Malam setelah pesta itu, aku duduk termenung di kamar. Gaun hitam yang kupakai masih tergantung di kursi, sementara tubuhku sudah terbalut piyama tipis. Aku menatap kosong ke arah cermin besar, wajahku pucat dengan mata sembab. Kata-kata Clara berulang di kepalaku, menusuk seperti jarum: “Tidak mudah menjadi istrinya.”
Suamiku masuk tanpa mengetuk, seperti biasa. Ia melepas jas hitam, lalu duduk di sofa sambil membuka laptop. Sikapnya acuh, seolah kejadian tadi tidak berarti apa-apa. Aku memberanikan diri bicara. “Tentang wanita tadi… Clara.” Ia tidak mengangkat wajah. “Aku tidak ingin membicarakannya.” Aku menggenggam jemariku erat. “Tapi dia mantanmu, kan? Dan—” “Aku bilang aku tidak ingin membicarakannya.” Kali ini suaranya tegas, dingin. Matanya tetap terpaku pada layar laptop. Aku menunduk, air mataku hampir jatuh lagi. Ia selalu begitu—dingin, tak mau memberi ruang untuk hatiku. Tapi entah mengapa, aku merasa ada sesuatu yang ia sembunyikan. Malam itu berakhir dengan keheningan yang menusuk. Ia tidur di sisi ranjangnya sendiri, membelakangiku, sementara aku terjaga lama, menatap punggungnya yang kokoh tapi terasa begitu jauh. --- Keesokan harinya, aku turun ke taman belakang untuk mencari udara segar. Aku duduk di bangku batu, mencoba menenangkan diri. Seorang pria muda yang bekerja sebagai staf keluarga—sepertinya salah satu sekretaris ayah mertuaku—datang menghampiri. “Ibu muda, apakah Anda membutuhkan sesuatu?” tanyanya sopan. Aku menggeleng. “Tidak. Aku hanya ingin duduk sebentar.” Pria itu tersenyum ramah. “Kalau begitu saya temani sebentar. Taman ini biasanya sepi, lebih baik jangan sendiri.” Aku tersenyum tipis, sedikit lega ada yang bersikap manusiawi padaku. Kami berbincang ringan, hanya tentang bunga di taman dan cuaca. Rasanya hangat bisa berbicara tanpa sindiran atau tatapan menghakimi. Namun suasana itu buyar seketika ketika suara langkah berat terdengar. Aku menoleh—dan di sana suamiku berdiri. Matanya tajam, wajahnya gelap. Ia berjalan mendekat dengan langkah lebar, hingga pria muda itu langsung berdiri kaku, membungkuk. “Tuan—saya hanya menemani Nyonya sebentar—” “Pergi.” Suara suamiku berat, dingin, penuh tekanan. Pria itu segera pamit, meninggalkan kami berdua. Aku bangkit gugup. “Kau salah paham, aku hanya—” “Diam.” Tatapannya membakar. Ia mendekat, hingga jarak kami hanya sejengkal. “Aku tidak suka melihatmu bersama pria lain.” Aku terperangah. “Tapi bukankah aku hanya istri kontrakmu? Kau sendiri yang bilang aku tidak berhak menuntut apa-apa.” Dia menyipitkan mata. “Kontrak atau tidak, kau tetap milikku. Dan aku tidak akan pernah membiarkan pria lain menyentuhmu, apalagi membuatmu tersenyum seperti tadi.” Jantungku berdegup kencang. Kata-katanya membuat tubuhku panas dingin. “Kau… kau cemburu?” Senyum miring muncul di bibirnya. “Jangan bodoh. Aku hanya menjaga hakku sebagai suami. Itu saja.” Tapi genggaman tangannya di pergelangan tanganku begitu kuat, matanya begitu tajam—itu bukan sekadar menjaga. Itu… cemburu. Ia menarikku masuk kembali ke kamar. Tubuhku hampir terhuyung mengikuti langkah cepatnya. Begitu pintu tertutup, ia mendorongku ke dinding, menatapku lekat-lekat. “Kau berani menatap pria lain seperti itu di hadapanku?” suaranya rendah, hampir seperti geraman. Aku terengah. “Aku tidak bermaksud apa-apa—” Dia mendekat, wajahnya begitu dekat hingga napasku tercekat. “Kau hanya boleh menatapku. Hanya aku.” Jantungku berdegup liar. Tatapan matanya membakar, membuatku sulit bernapas. Bibirnya mendekat, hampir menyentuhku, dan aku tak tahu apakah harus menolak atau menyerah. “Mulai malam ini,” bisiknya dengan suara rendah, “aku akan memastikan kau tidak pernah melupakan siapa dirimu. Kau istriku. Dan hanya aku yang berhak padamu.” Aku memejamkan mata, tubuhku bergetar. Saat bibirnya akhirnya menempel pada bibirku, aku tahu… api cemburu itu telah menyalakan sesuatu yang jauh lebih berbahaya di antara kami. ---Fajar perlahan muncul, menggantikan gelap malam yang penuh dengan air mata dan halusinasi. Aisyah berdiri di depan cermin, menatap bayangannya sendiri. Mata itu sembab karena menangis semalaman, tapi ada cahaya lain yang muncul—cahaya keyakinan. Rindu pada Arga yang semalam menjelma jadi halusinasi intim, kini berubah jadi bara yang membakar semangat. “Hari ini bukan hanya tentangku,” gumamnya pelan, “tapi tentang dia, tentang kebenaran, tentang semua yang mereka injak.”Ia mengenakan jas berwarna hitam, sederhana namun elegan. Setiap kancing yang ia rapatkan seolah menjadi simbol tekadnya. Tangannya sempat gemetar, mengingat kembali pelukan semu Arga yang masih terasa hangat, tapi ia genggam erat jemari sendiri, menahan getar itu agar berubah jadi keberanian.Ketukan terdengar di pintu. Reyhan masuk dengan wajah cemas membawa tumpukan dokumen. “Aisyah, media sudah memanas. Mereka menunggu kedatanganmu. Dan kabar terakhir, pihak lawan menambah serangan—mereka menye
Malam merambat perlahan, membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Hujan sudah berhenti sejak beberapa jam lalu, tapi suara tetesan air dari atap masih terdengar jelas di luar jendela. Di dalam ruang kerja yang kini lebih mirip markas perang daripada rumah, Aisyah duduk dengan tubuh lelah namun mata tetap terbuka lebar. Di depannya tergeletak puluhan lembar catatan, draft pidato yang ia tulis, coret, lalu tulis ulang lagi seolah tak pernah ada yang sempurna. Lampu meja menyinari wajahnya yang pucat, memperlihatkan lingkar hitam di bawah mata akibat kurang tidur, tapi tatapan itu sama sekali tidak redup. Tatapan itu justru dipenuhi dengan api, api yang lahir dari rindu sekaligus amarah.Ia menunduk, menuliskan ulang kalimat pembuka pidatonya. Pulpen bergetar di jarinya, bukan karena ia tidak yakin, tapi karena tubuhnya sudah terlalu lama dipaksa bekerja. “Aku berdiri di sini bukan hanya sebagai seorang istri…” ia berhenti, menatap kosong ke arah kertas, lalu menarik
Pagi itu udara terasa berat, seolah kota menahan napas. Langit mendung meski hujan semalam sudah reda, dan di rumah Aisyah suasana tidak kalah menegangkan. Ruang kerjanya berubah jadi pusat komando penuh layar menyala, map dokumen, ponsel yang terus berdering, dan tim kecil yang bergerak cepat di balik meja. Aisyah duduk di kursi dengan tubuh lelah tapi mata menyala, jemarinya mengetik cepat, sesekali memberi instruksi singkat namun tegas pada Reyhan yang duduk di seberang. “Pastikan semua berkas masuk ke arsip digital. Jangan ada satu pun yang hilang, apalagi bocor,” ujarnya, tanpa menoleh.Reyhan mengangguk, lalu menyerahkan laporan cetak dengan wajah serius. “Kabar bagus, Aisyah. Bank internasional resmi membekukan aset sementara. Semua rekening yang dipakai Rania untuk mengalirkan uang gelap ditahan. Mereka panik sekarang.” Aisyah menatap dokumen itu lama, lalu menarik napas dalam-dalam. “Kalau begitu, waktunya kita buka gelombang serangan kedua.” Ia berdiri, menyalakan
Malam itu hujan deras menghantam atap rumah, suara gemuruhnya bercampur dengan derit pohon yang ditiup angin kencang. Di ruang kerja yang lampunya hanya satu, Aisyah duduk dengan punggung menegang, wajahnya pucat karena kurang tidur, tapi matanya menyala penuh api. Di depannya papan tulis besar sudah penuh dengan coretan garis merah, panah-panah yang saling bertaut, dan nama-nama pejabat serta pengusaha yang selama ini jadi aktor di balik jerat kasus Arga. Tumpukan dokumen bertaburan di meja, sebagian sudah disusun ke dalam map dengan label berbeda, sebagian masih berupa kertas berserakan dengan catatan tangan tergesa-gesa. Suasana ruangan itu bukan lagi rumah seorang wanita biasa, melainkan markas perang seorang pemimpin yang sedang melawan sistem besar yang ingin menelannya.Rasa rindu pada Arga menyerang di setiap detik hening. Aisyah memejamkan mata sejenak, dan di balik kelopak itu ia kembali melihat bayangan suaminya. Arga duduk di lantai sel dengan tubuh penuh memar,
Pagi itu kota terasa berbeda: angin membelai bangunan-bangunan tinggi sambil membawa getar yang merata ke media, jejaring sosial, bahkan ruang-ruang rapat pejabat. Di markas kecil mereka, Aisyah duduk di depan layar besar, dikelilingi Reyhan, dua pengacara, dan beberapa wartawan independen yang bisa dipercaya. Di layar tergambar peta aliran dana yang baru saja selesai disusun—bukan hanya sekadar angka, melainkan bukti berlapis: screenshot transfer, metadata tanda tangan digital yang telah dianalisis ulang, korespondensi email yang menunjukkan instruksi, daftar rekening cangkang beserta pemilik nominal fiktif, dan—yang paling menodai—salinan kontrak yang memperlihatkan keterlibatan pejabat tinggi yang selama ini menjaga pintu bagi Rania. Semua bukti itu disusun rapi menjadi satu paket rinci dengan narasi hukum dan kronologi kejadian, disertai rujukan ke file forensik yang sudah diverifikasi oleh tim luar negeri. Aisyah menatap dokumen itu lama; ada letupan lega yang tak disangka: ini bu
Fajar menyingsing di atas gedung tahanan, sinar matahari masuk dari jendela kecil berjeruji, memantul di dinding lembap. Arga duduk bersila di ranjang besi, matanya terpejam, napasnya teratur, meski tubuhnya penuh luka memar. Ia tidak sedang tidur, melainkan menyusun strategi di kepalanya. Setiap langkah, setiap celah, ia hitung dengan teliti. Kata napi semalam masih terngiang: dokumen kontrak ilegal, pejabat tinggi, brankas rahasia. Itu bukan sekadar gosip. Itu bisa jadi senjata pamungkas.Ketika pintu sel terbuka untuk jatah makan, Arga diam-diam menyelipkan secarik kertas kecil ke bawah piring, tulisan kode yang samar. Itu akan sampai ke Reyhan melalui jaringan yang ia bangun. Ia tahu waktu mereka tidak banyak, tapi satu langkah kecil bisa menjadi awal badai besar.Sementara itu, di luar, Aisyah menghadapi hari berat. Media lokal menyerangnya dengan berita fitnah, tapi media internasional justru mengangkatnya sebagai ikon perlawanan. “Wanita yang Tidak Gentar.”—