Beranda / Romansa / Malam Pertama Sang Istri Kontrak / Bab 3 – Janji Tanpa Cinta

Share

Bab 3 – Janji Tanpa Cinta

Penulis: Ferin Agf
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-25 05:26:34

Sinar matahari pagi menembus tirai tipis, menyilaukan mataku yang berat. Aku membuka kelopak mata dengan susah payah, kepala pening, tubuh terasa lelah, seolah baru saja melalui peperangan. Ranjang besar di bawahku masih berantakan, selimut kusut, bantal berceceran. Aroma parfum maskulin masih melekat di udara kamar.

Aku meraba sisi ranjang di sebelahku—kosong. Hanya tersisa hangat samar, tanda bahwa dia sudah bangun lebih dulu. Hati kecilku yang bodoh sempat berharap ia masih di sampingku, tapi kenyataan kembali menamparku.

Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Sakit yang tersisa di tubuhku membuatku meringis. Malam tadi… malam pertama yang seharusnya penuh kasih sayang dan kelembutan, berubah menjadi malam penuh paksaan dan luka. Aku menatap cincin di jariku dengan getir. Apa arti cincin ini, selain belenggu?

Suara pintu terbuka membuatku tersentak. Dia masuk dengan langkah mantap, kali ini sudah mengenakan kemeja rapi berwarna biru tua dan dasi hitam yang nyaris selesai dipasang. Rambut hitamnya basah sedikit, mungkin baru saja mandi. Wajahnya segar, seolah malam tadi tak terjadi apa-apa.

Tatapannya singgah padaku sekilas, lalu ia berjalan ke arah meja rias. “Kau sudah bangun,” katanya datar, seakan hanya memberi laporan.

Aku menegakkan tubuh, menarik selimut menutupi dada. “Iya…” jawabku pelan. Suaraku serak, hampir tak terdengar.

Ia membuka jam tangannya, mengenakannya perlahan sambil menatap bayangannya di cermin. “Dengar baik-baik,” katanya tenang, namun tegas. “Jangan salah paham tentang apa yang terjadi tadi malam.”

Aku mengernyit, menatapnya penuh tanda tanya. “Salah paham…?”

Dia menoleh, sorot matanya menusuk. “Itu hanya kewajiban. Aku tidak ingin ada istri yang menganggap dirinya istimewa hanya karena tidur di ranjangku.”

Kata-katanya seperti cambuk yang mendarat di hatiku. Aku terdiam, bibirku bergetar. “Jadi… semuanya hanya kewajiban?” tanyaku lirih, nyaris berbisik.

Senyum tipis muncul di bibirnya, senyum yang sama sekali tak hangat. “Kau istri kontrak. Jangan lupa posisi itu. Aku tidak pernah mencintaimu, dan tidak akan pernah. Jadi jangan bermimpi.”

Air mataku memanas, tapi aku menunduk cepat, menahannya agar tidak jatuh. Aku tidak boleh menangis di depannya, aku tidak boleh terlihat lemah.

Dia melangkah mendekat, berhenti di samping ranjang. Aroma parfumnya kembali menusuk hidungku. Tangannya terulur, menyentuh daguku, kali ini lebih lembut daripada semalam, tapi justru membuatku semakin kacau.

“Malam tadi,” bisiknya pelan, “anggap saja itu awal dari peranmu sebagai istri. Dan mulai hari ini, lakukan tugasmu dengan baik. Terserah bagaimana kau menjalaninya, aku tidak peduli. Asal jangan pernah coba menyentuh hatiku.”

Aku menatap matanya, berharap menemukan celah, secuil saja kelembutan. Tapi yang kulihat hanyalah dinding es yang tak bisa ditembus.

Dia lalu berdiri tegak, merapikan dasinya. “Turunlah nanti untuk sarapan. Jangan buat keluargaku malu dengan sikap bodohmu.” Setelah itu ia melangkah pergi, menutup pintu cukup keras hingga membuatku terlonjak.

Keheningan kembali menyelimuti kamar. Aku menatap pintu yang kini tertutup rapat, seakan masih mendengar gema langkahnya. Rasanya aku benar-benar asing di rumah ini, bahkan di hadapan pria yang kini berstatus suamiku.

Aku meraih bantal, memeluknya erat. Tubuhku bergetar, akhirnya air mata jatuh juga, membasahi pipiku. Aku menangis pelan, berusaha menahan isak agar tak terdengar siapa pun.

Malam pertama sudah cukup menghancurkan, tapi kata-katanya pagi ini membuatku sadar—aku benar-benar tidak berarti apa-apa baginya.

Dan entah kenapa, rasa sakit itu justru menumbuhkan ketakutan: bagaimana aku akan bertahan hidup di rumah ini, dengan suami yang tak pernah menginginkanku?

---

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Malam Pertama Sang Istri Kontrak   Bab 86 – Bara yang Membakar Langkah

    Fajar perlahan muncul, menggantikan gelap malam yang penuh dengan air mata dan halusinasi. Aisyah berdiri di depan cermin, menatap bayangannya sendiri. Mata itu sembab karena menangis semalaman, tapi ada cahaya lain yang muncul—cahaya keyakinan. Rindu pada Arga yang semalam menjelma jadi halusinasi intim, kini berubah jadi bara yang membakar semangat. “Hari ini bukan hanya tentangku,” gumamnya pelan, “tapi tentang dia, tentang kebenaran, tentang semua yang mereka injak.”Ia mengenakan jas berwarna hitam, sederhana namun elegan. Setiap kancing yang ia rapatkan seolah menjadi simbol tekadnya. Tangannya sempat gemetar, mengingat kembali pelukan semu Arga yang masih terasa hangat, tapi ia genggam erat jemari sendiri, menahan getar itu agar berubah jadi keberanian.Ketukan terdengar di pintu. Reyhan masuk dengan wajah cemas membawa tumpukan dokumen. “Aisyah, media sudah memanas. Mereka menunggu kedatanganmu. Dan kabar terakhir, pihak lawan menambah serangan—mereka menye

  • Malam Pertama Sang Istri Kontrak   Bab 85 – Rindu yang Menyulut Bara

    Malam merambat perlahan, membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Hujan sudah berhenti sejak beberapa jam lalu, tapi suara tetesan air dari atap masih terdengar jelas di luar jendela. Di dalam ruang kerja yang kini lebih mirip markas perang daripada rumah, Aisyah duduk dengan tubuh lelah namun mata tetap terbuka lebar. Di depannya tergeletak puluhan lembar catatan, draft pidato yang ia tulis, coret, lalu tulis ulang lagi seolah tak pernah ada yang sempurna. Lampu meja menyinari wajahnya yang pucat, memperlihatkan lingkar hitam di bawah mata akibat kurang tidur, tapi tatapan itu sama sekali tidak redup. Tatapan itu justru dipenuhi dengan api, api yang lahir dari rindu sekaligus amarah.Ia menunduk, menuliskan ulang kalimat pembuka pidatonya. Pulpen bergetar di jarinya, bukan karena ia tidak yakin, tapi karena tubuhnya sudah terlalu lama dipaksa bekerja. “Aku berdiri di sini bukan hanya sebagai seorang istri…” ia berhenti, menatap kosong ke arah kertas, lalu menarik

  • Malam Pertama Sang Istri Kontrak   Bab 84 – Gelombang yang Tak Terbendung

    Pagi itu udara terasa berat, seolah kota menahan napas. Langit mendung meski hujan semalam sudah reda, dan di rumah Aisyah suasana tidak kalah menegangkan. Ruang kerjanya berubah jadi pusat komando penuh layar menyala, map dokumen, ponsel yang terus berdering, dan tim kecil yang bergerak cepat di balik meja. Aisyah duduk di kursi dengan tubuh lelah tapi mata menyala, jemarinya mengetik cepat, sesekali memberi instruksi singkat namun tegas pada Reyhan yang duduk di seberang. “Pastikan semua berkas masuk ke arsip digital. Jangan ada satu pun yang hilang, apalagi bocor,” ujarnya, tanpa menoleh.Reyhan mengangguk, lalu menyerahkan laporan cetak dengan wajah serius. “Kabar bagus, Aisyah. Bank internasional resmi membekukan aset sementara. Semua rekening yang dipakai Rania untuk mengalirkan uang gelap ditahan. Mereka panik sekarang.” Aisyah menatap dokumen itu lama, lalu menarik napas dalam-dalam. “Kalau begitu, waktunya kita buka gelombang serangan kedua.” Ia berdiri, menyalakan

  • Malam Pertama Sang Istri Kontrak   Bab 83 – Rindu yang Membakar, Kekuatan yang Menggerakkan

    Malam itu hujan deras menghantam atap rumah, suara gemuruhnya bercampur dengan derit pohon yang ditiup angin kencang. Di ruang kerja yang lampunya hanya satu, Aisyah duduk dengan punggung menegang, wajahnya pucat karena kurang tidur, tapi matanya menyala penuh api. Di depannya papan tulis besar sudah penuh dengan coretan garis merah, panah-panah yang saling bertaut, dan nama-nama pejabat serta pengusaha yang selama ini jadi aktor di balik jerat kasus Arga. Tumpukan dokumen bertaburan di meja, sebagian sudah disusun ke dalam map dengan label berbeda, sebagian masih berupa kertas berserakan dengan catatan tangan tergesa-gesa. Suasana ruangan itu bukan lagi rumah seorang wanita biasa, melainkan markas perang seorang pemimpin yang sedang melawan sistem besar yang ingin menelannya.Rasa rindu pada Arga menyerang di setiap detik hening. Aisyah memejamkan mata sejenak, dan di balik kelopak itu ia kembali melihat bayangan suaminya. Arga duduk di lantai sel dengan tubuh penuh memar,

  • Malam Pertama Sang Istri Kontrak   Bab 82 – Titik Balik yang Diledakkan

    Pagi itu kota terasa berbeda: angin membelai bangunan-bangunan tinggi sambil membawa getar yang merata ke media, jejaring sosial, bahkan ruang-ruang rapat pejabat. Di markas kecil mereka, Aisyah duduk di depan layar besar, dikelilingi Reyhan, dua pengacara, dan beberapa wartawan independen yang bisa dipercaya. Di layar tergambar peta aliran dana yang baru saja selesai disusun—bukan hanya sekadar angka, melainkan bukti berlapis: screenshot transfer, metadata tanda tangan digital yang telah dianalisis ulang, korespondensi email yang menunjukkan instruksi, daftar rekening cangkang beserta pemilik nominal fiktif, dan—yang paling menodai—salinan kontrak yang memperlihatkan keterlibatan pejabat tinggi yang selama ini menjaga pintu bagi Rania. Semua bukti itu disusun rapi menjadi satu paket rinci dengan narasi hukum dan kronologi kejadian, disertai rujukan ke file forensik yang sudah diverifikasi oleh tim luar negeri. Aisyah menatap dokumen itu lama; ada letupan lega yang tak disangka: ini bu

  • Malam Pertama Sang Istri Kontrak   Bab 81 – Serangan Balik dari Balik Jeruji

    Fajar menyingsing di atas gedung tahanan, sinar matahari masuk dari jendela kecil berjeruji, memantul di dinding lembap. Arga duduk bersila di ranjang besi, matanya terpejam, napasnya teratur, meski tubuhnya penuh luka memar. Ia tidak sedang tidur, melainkan menyusun strategi di kepalanya. Setiap langkah, setiap celah, ia hitung dengan teliti. Kata napi semalam masih terngiang: dokumen kontrak ilegal, pejabat tinggi, brankas rahasia. Itu bukan sekadar gosip. Itu bisa jadi senjata pamungkas.Ketika pintu sel terbuka untuk jatah makan, Arga diam-diam menyelipkan secarik kertas kecil ke bawah piring, tulisan kode yang samar. Itu akan sampai ke Reyhan melalui jaringan yang ia bangun. Ia tahu waktu mereka tidak banyak, tapi satu langkah kecil bisa menjadi awal badai besar.Sementara itu, di luar, Aisyah menghadapi hari berat. Media lokal menyerangnya dengan berita fitnah, tapi media internasional justru mengangkatnya sebagai ikon perlawanan. “Wanita yang Tidak Gentar.”—

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status