LOGINAku pikir setelah ledakan amarahnya siang tadi, malam ini ia akan memilih diam seperti biasanya. Tapi ternyata aku salah besar.
Sejak makan malam, tatapannya selalu mengikutiku. Mata tajam itu menempel ke arahku, membuatku tidak bisa menikmati makanan. Aku merasa seperti burung kecil yang diawasi elang lapar. Bahkan ketika aku mencoba berbicara dengan pelayan, matanya menajam, seolah memperingatkan. Aku menunduk sepanjang acara makan, memilih diam. Tapi jantungku berdetak kencang. Bukan hanya karena takut—ada sesuatu yang lain, sesuatu yang membuatku panas dingin. Setelah makan malam, aku buru-buru masuk ke kamar, berharap bisa bersembunyi di balik pintu. Namun baru saja aku menutupnya, pintu itu kembali terbuka. Dia masuk dengan langkah mantap, wajah dinginnya tak berubah. Aku mundur setapak, punggungku menempel ke meja rias. “Kenapa kau mengikutiku?” tanyaku gugup. Dia menutup pintu, menguncinya. Bunyi klik itu membuatku semakin panik. “Aku tidak suka kau menghindariku,” katanya pelan, tapi penuh tekanan. “Aku tidak menghindar,” bantahku, meski jelas-jelas suaraku bergetar. “Aku hanya… lelah.” Dia mendekat perlahan, setiap langkahnya terdengar jelas di lantai kayu kamar. “Lelah?” ujarnya, senyum sinis tersungging di bibirnya. “Atau takut padaku?” Aku menelan ludah. “Aku hanya… aku tidak tahu lagi siapa diriku di hadapanmu. Istri? Kontrak? Boneka? Semua bercampur jadi satu.” Dia berhenti tepat di depanku. Tubuhnya tinggi, menjulang, membuatku merasa terpojok. Jemarinya terulur, meraih daguku dengan paksa, mengangkat wajahku agar menatapnya. “Kau istriku,” katanya tegas. “Kontrak atau tidak, cincin itu di jarimu bukan mainan. Dan aku tidak akan pernah membiarkan siapa pun merebutmu dariku.” Aku terperangah. “Tapi kau sendiri bilang kau tidak mencintaiku!” “Ya,” suaranya berat, dingin, tapi tatapannya membara. “Aku tidak mencintaimu. Tapi aku juga tidak rela melihatmu dimiliki orang lain. Itu cukup untuk membuatmu tetap di sisiku.” Dadaku sesak. Kata-katanya bagai belenggu, tapi entah mengapa, ada rasa hangat samar yang menyelinap. “Aku bukan boneka yang bisa kau kuasai semaumu,” bisikku pelan. Senyumnya melebar, dingin sekaligus menantang. “Sayangnya, di mataku, kau memang milikku. Dan malam ini, aku akan memastikan kau mengerti apa artinya menjadi milikku.” Ia menarikku keras, tubuhku menempel pada dadanya. Aroma parfumnya langsung menyeruak, membuatku kehilangan kendali. Aku berusaha mendorong, tapi tangannya terlalu kuat. “Lepaskan aku…” suaraku bergetar. “Tidak.” Ia menunduk, bibirnya hampir menyentuh telingaku. “Kau boleh membenciku, tapi kau tidak akan pernah bisa lari dariku.” Aku menggigil, campuran marah, takut, dan sesuatu yang tak bisa kuakui. Tubuhku menolak, tapi hatiku berkhianat. Aku memejamkan mata, air mata hangat jatuh di pipi. “Kenapa… kenapa kau memperlakukanku seperti ini?” Ia terdiam sebentar, lalu suaranya terdengar rendah, nyaris seperti pengakuan. “Karena hanya dengan cara ini aku bisa memastikan kau tetap milikku.” Tangannya mengusap pipiku, bukan dengan kelembutan penuh cinta, melainkan dengan dominasi. Tapi sentuhan itu meninggalkan bekas, membuat tubuhku gemetar tak terkendali. --- Malam terasa panjang. Aku terduduk di tepi ranjang, tubuhku lelah, pikiran kacau. Sementara dia berdiri di dekat jendela, memandang keluar, menyalakan sebatang rokok. Asap tipis membumbung, siluetnya tampak begitu misterius. “Kenapa kau diam?” tanyanya tiba-tiba, tanpa menoleh. Aku menunduk, memeluk lutut. “Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku… hanya bingung. Kau bilang aku hanya istri kontrak. Kau bilang kau tidak mencintaiku. Tapi perlakuanmu… membuatku bingung. Kadang aku merasa kau membenciku, kadang kau seakan tidak ingin melepasiku.” Dia terdiam lama, menghembuskan asap. “Kau tidak perlu memahami. Kau hanya perlu menjalani.” Hatiku perih. “Jadi aku hanya boneka untuk mengisi waktumu?” tanyaku lirih. Kali ini ia menoleh. Tatapan matanya menusuk, membuatku tak berani bernapas. “Kau lebih dari itu. Kau adalah sesuatu yang bahkan aku sendiri tidak bisa jelaskan. Dan itu membuatku marah.” Aku terperanjat. “Marah? Kenapa?” Dia berjalan kembali ke arahku, lalu berhenti di depanku. Tangannya meraih daguku lagi, kali ini lebih lembut, meski tetap menekan. “Karena kau berhasil mengacaukan dunia yang selama ini kuatur dengan sempurna.” Aku tercekat. Kata-kata itu lebih menakutkan daripada ancaman. Karena di balik kemarahannya… ada perasaan yang bahkan ia sendiri tidak bisa terima. Aku memalingkan wajah, berbisik hampir tak terdengar. “Kalau begitu… siapa yang sebenarnya terikat dalam kontrak ini? Aku… atau kau?” Keheningan panjang menggantung di udara. Dia tidak menjawab, hanya menatapku lama, tajam, tapi juga bergejolak. Akhirnya ia menarik napas panjang, lalu berkata dingin, “Tidurlah. Kita akan membicarakan ini lain waktu.” Ia berbalik, berjalan ke sisi ranjangnya sendiri, lalu merebahkan diri. Punggungnya menghadapku, sama seperti malam-malam sebelumnya. Aku terdiam, menatapnya lama. Air mataku jatuh lagi, tapi kali ini berbeda. Ada rasa takut, sakit, sekaligus… rindu akan sesuatu yang belum pernah kumiliki. Aku menutup mata, memeluk tubuhku sendiri. Dan dalam hati, aku berbisik, “Aku tidak boleh jatuh hati padanya. Tidak boleh… tapi kenapa hatiku mulai goyah?” ---Waktu tak pernah berteriak saat ia berlalu—ia cuma berjalan diam-diam, menua bersama daun, membisik di antara hembus angin, dan menyimpan jejak di wajah manusia yang bertahan. Dua puluh tahun sudah lewat sejak hari itu; sejak pagi terakhir di mana Aisyah menulis kalimat penutup di bukunya dan Arga menatap langit dengan rasa syukur yang tak bisa dijelaskan. Pohon mangga di belakang rumah kini menjulang tinggi, akarnya kuat, dan dahannya menaungi halaman kecil tempat tawa dulu tumbuh. Rumah mereka masih sama, hanya catnya yang lebih pudar dan pagar kayu yang mulai rapuh, tapi setiap retaknya menyimpan kisah yang bahkan waktu enggan menghapus. Raffa kini sudah dewasa. Tubuhnya tegap, caranya bicara tenang, dan matanya punya sorot yang mengingatkan siapa pun pada Arga muda—hangat, tapi dalam. Ia kini mengajar di sekolah dasar di desa yang sama, tempat ia dulu belajar mengenal huruf dan arti kejujuran dari ayahnya. Setiap pagi ia melewati toko yang dulu bernama Atap yang Sama, yang sekar
Senja turun perlahan di atas desa kecil itu. Langit berubah warna menjadi jingga keemasan, menandai berakhirnya satu hari yang penuh ketenangan. Di dalam rumah, suasana hening dan damai. Hanya terdengar suara pena yang menari di atas kertas, diselingi napas lembut Aisyah yang menulis dengan penuh perasaan. Di meja ruang tengah, ada dua lembar kertas kosong dan satu amplop kecil. Di atasnya tertulis dengan tulisan tangan Arga: “Untuk masa depan, dari kita bertiga.” Aisyah menulis pelan, huruf demi huruf seperti doa yang tidak ingin terburu-buru. Arga duduk di sampingnya, memperhatikan setiap gerakan tangan istrinya. Raffa, yang sudah sedikit lebih besar sekarang, menggambar hati kecil di sudut amplop. “Ayah,” kata Raffa sambil menatap gambar buatannya, “ini buat surat yang mau dikubur di halaman, kan?” Arga mengangguk, tersenyum lembut. “Iya, Nak. Biar nanti kalau kamu udah gede, kamu bisa buka lagi dan inget semua ini.” Aisyah menatap mereka berdua, lalu berkata pelan, “Biar masa
Hari berganti hari, dan kehidupan keluarga kecil itu berjalan dalam irama yang pelan tapi pasti. Pagi selalu dimulai dengan tawa, siang diisi dengan kerja ringan di toko, dan malam berakhir di beranda dengan secangkir teh dan cerita sederhana. Tak ada lagi berita buruk, tak ada lagi tatapan curiga dari tetangga, hanya damai yang akhirnya menetap.Di halaman depan, Raffa sedang berjongkok memandangi semut yang berbaris di pinggir pot bunga. “Ayah, mereka kayak kerja sama, ya?” tanyanya polos.Arga yang sedang menyapu halaman menoleh. “Iya, Nak. Mereka kecil, tapi kuat karena gak saling ninggalin.”Raffa mengangguk serius. “Berarti kayak kita ya, Ayah. Gak boleh ninggalin juga.”Aisyah yang sedang menjemur kain tertawa pelan. “Bener banget, Sayang. Di dunia ini, yang paling kuat itu bukan yang punya otot besar, tapi yang bisa saling jaga.”Arga menatap istrinya dengan senyum lembut. Cahaya matahari pagi menimpa wajah Aisyah, membuatnya terlihat seperti lu
Hari itu langit tampak jernih, seolah seluruh alam ikut bernafas lega setelah sekian lama menanggung beban. Angin bertiup lembut melewati halaman kecil di depan toko Arga dan Aisyah. Pagi berjalan pelan, tapi indah. Aisyah sedang menata bunga di pot, sementara Arga sibuk memotong kayu kecil untuk pesanan rak pelanggan. Suara ketukan palu berpadu dengan kicau burung, menciptakan harmoni sederhana yang menenangkan.“Mas,” panggil Aisyah dari teras, “jangan kerja terus, nanti punggungmu sakit lagi.”Arga menoleh, tersenyum. “Punggungku gak sakit, cuma butuh bahumu buat sandaran.”Aisyah spontan tertawa, pipinya memerah. “Dasar kamu, ya. Bahuku gak sekuat itu.”“Justru karena gak kuat itu yang bikin aku tenang,” jawab Arga, matanya menatap penuh arti.Aisyah diam sesaat. Ada sesuatu dalam nada suaminya—lembut, tapi penuh rasa syukur. Ia mendekat, duduk di sampingnya di bangku kayu yang mereka buat berdua dulu waktu masih berjuang dari nol. “Mas, kamu sadar
Pagi itu terasa berbeda. Udara lebih segar dari biasanya, langit biru tanpa awan, dan matahari menyorot lembut ke halaman kecil di depan rumah mereka. Dari dapur terdengar suara langkah kecil dan tawa Raffa yang bersahutan dengan bunyi spatula. “Ayah, aku bantu aduk adonannya ya!” katanya sambil berdiri di kursi kecil. Aisyah tertawa pelan, tangannya memegang mangkuk besar berisi adonan kue. “Boleh, tapi jangan tumpah lagi kayak kemarin.” Raffa menatap serius, lalu mulai mengaduk dengan penuh semangat. Tepung beterbangan sedikit ke wajahnya, membuat Aisyah tertawa lebih keras. “Lihat tuh, Nak, malah kayak badut tepung.”Arga muncul dari pintu depan sambil membawa papan kayu panjang di pundaknya. “Ada dua makhluk paling berantakan di dapur,” katanya dengan nada bercanda. Aisyah menoleh cepat, pura-pura cemberut. “Daripada kamu yang tiap hari bilang mau beresin pagar tapi ujung-ujungnya duduk di teras.” Arga mendekat, menaruh papan di lantai. “Hari ini aku beneran beresin pag
Beberapa minggu berlalu sejak hari hujan itu. Desa mulai ramai lagi, tapi kali ini bukan oleh kabar atau gosip seperti dulu. Orang-orang datang ke rumah Arga dan Aisyah untuk membeli kue, memperbaiki alat rumah tangga, atau sekadar duduk ngobrol sebentar di teras mereka yang selalu terbuka. Rumah kecil di ujung gang itu berubah pelan menjadi tempat singgah yang hangat, di mana orang tak sekadar datang untuk urusan, tapi juga untuk merasakan tenang.Pagi itu Aisyah sibuk mengaduk adonan di dapur, sementara Arga memperbaiki kursi yang kakinya patah. Raffa duduk di bawah meja, mencoret-coret kertas sambil menyanyi kecil. “Yah, lihat, aku gambar rumah kita dari atas!” katanya ceria. Arga menatap gambar itu, tersenyum. “Atapnya miring ke kanan tuh.” Raffa menatap ulang, lalu menjawab santai, “Gak apa-apa, yang penting kita masih di bawah atap yang sama.” Arga menatap anaknya lama-lama, lalu tanpa sadar menoleh ke Aisyah. Ia tahu, kalimat polos itu mengandung sesuatu yang jauh le







