Beranda / Romansa / Malam Pertama Sang Istri Kontrak / Bab 9 – Luka yang Terbuka

Share

Bab 9 – Luka yang Terbuka

Penulis: Ferin Agf
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-25 14:07:07

Pagi itu aku berdiri lama di depan cermin. Wajah pucat dengan lingkar hitam di bawah mata menatap balik padaku. Bedak tipis yang kupoleskan nyaris tidak sanggup menutupi kelelahan yang menumpuk. Rambutku kualirkan sederhana, hanya disisir rapi tanpa hiasan. Dari pantulan cermin, aku tampak seperti gadis biasa yang dipaksa masuk ke dunia yang bukan miliknya.

Aku menarik napas panjang, mencoba menegakkan bahu. Kau harus kuat. Apa pun yang terjadi, jangan tunjukkan kelemahan di depan mereka. Itu yang kubisikkan pada diriku sendiri sebelum melangkah keluar kamar.

Tangga marmer putih yang menjulang seakan menguji keberanianku. Aku menuruni setiap anak tangga dengan langkah hati-hati. Suara peralatan makan beradu dengan piring terdengar dari ruang makan di lantai bawah, bercampur dengan aroma kopi hitam, roti panggang, dan daging asap. Biasanya hanya keluarga inti yang duduk di sana. Namun kali ini, suaranya lebih ramai.

Begitu aku melangkah masuk, mataku segera menangkap pemandangan yang berbeda. Meja makan panjang dari kayu mahoni mengkilap itu penuh. Kursi-kursi berlapis kain beludru ditempati oleh beberapa orang tambahan.

Di ujung meja duduk mertuaku, wanita elegan dengan gaun hijau toska dan perhiasan mutiara. Rambutnya disanggul sempurna, wajahnya anggun, tapi tatapannya menusuk begitu matanya jatuh padaku. Di sampingnya, ayah mertuaku membaca koran, wajahnya kaku tanpa ekspresi.

Namun yang paling membuatku tercekat adalah wanita muda bergaun hijau zamrud yang duduk tak jauh dari mertuaku. Wajahnya cantik, rambut cokelat panjang bergelombang, bibirnya merah segar, senyum anggun menghiasi wajahnya. Dari cara ia duduk, dari sikapnya yang percaya diri, aku bisa tahu dia bukan orang sembarangan.

“Ah, ini dia menantu baru keluarga kita,” suara mertuaku terdengar, lembut tapi penuh tekanan. “Silakan duduk.”

Aku menunduk sopan. “Selamat pagi.”

Wanita bergaun hijau zamrud itu menoleh padaku, senyumnya tipis namun penuh arti. “Jadi… ini istrimu?” suaranya halus, tapi nadanya mengandung meremehkan. “Aku sudah sering mendengar cerita tentang siapa yang akan mendampingi Tuan Muda. Tapi ternyata berbeda sekali dengan bayanganku.”

Aku tercekat. Senyum itu mungkin terlihat ramah di mata orang lain, tapi bagiku terasa seperti belati yang menusuk halus.

Suamiku duduk di samping ayahnya. Wajahnya dingin, tatapannya lurus ke depan. Ia bahkan tidak menoleh padaku ketika aku duduk di kursi kosong di seberangnya.

“Rasanya aneh, bukan?” mertuaku menimpali. “Seorang pewaris keluarga besar, seorang CEO muda yang begitu disegani, menikahi gadis sederhana. Banyak orang yang masih tidak percaya.”

Meja makan mendadak terasa semakin dingin. Semua tatapan seakan menguliti kulitku. Aku berusaha tersenyum, meski bibirku bergetar.

“Saya… hanya berusaha melakukan yang terbaik,” kataku lirih.

Wanita bergaun hijau zamrud itu tertawa kecil. “Tentu saja. Tapi menjadi istri seorang CEO tidak cukup hanya dengan berusaha. Ada hal-hal yang tidak bisa dipelajari: kelas, kecerdasan, darah keluarga. Dan itu… tidak semua orang memilikinya.”

Aku hampir tidak bisa menelan roti di piringku. Kata-katanya menekankan satu hal: aku bukan bagian dari mereka.

Ayah mertuaku akhirnya menurunkan korannya. Tatapannya tajam, suaranya berat. “Perusahaan ini butuh wajah yang tepat di depan publik. Semoga kau bisa menyesuaikan diri. Jangan sampai keberadaanmu menjadi kelemahan.”

Aku menunduk semakin dalam, tanganku bergetar di bawah meja.

Suamiku tiba-tiba meletakkan sendoknya dengan cukup keras. Semua orang terdiam. Ia menoleh sekilas ke arah wanita bergaun hijau itu, lalu berkata dingin, “Cukup.”

Wanita itu tertegun, tapi segera menyamarkan dengan senyum. “Oh, maaf. Aku hanya bercanda.”

Namun mertuaku masih menatapku dengan mata penuh peringatan. “Kau dengar itu? Kau harus belajar. Jangan hanya duduk diam seperti boneka. Dunia bisnis keras, dan kau harus mampu berdiri di sampingnya, bukan hanya menjadi beban.”

Aku mengangguk cepat. “Iya, Bu.” Suaraku bergetar.

Sarapan berlanjut dalam ketegangan. Setiap kali aku mencoba menelan makanan, rasanya hambar. Suara sendok dan garpu terdengar seperti irama kematian. Aku tidak berani menatap siapa pun, hanya menunduk.

Kenapa aku harus berada di sini? Kenapa aku dipaksa masuk ke dunia yang begitu membenciku?

Setelah sarapan selesai, semua orang bubar. Suamiku keluar bersama ayahnya, sibuk dengan urusan perusahaan. Mertuaku dan wanita tamu itu berjalan beriringan, berbicara dengan suara rendah yang jelas tidak melibatkan aku.

Aku bergegas kembali ke kamar. Begitu pintu tertutup, semua kekuatan yang kutahan runtuh. Air mata jatuh deras, membasahi pipiku. Aku terisak, tubuhku gemetar.

Aku terduduk di lantai, memeluk lututku. Aku tidak pernah meminta semua ini. Aku tidak pernah bermimpi menjadi bagian dari keluarga mereka. Aku hanya pion. Pion yang bisa dipermainkan sesuka hati.

Tangisku semakin keras. Aku tidak peduli lagi jika ada yang mendengar.

Dan ternyata… ada yang mendengar.

Di balik pintu, tanpa aku sadari, suamiku berdiri. Matanya tajam, rahangnya mengeras. Ia tidak masuk, hanya diam beberapa detik, mendengarkan tangisku, sebelum akhirnya berbalik pergi.

Namun langkahnya tertahan sebentar di ujung koridor. Ia mengepalkan tangan, wajahnya menegang. Untuk sesaat, ada sesuatu di matanya—sebuah kilatan rasa bersalah yang segera ia sembunyikan.

Dan aku tidak tahu, apakah kepergiannya kali ini karena benar-benar tidak peduli… atau justru karena ia terlalu peduli, tapi menolak mengakuinya.

---

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Malam Pertama Sang Istri Kontrak   Bab 86 – Bara yang Membakar Langkah

    Fajar perlahan muncul, menggantikan gelap malam yang penuh dengan air mata dan halusinasi. Aisyah berdiri di depan cermin, menatap bayangannya sendiri. Mata itu sembab karena menangis semalaman, tapi ada cahaya lain yang muncul—cahaya keyakinan. Rindu pada Arga yang semalam menjelma jadi halusinasi intim, kini berubah jadi bara yang membakar semangat. “Hari ini bukan hanya tentangku,” gumamnya pelan, “tapi tentang dia, tentang kebenaran, tentang semua yang mereka injak.”Ia mengenakan jas berwarna hitam, sederhana namun elegan. Setiap kancing yang ia rapatkan seolah menjadi simbol tekadnya. Tangannya sempat gemetar, mengingat kembali pelukan semu Arga yang masih terasa hangat, tapi ia genggam erat jemari sendiri, menahan getar itu agar berubah jadi keberanian.Ketukan terdengar di pintu. Reyhan masuk dengan wajah cemas membawa tumpukan dokumen. “Aisyah, media sudah memanas. Mereka menunggu kedatanganmu. Dan kabar terakhir, pihak lawan menambah serangan—mereka menye

  • Malam Pertama Sang Istri Kontrak   Bab 85 – Rindu yang Menyulut Bara

    Malam merambat perlahan, membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Hujan sudah berhenti sejak beberapa jam lalu, tapi suara tetesan air dari atap masih terdengar jelas di luar jendela. Di dalam ruang kerja yang kini lebih mirip markas perang daripada rumah, Aisyah duduk dengan tubuh lelah namun mata tetap terbuka lebar. Di depannya tergeletak puluhan lembar catatan, draft pidato yang ia tulis, coret, lalu tulis ulang lagi seolah tak pernah ada yang sempurna. Lampu meja menyinari wajahnya yang pucat, memperlihatkan lingkar hitam di bawah mata akibat kurang tidur, tapi tatapan itu sama sekali tidak redup. Tatapan itu justru dipenuhi dengan api, api yang lahir dari rindu sekaligus amarah.Ia menunduk, menuliskan ulang kalimat pembuka pidatonya. Pulpen bergetar di jarinya, bukan karena ia tidak yakin, tapi karena tubuhnya sudah terlalu lama dipaksa bekerja. “Aku berdiri di sini bukan hanya sebagai seorang istri…” ia berhenti, menatap kosong ke arah kertas, lalu menarik

  • Malam Pertama Sang Istri Kontrak   Bab 84 – Gelombang yang Tak Terbendung

    Pagi itu udara terasa berat, seolah kota menahan napas. Langit mendung meski hujan semalam sudah reda, dan di rumah Aisyah suasana tidak kalah menegangkan. Ruang kerjanya berubah jadi pusat komando penuh layar menyala, map dokumen, ponsel yang terus berdering, dan tim kecil yang bergerak cepat di balik meja. Aisyah duduk di kursi dengan tubuh lelah tapi mata menyala, jemarinya mengetik cepat, sesekali memberi instruksi singkat namun tegas pada Reyhan yang duduk di seberang. “Pastikan semua berkas masuk ke arsip digital. Jangan ada satu pun yang hilang, apalagi bocor,” ujarnya, tanpa menoleh.Reyhan mengangguk, lalu menyerahkan laporan cetak dengan wajah serius. “Kabar bagus, Aisyah. Bank internasional resmi membekukan aset sementara. Semua rekening yang dipakai Rania untuk mengalirkan uang gelap ditahan. Mereka panik sekarang.” Aisyah menatap dokumen itu lama, lalu menarik napas dalam-dalam. “Kalau begitu, waktunya kita buka gelombang serangan kedua.” Ia berdiri, menyalakan

  • Malam Pertama Sang Istri Kontrak   Bab 83 – Rindu yang Membakar, Kekuatan yang Menggerakkan

    Malam itu hujan deras menghantam atap rumah, suara gemuruhnya bercampur dengan derit pohon yang ditiup angin kencang. Di ruang kerja yang lampunya hanya satu, Aisyah duduk dengan punggung menegang, wajahnya pucat karena kurang tidur, tapi matanya menyala penuh api. Di depannya papan tulis besar sudah penuh dengan coretan garis merah, panah-panah yang saling bertaut, dan nama-nama pejabat serta pengusaha yang selama ini jadi aktor di balik jerat kasus Arga. Tumpukan dokumen bertaburan di meja, sebagian sudah disusun ke dalam map dengan label berbeda, sebagian masih berupa kertas berserakan dengan catatan tangan tergesa-gesa. Suasana ruangan itu bukan lagi rumah seorang wanita biasa, melainkan markas perang seorang pemimpin yang sedang melawan sistem besar yang ingin menelannya.Rasa rindu pada Arga menyerang di setiap detik hening. Aisyah memejamkan mata sejenak, dan di balik kelopak itu ia kembali melihat bayangan suaminya. Arga duduk di lantai sel dengan tubuh penuh memar,

  • Malam Pertama Sang Istri Kontrak   Bab 82 – Titik Balik yang Diledakkan

    Pagi itu kota terasa berbeda: angin membelai bangunan-bangunan tinggi sambil membawa getar yang merata ke media, jejaring sosial, bahkan ruang-ruang rapat pejabat. Di markas kecil mereka, Aisyah duduk di depan layar besar, dikelilingi Reyhan, dua pengacara, dan beberapa wartawan independen yang bisa dipercaya. Di layar tergambar peta aliran dana yang baru saja selesai disusun—bukan hanya sekadar angka, melainkan bukti berlapis: screenshot transfer, metadata tanda tangan digital yang telah dianalisis ulang, korespondensi email yang menunjukkan instruksi, daftar rekening cangkang beserta pemilik nominal fiktif, dan—yang paling menodai—salinan kontrak yang memperlihatkan keterlibatan pejabat tinggi yang selama ini menjaga pintu bagi Rania. Semua bukti itu disusun rapi menjadi satu paket rinci dengan narasi hukum dan kronologi kejadian, disertai rujukan ke file forensik yang sudah diverifikasi oleh tim luar negeri. Aisyah menatap dokumen itu lama; ada letupan lega yang tak disangka: ini bu

  • Malam Pertama Sang Istri Kontrak   Bab 81 – Serangan Balik dari Balik Jeruji

    Fajar menyingsing di atas gedung tahanan, sinar matahari masuk dari jendela kecil berjeruji, memantul di dinding lembap. Arga duduk bersila di ranjang besi, matanya terpejam, napasnya teratur, meski tubuhnya penuh luka memar. Ia tidak sedang tidur, melainkan menyusun strategi di kepalanya. Setiap langkah, setiap celah, ia hitung dengan teliti. Kata napi semalam masih terngiang: dokumen kontrak ilegal, pejabat tinggi, brankas rahasia. Itu bukan sekadar gosip. Itu bisa jadi senjata pamungkas.Ketika pintu sel terbuka untuk jatah makan, Arga diam-diam menyelipkan secarik kertas kecil ke bawah piring, tulisan kode yang samar. Itu akan sampai ke Reyhan melalui jaringan yang ia bangun. Ia tahu waktu mereka tidak banyak, tapi satu langkah kecil bisa menjadi awal badai besar.Sementara itu, di luar, Aisyah menghadapi hari berat. Media lokal menyerangnya dengan berita fitnah, tapi media internasional justru mengangkatnya sebagai ikon perlawanan. “Wanita yang Tidak Gentar.”—

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status