"Dug! Dug! Dug!"
Suara gedoran pintu di luar terdengar sangat keras tepat saat Hanna baru keluar dari kamar mandi. Tak ada jeda, suara itu masih terdengar —malah semakin kencang dan cepat. "Buka pintunya!" Suara teriakan dari seorang pria menyatu dengan suara gedoran pintu yang Hanna yakin telah membuat beberapa tetangganya berdatangan. Ini bukan pertama kali terjadi, sudah beberapa kali dalam sebulan suara yang tak asing ini menyambangi kediaman Hanna. "Sebentar!" teriak Hanna si empu rumah. Gadis itu melangkah cepat, tak ingin jika suara kencang dan keras itu semakin membuat kerumunan warga di lingkungan tempatnya tinggal bertambah banyak. Saat pintu dibuka, tampak ada sekitar lima orang pria berpakaian preman berdiri di depan pintu rumah Hanna dengan ekspresi seram dan mengintimidasi. "Mau apa lagi kalian datang ke sini?" tanya Hanna sedikit berteriak, mencoba memberanikan diri. Salah seorang dari mereka mendekat, "Mana uang yang kamu janjikan?" tanyanya dengan suara pelan, tapi mampu membuat seorang gadis seperti Hanna gemetaran. "Aku 'kan sudah bilang, kalau uangnya sudah ada aku akan langsung bayar." Hanna mencoba menjawab meski hatinya mencelos demi melihat kelima laki-laki yang tubuhnya jauh besar bila dibandingkan dengannya berdiri mengerubungi. "Tapi, kapan? Kamu tidak memberi tahu kami tanggalnya." "Aku tidak bisa menentukan karena kalian pasti akan datang kemari jika aku sebutkan tanggalnya." "Tentu saja," kekeh si pria itu tertawa, meledek. "Bos pasti akan menyuruh kami kembali datang di tanggal yang kamu sepakati." Bibir Hanna bergetar, antara takut juga ingin bicara. Tapi, saat kerumunan tetangga terlihat berbisik membicarakannya, membuat Hanna kemudian bersuara. "Katakan saja kepada bos kalian, aku akan bayar secepatnya." Si pria yang tadinya tertawa tiba-tiba diam, kemudian menatap tajam wajah Hanna. Jari telunjuknya lalu mendekat dan mencoba menyentuh pipi Hanna, tetapi gadis itu langsung menghindar sehingga jari yang tampak besar itu tidak sampai menyentuhnya. Ekspresi jijik Hanna perlihatkan ketika melihat seringai jahat tampak di wajah pria di depannya. Giginya yang besar dan kuning berjejer begitu menakutkan. "Bos tidak memberi waktu lagi. Bayar lusa atau kamu akan kami bawa untuk menambah koleksi wanita di tempat kami." Pilihan yang tidak bisa Hanna tepati karena keduanya adalah pilihan yang sangat sulit. Lusa, dari mana ia akan dapatkan uang demi melunasi seluruh hutang kedua orang tuanya? Tapi, menjadi salah satu wanita simpanan seorang germo seperti Darma, bukanlah pilihan yang tepat. Pastinya itu sangat menjijikkan. Empat pria di belakang yang sejak tadi hanya tersenyum jahat dan mengejek Hanna, kini tertawa dengan suara yang lebih kencang. "Sepertinya kita akan memiliki pekerja baru. Dia akan jadi primadona." Salah seorang dari mereka berkomentar. "Pastinya. Kita tak perlu bersusah payah menipu para gadis kampung yang mau mencari pekerjaan di kota. Di depan kita sekarang sudah ada calon bintang yang akan membuat tempat kita semakin banyak pengunjungnya. Bos akan mendapatkan banyak uang, dan pastinya kita akan mendapat bonus yang jumlahnya tidak sedikit." Hati Hanna menciut. Bayangan dirinya menjadi seorang pelacur menari-nari di pelupuk matanya. Tubuh yang selama ini dijaga —tak pernah tersentuh oleh lelaki manapun, akan menjadi bulan-bulanan para pria pencari nafsu. Tubuhnya pun bergidik ngeri, karena feeling mereka mungkin akan menjadi kenyataan. Sebab mustahil rasanya dalam dua hari ia mendapatkan uang untuk melunasi semua hutang milik orang tuanya. "Tidak lusa! Dari mana aku dapatkan uang sebanyak itu dalam dua hari?" Pria di depannya masih tertawa, "Itu masalahmu dan bukan urusan kami!" Tawa membahana saat langkah mereka mulai meninggalkan rumah kontrakan Hanna. Bahkan, mereka masih sempat mengejek beberapa warga yang menonton keributan yang mereka timbulkan. Hanna hanya bisa diam. Tubuhnya mematung seiring tubuh lima pria tadi yang perlahan menghilang —meninggalkan kediamannya, menaiki motor yang mereka parkir sembarangan di sebelah rumahnya. Dalam diamnya tiba-tiba Hanna dikejutkan oleh dering ponsel yang ia letakkan di meja TV. Gadis itu bergegas untuk menerima panggilan yang entah dari siapa. Nama seorang perawat rumah sakit yang nomornya ia simpan terpampang di layar. Perasaannya mendadak tak enak. Ada apa dengan ibunya yang sudah sepekan ini terbaring di rumah sakit? "Ya, halo!" "Selamat pagi, Mba Hanna! Saya Yuanita." "Iya, Ibu. Ada kabar apa dengan ibu saya?" Perasaan Hanna semakin tak enak demi mendengar suara hening di telinganya. "Mba Hanna, maaf sekali saya harus menyampaikan kabar buruk. Barusan saja dokter yang menangani ibu Anda memberi tahu bahwa kondisi Bu Sinta sekarang kritis." "Apa, Bu? Ibu saya kritis? Oh, Tuhan!" Hanna benar-benar syok sekarang. "Iya, Mba, dan dokter meminta Anda datang untuk meminta persetujuan mengenai tindakan operasi yang harus dilakukan." "I-iya, Bu. Saya ke rumah sakit sekarang." Dalam kondisi dirinya yang masih stress akan kedatangan para anak buah Darma, rentenir yang akan menjadikannya pekerja seks komersial bila tidak bisa melunasi semua hutang, Hanna dibuat semakin syok dengan kabar tentang kondisi sang ibu yang saat ini tengah berjuang melawan penyakitnya. Saat Hanna baru sampai di parkiran rumah sakit, tiba-tiba ia dikejutkan oleh teriakan seorang lelaki tua yang meminta tolong. "Tolong!" Tak lama, tak jauh dari tempat Hanna berdiri muncul sosok seorang lelaki yang berlari membawa sesuatu di tangannya. Lelaki yang berpakaian berantakan itu berlari seolah menghindari teriakan yang barusan Hanna dengar. Merasa jika lelaki itu adalah target dari teriakan lelaki tua tadi, Hanna berinisiatif untuk melakukan sesuatu. Entah keberanian dari mana, Hanna kemudian menjulurkan satu kakinya sesaat lelaki yang berlari tadi hendak melewatinya. Alhasil, si lelaki yang hanya fokus menatap ke depan dan tidak menyadari apa yang Hanna lakukan, seketika terjerembab jatuh bersama barang yang dibawanya. Hanna sontak mengambil barang yang terlempar ke dekat kakinya. Lelaki yang tadi jatuh kini menatap marah pada Hanna. Ketika ia sudah berhasil bangun dan akan mendekat, tiba-tiba muncul dua orang security dari arah belakang. Tak mau tertangkap, lelaki tadi memilih untuk berlari meninggalkan area. Dua orang security tadi tetap mengejar meski barang yang sepertinya dicuri sudah ada di tangan Hanna. Tak lama lelaki tua yang tadi berteriak, muncul dan menghampiri Hanna. "Apakah ini barang milik Anda?" Lelaki tua berpakaian parlente, khas penampilan seorang pengusaha, mengangguk dengan senyum ramah yang membuat Hanna kemudian menyodorkan barang yang telah ia selamatkan. "Terima kasih." Hanna hanya mengangguk. Kemudian, ia pun pamit beranjak pergi. "Siapa nama kamu?" kata lelaki tua itu yang membuat langkah Hanna terhenti. "Saya Hanna." Lelaki itu tersenyum. "Saya Hartono," ucapnya sembari mengulurkan tangan. Hanna menyambut uluran tangan lelaki di depannya. "Sekali lagi terima kasih atas apa yang sudah kamu lakukan." "Sama-sama, Pak. Tapi, maaf, saya harus segera pergi." "Tunggu!" Lelaki tua itu meminta Hanna kembali berhenti. "Iya, Pak." "Maukah kamu menjadi menantu saya?" "Hah! Apa?" ***Seorang perempuan berpakaian sederhana muncul dari balik pintu. Entah siapa dia tapi wajahnya terlihat ramah saat memandang Hanna."Kamu sudah bangun?" tanyanya dengan suara lembut. Usianya mungkin sama dengan Hanna, hanya saja wajahnya terlihat biasa dengan tompel kecil yang ada di pipi sebelah kirinya. Hanna mengangguk. Ia merasa lega sebab bukan lelaki bertubuh besar dan menyeramkan yang muncul dari balik pintu. Perlahan perempuan itu pun duduk di depan Hanna, lalu memberikan sehelai gaun berwarna maroon yang tampak mahal. "Ganti bajumu yang basah itu dan pakailah gaun ini," ucapnya pelan. Hanna mengamati kaos oblong yang masih dikenakannya. Memang terasa lembab, mungkin oleh keringat, pikirnya. Lalu, ia pun mengambil gaun yang disodorkan ke arahnya. Tampak ragu terlebih setelah ia mengangkat dan mengamati gaun tersebut. "Pakai ini? Apa tidak salah?" tanya Hanna yang terkejut melihat pakaian yang terlihat tipis dan menerawang di depannya. Perempuan itu menggeleng. "Tidak. Mem
"Lepaskan dia!"Sontak semua orang menengok, mencari asal suara, termasuk Hanna yang berharap mendapatkan pertolongan atas penangkapan paksa yang dilakukan oleh anak buah Darma. Sepuluh meter dari tempat Hanna berdiri, tampak sesosok pria dengan penampilan khas seorang eksekutif muda, berdiri menatap tajam ke arahnya. 'Dia lelaki yang kemarin di rumah sakit bukan?' batin Hanna teringat insiden tubrukan di rumah sakit saat dirinya hendak ke bagian administrasi. Anak buah Darma yang ditugaskan menjadi jubir, melepaskan pegangan di tangan Hanna. Ia kemudian mendekati si pria asing tersebut tampak tersinggung. "Jangan ikut campur atas sesuatu yang bukan urusanmu!""Perempuan itu urusan saya," kata si pria asing menjawab dengan tenang. Seketika Hanna terkejut demi mendengar ucapan pria itu. Ia tidak kenal dan baru bertemu sekali —itupun dalam insiden tak mengenakan. Lantas, bagaimana bisa dia berkata demikian? "Heh! Jangan mengada-ada. Sepanjang kami mengenal perempuan itu, tidak ad
Di ruang kerjanya, Rafael tengah mengingat cerita sang kakek yang terus membicarakan sosok perempuan bernama Hanna. Seseorang yang katanya telah menyelamatkan laptop miliknya ketika dicuri dari dalam mobil ketika mereka baru menjenguk seorang kerabat di rumah sakit. "Kalau bukan karenanya, mungkin laptop yang berisi dokumen-dokumen penting itu sudah hilang berpindah tangan."Penambahan cerita yang seolah dibuat dramatis, membuat Rafael menyisir rambutnya dengan jarinya yang besar. "Argh!" geramnya antara kesal sekaligus bingung. Beberapa detik kemudian ia memilih untuk menghubungi seseorang, yang tak lain adalah sahabatnya, Bastian."Aku mau minta tolong padamu.""Hei! Kau meneleponku tiba-tiba saat aku sedang rapat, tanpa salam dan sapa, malah memberondongku untuk minta dibuatkan surat perjanjian. Apa kau sudah tidak waras, Rafael?"Rafael sama sekali tak peduli dengan reaksi sahabatnya itu. Ia justru menambah level kekesalan Bastian dengan permintaannya. "Aku mau hari ini kamu b
Sepersekian detik Hanna terdiam. Ia mencoba memahami kalimat yang lelaki tua di depannya katakan. "Maaf, Pak, saya sedang terburu-buru, dan saya tidak bisa memenuhi permintaan Anda."Setelahnya Hanna pun berbalik pergi. "Kalau kamu tidak terburu-buru berarti kamu mau jadi menantu saya?" tanya lelaki tua itu setengah berteriak, masih memaksa. Namun, Hanna hanya tersenyum dan tidak menanggapi ucapan lelaki tua yang kemudian didatangi oleh seorang pria muda. "Kakek tidak apa-apa?" tanya pria itu dengan wajah cemas. Sang kakek menggeleng. "Tidak. Kakek baik- baik saja. Laptop milikmu juga selamat," ucapnya seraya menyerahkan tas hitam kepada si pria yang adalah cucunya itu. Pria itu mengambil tas tersebut dari tangan si kakek. Ia merasa bersyukur karena barang yang teramat penting itu selamat dari aksi pencurian yang baru saja digagalkan. "Kakek bicara dengan siapa tadi?" Pria tampan yang siang itu mengenakan jas hitam menutupi kemeja putih dan dasi biru tuanya, bertanya sembari men
"Dug! Dug! Dug!"Suara gedoran pintu di luar terdengar sangat keras tepat saat Hanna baru keluar dari kamar mandi. Tak ada jeda, suara itu masih terdengar —malah semakin kencang dan cepat. "Buka pintunya!" Suara teriakan dari seorang pria menyatu dengan suara gedoran pintu yang Hanna yakin telah membuat beberapa tetangganya berdatangan. Ini bukan pertama kali terjadi, sudah beberapa kali dalam sebulan suara yang tak asing ini menyambangi kediaman Hanna. "Sebentar!" teriak Hanna si empu rumah. Gadis itu melangkah cepat, tak ingin jika suara kencang dan keras itu semakin membuat kerumunan warga di lingkungan tempatnya tinggal bertambah banyak. Saat pintu dibuka, tampak ada sekitar lima orang pria berpakaian preman berdiri di depan pintu rumah Hanna dengan ekspresi seram dan mengintimidasi. "Mau apa lagi kalian datang ke sini?" tanya Hanna sedikit berteriak, mencoba memberanikan diri. Salah seorang dari mereka mendekat, "Mana uang yang kamu janjikan?" tanyanya dengan suara pelan,