Beranda / Romansa / Malam Pertama dengan Dosenku / 19. Kita Lihat Saja Nanti

Share

19. Kita Lihat Saja Nanti

Penulis: Nia Kannia
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-01 20:47:09
"Apa yang sudah dilakukan Kinan sama kamu, Al?"

Aku menggeleng. Menahan perasaan yang tak kusuka kembali hadir. Aku benci mengingat bayangan buruk yang terjadi di masa lalu. Namun, aku memang harus jujur, 'kan?

"Saya enggak yakin Pak Kaivan akan percaya kalau saya jujur?" ucapku akhirnya.

"Alya, kamu ...." Mama bersuara membuat mataku beralih dari Pak Kaivan. Dia setengah tertawa dan menatapku tak percaya. Sementara aku masih menunggu dia melanjutkan ucapannya.

"Kamu masih panggil Kaivan 'Pak'?" Wanita paruh baya itu melanjutkan.

Kehabisan kata, meski aku sedikit bersyukur karena tidak perlu menceritakan tentang Bu Kinan untuk sekarang.

Aku mengalihkan pandangan pada pria di dekatku. Dia hanya mengulum senyum sambil menaikkan alisnya. Sepertinya dia sengaja tidak ingin membantuku.

Aku beralih pada Mama. "Mama, 'kan tahu gimana pernikahan ini terjadi dan terjalani, Ma. Jadi–"

"Alya," seru mereka bersamaan. Kedua ibu dan anak itu menatapku dengan pandangan yang tak kume
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Luka yang Belum Sembuh

    Kaivan masih terduduk di sofa ketika akhirnya Alya keluar dari kamar. Napasnya masih belum teratur sepenuhnya. Ia menoleh ketika pintu yang baru saja tertutup kembali menimbulkan bunyi. Beberapa saat yang lalu, untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar menyelesaikan sesuatu yang belum selama berani ia selesaikan. Melepas Aira. Namun, sekarang yang tersisa hanya keheningan dalam diri. Melepaskan Aira, bukan berarti bisa membuat Alya kembali begitu saja.Tangannya bergetar menekan tongkatnya ke lantai. Ia menggenggam erat tongkatnya, lalu bersandar lebih dalam di sofa. Kaivan menutup mata sebentar, menenangkan dirinya dari gejolak emosi barusan. Mencoba memahami perasaan yang kini benar-benar dilanda sepi. Langkah kaki ringan terdengar mendekat. Perlahan. Kaivan membuka mata.Alya kembali masuk dengam membawa nampan berisi makan siang yang tadi Kaivan pesan. Pria itu mencuba tersenyum untuk menyambut kedatangan sang istri kembali. Namun, Alya tak membalas segaris pun. Dingin. Berla

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Menyesalkah Kaivan?

    Azzam yang tengah menoleh ke sekeliling, berhenti pada tuspin panjang di jilbab sang istri. "Sayang, pinjam tuspinmu sebentar, ya." Azzam menunjuk dengan matanya. Rahma mengangguk meskipun itu adalah tuspin kesayangannya yang ia beli saat liburan ke Turki. "Awas, jangan rusak ya. Mas tanggung jawab kalau rusak. Kamu tahu kan ini aku belinya di mana?" Azzam tersenyum. "Iya, kalau perlu setelah masalah ini selesai, kita ke Turki lagi." Azzam mulai menunduk fokus menatap lubang kunci, lalu memasukkan tuspin itu ke sana. Beberapa saat kemudian terdengar kerincing dari dalam. Dengan gerakan cepat Azzam kembali memasukkan kunci dan memutarnya. Klik! Akhirnya pintu terbuka. Azzam mendorong daun pintu itu cepat, disusul Rahma dan Alya yang masuk bersamaan. Mata Alya langsung menyapu ruangan, lalu terhenti pada sosok Kaivan yang terduduk di lantai. Tubuh pria itu terlihat gemetar, dengan napas tidak beraturan. Tongkatnya tergeletak beberapa senti dari tangan. Di sampingnya, Aira be

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Pertanyaan Aira

    "Aku kangen, Om. Sebentar aja," ucap Aira pelan. "Untuk terakhir kalinya." Kaivan menggeleng lagi. "Pergi Ai." Kaivan mencoba bangkit dari sofa, tetapi tubuhnya masih terlalu lemah. Ia bersandar kembali, wajahnya mengeras. Bergeser menjauh lagi pun ia tidak mampu. Posisinya sudah di ujung. "Gak ... seharusnya ka .... mu nggak di sini," ucapnya lambat, nadanya tajam meski terengah. "Kenapa kamu—" "Aku cuma pengin pastiin Om baik-baik aja." Aira mendekat lagi. “Biar seperti ini aja, Om. Aku janji nggak lama. Aku cuma .... aku sedih lihat Om seperti ini. Maaf, aku ...." Aira menggapai pipi Kaivan dengan tangannya. Ia tak bisa melanjutkan. Matanya mulai berembun, sedikit membasahi kemeja Kaivan Kaivan memejamkan mata, sekuat tenaga ia mendorong tubuh Aira untuk menjauh darinya. Namun, Aira melawan. Ketika tubuh mereka berjarak, Kaivan mengumpulkan tenaga untuk berdiri. Tubuhnya kini benar-benar rapuh, tak sekokoh dulu. Saat berhasil berdiri dan menjauh dari sofa, lututnya

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Tamu Tak Diundang

    Satu jam yang lalu.Aira membuka handel pintu setelah wanita yang dalam tiga hari terakhir itu rutin menemuinya untuk mengajak mengobrol.Sama seperti dua hari sebelumnya, pintu sepeda sengaja tidak dikunci. Sebenarnya Aira hanya ingin menuntaskan rasa penasarannya saja—di mana dirinya berada sekarang. Aira mulai menuruni tangga perlahan dengan langkah mengendap-endap. Tidak ada siapa pun setelah sampai di bawah. Aira berhenti ketika sampai di sebuah ruangan yang sepertinya ruang keluarga. Pandangannya terpaku pada figura besar yang tergantung di ruangan itu. Wajah-wajah yang ia kenal ada di sana. Azzam, Lysandra, Rayyan, beberapa orang lainnya ia belum mengenalnya. Satu lagi, wanita paruh baya di samping Azzam pernah menemuinya di kamar asing itu.Aira menoleh ketika samar-samar mendengar orang sedang mengobrol. Aira melangkah pelan mendekati sumber suara yang ternyaman dari arah ruang makan."Mas Kai udah pulang dari rumah sakit, Mas?"“Udah, kemarin." Azzam menghela napas pelan.

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Antara Kail dan Perasaan

    Suara pintu terbuka lembut, seperti sebelumnya. Cahaya dari luar membentuk siluet pada dinding. Aira duduk di pojok matras, kali ini tidak langsung berdiri atau memaki. Rambutnya sudah sedikit lebih rapi, meski tetap tampak lesu. Wajahnya juga tak lagi menegang seperti hari-hari awal. Namun, mata bulatnya masih waspada. Perempuan yang sama kemarin kembali masuk, membawa buku catatannya dan secangkir air putih. Perempuan itu kembali duduk di kursi lipatnya. Mereka diam cukup lama. Namun, diam itu tidak menciptakan tekanan. Justru seperti … ruang untuk bernapas. “Kemarin kamu nanya, apa yang bikin aku bahagia terakhir kali. Aku mikir,” kata Aira tiba-tiba. Perempuan itu tidak menoleh cepat, hanya mengangkat kepalanya pelan—menunggu. “Aku ingat waktu aku akhirnya bisa bawa Rava pulang dari panti, tanpa rasa takut atau khawatir dihujat atau seseorang mencari masa laluku. Dan, hari itu ngerasa kayak hidupku paling kompit.” Aira menggigit bibir bawahnya. “Aku ngerasa dibutuhkan dan d

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Pemulihan dan Harapan

    Aira langsung berdiri, penuh kewaspadaan. “Siapa kamu?”Wanita itu tak menjawab. Ia menutup pintu denger sangat perlahan, lalu berjalan mendekat sambil membuka buku catatannya. Sepatu flats-nya menjejak lantai dengan suara nyaris tak terdengar.“Aku cuma mau ngobrol sama kamu, Aira,” ucapnya tenang, seraya menarik kursi lipat dari balik pintu dan meletakkannya di dekat matras tempat Aira tidur.“Aku gak butuh ngobrol. Aku cuma butuh keluar dari sini!” bentak Aira. Suara yang diciptakan pita suaranya cukup serak. Mata Aira merah dan terlihat lelah. Wajahnya tampak makin kurus dibandingkan hari pertama ia masuk ke ruangan ini.Wanita itu hanya duduk dan menatap Aira. Tanpa ekspresi takut. Terlihat sama sekali tidak tersinggung dengan sikap Aira. Juga tanpa penghakiman.“Bagaimana rasanya tidur di lantai dingin seperti ini?” tanyanya pelan.Aira berkedip, tubuhnya refleks mundur. “Apa maksudmu?”“Tubuhmu terasa pegal, ‘kan? Sulit tidur, bahkan sulit percaya kapan waktu akan berubah. Tid

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status