Share

Bab 8 – Malam Hukuman

Penulis: Ferin Agf
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-25 14:03:17

Aku pikir setelah ledakan amarahnya siang tadi, malam ini ia akan memilih diam seperti biasanya. Tapi ternyata aku salah besar.

Sejak makan malam, tatapannya selalu mengikutiku. Mata tajam itu menempel ke arahku, membuatku tidak bisa menikmati makanan. Aku merasa seperti burung kecil yang diawasi elang lapar. Bahkan ketika aku mencoba berbicara dengan pelayan, matanya menajam, seolah memperingatkan.

Aku menunduk sepanjang acara makan, memilih diam. Tapi jantungku berdetak kencang. Bukan hanya karena takut—ada sesuatu yang lain, sesuatu yang membuatku panas dingin.

Setelah makan malam, aku buru-buru masuk ke kamar, berharap bisa bersembunyi di balik pintu. Namun baru saja aku menutupnya, pintu itu kembali terbuka. Dia masuk dengan langkah mantap, wajah dinginnya tak berubah.

Aku mundur setapak, punggungku menempel ke meja rias. “Kenapa kau mengikutiku?” tanyaku gugup.

Dia menutup pintu, menguncinya. Bunyi klik itu membuatku semakin panik. “Aku tidak suka kau menghindariku,” katanya pelan, tapi penuh tekanan.

“Aku tidak menghindar,” bantahku, meski jelas-jelas suaraku bergetar. “Aku hanya… lelah.”

Dia mendekat perlahan, setiap langkahnya terdengar jelas di lantai kayu kamar. “Lelah?” ujarnya, senyum sinis tersungging di bibirnya. “Atau takut padaku?”

Aku menelan ludah. “Aku hanya… aku tidak tahu lagi siapa diriku di hadapanmu. Istri? Kontrak? Boneka? Semua bercampur jadi satu.”

Dia berhenti tepat di depanku. Tubuhnya tinggi, menjulang, membuatku merasa terpojok. Jemarinya terulur, meraih daguku dengan paksa, mengangkat wajahku agar menatapnya.

“Kau istriku,” katanya tegas. “Kontrak atau tidak, cincin itu di jarimu bukan mainan. Dan aku tidak akan pernah membiarkan siapa pun merebutmu dariku.”

Aku terperangah. “Tapi kau sendiri bilang kau tidak mencintaiku!”

“Ya,” suaranya berat, dingin, tapi tatapannya membara. “Aku tidak mencintaimu. Tapi aku juga tidak rela melihatmu dimiliki orang lain. Itu cukup untuk membuatmu tetap di sisiku.”

Dadaku sesak. Kata-katanya bagai belenggu, tapi entah mengapa, ada rasa hangat samar yang menyelinap.

“Aku bukan boneka yang bisa kau kuasai semaumu,” bisikku pelan.

Senyumnya melebar, dingin sekaligus menantang. “Sayangnya, di mataku, kau memang milikku. Dan malam ini, aku akan memastikan kau mengerti apa artinya menjadi milikku.”

Ia menarikku keras, tubuhku menempel pada dadanya. Aroma parfumnya langsung menyeruak, membuatku kehilangan kendali. Aku berusaha mendorong, tapi tangannya terlalu kuat.

“Lepaskan aku…” suaraku bergetar.

“Tidak.” Ia menunduk, bibirnya hampir menyentuh telingaku. “Kau boleh membenciku, tapi kau tidak akan pernah bisa lari dariku.”

Aku menggigil, campuran marah, takut, dan sesuatu yang tak bisa kuakui. Tubuhku menolak, tapi hatiku berkhianat.

Aku memejamkan mata, air mata hangat jatuh di pipi. “Kenapa… kenapa kau memperlakukanku seperti ini?”

Ia terdiam sebentar, lalu suaranya terdengar rendah, nyaris seperti pengakuan. “Karena hanya dengan cara ini aku bisa memastikan kau tetap milikku.”

Tangannya mengusap pipiku, bukan dengan kelembutan penuh cinta, melainkan dengan dominasi. Tapi sentuhan itu meninggalkan bekas, membuat tubuhku gemetar tak terkendali.

---

Malam terasa panjang. Aku terduduk di tepi ranjang, tubuhku lelah, pikiran kacau. Sementara dia berdiri di dekat jendela, memandang keluar, menyalakan sebatang rokok. Asap tipis membumbung, siluetnya tampak begitu misterius.

“Kenapa kau diam?” tanyanya tiba-tiba, tanpa menoleh.

Aku menunduk, memeluk lutut. “Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku… hanya bingung. Kau bilang aku hanya istri kontrak. Kau bilang kau tidak mencintaiku. Tapi perlakuanmu… membuatku bingung. Kadang aku merasa kau membenciku, kadang kau seakan tidak ingin melepasiku.”

Dia terdiam lama, menghembuskan asap. “Kau tidak perlu memahami. Kau hanya perlu menjalani.”

Hatiku perih. “Jadi aku hanya boneka untuk mengisi waktumu?” tanyaku lirih.

Kali ini ia menoleh. Tatapan matanya menusuk, membuatku tak berani bernapas. “Kau lebih dari itu. Kau adalah sesuatu yang bahkan aku sendiri tidak bisa jelaskan. Dan itu membuatku marah.”

Aku terperanjat. “Marah? Kenapa?”

Dia berjalan kembali ke arahku, lalu berhenti di depanku. Tangannya meraih daguku lagi, kali ini lebih lembut, meski tetap menekan. “Karena kau berhasil mengacaukan dunia yang selama ini kuatur dengan sempurna.”

Aku tercekat. Kata-kata itu lebih menakutkan daripada ancaman. Karena di balik kemarahannya… ada perasaan yang bahkan ia sendiri tidak bisa terima.

Aku memalingkan wajah, berbisik hampir tak terdengar. “Kalau begitu… siapa yang sebenarnya terikat dalam kontrak ini? Aku… atau kau?”

Keheningan panjang menggantung di udara. Dia tidak menjawab, hanya menatapku lama, tajam, tapi juga bergejolak.

Akhirnya ia menarik napas panjang, lalu berkata dingin, “Tidurlah. Kita akan membicarakan ini lain waktu.”

Ia berbalik, berjalan ke sisi ranjangnya sendiri, lalu merebahkan diri. Punggungnya menghadapku, sama seperti malam-malam sebelumnya.

Aku terdiam, menatapnya lama. Air mataku jatuh lagi, tapi kali ini berbeda. Ada rasa takut, sakit, sekaligus… rindu akan sesuatu yang belum pernah kumiliki.

Aku menutup mata, memeluk tubuhku sendiri. Dan dalam hati, aku berbisik, “Aku tidak boleh jatuh hati padanya. Tidak boleh… tapi kenapa hatiku mulai goyah?”

---

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Malam Pertama Sang Istri Kontrak   Bab 86 – Bara yang Membakar Langkah

    Fajar perlahan muncul, menggantikan gelap malam yang penuh dengan air mata dan halusinasi. Aisyah berdiri di depan cermin, menatap bayangannya sendiri. Mata itu sembab karena menangis semalaman, tapi ada cahaya lain yang muncul—cahaya keyakinan. Rindu pada Arga yang semalam menjelma jadi halusinasi intim, kini berubah jadi bara yang membakar semangat. “Hari ini bukan hanya tentangku,” gumamnya pelan, “tapi tentang dia, tentang kebenaran, tentang semua yang mereka injak.”Ia mengenakan jas berwarna hitam, sederhana namun elegan. Setiap kancing yang ia rapatkan seolah menjadi simbol tekadnya. Tangannya sempat gemetar, mengingat kembali pelukan semu Arga yang masih terasa hangat, tapi ia genggam erat jemari sendiri, menahan getar itu agar berubah jadi keberanian.Ketukan terdengar di pintu. Reyhan masuk dengan wajah cemas membawa tumpukan dokumen. “Aisyah, media sudah memanas. Mereka menunggu kedatanganmu. Dan kabar terakhir, pihak lawan menambah serangan—mereka menye

  • Malam Pertama Sang Istri Kontrak   Bab 85 – Rindu yang Menyulut Bara

    Malam merambat perlahan, membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Hujan sudah berhenti sejak beberapa jam lalu, tapi suara tetesan air dari atap masih terdengar jelas di luar jendela. Di dalam ruang kerja yang kini lebih mirip markas perang daripada rumah, Aisyah duduk dengan tubuh lelah namun mata tetap terbuka lebar. Di depannya tergeletak puluhan lembar catatan, draft pidato yang ia tulis, coret, lalu tulis ulang lagi seolah tak pernah ada yang sempurna. Lampu meja menyinari wajahnya yang pucat, memperlihatkan lingkar hitam di bawah mata akibat kurang tidur, tapi tatapan itu sama sekali tidak redup. Tatapan itu justru dipenuhi dengan api, api yang lahir dari rindu sekaligus amarah.Ia menunduk, menuliskan ulang kalimat pembuka pidatonya. Pulpen bergetar di jarinya, bukan karena ia tidak yakin, tapi karena tubuhnya sudah terlalu lama dipaksa bekerja. “Aku berdiri di sini bukan hanya sebagai seorang istri…” ia berhenti, menatap kosong ke arah kertas, lalu menarik

  • Malam Pertama Sang Istri Kontrak   Bab 84 – Gelombang yang Tak Terbendung

    Pagi itu udara terasa berat, seolah kota menahan napas. Langit mendung meski hujan semalam sudah reda, dan di rumah Aisyah suasana tidak kalah menegangkan. Ruang kerjanya berubah jadi pusat komando penuh layar menyala, map dokumen, ponsel yang terus berdering, dan tim kecil yang bergerak cepat di balik meja. Aisyah duduk di kursi dengan tubuh lelah tapi mata menyala, jemarinya mengetik cepat, sesekali memberi instruksi singkat namun tegas pada Reyhan yang duduk di seberang. “Pastikan semua berkas masuk ke arsip digital. Jangan ada satu pun yang hilang, apalagi bocor,” ujarnya, tanpa menoleh.Reyhan mengangguk, lalu menyerahkan laporan cetak dengan wajah serius. “Kabar bagus, Aisyah. Bank internasional resmi membekukan aset sementara. Semua rekening yang dipakai Rania untuk mengalirkan uang gelap ditahan. Mereka panik sekarang.” Aisyah menatap dokumen itu lama, lalu menarik napas dalam-dalam. “Kalau begitu, waktunya kita buka gelombang serangan kedua.” Ia berdiri, menyalakan

  • Malam Pertama Sang Istri Kontrak   Bab 83 – Rindu yang Membakar, Kekuatan yang Menggerakkan

    Malam itu hujan deras menghantam atap rumah, suara gemuruhnya bercampur dengan derit pohon yang ditiup angin kencang. Di ruang kerja yang lampunya hanya satu, Aisyah duduk dengan punggung menegang, wajahnya pucat karena kurang tidur, tapi matanya menyala penuh api. Di depannya papan tulis besar sudah penuh dengan coretan garis merah, panah-panah yang saling bertaut, dan nama-nama pejabat serta pengusaha yang selama ini jadi aktor di balik jerat kasus Arga. Tumpukan dokumen bertaburan di meja, sebagian sudah disusun ke dalam map dengan label berbeda, sebagian masih berupa kertas berserakan dengan catatan tangan tergesa-gesa. Suasana ruangan itu bukan lagi rumah seorang wanita biasa, melainkan markas perang seorang pemimpin yang sedang melawan sistem besar yang ingin menelannya.Rasa rindu pada Arga menyerang di setiap detik hening. Aisyah memejamkan mata sejenak, dan di balik kelopak itu ia kembali melihat bayangan suaminya. Arga duduk di lantai sel dengan tubuh penuh memar,

  • Malam Pertama Sang Istri Kontrak   Bab 82 – Titik Balik yang Diledakkan

    Pagi itu kota terasa berbeda: angin membelai bangunan-bangunan tinggi sambil membawa getar yang merata ke media, jejaring sosial, bahkan ruang-ruang rapat pejabat. Di markas kecil mereka, Aisyah duduk di depan layar besar, dikelilingi Reyhan, dua pengacara, dan beberapa wartawan independen yang bisa dipercaya. Di layar tergambar peta aliran dana yang baru saja selesai disusun—bukan hanya sekadar angka, melainkan bukti berlapis: screenshot transfer, metadata tanda tangan digital yang telah dianalisis ulang, korespondensi email yang menunjukkan instruksi, daftar rekening cangkang beserta pemilik nominal fiktif, dan—yang paling menodai—salinan kontrak yang memperlihatkan keterlibatan pejabat tinggi yang selama ini menjaga pintu bagi Rania. Semua bukti itu disusun rapi menjadi satu paket rinci dengan narasi hukum dan kronologi kejadian, disertai rujukan ke file forensik yang sudah diverifikasi oleh tim luar negeri. Aisyah menatap dokumen itu lama; ada letupan lega yang tak disangka: ini bu

  • Malam Pertama Sang Istri Kontrak   Bab 81 – Serangan Balik dari Balik Jeruji

    Fajar menyingsing di atas gedung tahanan, sinar matahari masuk dari jendela kecil berjeruji, memantul di dinding lembap. Arga duduk bersila di ranjang besi, matanya terpejam, napasnya teratur, meski tubuhnya penuh luka memar. Ia tidak sedang tidur, melainkan menyusun strategi di kepalanya. Setiap langkah, setiap celah, ia hitung dengan teliti. Kata napi semalam masih terngiang: dokumen kontrak ilegal, pejabat tinggi, brankas rahasia. Itu bukan sekadar gosip. Itu bisa jadi senjata pamungkas.Ketika pintu sel terbuka untuk jatah makan, Arga diam-diam menyelipkan secarik kertas kecil ke bawah piring, tulisan kode yang samar. Itu akan sampai ke Reyhan melalui jaringan yang ia bangun. Ia tahu waktu mereka tidak banyak, tapi satu langkah kecil bisa menjadi awal badai besar.Sementara itu, di luar, Aisyah menghadapi hari berat. Media lokal menyerangnya dengan berita fitnah, tapi media internasional justru mengangkatnya sebagai ikon perlawanan. “Wanita yang Tidak Gentar.”—

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status