Beranda / Romansa / Malam Pertama Sang Istri Kontrak / Bab 5 – Dekapan Tak Terduga

Share

Bab 5 – Dekapan Tak Terduga

Penulis: Ferin Agf
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-25 13:54:24

Sejak sarapan tadi pagi, hatiku rasanya remuk. Tatapan tajam mertuaku, kata-kata dingin ayah mertuaku, dan sikap acuh dari suamiku seakan menghantamku bertubi-tubi. Aku mencoba bersikap kuat, menelan semuanya dengan diam, tapi ketika kembali ke kamar, aku akhirnya tak mampu lagi menahan air mata.

Aku menangis lama, memeluk bantal, hingga dadaku terasa sesak. Air mataku basah membasahi seprai putih. Setiap kali kuingat ucapan ibunya—“kau tampak biasa saja”—hatiku serasa terkoyak. Aku tahu dari awal pernikahan ini hanyalah kontrak, tapi tetap saja, luka itu nyata.

Hari itu kuhabiskan di kamar, berusaha tidak terlihat. Aku terlalu takut bertemu siapa pun di rumah ini. Para pelayan menatapku dengan tatapan penuh rasa ingin tahu, seakan aku hewan aneh yang tiba-tiba dipelihara di rumah mereka. Tidak ada yang benar-benar ramah, hanya sopan secukupnya.

Menjelang sore, aku berjalan ke balkon kamar. Angin senja berembus pelan, langit berwarna jingga bercampur ungu. Dari sini aku bisa melihat taman belakang yang luas, dipenuhi bunga mawar merah yang indah. Tapi keindahan itu tidak sanggup menghapus kesedihanku.

Aku bersandar di pagar balkon, menatap kosong ke arah langit. Air mata kembali mengalir. “Apa yang sebenarnya aku lakukan di sini…?” bisikku lirih. “Kenapa aku harus menjadi tumbal?”

Aku meremas pagar balkon, menunduk. Di bawah sana, ada kolam renang berkilau. Sesaat aku berpikir… bagaimana jika aku melompat saja? Mungkin semua penderitaan akan berakhir. Tapi aku segera menggeleng, menampar pipiku sendiri pelan. Tidak, aku tidak bisa egois. Aku masih punya keluarga.

Aku terisak lagi, bahuku bergetar. Dan saat itulah sebuah jaket hangat menyelimuti bahuku. Aku terkejut, menoleh cepat.

Dia berdiri di sampingku—suamiku. Wajahnya tetap dingin, tapi matanya sedikit berbayang karena cahaya senja. “Jangan berdiri lama-lama di sini. Kau bisa jatuh sakit,” katanya datar.

Aku terpaku, tak mampu berkata-kata. Kehadirannya saja sudah membuatku gugup.

Tanganku menyentuh jaket itu, merasakan hangat kainnya. “T-tapi… kenapa kau…” suaraku tercekat.

Dia menghela napas, menatap langit senja, tidak menoleh padaku. “Aku tidak suka istri yang lemah. Kalau kau jatuh sakit, itu hanya akan merepotkanku.”

Sekilas aku ingin marah, tapi hatiku justru merasakan sesuatu yang aneh. Kata-katanya memang dingin, tapi tindakannya… menunjukkan sesuatu yang berbeda.

Aku menunduk, menggenggam erat jaket di bahuku. “Aku… aku akan berusaha tidak merepotkanmu,” ucapku pelan.

Untuk pertama kalinya sejak pernikahan ini dimulai, aku melihat sesuatu yang berbeda di wajahnya. Sebuah keheningan aneh, seolah ia menimbang sesuatu yang tidak ingin diucapkan.

Dia tiba-tiba meraih lenganku, menarikku sedikit lebih dekat. “Jangan terlalu sering menangis. Itu membuatmu terlihat lemah. Dan aku tidak menyukai kelemahan.”

Aku mendongak, mata kami bertemu. Tatapannya tajam, tapi ada sesuatu yang samar—seperti bayangan rasa peduli yang ia coba sembunyikan.

“Aku…” aku hampir menangis lagi, tapi kutahan. “Aku hanya merasa… sendirian.”

Dia terdiam lama. Lalu tiba-tiba, tanpa kata, ia menarikku ke dalam pelukan singkat. Dekapan itu hangat, kuat, meski terasa canggung. Dadaku bergetar hebat, mataku melebar.

“Jangan salah paham,” katanya pelan di dekat telingaku. “Ini bukan karena aku peduli. Aku hanya tidak ingin melihat istriku terlihat menyedihkan di depan orang lain.”

Pelukan itu cepat berakhir. Ia melepaskanku, berbalik, lalu berjalan masuk kembali ke kamar.

Aku berdiri mematung, masih merasakan hangat tubuhnya. Air mataku jatuh lagi, tapi kali ini berbeda. Ada sesuatu yang tumbuh di dalam hatiku—perasaan yang tak seharusnya ada.

Aku memeluk jaket di bahuku, menatap punggungnya yang semakin menjauh.

“Mengapa… bahkan ketika kau berkata kau takkan pernah mencintaiku… aku tetap berharap suatu hari nanti hatimu akan berubah?”

---

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Malam Pertama Sang Istri Kontrak   Bab 135 – Di Ujung Langit

    Waktu tak pernah berteriak saat ia berlalu—ia cuma berjalan diam-diam, menua bersama daun, membisik di antara hembus angin, dan menyimpan jejak di wajah manusia yang bertahan. Dua puluh tahun sudah lewat sejak hari itu; sejak pagi terakhir di mana Aisyah menulis kalimat penutup di bukunya dan Arga menatap langit dengan rasa syukur yang tak bisa dijelaskan. Pohon mangga di belakang rumah kini menjulang tinggi, akarnya kuat, dan dahannya menaungi halaman kecil tempat tawa dulu tumbuh. Rumah mereka masih sama, hanya catnya yang lebih pudar dan pagar kayu yang mulai rapuh, tapi setiap retaknya menyimpan kisah yang bahkan waktu enggan menghapus. Raffa kini sudah dewasa. Tubuhnya tegap, caranya bicara tenang, dan matanya punya sorot yang mengingatkan siapa pun pada Arga muda—hangat, tapi dalam. Ia kini mengajar di sekolah dasar di desa yang sama, tempat ia dulu belajar mengenal huruf dan arti kejujuran dari ayahnya. Setiap pagi ia melewati toko yang dulu bernama Atap yang Sama, yang sekar

  • Malam Pertama Sang Istri Kontrak   Bab 134 – Satu Langkah Lagi

    Senja turun perlahan di atas desa kecil itu. Langit berubah warna menjadi jingga keemasan, menandai berakhirnya satu hari yang penuh ketenangan. Di dalam rumah, suasana hening dan damai. Hanya terdengar suara pena yang menari di atas kertas, diselingi napas lembut Aisyah yang menulis dengan penuh perasaan. Di meja ruang tengah, ada dua lembar kertas kosong dan satu amplop kecil. Di atasnya tertulis dengan tulisan tangan Arga: “Untuk masa depan, dari kita bertiga.” Aisyah menulis pelan, huruf demi huruf seperti doa yang tidak ingin terburu-buru. Arga duduk di sampingnya, memperhatikan setiap gerakan tangan istrinya. Raffa, yang sudah sedikit lebih besar sekarang, menggambar hati kecil di sudut amplop. “Ayah,” kata Raffa sambil menatap gambar buatannya, “ini buat surat yang mau dikubur di halaman, kan?” Arga mengangguk, tersenyum lembut. “Iya, Nak. Biar nanti kalau kamu udah gede, kamu bisa buka lagi dan inget semua ini.” Aisyah menatap mereka berdua, lalu berkata pelan, “Biar masa

  • Malam Pertama Sang Istri Kontrak   Bab 133 – Di Bawah Langit yang Sama

    Hari berganti hari, dan kehidupan keluarga kecil itu berjalan dalam irama yang pelan tapi pasti. Pagi selalu dimulai dengan tawa, siang diisi dengan kerja ringan di toko, dan malam berakhir di beranda dengan secangkir teh dan cerita sederhana. Tak ada lagi berita buruk, tak ada lagi tatapan curiga dari tetangga, hanya damai yang akhirnya menetap.Di halaman depan, Raffa sedang berjongkok memandangi semut yang berbaris di pinggir pot bunga. “Ayah, mereka kayak kerja sama, ya?” tanyanya polos.Arga yang sedang menyapu halaman menoleh. “Iya, Nak. Mereka kecil, tapi kuat karena gak saling ninggalin.”Raffa mengangguk serius. “Berarti kayak kita ya, Ayah. Gak boleh ninggalin juga.”Aisyah yang sedang menjemur kain tertawa pelan. “Bener banget, Sayang. Di dunia ini, yang paling kuat itu bukan yang punya otot besar, tapi yang bisa saling jaga.”Arga menatap istrinya dengan senyum lembut. Cahaya matahari pagi menimpa wajah Aisyah, membuatnya terlihat seperti lu

  • Malam Pertama Sang Istri Kontrak   Bab 132 – Bahu yang Tenang

    Hari itu langit tampak jernih, seolah seluruh alam ikut bernafas lega setelah sekian lama menanggung beban. Angin bertiup lembut melewati halaman kecil di depan toko Arga dan Aisyah. Pagi berjalan pelan, tapi indah. Aisyah sedang menata bunga di pot, sementara Arga sibuk memotong kayu kecil untuk pesanan rak pelanggan. Suara ketukan palu berpadu dengan kicau burung, menciptakan harmoni sederhana yang menenangkan.“Mas,” panggil Aisyah dari teras, “jangan kerja terus, nanti punggungmu sakit lagi.”Arga menoleh, tersenyum. “Punggungku gak sakit, cuma butuh bahumu buat sandaran.”Aisyah spontan tertawa, pipinya memerah. “Dasar kamu, ya. Bahuku gak sekuat itu.”“Justru karena gak kuat itu yang bikin aku tenang,” jawab Arga, matanya menatap penuh arti.Aisyah diam sesaat. Ada sesuatu dalam nada suaminya—lembut, tapi penuh rasa syukur. Ia mendekat, duduk di sampingnya di bangku kayu yang mereka buat berdua dulu waktu masih berjuang dari nol. “Mas, kamu sadar

  • Malam Pertama Sang Istri Kontrak   Bab 131 – Warna di Pagi Hari

    Pagi itu terasa berbeda. Udara lebih segar dari biasanya, langit biru tanpa awan, dan matahari menyorot lembut ke halaman kecil di depan rumah mereka. Dari dapur terdengar suara langkah kecil dan tawa Raffa yang bersahutan dengan bunyi spatula. “Ayah, aku bantu aduk adonannya ya!” katanya sambil berdiri di kursi kecil. Aisyah tertawa pelan, tangannya memegang mangkuk besar berisi adonan kue. “Boleh, tapi jangan tumpah lagi kayak kemarin.” Raffa menatap serius, lalu mulai mengaduk dengan penuh semangat. Tepung beterbangan sedikit ke wajahnya, membuat Aisyah tertawa lebih keras. “Lihat tuh, Nak, malah kayak badut tepung.”Arga muncul dari pintu depan sambil membawa papan kayu panjang di pundaknya. “Ada dua makhluk paling berantakan di dapur,” katanya dengan nada bercanda. Aisyah menoleh cepat, pura-pura cemberut. “Daripada kamu yang tiap hari bilang mau beresin pagar tapi ujung-ujungnya duduk di teras.” Arga mendekat, menaruh papan di lantai. “Hari ini aku beneran beresin pag

  • Malam Pertama Sang Istri Kontrak   Bab 130 – Atap yang Sama

    Beberapa minggu berlalu sejak hari hujan itu. Desa mulai ramai lagi, tapi kali ini bukan oleh kabar atau gosip seperti dulu. Orang-orang datang ke rumah Arga dan Aisyah untuk membeli kue, memperbaiki alat rumah tangga, atau sekadar duduk ngobrol sebentar di teras mereka yang selalu terbuka. Rumah kecil di ujung gang itu berubah pelan menjadi tempat singgah yang hangat, di mana orang tak sekadar datang untuk urusan, tapi juga untuk merasakan tenang.Pagi itu Aisyah sibuk mengaduk adonan di dapur, sementara Arga memperbaiki kursi yang kakinya patah. Raffa duduk di bawah meja, mencoret-coret kertas sambil menyanyi kecil. “Yah, lihat, aku gambar rumah kita dari atas!” katanya ceria. Arga menatap gambar itu, tersenyum. “Atapnya miring ke kanan tuh.” Raffa menatap ulang, lalu menjawab santai, “Gak apa-apa, yang penting kita masih di bawah atap yang sama.” Arga menatap anaknya lama-lama, lalu tanpa sadar menoleh ke Aisyah. Ia tahu, kalimat polos itu mengandung sesuatu yang jauh le

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status