Home / Romansa / Malam Pertama Sang Istri Kontrak / Bab 6 – Pertemuan dengan Mantan

Share

Bab 6 – Pertemuan dengan Mantan

Author: Ferin Agf
last update Huling Na-update: 2025-09-25 13:56:45

Aku tidak pernah merasa seasing ini di tengah keramaian. Malam itu, aku berdiri canggung di samping suamiku di sebuah pesta bisnis besar. Ballroom hotel lima bintang itu penuh cahaya lampu kristal, musik lembut dari band live mengalun di sudut ruangan, dan para tamu berdandan mewah dengan pakaian malam yang berkilau.

Aku mengenakan gaun hitam sederhana yang dipilihkan pelayan sore tadi. Gaun itu sebenarnya indah, potongannya pas, kainnya jatuh elegan. Tapi dibandingkan dengan para wanita yang mengenakan gaun rancangan desainer, perhiasan berlian berkilau, dan senyum percaya diri, aku merasa seperti bintang kecil yang nyasar di langit penuh gemintang.

Suamiku berdiri tegap di sampingku. Ia mengenakan setelan jas hitam yang sempurna, dasi perak menambah aura dinginnya. Tatapannya lurus, penuh wibawa. Seolah-olah ia tidak pernah goyah. Semua orang tampak menghormatinya. Beberapa pria menyapanya dengan nada kagum, sementara para wanita mencuri pandang dengan tatapan penuh minat.

Aku hanya menunduk, berusaha tidak terlihat. Tangan di pangkuanku gemetar, dan setiap kali seseorang melirik, aku merasa mereka menilai: kenapa wanita biasa seperti itu bisa berdiri di samping CEO muda yang dingin dan berkuasa?

“Jangan berdiri terlalu kaku,” suara dingin suamiku terdengar lirih di samping telingaku. “Kau membuatku terlihat buruk.”

Aku menggertakkan gigi, menahan rasa sakit di dada. “M-maaf…” ucapku lirih.

Dia tidak menoleh, hanya mengangkat gelas sampanye dan meneguknya tenang.

Aku mencoba menarik napas, menenangkan diri. Hingga tiba-tiba, suara tawa lembut terdengar di belakang kami.

“Sayang sekali, aku hampir tak mengenalimu.”

Aku menoleh, dan mataku langsung menangkap sosok seorang wanita cantik. Rambut hitam panjangnya digerai bergelombang, gaun merah anggur membalut tubuhnya dengan sempurna, bibirnya merah menyala, matanya tajam dan penuh percaya diri. Dia berjalan mendekat dengan langkah anggun, sepatu hak tingginya mengetuk lantai marmer.

Tatapan hangatnya bukan untukku—melainkan untuk pria di sampingku.

“Sudah lama sekali, ya,” katanya sambil tersenyum.

Suamiku mengeraskan rahang, tapi suaranya tetap datar. “Aku tidak menyangka kau datang.”

Wanita itu tertawa kecil. “Bagaimana aku bisa melewatkan pesta sebesar ini? Apalagi… bertemu denganmu lagi.” Tatapannya melirik sekilas padaku, menilai dari ujung kepala hingga kaki. Senyum tipis muncul di bibirnya. “Dan ini… istrimu?”

Aku mengangguk kaku. “S-selamat malam…”

Wanita itu menyipitkan mata, senyumnya manis tapi menyakitkan. “Kau tampak… polos sekali. Tidak seperti wanita yang biasanya berdiri di sisi seorang CEO.”

Wajahku memanas. Aku ingin membela diri, tapi lidahku kelu.

Suamiku akhirnya membuka mulut. “Cukup, Clara.”

Nama itu menamparku—Clara. Jadi ini… wanita dari masa lalunya? Mantan kekasihnya?

Clara tersenyum samar, meneguk sampanye dari pelayan yang lewat. “Aku hanya kagum. Biasanya kau memilih wanita yang… lebih berkelas. Tapi aku kira, mungkin kau ingin mencoba sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang… sederhana.”

Aku menunduk, berusaha menyembunyikan perih yang membuncah. Hatiku remuk, seakan setiap kata Clara adalah jarum yang menusuk dadaku.

Namun sebelum aku bisa menenangkan diri, Clara mencondongkan tubuhnya sedikit ke arah suamiku. “Tapi kau masih ingat, kan? Bagaimana dulu kita hampir—”

“Kau sudah terlalu jauh.” Suara suamiku memotong tajam, membuat Clara terdiam sejenak.

Semua orang di sekitar menoleh. Clara tersenyum canggung, mencoba menutupi ketegangan. “Maaf, aku hanya bernostalgia.”

Suamiku meraih tanganku tiba-tiba, genggamannya kuat hingga aku nyaris meringis. “Istriku bukan bahan mainanmu.”

Aku terkejut. Untuk pertama kalinya, ada nada tegas yang terasa… seperti melindungi.

Clara menatap tanganku yang digenggam erat, lalu menoleh padaku dengan senyum sinis. “Kalau begitu, semoga kau bisa bertahan. Tidak mudah menjadi istrinya.”

Ia melangkah pergi dengan anggun, meninggalkan aroma parfum mewah yang menusuk.

Aku menatap tangan kami yang masih tergenggam. “Kenapa kau…”

Dia melepaskannya mendadak, wajahnya kembali dingin. “Jangan salah paham. Aku hanya tidak suka diganggu orang yang sudah tidak ada artinya bagiku.”

Aku terdiam, menunduk. Tapi di dalam hatiku, benih kecil perasaan itu semakin tumbuh.

---

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Malam Pertama Sang Istri Kontrak   Bab 86 – Bara yang Membakar Langkah

    Fajar perlahan muncul, menggantikan gelap malam yang penuh dengan air mata dan halusinasi. Aisyah berdiri di depan cermin, menatap bayangannya sendiri. Mata itu sembab karena menangis semalaman, tapi ada cahaya lain yang muncul—cahaya keyakinan. Rindu pada Arga yang semalam menjelma jadi halusinasi intim, kini berubah jadi bara yang membakar semangat. “Hari ini bukan hanya tentangku,” gumamnya pelan, “tapi tentang dia, tentang kebenaran, tentang semua yang mereka injak.”Ia mengenakan jas berwarna hitam, sederhana namun elegan. Setiap kancing yang ia rapatkan seolah menjadi simbol tekadnya. Tangannya sempat gemetar, mengingat kembali pelukan semu Arga yang masih terasa hangat, tapi ia genggam erat jemari sendiri, menahan getar itu agar berubah jadi keberanian.Ketukan terdengar di pintu. Reyhan masuk dengan wajah cemas membawa tumpukan dokumen. “Aisyah, media sudah memanas. Mereka menunggu kedatanganmu. Dan kabar terakhir, pihak lawan menambah serangan—mereka menye

  • Malam Pertama Sang Istri Kontrak   Bab 85 – Rindu yang Menyulut Bara

    Malam merambat perlahan, membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Hujan sudah berhenti sejak beberapa jam lalu, tapi suara tetesan air dari atap masih terdengar jelas di luar jendela. Di dalam ruang kerja yang kini lebih mirip markas perang daripada rumah, Aisyah duduk dengan tubuh lelah namun mata tetap terbuka lebar. Di depannya tergeletak puluhan lembar catatan, draft pidato yang ia tulis, coret, lalu tulis ulang lagi seolah tak pernah ada yang sempurna. Lampu meja menyinari wajahnya yang pucat, memperlihatkan lingkar hitam di bawah mata akibat kurang tidur, tapi tatapan itu sama sekali tidak redup. Tatapan itu justru dipenuhi dengan api, api yang lahir dari rindu sekaligus amarah.Ia menunduk, menuliskan ulang kalimat pembuka pidatonya. Pulpen bergetar di jarinya, bukan karena ia tidak yakin, tapi karena tubuhnya sudah terlalu lama dipaksa bekerja. “Aku berdiri di sini bukan hanya sebagai seorang istri…” ia berhenti, menatap kosong ke arah kertas, lalu menarik

  • Malam Pertama Sang Istri Kontrak   Bab 84 – Gelombang yang Tak Terbendung

    Pagi itu udara terasa berat, seolah kota menahan napas. Langit mendung meski hujan semalam sudah reda, dan di rumah Aisyah suasana tidak kalah menegangkan. Ruang kerjanya berubah jadi pusat komando penuh layar menyala, map dokumen, ponsel yang terus berdering, dan tim kecil yang bergerak cepat di balik meja. Aisyah duduk di kursi dengan tubuh lelah tapi mata menyala, jemarinya mengetik cepat, sesekali memberi instruksi singkat namun tegas pada Reyhan yang duduk di seberang. “Pastikan semua berkas masuk ke arsip digital. Jangan ada satu pun yang hilang, apalagi bocor,” ujarnya, tanpa menoleh.Reyhan mengangguk, lalu menyerahkan laporan cetak dengan wajah serius. “Kabar bagus, Aisyah. Bank internasional resmi membekukan aset sementara. Semua rekening yang dipakai Rania untuk mengalirkan uang gelap ditahan. Mereka panik sekarang.” Aisyah menatap dokumen itu lama, lalu menarik napas dalam-dalam. “Kalau begitu, waktunya kita buka gelombang serangan kedua.” Ia berdiri, menyalakan

  • Malam Pertama Sang Istri Kontrak   Bab 83 – Rindu yang Membakar, Kekuatan yang Menggerakkan

    Malam itu hujan deras menghantam atap rumah, suara gemuruhnya bercampur dengan derit pohon yang ditiup angin kencang. Di ruang kerja yang lampunya hanya satu, Aisyah duduk dengan punggung menegang, wajahnya pucat karena kurang tidur, tapi matanya menyala penuh api. Di depannya papan tulis besar sudah penuh dengan coretan garis merah, panah-panah yang saling bertaut, dan nama-nama pejabat serta pengusaha yang selama ini jadi aktor di balik jerat kasus Arga. Tumpukan dokumen bertaburan di meja, sebagian sudah disusun ke dalam map dengan label berbeda, sebagian masih berupa kertas berserakan dengan catatan tangan tergesa-gesa. Suasana ruangan itu bukan lagi rumah seorang wanita biasa, melainkan markas perang seorang pemimpin yang sedang melawan sistem besar yang ingin menelannya.Rasa rindu pada Arga menyerang di setiap detik hening. Aisyah memejamkan mata sejenak, dan di balik kelopak itu ia kembali melihat bayangan suaminya. Arga duduk di lantai sel dengan tubuh penuh memar,

  • Malam Pertama Sang Istri Kontrak   Bab 82 – Titik Balik yang Diledakkan

    Pagi itu kota terasa berbeda: angin membelai bangunan-bangunan tinggi sambil membawa getar yang merata ke media, jejaring sosial, bahkan ruang-ruang rapat pejabat. Di markas kecil mereka, Aisyah duduk di depan layar besar, dikelilingi Reyhan, dua pengacara, dan beberapa wartawan independen yang bisa dipercaya. Di layar tergambar peta aliran dana yang baru saja selesai disusun—bukan hanya sekadar angka, melainkan bukti berlapis: screenshot transfer, metadata tanda tangan digital yang telah dianalisis ulang, korespondensi email yang menunjukkan instruksi, daftar rekening cangkang beserta pemilik nominal fiktif, dan—yang paling menodai—salinan kontrak yang memperlihatkan keterlibatan pejabat tinggi yang selama ini menjaga pintu bagi Rania. Semua bukti itu disusun rapi menjadi satu paket rinci dengan narasi hukum dan kronologi kejadian, disertai rujukan ke file forensik yang sudah diverifikasi oleh tim luar negeri. Aisyah menatap dokumen itu lama; ada letupan lega yang tak disangka: ini bu

  • Malam Pertama Sang Istri Kontrak   Bab 81 – Serangan Balik dari Balik Jeruji

    Fajar menyingsing di atas gedung tahanan, sinar matahari masuk dari jendela kecil berjeruji, memantul di dinding lembap. Arga duduk bersila di ranjang besi, matanya terpejam, napasnya teratur, meski tubuhnya penuh luka memar. Ia tidak sedang tidur, melainkan menyusun strategi di kepalanya. Setiap langkah, setiap celah, ia hitung dengan teliti. Kata napi semalam masih terngiang: dokumen kontrak ilegal, pejabat tinggi, brankas rahasia. Itu bukan sekadar gosip. Itu bisa jadi senjata pamungkas.Ketika pintu sel terbuka untuk jatah makan, Arga diam-diam menyelipkan secarik kertas kecil ke bawah piring, tulisan kode yang samar. Itu akan sampai ke Reyhan melalui jaringan yang ia bangun. Ia tahu waktu mereka tidak banyak, tapi satu langkah kecil bisa menjadi awal badai besar.Sementara itu, di luar, Aisyah menghadapi hari berat. Media lokal menyerangnya dengan berita fitnah, tapi media internasional justru mengangkatnya sebagai ikon perlawanan. “Wanita yang Tidak Gentar.”—

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status