เข้าสู่ระบบDi ruang kerjanya, Rafael tengah mengingat cerita sang kakek yang terus membicarakan sosok perempuan bernama Hanna. Seseorang yang katanya telah menyelamatkan laptop miliknya ketika dicuri dari dalam mobil ketika mereka baru menjenguk seorang kerabat di rumah sakit.
"Kalau bukan karenanya, mungkin laptop yang berisi dokumen-dokumen penting itu sudah hilang berpindah tangan." Penambahan cerita yang seolah dibuat dramatis, membuat Rafael menyisir rambutnya dengan jarinya yang besar. "Argh!" geramnya antara kesal sekaligus bingung. Beberapa detik kemudian ia memilih untuk menghubungi seseorang, yang tak lain adalah sahabatnya, Bastian. "Aku mau minta tolong padamu." "Hei! Kau meneleponku tiba-tiba saat aku sedang rapat, tanpa salam dan sapa, malah memberondongku untuk minta dibuatkan surat perjanjian. Apa kau sudah tidak waras, Rafael?" Rafael sama sekali tak peduli dengan reaksi sahabatnya itu. Ia justru menambah level kekesalan Bastian dengan permintaannya. "Aku mau hari ini kamu buatkan supaya nanti sore aku bisa ambil ke kantormu," kata Rafael meminta tanpa sungkan sebab tahu sahabatnya itu adalah seorang notaris terkenal yang memiliki firma hukum terbaik. "Tunggu! Tunggu, Rafael! Surat perjanjian apa yang kamu maksud?" Di seberang sana Bastian bertanya, kesal karena reaksinya tidak dipedulikan. "Surat perjanjian nikah kontrak." "Perjanjian nikah kontrak untuk siapa?" "Untukku. Siapa lagi memangnya?" Suara cekikik terdengar di telinga Rafael. Lalu, "Kau mau menikah? Seorang Rafael Bachtiar akhirnya melepas masa lajangnya?" Bastian terdengar tertawa. "Siapa wanita beruntung itu?" tanya Bastian lagi. "Nanti aku akan kirimkan datanya. Pokoknya kamu buatkan saja suratnya." Rafael tampak tak tersinggung. "Iya, iya. Aku akan buatkan nanti setelah selesai rapat. Tapi, kalau boleh aku tahu, kenapa tiba-tiba sekali kamu mau menikah? Apa karena kakek?" Rafael menarik napas panjang, lalu melepasnya cepat. "Ya, beliau memintaku secepatnya menikah. Kalau tidak, maka seluruh harta warisannya tidak jadi jatuh ke tanganku." Tawa lepas kini terdengar. Sahabatnya itu benar-benar sangat puas. "Kalau tidak jatuh ke tanganmu, lantas semua hartanya yang banyak itu akan di kemanakan? Kamu satu-satunya penerus Bachtiar." "Entahlah. Kakek bilang akan menyerahkan seluruhnya ke badan amal." Lagi-lagi Bastian tertawa. Menghadapi konglomerat seperti keluarga Rafael, memang selalu memiliki cerita unik. "Jadi, siapa perempuan beruntung ini? Siapa keluarganya, latar belakangnya, dan lingkungannya." Rafael terdiam sejenak. Ia teringat dengan gadis yang bertubrukan dengannya kemarin. Seorang gadis cantik, sangat sederhana, dan tampak baik. Namun begitu, ia sama sekali tidak tertarik, atau mungkin belum tertarik. Itu sebabnya ia memilih untuk menikah kontrak dengan perempuan pilihan kakeknya itu. Tujuannya hanya satu, mendapatkan seluruh warisan keluarga Bachtiar agar tidak jatuh ke badan amal. Di tempat lain, Hanna yang sudah beberapa kali diingatkan mengenai biaya rumah sakit tampak lesu ketika keluar dari ruang atasan tempatnya bekerja. "Apakah kamu sudah tidak waras, Hanna? Gajimu saja hampir habis untuk mencicil hutang-hutangmu sebelumnya. Sekarang kamu mau meminjam uang sebanyak itu, bagaimana kamu bisa membayarnya? Bekerja sampai kamu tua pun saya yakin hutangmu tidak akan lunas." "Tapi, saya butuh untuk membayar biaya rumah sakit, Pak. Ibu saya mungkin tidak lama lagi sudah diperbolehkan pulang, dan otomatis saya harus menyelesaikan semua pembayaran." Meski Hanna sudah menjelaskan, bahkan dengan ekspresi sedih yang ia tunjukkan, atasannya tetap tak bergeming. "Saya turut simpati untuk kondisimu sekarang, tapi sebagai seseorang yang juga hanya sebagai pekerja di sini, dengan berat hati saya katakan permintaanmu saya tolak. Kamu mungkin bisa meminta tolong pada orang lain." "Tapi, ke siapa, Pak?" Pertanyaan Hanna tidak terjawab hingga dirinya keluar dari gedung tempatnya bekerja dan kembali ke rumah sakit. Kini ia harus memutar otak demi mendapatkan uang yang jumlahnya tidak sedikit itu. Saat duduk di bangku taman yang ada di seberang rumah sakit, Hanna teringat akan pertemuan kedua kalinya dengan seorang lelaki tua bernama Hartono. Kemarin setelah dirinya mendapat kabar baik mengenai kondisi sang ibu yang berangsur sadar paska operasi, lelaki tua yang pernah ia tolong, yang ternyata adalah seorang pengusaha terkenal itu datang menyambanginya bersama seorang pria berpakaian necis yang ia duga adalah pengawal pribadi. "Saya dengar kamu membutuhkan uang untuk biaya operasi ibumu." Dengan gaya yang sangat tenang dan santai, Hartono membuka obrolan dengan membicarakan masalah yang tengah Hanna hadapi. "Itu masalah saya, Pak." Hanna ingat sekali saat itu Hartono malah tersenyum menatapnya. Tak ada tatapan mengejek di wajahnya yang berkeriput itu. "Kalau kamu tidak keberatan, saya bisa membantumu keluar dari masalah yang saat ini sedang kamu hadapi." Hanna mendongak senang, seolah secercah harapan sedang menyambutnya. "Tapi, aku mau kamu menerima permintaan yang tempo hari saya ajukan." Hanna mengusap wajahnya. Permintaan aneh dari seorang pengusaha kaya raya seperti Hartono Bachtiar yang ingin ia menjadi menantunya, benar-benar membuat Hanna tak habis pikir. Permintaan lelaki tua itu sangatlah konyol. "Dan apakah dia pikir harga diriku bisa dibayar dengan uang tiga ratus juta!" teriaknya kesal, tak peduli dengan orang-orang di sekitarnya. "Kau masih berpikir memiliki harga diri!" Tiba-tiba seseorang berteriak di belakangnya. Hanna sontak menengok, mencari asal muasal suara yang tiba-tiba menambah kepenatan otaknya. Seketika ia pun kaget, kekhawatirannya sejak kemarin di tengah kebuntuannya mencari uang untuk membayar biaya rumah sakit, muncul di situasi yang tak terduga. "Sesuai hari yang disepakati, hari ini kami minta pelunasan hutangmu. Atau seperti yang kami katakan kemarin, kamu harus ikut kami menemui Bos Darma." Orang-orang yang tempo hari datang ke rumah Hanna, kini berdiri di depannya dengan wajah garang. 'Bagaimana mereka bisa menemukanku di sini?' batin Hanna tak mengerti. "S-saya belum punya uang untuk bayar hutang. Saat ini saya masih mencari uang untuk melunasi biaya pengobatan ibu saya." Hanna mencoba menjelaskan. Lelaki yang sejak kemarin jadi juru bicara, melangkah mendekati Hanna. "Sekali lagi, itu bukan urusan kami. Tugas kami hanya menagih hutang orang tuamu pada Bos Darma. Tak peduli dari mana kamu dapatkan, pokoknya sekarang juga harus lunas." "Tapi, aku benar-benar tidak punya uang. Mau kalian memaksa seperti apapun, aku tidak bisa membayar." Hanna membalas ucapan tak berempati yang lelaki di depannya tunjukkan. Namun, seringai malah muncul di bibirnya yang hitam dan tebal. "Kalau begitu, terpaksa kami harus membawamu ke tempat lokalisasi," ucapnya tertawa. Hanna mengkerut ketakutan. Tak ada yang bisa ia lakukan demi menyelamatkan dirinya sendiri selain kabur. Namun sayang, niatnya itu mudah sekali terbaca. Beberapa dari mereka kini memposisikan diri untuk mengepungnya. Sedangkan orang-orang di sekitar taman hanya menatapnya kasihan tanpa berani menolong. Perlahan kelima lelaki tersebut berjalan mendekat. Hanna yang bersiaga, mencoba mundur untuk menghindar. Tapi, dua orang dari mereka berhasil menangkapnya sebelum ia sempat kabur. "Lepaskan aku!" teriak Hanna takut. Ia meronta, mencoba melepaskan diri dari genggaman lelaki berbadan besar tersebut. "Kamu pikir kami akan iba dan kasihan, lalu melepasmu? Jangan mimpi!" ucap si jubir tertawa sebab targetnya dengan mudah ditangkap. Air mata mulai tampak di kelopak mata Hanna. Bayangan menakutkan dan menjijikan tentang nasibnya sebagai seorang pelacur, mulai menari-nari di pelupuk matanya. "Lepaskan gadis itu!" ***Hening yang tercipta setelah pernyataan Rafael terasa begitu terasa hingga membuat Hanna sulit bernapas. Ibunya masih menggenggam tangannya, sementara Yoga menatapnya dengan campuran khawatir dan bersalah —seolah kejadian itu adalah kesalahannya, padahal sama sekali bukan.Rafael menatap keduanya, memastikan tidak ada luka, tidak ada sesuatu yang terlewat.“Bu,” ucap Rafael akhirnya, nadanya menurun namun tetap tegas, “mulai hari ini, kediaman Ibu akan dijaga. Saya akan kirim dua orang. Mereka tidak akan mengganggu aktivitas Ibu, tapi Ibu tidak boleh keluar sendirian untuk sementara.”Ibunya Hanna tampak hendak menolak, tetapi kemudian ia melihat lagi cara Rafael berdiri, tegap, terlihat bahaya, dan sepenuhnya mengambang pada satu hal —melindungi Hanna dan orang-orang sekitarnya.Ia mengangguk pelan. “Baik, Nak Rafael.”Yoga mengangkat tangan sebentar, suaranya pelan, “Aku juga akan dijaga?”Rafael menatapnya tanpa banyak ekspresi. “Ya.”Yoga hendak mengangguk, tetapi ia berhenti keti
Pagi baru saja menghangatkan teras kediaman Bachtiar ketika Hanna melangkah keluar dari ruang utama. Setelah percakapan berat dengan Hartono, kepalanya masih penuh suara-suara yang menyisakan decak ngeri. Ia berjalan dengan langkah pelan, seperti seseorang yang sedang belajar kembali mengatur napasnya sendiri.Rafael berdiri menunggunya, bersandar di dinding dengan kedua tangan terlipat. Begitu melihat Hanna keluar, ia segera menjauh dari dinding dan menghampirinya.“Hanna?” suaranya rendah, khawatir.Hanna mengangguk kecil. “Kita bicara di kamar nanti. Sekarang … aku butuh udara.”Rafael mengizinkan, tetap mengikuti beberapa langkah di belakangnya seperti bayangan yang tak mau hilang.Namun, baru lima langkah mereka berjalan, seorang pelayan berlari kecil dari arah gerbang utama.“Pak Rafael! Non Hanna! Ada tamu datang.”Rafael mengerutkan dahi. “Tamu? Siapa?”“Bu Sinta, ibunya Nona Hanna. Dan satu orang lagi —seorang laki-laki bernama Yoga.”Hanna terhenti.“Apa?” suaranya keluar le
“Kenapa ini terdengar sangat rumit dan berbahaya?” Hanna membatin, jari-jarinya menekan sampul map hingga memucat.Rasa dingin merambat perlahan dari tengkuk ke punggungnya. Bukan hanya karena apa yang baru saja ia dengar, tetapi karena tatapan Hartono dan Rafael sama-sama mengarah padanya.Sebagai pusat ancaman.Sebagai sasaran utama.Meski ia tidak pernah meminta satu pun dari semua ini.Rafael melangkah mendekat, berdiri tepat di samping kursi Hanna. Satu tangannya bergerak seolah ingin menyentuh bahu Hanna, namun ia tahan —mungkin takut menyulitkan perasaan Hanna, mungkin juga karena Hartono masih memperhatikan.“Hanna,” panggil Rafael lembut namun tegas.Hanna mendongak. Tatapan Rafael bukan belas kasihan. Bukan pula rasa bersalah. Melainkan ketegasan orang yang sedang membangun dinding pelindung di sekitarnya.“Aku tidak akan membiarkan satu pun menyentuhmu,” lanjutnya.Hanna menelan ludah. Kata-kata itu menghangatkan, sekaligus membuat dadanya sesak.“Rafael benar,” sambung Har
Hening menyelimuti ruangan setelah kalimat itu. Seolah udara ikut membeku bersama bayang-bayang masa lalu yang kembali hidup.Rafael perlahan berdiri. “Kek … kalau benar Rana kembali, dia tidak akan berhenti hanya dengan mengganggu Hanna. Dia akan menyasar perusahaan. Nama keluarga. Bahkan—”“Ya,” potong Hartono pelan, namun tegas. “Dan itu sebabnya kita tidak boleh lengah.”Hanna menatap keduanya, dada sesak. “Apa… Rana punya alasan untuk membalas dendam pada keluarga ini?”Hartono menghela napas. Dalam. Berat. Napas seorang lelaki yang sudah melewati banyak perang, tapi tak menyangka harus menghadapi yang satu ini.“Rana adalah orang yang Kakek anggap keluarga.” Hartono bersandar sedikit, wajahnya tampak lebih tua dari beberapa menit sebelumnya. “Ayahmu, Rafael, juga sangat mempercayainya. Dia masuk ke dalam lingkaran terdekat kami. Tetapi ketika proyek timur bermasalah … dia menghilang. Tanpa jejak. Tanpa menjelaskan apa pun.”Rafael menambahkan dengan suara rendah, “Dia pergi begi
Ruang utama itu selalu memiliki wibawa tersendiri. Pilar kayu jati menjulang kokoh, lukisan-lukisan lama keluarga Bachtiar menghiasi dinding, dan aroma teh pahit kesukaan Hartono masih menggantung di udara.Namun pagi ini, semuanya terasa lebih berat. Seolah ruangan itu sendiri menahan napas.Hartono duduk di kursi kepala meja panjang. Bahunya tegap meski usianya sudah lanjut, rambutnya memutih sempurna, namun matanya —mata yang dulu membangun Bachtiar Grup dari nol, masih setajam baja.Rafael memberi Hanna isyarat untuk duduk di sampingnya, lalu ia sendiri berdiri tegak di hadapan kakeknya.Hartono mengangkat pandangan ketika mereka tiba. “Duduklah, kalian berdua.” Suaranya dalam, tenang, tapi menyimpan tekanan yang membuat udara sejenak menegang.Hanna menelan ludah, mencoba mengatur napas. Ia selalu menghormati Hartono. Bagaimana pun juga, lelaki tua itulah yang membuatnya menjadi bagian dari keluarga konglomerat tersebut —meski statusnya hanyalah kontrak.Namun, tatapan lelaki tua
Cahaya pagi menyusup masuk melalui tirai tipis kamar Hanna, membentuk garis-garis lembut di lantai marmer. Biasanya, pagi di rumah itu terasa hangat dan tenang. Namun hari ini, hawa ketakutan semalam masih menggantung seperti bayangan yang menolak pergi.Hanna duduk di pinggir ranjang, tangan memegangi map cokelat berisi catatan ayahnya. Rasa dingin dari sampul kertas itu seolah menembus kulitnya.Ia belum tidur —hanya menutup mata sebentar setelah Rafael memastikan semua penjagaan ditingkatkan dan pengawal ditempatkan di depan pintu.Ketukan lembut terdengar.Hanna menoleh. Rafael masuk tanpa suara, masih memakai kemeja hitam yang sama sejak semalam. Rambutnya sedikit berantakan, wajahnya lelah —namun sorot matanya tajam dan fokus, seperti seseorang yang tidak boleh goyah walau tubuhnya ingin runtuh.“Kau bangun lebih pagi dari perkiraanku.” Rafael duduk di sampingnya. “Tidak bisa tidur?”Hanna menggeleng pelan. “Tidak setelah… semua itu.”Rafael menghela napas dan menyandarkan siku







