Pagi itu matahari terasa lebih menyilaukan daripada biasanya. Aku berdiri di depan lemari besar, dipenuhi gaun-gaun mewah yang disiapkan oleh pelayan. Kain sutra, renda, permata—semuanya berkilauan. Tapi entah kenapa, aku merasa seperti anak kecil yang dipaksa mengenakan pakaian orang dewasa.
“Pilihlah yang ini,” suara pelayan terdengar sambil mengangkat gaun biru tua dengan payet berkilau. Aku menyentuh kainnya pelan. Indah, tapi berat. Sama seperti hidupku sekarang. Hari ini keluarga mengadakan acara bisnis besar di hotel pusat kota. Semua mata akan tertuju pada kami. Dan aku… harus berdiri di sampingnya, pria yang bahkan tak pernah kucintai, tapi kini sah menjadi suamiku. Aku mengenakan gaun itu dengan bantuan pelayan. Rambutku disanggul rapi, sedikit make-up dipoleskan. Dari cermin, aku tampak seperti wanita bangsawan. Tapi hatiku tahu, itu semua hanya topeng. --- Ketika aku turun ke ruang tamu, ia sudah menungguku. Pria itu—suamiku—berdiri tegap dengan jas hitam dan dasi perak. Wajahnya dingin, rahangnya tegas, aura kekuasaan memancar begitu kuat hingga para pelayan menunduk ketika ia lewat. Matanya menatapku sebentar, lalu berkata singkat, “Cepat. Kita tidak punya banyak waktu.” Aku mengangguk pelan, mengikuti langkahnya keluar. Mobil hitam mewah sudah menunggu. Sopir membuka pintu, dan aku masuk setelah dia. Perjalanan menuju hotel sunyi. Ia sibuk dengan ponselnya, jemari panjangnya mengetik cepat. Aku menatap keluar jendela, mencoba menenangkan degup jantungku. Aku harus kuat. Apa pun yang terjadi nanti, jangan mempermalukan diri sendiri. --- Ballroom hotel itu penuh cahaya dan gemerlap. Lampu kristal bergantung megah, karpet merah membentang, musik klasik mengalun lembut. Para tamu berpakaian mewah, berbincang dengan suara pelan namun penuh wibawa. Begitu kami masuk, semua mata menoleh. Aku bisa merasakan tatapan mereka menusuk tubuhku. Beberapa berbisik, beberapa tertawa samar. “Ah, itu dia. Pewaris keluarga besar dengan… istri barunya.” “Benarkah itu istrinya? Terlihat… terlalu sederhana.” “Tidak sebanding sama sekali. Tapi mungkin ada alasan lain di balik pernikahan itu.” Aku menunduk, pipiku panas. Setiap kata bisikan itu terdengar jelas di telingaku, meski mereka berusaha menutupinya. Suamiku tetap berjalan tegap, wajahnya datar. Tangannya meraih tanganku sekilas, dingin, tapi kuat. Aku terkejut, tapi ia tidak menoleh. Hanya genggamannya yang membuatku tetap bisa melangkah. --- Kami berhenti di hadapan sekelompok pengusaha. Salah satunya adalah pria paruh baya dengan jas abu-abu, tersenyum lebar. “Ah, akhirnya aku bertemu dengan istrimu.” Tatapannya singgah padaku, menilai dari ujung kepala hingga kaki. Senyumnya berubah samar. “Cantik, tapi tampaknya… terlalu polos untuk dunia ini.” Aku menelan ludah, mencoba tersenyum sopan. “Senang bertemu dengan Anda.” Pria itu terkekeh. “Kau pasti masih muda sekali. Hmm… aku tidak bisa membayangkan bagaimana kau akan mendampingi suami sekelasnya di dunia bisnis.” Beberapa orang di sekeliling ikut tertawa kecil. Dadaku sesak. Ingin rasanya berlari keluar ruangan. Tapi sebelum aku sempat mundur, suara berat itu terdengar. “Dia istriku,” kata suamiku tegas. Semua orang terdiam. Tatapan tajamnya menyapu kerumunan. “Dan aku tidak suka orang lain meremehkan pilihanku. Jika kalian ingin berbicara bisnis denganku, bicaralah. Tapi jangan pernah menyentuh urusan pribadiku.” Suasana mendadak hening. Pria paruh baya itu terbatuk canggung, lalu tersenyum paksa. “Tentu, tentu. Hanya bercanda.” Namun suamiku tidak tersenyum. Ia meraih pinggangku, menarikku lebih dekat. Tangannya menempel erat, seolah menandai kepemilikannya. Aku membeku. Semua mata tertuju pada kami. Jantungku berdegup kencang. Dari luar, kami mungkin tampak sebagai pasangan mesra. Tapi aku tahu, genggamannya bukan kelembutan—itu peringatan. “Mulai sekarang,” bisiknya di telingaku, hanya bisa kudengar, “jangan pernah meragukan posisimu di sisiku.” Aku menatapnya, mata kami bertemu. Di balik tatapan dingin itu, aku melihat sesuatu yang berbeda—sesuatu yang berbahaya. Dan aku tidak tahu… apakah itu awal dari perlindungan, atau awal dari penjara yang lebih dalam. --- Malam itu, setelah semua tamu pergi, aku kembali ke kamar dengan hati kacau. Kata-kata dan genggamannya masih membekas. Kenapa… kenapa aku justru berharap genggaman itu bukan hanya karena kontrak? Aku menutup mata, air mata jatuh lagi. Dan aku sadar, topeng yang kupakai mulai retak. ---Fajar perlahan muncul, menggantikan gelap malam yang penuh dengan air mata dan halusinasi. Aisyah berdiri di depan cermin, menatap bayangannya sendiri. Mata itu sembab karena menangis semalaman, tapi ada cahaya lain yang muncul—cahaya keyakinan. Rindu pada Arga yang semalam menjelma jadi halusinasi intim, kini berubah jadi bara yang membakar semangat. “Hari ini bukan hanya tentangku,” gumamnya pelan, “tapi tentang dia, tentang kebenaran, tentang semua yang mereka injak.”Ia mengenakan jas berwarna hitam, sederhana namun elegan. Setiap kancing yang ia rapatkan seolah menjadi simbol tekadnya. Tangannya sempat gemetar, mengingat kembali pelukan semu Arga yang masih terasa hangat, tapi ia genggam erat jemari sendiri, menahan getar itu agar berubah jadi keberanian.Ketukan terdengar di pintu. Reyhan masuk dengan wajah cemas membawa tumpukan dokumen. “Aisyah, media sudah memanas. Mereka menunggu kedatanganmu. Dan kabar terakhir, pihak lawan menambah serangan—mereka menye
Malam merambat perlahan, membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Hujan sudah berhenti sejak beberapa jam lalu, tapi suara tetesan air dari atap masih terdengar jelas di luar jendela. Di dalam ruang kerja yang kini lebih mirip markas perang daripada rumah, Aisyah duduk dengan tubuh lelah namun mata tetap terbuka lebar. Di depannya tergeletak puluhan lembar catatan, draft pidato yang ia tulis, coret, lalu tulis ulang lagi seolah tak pernah ada yang sempurna. Lampu meja menyinari wajahnya yang pucat, memperlihatkan lingkar hitam di bawah mata akibat kurang tidur, tapi tatapan itu sama sekali tidak redup. Tatapan itu justru dipenuhi dengan api, api yang lahir dari rindu sekaligus amarah.Ia menunduk, menuliskan ulang kalimat pembuka pidatonya. Pulpen bergetar di jarinya, bukan karena ia tidak yakin, tapi karena tubuhnya sudah terlalu lama dipaksa bekerja. “Aku berdiri di sini bukan hanya sebagai seorang istri…” ia berhenti, menatap kosong ke arah kertas, lalu menarik
Pagi itu udara terasa berat, seolah kota menahan napas. Langit mendung meski hujan semalam sudah reda, dan di rumah Aisyah suasana tidak kalah menegangkan. Ruang kerjanya berubah jadi pusat komando penuh layar menyala, map dokumen, ponsel yang terus berdering, dan tim kecil yang bergerak cepat di balik meja. Aisyah duduk di kursi dengan tubuh lelah tapi mata menyala, jemarinya mengetik cepat, sesekali memberi instruksi singkat namun tegas pada Reyhan yang duduk di seberang. “Pastikan semua berkas masuk ke arsip digital. Jangan ada satu pun yang hilang, apalagi bocor,” ujarnya, tanpa menoleh.Reyhan mengangguk, lalu menyerahkan laporan cetak dengan wajah serius. “Kabar bagus, Aisyah. Bank internasional resmi membekukan aset sementara. Semua rekening yang dipakai Rania untuk mengalirkan uang gelap ditahan. Mereka panik sekarang.” Aisyah menatap dokumen itu lama, lalu menarik napas dalam-dalam. “Kalau begitu, waktunya kita buka gelombang serangan kedua.” Ia berdiri, menyalakan
Malam itu hujan deras menghantam atap rumah, suara gemuruhnya bercampur dengan derit pohon yang ditiup angin kencang. Di ruang kerja yang lampunya hanya satu, Aisyah duduk dengan punggung menegang, wajahnya pucat karena kurang tidur, tapi matanya menyala penuh api. Di depannya papan tulis besar sudah penuh dengan coretan garis merah, panah-panah yang saling bertaut, dan nama-nama pejabat serta pengusaha yang selama ini jadi aktor di balik jerat kasus Arga. Tumpukan dokumen bertaburan di meja, sebagian sudah disusun ke dalam map dengan label berbeda, sebagian masih berupa kertas berserakan dengan catatan tangan tergesa-gesa. Suasana ruangan itu bukan lagi rumah seorang wanita biasa, melainkan markas perang seorang pemimpin yang sedang melawan sistem besar yang ingin menelannya.Rasa rindu pada Arga menyerang di setiap detik hening. Aisyah memejamkan mata sejenak, dan di balik kelopak itu ia kembali melihat bayangan suaminya. Arga duduk di lantai sel dengan tubuh penuh memar,
Pagi itu kota terasa berbeda: angin membelai bangunan-bangunan tinggi sambil membawa getar yang merata ke media, jejaring sosial, bahkan ruang-ruang rapat pejabat. Di markas kecil mereka, Aisyah duduk di depan layar besar, dikelilingi Reyhan, dua pengacara, dan beberapa wartawan independen yang bisa dipercaya. Di layar tergambar peta aliran dana yang baru saja selesai disusun—bukan hanya sekadar angka, melainkan bukti berlapis: screenshot transfer, metadata tanda tangan digital yang telah dianalisis ulang, korespondensi email yang menunjukkan instruksi, daftar rekening cangkang beserta pemilik nominal fiktif, dan—yang paling menodai—salinan kontrak yang memperlihatkan keterlibatan pejabat tinggi yang selama ini menjaga pintu bagi Rania. Semua bukti itu disusun rapi menjadi satu paket rinci dengan narasi hukum dan kronologi kejadian, disertai rujukan ke file forensik yang sudah diverifikasi oleh tim luar negeri. Aisyah menatap dokumen itu lama; ada letupan lega yang tak disangka: ini bu
Fajar menyingsing di atas gedung tahanan, sinar matahari masuk dari jendela kecil berjeruji, memantul di dinding lembap. Arga duduk bersila di ranjang besi, matanya terpejam, napasnya teratur, meski tubuhnya penuh luka memar. Ia tidak sedang tidur, melainkan menyusun strategi di kepalanya. Setiap langkah, setiap celah, ia hitung dengan teliti. Kata napi semalam masih terngiang: dokumen kontrak ilegal, pejabat tinggi, brankas rahasia. Itu bukan sekadar gosip. Itu bisa jadi senjata pamungkas.Ketika pintu sel terbuka untuk jatah makan, Arga diam-diam menyelipkan secarik kertas kecil ke bawah piring, tulisan kode yang samar. Itu akan sampai ke Reyhan melalui jaringan yang ia bangun. Ia tahu waktu mereka tidak banyak, tapi satu langkah kecil bisa menjadi awal badai besar.Sementara itu, di luar, Aisyah menghadapi hari berat. Media lokal menyerangnya dengan berita fitnah, tapi media internasional justru mengangkatnya sebagai ikon perlawanan. “Wanita yang Tidak Gentar.”—