Sejak sarapan tadi pagi, hatiku rasanya remuk. Tatapan tajam mertuaku, kata-kata dingin ayah mertuaku, dan sikap acuh dari suamiku seakan menghantamku bertubi-tubi. Aku mencoba bersikap kuat, menelan semuanya dengan diam, tapi ketika kembali ke kamar, aku akhirnya tak mampu lagi menahan air mata.
Aku menangis lama, memeluk bantal, hingga dadaku terasa sesak. Air mataku basah membasahi seprai putih. Setiap kali kuingat ucapan ibunya—“kau tampak biasa saja”—hatiku serasa terkoyak. Aku tahu dari awal pernikahan ini hanyalah kontrak, tapi tetap saja, luka itu nyata. Hari itu kuhabiskan di kamar, berusaha tidak terlihat. Aku terlalu takut bertemu siapa pun di rumah ini. Para pelayan menatapku dengan tatapan penuh rasa ingin tahu, seakan aku hewan aneh yang tiba-tiba dipelihara di rumah mereka. Tidak ada yang benar-benar ramah, hanya sopan secukupnya. Menjelang sore, aku berjalan ke balkon kamar. Angin senja berembus pelan, langit berwarna jingga bercampur ungu. Dari sini aku bisa melihat taman belakang yang luas, dipenuhi bunga mawar merah yang indah. Tapi keindahan itu tidak sanggup menghapus kesedihanku. Aku bersandar di pagar balkon, menatap kosong ke arah langit. Air mata kembali mengalir. “Apa yang sebenarnya aku lakukan di sini…?” bisikku lirih. “Kenapa aku harus menjadi tumbal?” Aku meremas pagar balkon, menunduk. Di bawah sana, ada kolam renang berkilau. Sesaat aku berpikir… bagaimana jika aku melompat saja? Mungkin semua penderitaan akan berakhir. Tapi aku segera menggeleng, menampar pipiku sendiri pelan. Tidak, aku tidak bisa egois. Aku masih punya keluarga. Aku terisak lagi, bahuku bergetar. Dan saat itulah sebuah jaket hangat menyelimuti bahuku. Aku terkejut, menoleh cepat. Dia berdiri di sampingku—suamiku. Wajahnya tetap dingin, tapi matanya sedikit berbayang karena cahaya senja. “Jangan berdiri lama-lama di sini. Kau bisa jatuh sakit,” katanya datar. Aku terpaku, tak mampu berkata-kata. Kehadirannya saja sudah membuatku gugup. Tanganku menyentuh jaket itu, merasakan hangat kainnya. “T-tapi… kenapa kau…” suaraku tercekat. Dia menghela napas, menatap langit senja, tidak menoleh padaku. “Aku tidak suka istri yang lemah. Kalau kau jatuh sakit, itu hanya akan merepotkanku.” Sekilas aku ingin marah, tapi hatiku justru merasakan sesuatu yang aneh. Kata-katanya memang dingin, tapi tindakannya… menunjukkan sesuatu yang berbeda. Aku menunduk, menggenggam erat jaket di bahuku. “Aku… aku akan berusaha tidak merepotkanmu,” ucapku pelan. Untuk pertama kalinya sejak pernikahan ini dimulai, aku melihat sesuatu yang berbeda di wajahnya. Sebuah keheningan aneh, seolah ia menimbang sesuatu yang tidak ingin diucapkan. Dia tiba-tiba meraih lenganku, menarikku sedikit lebih dekat. “Jangan terlalu sering menangis. Itu membuatmu terlihat lemah. Dan aku tidak menyukai kelemahan.” Aku mendongak, mata kami bertemu. Tatapannya tajam, tapi ada sesuatu yang samar—seperti bayangan rasa peduli yang ia coba sembunyikan. “Aku…” aku hampir menangis lagi, tapi kutahan. “Aku hanya merasa… sendirian.” Dia terdiam lama. Lalu tiba-tiba, tanpa kata, ia menarikku ke dalam pelukan singkat. Dekapan itu hangat, kuat, meski terasa canggung. Dadaku bergetar hebat, mataku melebar. “Jangan salah paham,” katanya pelan di dekat telingaku. “Ini bukan karena aku peduli. Aku hanya tidak ingin melihat istriku terlihat menyedihkan di depan orang lain.” Pelukan itu cepat berakhir. Ia melepaskanku, berbalik, lalu berjalan masuk kembali ke kamar. Aku berdiri mematung, masih merasakan hangat tubuhnya. Air mataku jatuh lagi, tapi kali ini berbeda. Ada sesuatu yang tumbuh di dalam hatiku—perasaan yang tak seharusnya ada. Aku memeluk jaket di bahuku, menatap punggungnya yang semakin menjauh. “Mengapa… bahkan ketika kau berkata kau takkan pernah mencintaiku… aku tetap berharap suatu hari nanti hatimu akan berubah?” ---Fajar perlahan muncul, menggantikan gelap malam yang penuh dengan air mata dan halusinasi. Aisyah berdiri di depan cermin, menatap bayangannya sendiri. Mata itu sembab karena menangis semalaman, tapi ada cahaya lain yang muncul—cahaya keyakinan. Rindu pada Arga yang semalam menjelma jadi halusinasi intim, kini berubah jadi bara yang membakar semangat. “Hari ini bukan hanya tentangku,” gumamnya pelan, “tapi tentang dia, tentang kebenaran, tentang semua yang mereka injak.”Ia mengenakan jas berwarna hitam, sederhana namun elegan. Setiap kancing yang ia rapatkan seolah menjadi simbol tekadnya. Tangannya sempat gemetar, mengingat kembali pelukan semu Arga yang masih terasa hangat, tapi ia genggam erat jemari sendiri, menahan getar itu agar berubah jadi keberanian.Ketukan terdengar di pintu. Reyhan masuk dengan wajah cemas membawa tumpukan dokumen. “Aisyah, media sudah memanas. Mereka menunggu kedatanganmu. Dan kabar terakhir, pihak lawan menambah serangan—mereka menye
Malam merambat perlahan, membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Hujan sudah berhenti sejak beberapa jam lalu, tapi suara tetesan air dari atap masih terdengar jelas di luar jendela. Di dalam ruang kerja yang kini lebih mirip markas perang daripada rumah, Aisyah duduk dengan tubuh lelah namun mata tetap terbuka lebar. Di depannya tergeletak puluhan lembar catatan, draft pidato yang ia tulis, coret, lalu tulis ulang lagi seolah tak pernah ada yang sempurna. Lampu meja menyinari wajahnya yang pucat, memperlihatkan lingkar hitam di bawah mata akibat kurang tidur, tapi tatapan itu sama sekali tidak redup. Tatapan itu justru dipenuhi dengan api, api yang lahir dari rindu sekaligus amarah.Ia menunduk, menuliskan ulang kalimat pembuka pidatonya. Pulpen bergetar di jarinya, bukan karena ia tidak yakin, tapi karena tubuhnya sudah terlalu lama dipaksa bekerja. “Aku berdiri di sini bukan hanya sebagai seorang istri…” ia berhenti, menatap kosong ke arah kertas, lalu menarik
Pagi itu udara terasa berat, seolah kota menahan napas. Langit mendung meski hujan semalam sudah reda, dan di rumah Aisyah suasana tidak kalah menegangkan. Ruang kerjanya berubah jadi pusat komando penuh layar menyala, map dokumen, ponsel yang terus berdering, dan tim kecil yang bergerak cepat di balik meja. Aisyah duduk di kursi dengan tubuh lelah tapi mata menyala, jemarinya mengetik cepat, sesekali memberi instruksi singkat namun tegas pada Reyhan yang duduk di seberang. “Pastikan semua berkas masuk ke arsip digital. Jangan ada satu pun yang hilang, apalagi bocor,” ujarnya, tanpa menoleh.Reyhan mengangguk, lalu menyerahkan laporan cetak dengan wajah serius. “Kabar bagus, Aisyah. Bank internasional resmi membekukan aset sementara. Semua rekening yang dipakai Rania untuk mengalirkan uang gelap ditahan. Mereka panik sekarang.” Aisyah menatap dokumen itu lama, lalu menarik napas dalam-dalam. “Kalau begitu, waktunya kita buka gelombang serangan kedua.” Ia berdiri, menyalakan
Malam itu hujan deras menghantam atap rumah, suara gemuruhnya bercampur dengan derit pohon yang ditiup angin kencang. Di ruang kerja yang lampunya hanya satu, Aisyah duduk dengan punggung menegang, wajahnya pucat karena kurang tidur, tapi matanya menyala penuh api. Di depannya papan tulis besar sudah penuh dengan coretan garis merah, panah-panah yang saling bertaut, dan nama-nama pejabat serta pengusaha yang selama ini jadi aktor di balik jerat kasus Arga. Tumpukan dokumen bertaburan di meja, sebagian sudah disusun ke dalam map dengan label berbeda, sebagian masih berupa kertas berserakan dengan catatan tangan tergesa-gesa. Suasana ruangan itu bukan lagi rumah seorang wanita biasa, melainkan markas perang seorang pemimpin yang sedang melawan sistem besar yang ingin menelannya.Rasa rindu pada Arga menyerang di setiap detik hening. Aisyah memejamkan mata sejenak, dan di balik kelopak itu ia kembali melihat bayangan suaminya. Arga duduk di lantai sel dengan tubuh penuh memar,
Pagi itu kota terasa berbeda: angin membelai bangunan-bangunan tinggi sambil membawa getar yang merata ke media, jejaring sosial, bahkan ruang-ruang rapat pejabat. Di markas kecil mereka, Aisyah duduk di depan layar besar, dikelilingi Reyhan, dua pengacara, dan beberapa wartawan independen yang bisa dipercaya. Di layar tergambar peta aliran dana yang baru saja selesai disusun—bukan hanya sekadar angka, melainkan bukti berlapis: screenshot transfer, metadata tanda tangan digital yang telah dianalisis ulang, korespondensi email yang menunjukkan instruksi, daftar rekening cangkang beserta pemilik nominal fiktif, dan—yang paling menodai—salinan kontrak yang memperlihatkan keterlibatan pejabat tinggi yang selama ini menjaga pintu bagi Rania. Semua bukti itu disusun rapi menjadi satu paket rinci dengan narasi hukum dan kronologi kejadian, disertai rujukan ke file forensik yang sudah diverifikasi oleh tim luar negeri. Aisyah menatap dokumen itu lama; ada letupan lega yang tak disangka: ini bu
Fajar menyingsing di atas gedung tahanan, sinar matahari masuk dari jendela kecil berjeruji, memantul di dinding lembap. Arga duduk bersila di ranjang besi, matanya terpejam, napasnya teratur, meski tubuhnya penuh luka memar. Ia tidak sedang tidur, melainkan menyusun strategi di kepalanya. Setiap langkah, setiap celah, ia hitung dengan teliti. Kata napi semalam masih terngiang: dokumen kontrak ilegal, pejabat tinggi, brankas rahasia. Itu bukan sekadar gosip. Itu bisa jadi senjata pamungkas.Ketika pintu sel terbuka untuk jatah makan, Arga diam-diam menyelipkan secarik kertas kecil ke bawah piring, tulisan kode yang samar. Itu akan sampai ke Reyhan melalui jaringan yang ia bangun. Ia tahu waktu mereka tidak banyak, tapi satu langkah kecil bisa menjadi awal badai besar.Sementara itu, di luar, Aisyah menghadapi hari berat. Media lokal menyerangnya dengan berita fitnah, tapi media internasional justru mengangkatnya sebagai ikon perlawanan. “Wanita yang Tidak Gentar.”—