Home / Romansa / Malam Pertama Sang Istri Kontrak / Bab 1 – Pernikahan yang Tak Pernah Kuinginkan

Share

Malam Pertama Sang Istri Kontrak
Malam Pertama Sang Istri Kontrak
Author: Ferin Agf

Bab 1 – Pernikahan yang Tak Pernah Kuinginkan

Author: Ferin Agf
last update Last Updated: 2025-09-25 05:20:28

Gaun putih ini terasa seperti belenggu, bukan lambang kebahagiaan. Kainnya berat, menjuntai hingga menyapu lantai marmer kamar hotel megah yang disewa khusus untuk pernikahan. Aku menatap bayangan diriku di cermin besar—wajah cantik dengan make-up sempurna, bibir merah muda, dan senyum yang dipaksakan. Tapi mataku… kosong.

“Kenapa harus aku…?” bisikku lirih.

Pintu kamar berderit terbuka. Ayahku masuk dengan setelan jas abu-abu. Rambutnya yang mulai memutih terlihat rapi, tapi wajahnya penuh kerisauan.

“Kau sudah siap?” tanyanya tanpa basa-basi.

Aku menoleh, menatapnya dengan getir. “Ayah, aku tidak bisa. Aku tidak mencintainya. Bahkan aku tidak mengenalnya.”

Suara ayahku mengeras. “Ini bukan soal cinta, ini soal masa depan keluarga kita. Jika perusahaan bangkrut, kita kehilangan segalanya. Hanya pernikahan ini yang bisa menyelamatkan kita.”

Air mataku hampir jatuh. “Jadi… aku hanya tumbal untuk keserakahan bisnis?”

Ayah terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. “Kau anak Ayah. Kau harus berkorban demi keluarga. Jangan egois.”

Kata-kata itu menghantam dadaku. Egois? Bukankah aku yang dikorbankan?

Aku ingin menolak, ingin berteriak, tapi kakiku terlalu lemah. Hatiku hancur, tapi aku tahu tak ada jalan lain. Aku berjalan keluar kamar, melewati lorong panjang yang dipenuhi dekorasi bunga putih. Musik lembut mengalun, seakan merayakan kebahagiaan yang tidak pernah kumiliki.

Di ujung altar, aku melihatnya—pria itu. Tinggi, tegap, dengan jas hitam yang membalut tubuh atletisnya. Rambut hitamnya disisir rapi ke belakang, menonjolkan rahang tegasnya. Wajahnya tampan, terlalu tampan, tapi tatapannya… sedingin es.

Dia menoleh ke arahku. Tatapan mata hitam itu tidak menunjukkan kekaguman, tidak pula kebahagiaan. Yang kulihat hanyalah dingin, keras, dan penuh perhitungan.

Aku berjalan dengan langkah goyah, setiap detik terasa begitu panjang. Tanganku bergetar saat ayah menyerahkan tanganku pada pria asing itu. Genggamannya dingin, kuat, seolah memberi peringatan bahwa aku kini sepenuhnya berada dalam kekuasaannya.

Upacara berlangsung cepat. Janji pernikahan diucapkan tanpa perasaan. Dan ketika cincin melingkar di jari manisku, aku merasa seperti terikat rantai yang tak bisa kuputus.

Saat semua orang bertepuk tangan, aku hanya ingin berteriak. Tapi suaraku terkunci di tenggorokan.

Malam itu, setelah pesta usai, aku dibawa ke kamar pengantin. Ruangan luas dengan ranjang besar berhias kelambu putih. Lampu redup menambah suasana yang seharusnya romantis, tapi bagiku terasa mencekam.

Aku duduk di tepi ranjang, gaun pengantin masih melekat di tubuh. Tanganku mengepal di pangkuan, jantungku berdegup kencang.

Pintu terbuka. Dia masuk dengan langkah mantap. Jasnya sudah ia lepaskan, menyisakan kemeja hitam yang membentuk tubuhnya. Dia menatapku tanpa senyum.

“Mulai malam ini kau adalah istriku,” katanya dingin. Suaranya berat, dalam, menusuk telinga.

Aku menelan ludah, mencoba mengumpulkan keberanian. “Apakah… apakah kau benar-benar mau pernikahan ini?”

Dia berjalan mendekat, berhenti tepat di depanku. Tangannya meraih daguku, mengangkat wajahku agar menatap matanya.

“Dengarkan baik-baik,” ucapnya dengan suara rendah. “Aku tidak pernah menginginkan istri. Aku tidak pernah menginginkanmu. Ini hanya perjanjian, kontrak, dan aku tak akan pernah mencintaimu.”

Jantungku seakan diremas. Kata-katanya menusuk lebih dalam daripada belati.

Dia melepaskan daguku, lalu berbalik melepas dasinya. “Tapi,” lanjutnya tanpa menoleh, “kau harus menjalankan kewajibanmu sebagai istri. Malam ini… kau milikku.”

Tubuhku bergetar hebat. Ketakutan, marah, tapi juga… ada sesuatu yang aneh, yang tak bisa kujelaskan.

Aku menutup mata erat-erat, berharap semua ini hanya mimpi buruk. Tapi genggaman kuat di pinggangku membuatku sadar—malam pertama ini adalah awal dari pernikahan yang tak pernah kuinginkan.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Malam Pertama Sang Istri Kontrak   Bab 86 – Bara yang Membakar Langkah

    Fajar perlahan muncul, menggantikan gelap malam yang penuh dengan air mata dan halusinasi. Aisyah berdiri di depan cermin, menatap bayangannya sendiri. Mata itu sembab karena menangis semalaman, tapi ada cahaya lain yang muncul—cahaya keyakinan. Rindu pada Arga yang semalam menjelma jadi halusinasi intim, kini berubah jadi bara yang membakar semangat. “Hari ini bukan hanya tentangku,” gumamnya pelan, “tapi tentang dia, tentang kebenaran, tentang semua yang mereka injak.”Ia mengenakan jas berwarna hitam, sederhana namun elegan. Setiap kancing yang ia rapatkan seolah menjadi simbol tekadnya. Tangannya sempat gemetar, mengingat kembali pelukan semu Arga yang masih terasa hangat, tapi ia genggam erat jemari sendiri, menahan getar itu agar berubah jadi keberanian.Ketukan terdengar di pintu. Reyhan masuk dengan wajah cemas membawa tumpukan dokumen. “Aisyah, media sudah memanas. Mereka menunggu kedatanganmu. Dan kabar terakhir, pihak lawan menambah serangan—mereka menye

  • Malam Pertama Sang Istri Kontrak   Bab 85 – Rindu yang Menyulut Bara

    Malam merambat perlahan, membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Hujan sudah berhenti sejak beberapa jam lalu, tapi suara tetesan air dari atap masih terdengar jelas di luar jendela. Di dalam ruang kerja yang kini lebih mirip markas perang daripada rumah, Aisyah duduk dengan tubuh lelah namun mata tetap terbuka lebar. Di depannya tergeletak puluhan lembar catatan, draft pidato yang ia tulis, coret, lalu tulis ulang lagi seolah tak pernah ada yang sempurna. Lampu meja menyinari wajahnya yang pucat, memperlihatkan lingkar hitam di bawah mata akibat kurang tidur, tapi tatapan itu sama sekali tidak redup. Tatapan itu justru dipenuhi dengan api, api yang lahir dari rindu sekaligus amarah.Ia menunduk, menuliskan ulang kalimat pembuka pidatonya. Pulpen bergetar di jarinya, bukan karena ia tidak yakin, tapi karena tubuhnya sudah terlalu lama dipaksa bekerja. “Aku berdiri di sini bukan hanya sebagai seorang istri…” ia berhenti, menatap kosong ke arah kertas, lalu menarik

  • Malam Pertama Sang Istri Kontrak   Bab 84 – Gelombang yang Tak Terbendung

    Pagi itu udara terasa berat, seolah kota menahan napas. Langit mendung meski hujan semalam sudah reda, dan di rumah Aisyah suasana tidak kalah menegangkan. Ruang kerjanya berubah jadi pusat komando penuh layar menyala, map dokumen, ponsel yang terus berdering, dan tim kecil yang bergerak cepat di balik meja. Aisyah duduk di kursi dengan tubuh lelah tapi mata menyala, jemarinya mengetik cepat, sesekali memberi instruksi singkat namun tegas pada Reyhan yang duduk di seberang. “Pastikan semua berkas masuk ke arsip digital. Jangan ada satu pun yang hilang, apalagi bocor,” ujarnya, tanpa menoleh.Reyhan mengangguk, lalu menyerahkan laporan cetak dengan wajah serius. “Kabar bagus, Aisyah. Bank internasional resmi membekukan aset sementara. Semua rekening yang dipakai Rania untuk mengalirkan uang gelap ditahan. Mereka panik sekarang.” Aisyah menatap dokumen itu lama, lalu menarik napas dalam-dalam. “Kalau begitu, waktunya kita buka gelombang serangan kedua.” Ia berdiri, menyalakan

  • Malam Pertama Sang Istri Kontrak   Bab 83 – Rindu yang Membakar, Kekuatan yang Menggerakkan

    Malam itu hujan deras menghantam atap rumah, suara gemuruhnya bercampur dengan derit pohon yang ditiup angin kencang. Di ruang kerja yang lampunya hanya satu, Aisyah duduk dengan punggung menegang, wajahnya pucat karena kurang tidur, tapi matanya menyala penuh api. Di depannya papan tulis besar sudah penuh dengan coretan garis merah, panah-panah yang saling bertaut, dan nama-nama pejabat serta pengusaha yang selama ini jadi aktor di balik jerat kasus Arga. Tumpukan dokumen bertaburan di meja, sebagian sudah disusun ke dalam map dengan label berbeda, sebagian masih berupa kertas berserakan dengan catatan tangan tergesa-gesa. Suasana ruangan itu bukan lagi rumah seorang wanita biasa, melainkan markas perang seorang pemimpin yang sedang melawan sistem besar yang ingin menelannya.Rasa rindu pada Arga menyerang di setiap detik hening. Aisyah memejamkan mata sejenak, dan di balik kelopak itu ia kembali melihat bayangan suaminya. Arga duduk di lantai sel dengan tubuh penuh memar,

  • Malam Pertama Sang Istri Kontrak   Bab 82 – Titik Balik yang Diledakkan

    Pagi itu kota terasa berbeda: angin membelai bangunan-bangunan tinggi sambil membawa getar yang merata ke media, jejaring sosial, bahkan ruang-ruang rapat pejabat. Di markas kecil mereka, Aisyah duduk di depan layar besar, dikelilingi Reyhan, dua pengacara, dan beberapa wartawan independen yang bisa dipercaya. Di layar tergambar peta aliran dana yang baru saja selesai disusun—bukan hanya sekadar angka, melainkan bukti berlapis: screenshot transfer, metadata tanda tangan digital yang telah dianalisis ulang, korespondensi email yang menunjukkan instruksi, daftar rekening cangkang beserta pemilik nominal fiktif, dan—yang paling menodai—salinan kontrak yang memperlihatkan keterlibatan pejabat tinggi yang selama ini menjaga pintu bagi Rania. Semua bukti itu disusun rapi menjadi satu paket rinci dengan narasi hukum dan kronologi kejadian, disertai rujukan ke file forensik yang sudah diverifikasi oleh tim luar negeri. Aisyah menatap dokumen itu lama; ada letupan lega yang tak disangka: ini bu

  • Malam Pertama Sang Istri Kontrak   Bab 81 – Serangan Balik dari Balik Jeruji

    Fajar menyingsing di atas gedung tahanan, sinar matahari masuk dari jendela kecil berjeruji, memantul di dinding lembap. Arga duduk bersila di ranjang besi, matanya terpejam, napasnya teratur, meski tubuhnya penuh luka memar. Ia tidak sedang tidur, melainkan menyusun strategi di kepalanya. Setiap langkah, setiap celah, ia hitung dengan teliti. Kata napi semalam masih terngiang: dokumen kontrak ilegal, pejabat tinggi, brankas rahasia. Itu bukan sekadar gosip. Itu bisa jadi senjata pamungkas.Ketika pintu sel terbuka untuk jatah makan, Arga diam-diam menyelipkan secarik kertas kecil ke bawah piring, tulisan kode yang samar. Itu akan sampai ke Reyhan melalui jaringan yang ia bangun. Ia tahu waktu mereka tidak banyak, tapi satu langkah kecil bisa menjadi awal badai besar.Sementara itu, di luar, Aisyah menghadapi hari berat. Media lokal menyerangnya dengan berita fitnah, tapi media internasional justru mengangkatnya sebagai ikon perlawanan. “Wanita yang Tidak Gentar.”—

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status