Mag-log inPagi itu aku berdiri lama di depan cermin. Wajah pucat dengan lingkar hitam di bawah mata menatap balik padaku. Bedak tipis yang kupoleskan nyaris tidak sanggup menutupi kelelahan yang menumpuk. Rambutku kualirkan sederhana, hanya disisir rapi tanpa hiasan. Dari pantulan cermin, aku tampak seperti gadis biasa yang dipaksa masuk ke dunia yang bukan miliknya.
Aku menarik napas panjang, mencoba menegakkan bahu. Kau harus kuat. Apa pun yang terjadi, jangan tunjukkan kelemahan di depan mereka. Itu yang kubisikkan pada diriku sendiri sebelum melangkah keluar kamar. Tangga marmer putih yang menjulang seakan menguji keberanianku. Aku menuruni setiap anak tangga dengan langkah hati-hati. Suara peralatan makan beradu dengan piring terdengar dari ruang makan di lantai bawah, bercampur dengan aroma kopi hitam, roti panggang, dan daging asap. Biasanya hanya keluarga inti yang duduk di sana. Namun kali ini, suaranya lebih ramai. Begitu aku melangkah masuk, mataku segera menangkap pemandangan yang berbeda. Meja makan panjang dari kayu mahoni mengkilap itu penuh. Kursi-kursi berlapis kain beludru ditempati oleh beberapa orang tambahan. Di ujung meja duduk mertuaku, wanita elegan dengan gaun hijau toska dan perhiasan mutiara. Rambutnya disanggul sempurna, wajahnya anggun, tapi tatapannya menusuk begitu matanya jatuh padaku. Di sampingnya, ayah mertuaku membaca koran, wajahnya kaku tanpa ekspresi. Namun yang paling membuatku tercekat adalah wanita muda bergaun hijau zamrud yang duduk tak jauh dari mertuaku. Wajahnya cantik, rambut cokelat panjang bergelombang, bibirnya merah segar, senyum anggun menghiasi wajahnya. Dari cara ia duduk, dari sikapnya yang percaya diri, aku bisa tahu dia bukan orang sembarangan. “Ah, ini dia menantu baru keluarga kita,” suara mertuaku terdengar, lembut tapi penuh tekanan. “Silakan duduk.” Aku menunduk sopan. “Selamat pagi.” Wanita bergaun hijau zamrud itu menoleh padaku, senyumnya tipis namun penuh arti. “Jadi… ini istrimu?” suaranya halus, tapi nadanya mengandung meremehkan. “Aku sudah sering mendengar cerita tentang siapa yang akan mendampingi Tuan Muda. Tapi ternyata berbeda sekali dengan bayanganku.” Aku tercekat. Senyum itu mungkin terlihat ramah di mata orang lain, tapi bagiku terasa seperti belati yang menusuk halus. Suamiku duduk di samping ayahnya. Wajahnya dingin, tatapannya lurus ke depan. Ia bahkan tidak menoleh padaku ketika aku duduk di kursi kosong di seberangnya. “Rasanya aneh, bukan?” mertuaku menimpali. “Seorang pewaris keluarga besar, seorang CEO muda yang begitu disegani, menikahi gadis sederhana. Banyak orang yang masih tidak percaya.” Meja makan mendadak terasa semakin dingin. Semua tatapan seakan menguliti kulitku. Aku berusaha tersenyum, meski bibirku bergetar. “Saya… hanya berusaha melakukan yang terbaik,” kataku lirih. Wanita bergaun hijau zamrud itu tertawa kecil. “Tentu saja. Tapi menjadi istri seorang CEO tidak cukup hanya dengan berusaha. Ada hal-hal yang tidak bisa dipelajari: kelas, kecerdasan, darah keluarga. Dan itu… tidak semua orang memilikinya.” Aku hampir tidak bisa menelan roti di piringku. Kata-katanya menekankan satu hal: aku bukan bagian dari mereka. Ayah mertuaku akhirnya menurunkan korannya. Tatapannya tajam, suaranya berat. “Perusahaan ini butuh wajah yang tepat di depan publik. Semoga kau bisa menyesuaikan diri. Jangan sampai keberadaanmu menjadi kelemahan.” Aku menunduk semakin dalam, tanganku bergetar di bawah meja. Suamiku tiba-tiba meletakkan sendoknya dengan cukup keras. Semua orang terdiam. Ia menoleh sekilas ke arah wanita bergaun hijau itu, lalu berkata dingin, “Cukup.” Wanita itu tertegun, tapi segera menyamarkan dengan senyum. “Oh, maaf. Aku hanya bercanda.” Namun mertuaku masih menatapku dengan mata penuh peringatan. “Kau dengar itu? Kau harus belajar. Jangan hanya duduk diam seperti boneka. Dunia bisnis keras, dan kau harus mampu berdiri di sampingnya, bukan hanya menjadi beban.” Aku mengangguk cepat. “Iya, Bu.” Suaraku bergetar. Sarapan berlanjut dalam ketegangan. Setiap kali aku mencoba menelan makanan, rasanya hambar. Suara sendok dan garpu terdengar seperti irama kematian. Aku tidak berani menatap siapa pun, hanya menunduk. Kenapa aku harus berada di sini? Kenapa aku dipaksa masuk ke dunia yang begitu membenciku? Setelah sarapan selesai, semua orang bubar. Suamiku keluar bersama ayahnya, sibuk dengan urusan perusahaan. Mertuaku dan wanita tamu itu berjalan beriringan, berbicara dengan suara rendah yang jelas tidak melibatkan aku. Aku bergegas kembali ke kamar. Begitu pintu tertutup, semua kekuatan yang kutahan runtuh. Air mata jatuh deras, membasahi pipiku. Aku terisak, tubuhku gemetar. Aku terduduk di lantai, memeluk lututku. Aku tidak pernah meminta semua ini. Aku tidak pernah bermimpi menjadi bagian dari keluarga mereka. Aku hanya pion. Pion yang bisa dipermainkan sesuka hati. Tangisku semakin keras. Aku tidak peduli lagi jika ada yang mendengar. Dan ternyata… ada yang mendengar. Di balik pintu, tanpa aku sadari, suamiku berdiri. Matanya tajam, rahangnya mengeras. Ia tidak masuk, hanya diam beberapa detik, mendengarkan tangisku, sebelum akhirnya berbalik pergi. Namun langkahnya tertahan sebentar di ujung koridor. Ia mengepalkan tangan, wajahnya menegang. Untuk sesaat, ada sesuatu di matanya—sebuah kilatan rasa bersalah yang segera ia sembunyikan. Dan aku tidak tahu, apakah kepergiannya kali ini karena benar-benar tidak peduli… atau justru karena ia terlalu peduli, tapi menolak mengakuinya. ---Waktu tak pernah berteriak saat ia berlalu—ia cuma berjalan diam-diam, menua bersama daun, membisik di antara hembus angin, dan menyimpan jejak di wajah manusia yang bertahan. Dua puluh tahun sudah lewat sejak hari itu; sejak pagi terakhir di mana Aisyah menulis kalimat penutup di bukunya dan Arga menatap langit dengan rasa syukur yang tak bisa dijelaskan. Pohon mangga di belakang rumah kini menjulang tinggi, akarnya kuat, dan dahannya menaungi halaman kecil tempat tawa dulu tumbuh. Rumah mereka masih sama, hanya catnya yang lebih pudar dan pagar kayu yang mulai rapuh, tapi setiap retaknya menyimpan kisah yang bahkan waktu enggan menghapus. Raffa kini sudah dewasa. Tubuhnya tegap, caranya bicara tenang, dan matanya punya sorot yang mengingatkan siapa pun pada Arga muda—hangat, tapi dalam. Ia kini mengajar di sekolah dasar di desa yang sama, tempat ia dulu belajar mengenal huruf dan arti kejujuran dari ayahnya. Setiap pagi ia melewati toko yang dulu bernama Atap yang Sama, yang sekar
Senja turun perlahan di atas desa kecil itu. Langit berubah warna menjadi jingga keemasan, menandai berakhirnya satu hari yang penuh ketenangan. Di dalam rumah, suasana hening dan damai. Hanya terdengar suara pena yang menari di atas kertas, diselingi napas lembut Aisyah yang menulis dengan penuh perasaan. Di meja ruang tengah, ada dua lembar kertas kosong dan satu amplop kecil. Di atasnya tertulis dengan tulisan tangan Arga: “Untuk masa depan, dari kita bertiga.” Aisyah menulis pelan, huruf demi huruf seperti doa yang tidak ingin terburu-buru. Arga duduk di sampingnya, memperhatikan setiap gerakan tangan istrinya. Raffa, yang sudah sedikit lebih besar sekarang, menggambar hati kecil di sudut amplop. “Ayah,” kata Raffa sambil menatap gambar buatannya, “ini buat surat yang mau dikubur di halaman, kan?” Arga mengangguk, tersenyum lembut. “Iya, Nak. Biar nanti kalau kamu udah gede, kamu bisa buka lagi dan inget semua ini.” Aisyah menatap mereka berdua, lalu berkata pelan, “Biar masa
Hari berganti hari, dan kehidupan keluarga kecil itu berjalan dalam irama yang pelan tapi pasti. Pagi selalu dimulai dengan tawa, siang diisi dengan kerja ringan di toko, dan malam berakhir di beranda dengan secangkir teh dan cerita sederhana. Tak ada lagi berita buruk, tak ada lagi tatapan curiga dari tetangga, hanya damai yang akhirnya menetap.Di halaman depan, Raffa sedang berjongkok memandangi semut yang berbaris di pinggir pot bunga. “Ayah, mereka kayak kerja sama, ya?” tanyanya polos.Arga yang sedang menyapu halaman menoleh. “Iya, Nak. Mereka kecil, tapi kuat karena gak saling ninggalin.”Raffa mengangguk serius. “Berarti kayak kita ya, Ayah. Gak boleh ninggalin juga.”Aisyah yang sedang menjemur kain tertawa pelan. “Bener banget, Sayang. Di dunia ini, yang paling kuat itu bukan yang punya otot besar, tapi yang bisa saling jaga.”Arga menatap istrinya dengan senyum lembut. Cahaya matahari pagi menimpa wajah Aisyah, membuatnya terlihat seperti lu
Hari itu langit tampak jernih, seolah seluruh alam ikut bernafas lega setelah sekian lama menanggung beban. Angin bertiup lembut melewati halaman kecil di depan toko Arga dan Aisyah. Pagi berjalan pelan, tapi indah. Aisyah sedang menata bunga di pot, sementara Arga sibuk memotong kayu kecil untuk pesanan rak pelanggan. Suara ketukan palu berpadu dengan kicau burung, menciptakan harmoni sederhana yang menenangkan.“Mas,” panggil Aisyah dari teras, “jangan kerja terus, nanti punggungmu sakit lagi.”Arga menoleh, tersenyum. “Punggungku gak sakit, cuma butuh bahumu buat sandaran.”Aisyah spontan tertawa, pipinya memerah. “Dasar kamu, ya. Bahuku gak sekuat itu.”“Justru karena gak kuat itu yang bikin aku tenang,” jawab Arga, matanya menatap penuh arti.Aisyah diam sesaat. Ada sesuatu dalam nada suaminya—lembut, tapi penuh rasa syukur. Ia mendekat, duduk di sampingnya di bangku kayu yang mereka buat berdua dulu waktu masih berjuang dari nol. “Mas, kamu sadar
Pagi itu terasa berbeda. Udara lebih segar dari biasanya, langit biru tanpa awan, dan matahari menyorot lembut ke halaman kecil di depan rumah mereka. Dari dapur terdengar suara langkah kecil dan tawa Raffa yang bersahutan dengan bunyi spatula. “Ayah, aku bantu aduk adonannya ya!” katanya sambil berdiri di kursi kecil. Aisyah tertawa pelan, tangannya memegang mangkuk besar berisi adonan kue. “Boleh, tapi jangan tumpah lagi kayak kemarin.” Raffa menatap serius, lalu mulai mengaduk dengan penuh semangat. Tepung beterbangan sedikit ke wajahnya, membuat Aisyah tertawa lebih keras. “Lihat tuh, Nak, malah kayak badut tepung.”Arga muncul dari pintu depan sambil membawa papan kayu panjang di pundaknya. “Ada dua makhluk paling berantakan di dapur,” katanya dengan nada bercanda. Aisyah menoleh cepat, pura-pura cemberut. “Daripada kamu yang tiap hari bilang mau beresin pagar tapi ujung-ujungnya duduk di teras.” Arga mendekat, menaruh papan di lantai. “Hari ini aku beneran beresin pag
Beberapa minggu berlalu sejak hari hujan itu. Desa mulai ramai lagi, tapi kali ini bukan oleh kabar atau gosip seperti dulu. Orang-orang datang ke rumah Arga dan Aisyah untuk membeli kue, memperbaiki alat rumah tangga, atau sekadar duduk ngobrol sebentar di teras mereka yang selalu terbuka. Rumah kecil di ujung gang itu berubah pelan menjadi tempat singgah yang hangat, di mana orang tak sekadar datang untuk urusan, tapi juga untuk merasakan tenang.Pagi itu Aisyah sibuk mengaduk adonan di dapur, sementara Arga memperbaiki kursi yang kakinya patah. Raffa duduk di bawah meja, mencoret-coret kertas sambil menyanyi kecil. “Yah, lihat, aku gambar rumah kita dari atas!” katanya ceria. Arga menatap gambar itu, tersenyum. “Atapnya miring ke kanan tuh.” Raffa menatap ulang, lalu menjawab santai, “Gak apa-apa, yang penting kita masih di bawah atap yang sama.” Arga menatap anaknya lama-lama, lalu tanpa sadar menoleh ke Aisyah. Ia tahu, kalimat polos itu mengandung sesuatu yang jauh le







