menatap supir tersebut dengan pandangan kesal. Karena keteledorannya, hampir saja ia kehilangan laptop miliknya itu. "Kakek tidak serius 'kan dengan ucapan Kakek tentang perempuan tadi?" Rupanya sang cucu masih penasaran dengan kalimat yang tadi Hartono ucapkan. "Sejak kapan Kakek tidak serius? Kakek 'kan sudah bilang kalau kamu masih belum bisa memperkenalkan perempuan yang mau kamu jadikan istri, maka Kakek sendiri yang akan carikan," lanjutnya. "Aku juga 'kan janji akan secepatnya kenalkan calon istriku." Dengan sikapnya yang dingin, pria bernama Rafael itu membalas tak mau kalah. "Tapi, waktu yang Kakek berikan sudah habis. Waktu dua tahun yang Kakek berikan tidak kamu pergunakan dengan baik. Kakek sampai harus menanggung malu karena anggapan teman-teman Kakek yang mengatakan kalau kamu tidak suka perempuan." "Jangan dengarkan mereka," jawab Rafael dengan wajah menahan emosi. Tuduhan yang mengatakan dirinya gay, sudah sampai ke telinganya, dan itu membuatnya sangat marah. "Makanya kamu buktikan bahwa anggapan mereka itu salah." "Aku sedang berusaha, Kek. Tapi, mencari pasangan hidup itu tidaklah mudah. Banyak dari mereka yang mengajukan diri hanya karena nama keluarga Bachtiar." "Tapi, tidak dengan seorang gadis yang baru Kakek temukan di parkiran tadi. Sepertinya dia tidak akan mengincar harta keluarga kita." Hartono memotong, berkata dengan binar mata yang tampak bahagia. Rafael yang duduk di sebelah sang kakek menatap aneh. "Dari mana Kakek tahu? Apakah Kakek sudah lama mengenalnya?" Lelaki berusia tiga puluh lima tahun itu tak setuju. Hartono menggeleng. "Tidak. Kakek bahkan baru bertemu dengannya tadi. Hanya tahu namanya, tak lebih dari itu." Seketika Rafael memejam kedua matanya dramatis. "Orang yang Kakek baru kenal mau Kakek jodohkan sama aku? Apa Kakek ini sengaja ingin menjadikan aku kelinci percobaan?" Bukannya menjawab, Hartono malah tersenyum seolah mengejek emosi yang tengah cucunya rasakan. "Aku menolak." Rafael mengambil keputusan. "Tidak ada penolakan. Ingat, Rafael, kamu harus menepati janjimu." "Tapi, tidak begini caranya, Kek." Rafael tampak frustrasi. "Apapun caranya atau warisan yang Kakek janjikan tidak jadi jatuh ke tanganmu." "Kalau bukan ke aku, lantas Kakek akan berikan ke siapa?" Sial bagi Rafael, sang kakek malah tersenyum penuh tanda tanya. Di tempat lain, Hanna tengah terisak sebab kabar yang baru saja dokter sampaikan mengenai kondisi ibunya. "Bu Sinta harus dioperasi secepatnya. Obat-obatan yang kami berikan sudah tidak lagi mampu melawan penyakitnya." Hanna terdiam. Sudah sejak awal sang ibu masuk rumah sakit dokter menyarankan untuk dilakukan tindakan operasi. Tapi, saat itu Hanna menolak karena tidak memiliki uang, dan ia mencoba bernegosiasi supaya dokter memberikan obat saja, berharap supaya penyakit yang menggerogoti penyakit sang ibu tidak menyebar luas. Namun, sepertinya sang ibu tak mampu bertahan hanya dengan mengandalkan obat-obatan yang masuk melalui selang infus tersebut. "Be-berapa biaya operasi yang harus saya siapkan, Dok?" tanya Hanna dengan suara pelan. "Menurut bagian administrasi, biaya untuk tindakan operasi Bu Sinta sekitar dua ratus juta." 'Apa! Dua ratus juta?' batin Hanna syok. Kekhawatirannya benar. Operasi untuk penyakit ibunya memang tidak sedikit. "Ya, dan itu hanya untuk biaya operasinya saja belum termasuk biaya selama Bu Sinta dirawat juga obat-obatan pendukung lainnya." Hanna mendengar dengan perasaan tak menentu. Terbayang banyaknya jumlah uang yang harus ia siapkan. "Kapan batas waktu untuk saya menandatangani surat tindakan operasi ibu saya, Dok?" "Secepatnya lebih baik. Kalau bisa siang ini juga Anda harus mengambil keputusan." Hanna tampak kebingungan. Dari mana ia harus mencari uang untuk operasi ibunya. Hutangnya di kantor sudah menumpuk. Tidak mungkin ia mengajukan pinjaman lagi, terlebih uang yang dibutuhkan sangatlah besar. Pasti atasannya tidak akan menyetujui pengajuannya. "Apakah saya harus langsung bayar saat penandatanganan?" "Tidak. Seluruh tagihan rumah sakit akan diberikan saat pasien keluar dari rumah sakit." Seketika Hanna pun mengangguk, mendadak menyetujui permintaan operasi yang dokter sarankan. 'Yang penting ibu bisa operasi sekarang. Dari mana uangnya, aku akan pikirkan nanti,' batin Hanna bicara. Pada akhirnya Hanna bisa bernapas lega. Ia melihat dokter meminta para petugas medis bersiap setelah langkahnya meninggalkan ruangan dokter. Saat Hanna hendak menuju bagian loket administrasi guna penandatanganan surat operasi, tanpa sengaja ia bertubrukan dengan seorang pria yang berlawanan arah dengannya. "Apakah kau buta?" Pria itu berkata sinis setelah ponsel miliknya jatuh ke lantai. "Eh, maafkan saya. Maaf karena saya tidak fokus melihat ke depan," ucap Hanna sembari mengambil ponsel yang jatuh tadi. Sang pria mengambil ponselnya dari tangan Hanna dengan gerakan yang sangat cepat. Tatapannya sangat sinis membuat Hanna hanya menunduk dan memilih diam. "Kamu beruntung karena ponsel saya tidak rusak," ucap lelaki itu lagi yang ternyata adalah Rafael. Hanna tidak menjawab. Ia tak mau menambah kemarahan si pria karena kecerobohannya. Ia hanya mengucap syukur di dalam hati karena ponsel yang ia ambil tadi baik-baik saja. "Mba Hanna!" Saat kondisi di antara Hanna dan Rafael belum kondusif, seseorang memanggil nama Hanna melalui pengeras suara. "I-iya, saya!" balas Hanna dengan berteriak. "Sekali lagi, maafkan saya. Tapi, saya harus pergi." Hanna berkata pada si pria sebelum melangkah, lalu berjalan cepat menuju bagian administrasi. "Perempuan itu namanya Hanna," ucap Rafael seolah teringat sesuatu. Saat berbicara di mobil tadi ia mendengar nama itu keluar dari mulut sang kakek. "Namanya Hanna. Kakek baru tahu itu saja. Tapi, Kakek akan mencari tahu lebih banyak tentang dirinya dan memintanya lagi supaya menerima lamaran Kakek untukmu." ***Langit malam mulai digantikan cahaya lembut dini hari. Jam menunjukkan pukul dua lewat lima belas, namun ruang kerja di lantai dua kediaman keluarga Bachtiar masih menyala terang.Rafael duduk di kursinya, menatap layar laptop yang menampilkan barisan data dari sistem keamanan rumah. Beberapa log aktivitas mencurigakan tercatat sekitar pukul sebelas malam —waktu yang sama dengan saat Hanna melihat sosok di taman.Ia mengetik cepat, membuka rekaman CCTV. Namun, layar hanya terlihat bayangan hitam putih. Tidak ada gambar, tidak ada suara.Rafael mengetuk meja dengan jari telunjuk, napasnya berat.“Tidak mungkin,” gumamnya pelan. “Sistem ini terkunci ganda. Seharusnya tidak bisa diakses tanpa izin.”Di sisi lain ruangan, Hanna berbaring di sofa kecil, memeluk bantal, mencoba menahan kantuk dan rasa cemas. Tatapannya sesekali beralih ke Rafael, yang wajahnya kini terlihat tegang.“Kenapa? Ada yang aneh?” tanya Hanna pelan. "Kenapa kau tak juga tidur?" Rafael malah balik bertanya. "Entah
Hanna menatap layar ponsel itu lama, menunggu balasan lain yang tak kunjung muncul. Suara jam dinding berdetak pelan, tapi entah mengapa, malam terasa menyesakkan.Ia memutuskan untuk keluar kamar. Langkahnya ringan, tapi hati kecilnya berdebar tidak wajar. Ia berjalan menyusuri koridor menuju dapur, sekadar ingin meneguk air putih dan menenangkan diri. Namun, baru beberapa langkah, bayangan seseorang terlihat di luar jendela kaca.Tubuh Hanna menegang seketika.Refleks, ia mematikan lampu meja kecil dan bersembunyi di balik tirai. Dari celah sempit, ia melihat sosok tinggi berjaket hitam berdiri di tepi taman, menatap ke arah rumah.Hanna menutup mulutnya, menahan napas.Ia tidak tahu harus memanggil siapa —Rudi sudah pulang karena tidak ada jadwal berjaga malam ini, dan Rafael tengah sibuk di ruang kerjanya.Setelah beberapa menit yang terasa sangat lama, sosok itu akhirnya pergi. Tapi, jejak ketakutan yang ditinggalkan tidak ikut menghilang.Hanna melangkah mundur, tubuhnya gemetar
Sore menjelang malam. Rumah keluarga Bachtiar tampak hening, hanya suara detak jam dinding yang terdengar samar. Rafael baru pulang dari kantor, langkahnya teratur tapi dingin. Wajahnya tampak tegas, tanpa ekspresi, seolah sejak pagi ia menutup rapat semua rasa terlebih emosi.Di meja makan, Hanna sedang menata piring di atas meja. Tanpa banyak bicara, tanpa menoleh ketika Rafael lewat.“Di mana Kakek?” tanya Rafael sembari celingak celinguk, mengedarkan pandangan ke seluruh ruang makan. Hanna hanya menjawab, masih tidak menoleh. “Menjenguk salah satu temannya di rumah sakit.”Rafael mengangguk. Tak ada lagi percakapan. Hanya suara gesekan sendok dan piring yang terasa lebih nyaring dari seharusnya.Beberapa menit kemudian, Rafael menatap punggung Hanna yang membantu pelayan membereskan piring. “Aku dengar Nadya datang ke toko.”Hanna berhenti, tapi tidak berbalik. “Rudi yang memberi tahu, ya?”Rafael tidak menjawab langsung. “Seharusnya kau tidak perlu menanggapinya.”“Aku tidak me
Cahaya pagi menembus tirai, memantul lembut di ruangan yang terasa terlalu hening untuk ukuran kamar utama keluarga Bachtiar. Burung-burung di taman berkicau seperti biasa, tapi bagi Rafael, suara itu tidak terdengar menenangkan. Ia membuka mata dengan kepala berat dan pikiran yang penuh sesal.Matanya menatap sisi ranjang yang kosong —selimut masih rapi, tanpa tanda bahwa Hanna sempat kembali.Ia mendesah pelan, lalu duduk. “Bodoh,” gumamnya sendiri.Beberapa detik ia hanya memandangi cermin di seberang tempat tidur, menatap wajahnya sendiri dengan tatapan yang sulit diartikan.Ia tampak rapi seperti biasa, tapi di balik kemeja putih dan jas hitam yang ia kenakan, ada hati yang kacau dan pikiran yang tak tenang.Rafael turun ke lantai bawah. Langkah kakinya pun terhenti di depan pintu kamar tamu, di mana sosok sang istri berada di baliknya. Dari celah bawah pintu, ia bisa melihat cahaya lampu menyala.Rafael mengetuk pelan, tapi tak ada jawaban.“Hanna...” suaranya nyaris tak terdeng
Suasana rumah malam itu terasa dingin, jauh berbeda dari biasanya. Hanna duduk di sofa di dalam kamar sambil memegang cangkir teh yang sejak tadi tak disentuh. Pikiran dan perasaannya masih bercampur aduk —antara marah, sedih, dan bingung.Sementara Rafael berada di ruang kerja, terdengar bunyi ketikan keyboard yang terputus-putus.Sepertinya pekerjaan di kantor banyak yang harus diselesaikan, yang membuatnya tidak terlalu memperhatikan Hanna sepanjang Rafael pulang dari bekerja. Saat Hanna baru selesai dengan buku di tangannya —yang bahkan tidak ia pahami sedikit pun isinya, karena pikirannya yang masih tertinggal di lobi kantor, tiba-tiba terdengar suara dering ponsel milik Rafael saat pintu di ruang sebelah tertutup. Nama di layar menunjukkan Rudi, pengawal pribadi yang selama ini Rafael percayai untuk menjaga Hanna. Nada bicara Rafael santai di awal, tapi perlahan ekspresinya berubah. Wajahnya mengeras, suaranya menurun, lalu tanpa sadar pandangannya mengarah ke arah Hanna saat
Keesokan harinya, Hanna bangun lebih awal. Ia membantu menyiapkan sarapan seperti biasa, berusaha tampak normal di depan Hartono dan Rafael.Tapi, tatapan matanya sedikit berbeda —lebih tenang di luar, padahal di dalam dirinya ada badai kecil yang ia sembunyikan dengan sangat hati-hati.“Tidak ke toko hari ini?” tanya Hartono sambil menyeruput kopi.Hanna tersenyum lembut. “Masih, Kek. Tapi agak siang. Ada urusan sedikit yang harus aku selesaikan.”Hartono mengangguk tanpa curiga. Rafael, yang duduk di seberangnya, menatap istrinya sekilas. “Kalau butuh aku antar, bilang saja.”“Tidak usah. Aku bisa minta antar Rudi,” balas Hanna, tetap tenang.Rafael mengangguk pelan. Ada sesuatu yang berbeda dari cara Hanna menjawabnya, tapi ia tidak mau memaksakan tanya.Ia pikir Hanna masih lelah dengan urusan toko. Padahal, wanita itu sudah membuat rencana —rencana yang bisa mengubah segalanya.**Jam menunjukkan hampir pukul dua ketika Hanna tiba di depan gedung megah milik keluarga Bachtiar ber







