LOGINPagi itu, setelah semalaman gelisah dan menangis diam-diam, aku akhirnya memberanikan diri keluar dari kamar. Gaun tidur sutra yang dipinjamkan pembantu terasa longgar di tubuhku, membuatku semakin sadar betapa asingnya aku di rumah ini.
Aku menuruni tangga marmer yang tinggi dan berkilau, dinding dihiasi lukisan mahal, vas bunga segar tertata di sudut ruangan. Semuanya terlihat begitu mewah, tapi bukan kemewahan yang menenangkan. Justru sebaliknya—aku merasa seperti tamu tak diundang, atau bahkan tahanan yang baru saja dilempar ke dalam istana emas. Suara peralatan makan yang beradu dengan piring terdengar dari arah ruang makan. Aroma kopi hitam, roti panggang, dan bacon memenuhi udara. Jantungku berdebar semakin kencang. Ini pertama kalinya aku harus duduk bersama keluarganya setelah resmi menjadi istrinya. Istri kontrak. Saat aku melangkah masuk, semua kepala menoleh. Meja makan panjang itu sudah penuh. Di ujung meja duduk seorang wanita elegan bergaun pastel, rambut disanggul rapi, wajahnya cantik tapi tatapannya tajam. Dialah mertuaku. Di sampingnya, pria paruh baya dengan jas rapi tengah membaca koran. Wajahnya serius, tak ada tanda senyum. Itu pasti ayahnya—ayah mertuaku. Dan di sisi kanan meja, duduk dia… suamiku. Jas hitamnya sudah rapi, dasinya terikat sempurna, wajahnya dingin tanpa ekspresi. Ia bahkan tidak menoleh ketika aku mendekat, seolah kehadiranku tak berarti apa-apa. “Duduklah,” ucap mertuaku dengan nada datar, penuh wibawa. Aku segera menurut, duduk di kursi kosong di seberang suamiku. Seorang pelayan menuangkan teh ke cangkirku, gerakannya begitu sopan. Aku menunduk, mencoba mengucapkan terima kasih, tapi suaraku tercekat. Suasana hening sejenak sebelum akhirnya mertuaku membuka mulut. “Jadi… ini menantu baru keluarga kita.” Aku menunduk sopan. “Selamat pagi, Ibu.” Wanita itu tersenyum tipis, tapi matanya tak menunjukkan kehangatan. “Kau tampak… sederhana sekali. Tak kusangka anakku akhirnya membawa pulang seorang istri yang… biasa. Tidak ada yang istimewa sama sekali.” Kata-katanya menusuk. Telingaku panas, jantungku mencelos. Tapi aku hanya bisa menunduk lebih dalam. Aku tahu, membantah hanya akan membuatku terlihat buruk. Suamiku akhirnya meletakkan sendok supnya dengan tenang. “Ibu.” Nada suaranya tegas, membuat semua orang menoleh. “Dia istriku. Tidak perlu menilai berlebihan.” Untuk sesaat aku merasa lega, tapi tatapan suamiku padaku tetap dingin. Kata-katanya bukanlah pembelaan, melainkan sekadar menjaga reputasi keluarga. Mertuaku mendengus pelan. “Baiklah. Aku hanya ingin memastikan dia bisa menyesuaikan diri. Rumah ini punya aturan, dan menantu di keluarga kami harus tahu cara membawa diri. Jangan sampai ada skandal, jangan sampai ada sikap memalukan. Mengerti?” Aku mengangguk cepat. “Saya mengerti, Bu.” Sarapan berlanjut dalam keheningan yang canggung. Suara sendok dan garpu menjadi satu-satunya musik pagi itu. Aku menatap piringku, berusaha menelan roti meski rasanya hambar di mulutku. Setiap gigitan seperti batu. Ayah mertua akhirnya menurunkan korannya. Tatapannya tajam, suaranya berat. “Selama kau istri keluarga ini, ingatlah, jangan membuat masalah. Dan jangan pernah mempermalukan nama keluarga besar ini. Itu yang paling penting.” Aku menunduk semakin dalam. Kata-kata itu seperti rantai yang semakin mengekangku. Aku meremas roti di tanganku tanpa sadar, menahan air mata yang hampir jatuh. Dalam hati aku berteriak: Aku tidak pernah meminta semua ini. Aku tidak pernah bermimpi menjadi bagian dari keluarga kalian. Tapi suaraku terkunci. Aku melirik suamiku sekali lagi, berharap ada sedikit dukungan. Namun ia tetap sibuk dengan sarapannya, wajahnya datar, matanya dingin. Sama sekali tidak ada tanda bahwa aku punya sekutu di meja ini. Mertuaku kembali membuka suara, nadanya lebih halus tapi menusuk. “Semoga kau bisa belajar cepat. Anak ini keras kepala, banyak wanita yang mengincarnya. Jika kau tidak pandai menjaga posisi, jangan salahkan siapa pun jika suatu hari kau ditinggalkan.” Kata-katanya menusuk seperti pisau. Tanganku bergetar, tapi aku hanya menunduk. “Saya akan berusaha sebaik mungkin, Bu,” jawabku lirih. Tak ada yang menanggapi. Suasana kembali sunyi. Aku merasa napasku sesak, dada terasa terhimpit. Aku mengalihkan pandangan pada cangkir teh di depanku. Uap panasnya berputar pelan, tapi rasanya dingin. Tanganku meremas rok gaun tidurku di bawah meja, berharap itu bisa menahan air mata agar tidak jatuh. Sarapan yang harusnya menjadi awal hangat bagi sebuah keluarga justru menjadi pengingat: aku benar-benar sendirian. Tak ada yang memihakku, bahkan suami yang duduk hanya beberapa langkah dariku. Dan di dalam hati, aku mulai bertanya-tanya—berapa lama aku bisa bertahan hidup dalam penjara bernama pernikahan ini? ---Waktu tak pernah berteriak saat ia berlalu—ia cuma berjalan diam-diam, menua bersama daun, membisik di antara hembus angin, dan menyimpan jejak di wajah manusia yang bertahan. Dua puluh tahun sudah lewat sejak hari itu; sejak pagi terakhir di mana Aisyah menulis kalimat penutup di bukunya dan Arga menatap langit dengan rasa syukur yang tak bisa dijelaskan. Pohon mangga di belakang rumah kini menjulang tinggi, akarnya kuat, dan dahannya menaungi halaman kecil tempat tawa dulu tumbuh. Rumah mereka masih sama, hanya catnya yang lebih pudar dan pagar kayu yang mulai rapuh, tapi setiap retaknya menyimpan kisah yang bahkan waktu enggan menghapus. Raffa kini sudah dewasa. Tubuhnya tegap, caranya bicara tenang, dan matanya punya sorot yang mengingatkan siapa pun pada Arga muda—hangat, tapi dalam. Ia kini mengajar di sekolah dasar di desa yang sama, tempat ia dulu belajar mengenal huruf dan arti kejujuran dari ayahnya. Setiap pagi ia melewati toko yang dulu bernama Atap yang Sama, yang sekar
Senja turun perlahan di atas desa kecil itu. Langit berubah warna menjadi jingga keemasan, menandai berakhirnya satu hari yang penuh ketenangan. Di dalam rumah, suasana hening dan damai. Hanya terdengar suara pena yang menari di atas kertas, diselingi napas lembut Aisyah yang menulis dengan penuh perasaan. Di meja ruang tengah, ada dua lembar kertas kosong dan satu amplop kecil. Di atasnya tertulis dengan tulisan tangan Arga: “Untuk masa depan, dari kita bertiga.” Aisyah menulis pelan, huruf demi huruf seperti doa yang tidak ingin terburu-buru. Arga duduk di sampingnya, memperhatikan setiap gerakan tangan istrinya. Raffa, yang sudah sedikit lebih besar sekarang, menggambar hati kecil di sudut amplop. “Ayah,” kata Raffa sambil menatap gambar buatannya, “ini buat surat yang mau dikubur di halaman, kan?” Arga mengangguk, tersenyum lembut. “Iya, Nak. Biar nanti kalau kamu udah gede, kamu bisa buka lagi dan inget semua ini.” Aisyah menatap mereka berdua, lalu berkata pelan, “Biar masa
Hari berganti hari, dan kehidupan keluarga kecil itu berjalan dalam irama yang pelan tapi pasti. Pagi selalu dimulai dengan tawa, siang diisi dengan kerja ringan di toko, dan malam berakhir di beranda dengan secangkir teh dan cerita sederhana. Tak ada lagi berita buruk, tak ada lagi tatapan curiga dari tetangga, hanya damai yang akhirnya menetap.Di halaman depan, Raffa sedang berjongkok memandangi semut yang berbaris di pinggir pot bunga. “Ayah, mereka kayak kerja sama, ya?” tanyanya polos.Arga yang sedang menyapu halaman menoleh. “Iya, Nak. Mereka kecil, tapi kuat karena gak saling ninggalin.”Raffa mengangguk serius. “Berarti kayak kita ya, Ayah. Gak boleh ninggalin juga.”Aisyah yang sedang menjemur kain tertawa pelan. “Bener banget, Sayang. Di dunia ini, yang paling kuat itu bukan yang punya otot besar, tapi yang bisa saling jaga.”Arga menatap istrinya dengan senyum lembut. Cahaya matahari pagi menimpa wajah Aisyah, membuatnya terlihat seperti lu
Hari itu langit tampak jernih, seolah seluruh alam ikut bernafas lega setelah sekian lama menanggung beban. Angin bertiup lembut melewati halaman kecil di depan toko Arga dan Aisyah. Pagi berjalan pelan, tapi indah. Aisyah sedang menata bunga di pot, sementara Arga sibuk memotong kayu kecil untuk pesanan rak pelanggan. Suara ketukan palu berpadu dengan kicau burung, menciptakan harmoni sederhana yang menenangkan.“Mas,” panggil Aisyah dari teras, “jangan kerja terus, nanti punggungmu sakit lagi.”Arga menoleh, tersenyum. “Punggungku gak sakit, cuma butuh bahumu buat sandaran.”Aisyah spontan tertawa, pipinya memerah. “Dasar kamu, ya. Bahuku gak sekuat itu.”“Justru karena gak kuat itu yang bikin aku tenang,” jawab Arga, matanya menatap penuh arti.Aisyah diam sesaat. Ada sesuatu dalam nada suaminya—lembut, tapi penuh rasa syukur. Ia mendekat, duduk di sampingnya di bangku kayu yang mereka buat berdua dulu waktu masih berjuang dari nol. “Mas, kamu sadar
Pagi itu terasa berbeda. Udara lebih segar dari biasanya, langit biru tanpa awan, dan matahari menyorot lembut ke halaman kecil di depan rumah mereka. Dari dapur terdengar suara langkah kecil dan tawa Raffa yang bersahutan dengan bunyi spatula. “Ayah, aku bantu aduk adonannya ya!” katanya sambil berdiri di kursi kecil. Aisyah tertawa pelan, tangannya memegang mangkuk besar berisi adonan kue. “Boleh, tapi jangan tumpah lagi kayak kemarin.” Raffa menatap serius, lalu mulai mengaduk dengan penuh semangat. Tepung beterbangan sedikit ke wajahnya, membuat Aisyah tertawa lebih keras. “Lihat tuh, Nak, malah kayak badut tepung.”Arga muncul dari pintu depan sambil membawa papan kayu panjang di pundaknya. “Ada dua makhluk paling berantakan di dapur,” katanya dengan nada bercanda. Aisyah menoleh cepat, pura-pura cemberut. “Daripada kamu yang tiap hari bilang mau beresin pagar tapi ujung-ujungnya duduk di teras.” Arga mendekat, menaruh papan di lantai. “Hari ini aku beneran beresin pag
Beberapa minggu berlalu sejak hari hujan itu. Desa mulai ramai lagi, tapi kali ini bukan oleh kabar atau gosip seperti dulu. Orang-orang datang ke rumah Arga dan Aisyah untuk membeli kue, memperbaiki alat rumah tangga, atau sekadar duduk ngobrol sebentar di teras mereka yang selalu terbuka. Rumah kecil di ujung gang itu berubah pelan menjadi tempat singgah yang hangat, di mana orang tak sekadar datang untuk urusan, tapi juga untuk merasakan tenang.Pagi itu Aisyah sibuk mengaduk adonan di dapur, sementara Arga memperbaiki kursi yang kakinya patah. Raffa duduk di bawah meja, mencoret-coret kertas sambil menyanyi kecil. “Yah, lihat, aku gambar rumah kita dari atas!” katanya ceria. Arga menatap gambar itu, tersenyum. “Atapnya miring ke kanan tuh.” Raffa menatap ulang, lalu menjawab santai, “Gak apa-apa, yang penting kita masih di bawah atap yang sama.” Arga menatap anaknya lama-lama, lalu tanpa sadar menoleh ke Aisyah. Ia tahu, kalimat polos itu mengandung sesuatu yang jauh le







