Malam sudah nyaris menjemput larut. Semua penghuni sudah kembali ke kamar masing-masing. Kecuali Alya yang masih betah berdi diri di taman kecil sisi kiri rumput. Hanya ada satu lampu taman kecil yang menyala redup yang menjadi temannya. Menerangi sebagian permukaan air kolam yang dulu dibuat Kaivan.Alya duduk di bangku kayu itu, masih dengan cardigan tipis menyelimuti tubuhnya. Udara malam tak begitu dingin, tetapi hatinya masih terasa begitu dingin. Gemuruh di dalam dadanya masih enggan reda.Tangannya menggenggam sesuatu—kotak kecil dari kayu tua. Sudah bertahun-tahun tidak ia buka. Namun, malam ini entah kenapa langkah kakinya membawanya ke laci tempat benda itu disimpan.Ia membukanya perlahan. Di dalamnya ada lipatan kertas dari sepucuk surat lama yang ia tulis untuk Kaivan dulu ketika memutuskan pergi dari rumah—dan berujung tragedi penusukan pada Kaivan di kamar kostnya. Alya tidak membuka surat itu. Namun, ia membuka satu surat lagi. Surat balasan yang ditulis Kaivan setel
Kaivan masih terduduk di sofa ketika akhirnya Alya keluar dari kamar. Napasnya masih belum teratur sepenuhnya. Ia menoleh ketika pintu yang baru saja tertutup kembali menimbulkan bunyi. Beberapa saat yang lalu, untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar menyelesaikan sesuatu yang belum selama berani ia selesaikan. Melepas Aira. Namun, sekarang yang tersisa hanya keheningan dalam diri. Melepaskan Aira, bukan berarti bisa membuat Alya kembali begitu saja.Tangannya bergetar menekan tongkatnya ke lantai. Ia menggenggam erat tongkatnya, lalu bersandar lebih dalam di sofa. Kaivan menutup mata sebentar, menenangkan dirinya dari gejolak emosi barusan. Mencoba memahami perasaan yang kini benar-benar dilanda sepi. Langkah kaki ringan terdengar mendekat. Perlahan. Kaivan membuka mata.Alya kembali masuk dengam membawa nampan berisi makan siang yang tadi Kaivan pesan. Pria itu mencuba tersenyum untuk menyambut kedatangan sang istri kembali. Namun, Alya tak membalas segaris pun. Dingin. Berla
Azzam yang tengah menoleh ke sekeliling, berhenti pada tuspin panjang di jilbab sang istri. "Sayang, pinjam tuspinmu sebentar, ya." Azzam menunjuk dengan matanya. Rahma mengangguk meskipun itu adalah tuspin kesayangannya yang ia beli saat liburan ke Turki. "Awas, jangan rusak ya. Mas tanggung jawab kalau rusak. Kamu tahu kan ini aku belinya di mana?" Azzam tersenyum. "Iya, kalau perlu setelah masalah ini selesai, kita ke Turki lagi." Azzam mulai menunduk fokus menatap lubang kunci, lalu memasukkan tuspin itu ke sana. Beberapa saat kemudian terdengar kerincing dari dalam. Dengan gerakan cepat Azzam kembali memasukkan kunci dan memutarnya. Klik! Akhirnya pintu terbuka. Azzam mendorong daun pintu itu cepat, disusul Rahma dan Alya yang masuk bersamaan. Mata Alya langsung menyapu ruangan, lalu terhenti pada sosok Kaivan yang terduduk di lantai. Tubuh pria itu terlihat gemetar, dengan napas tidak beraturan. Tongkatnya tergeletak beberapa senti dari tangan. Di sampingnya, Aira be
"Aku kangen, Om. Sebentar aja," ucap Aira pelan. "Untuk terakhir kalinya." Kaivan menggeleng lagi. "Pergi Ai." Kaivan mencoba bangkit dari sofa, tetapi tubuhnya masih terlalu lemah. Ia bersandar kembali, wajahnya mengeras. Bergeser menjauh lagi pun ia tidak mampu. Posisinya sudah di ujung. "Gak ... seharusnya ka .... mu nggak di sini," ucapnya lambat, nadanya tajam meski terengah. "Kenapa kamu—" "Aku cuma pengin pastiin Om baik-baik aja." Aira mendekat lagi. “Biar seperti ini aja, Om. Aku janji nggak lama. Aku cuma .... aku sedih lihat Om seperti ini. Maaf, aku ...." Aira menggapai pipi Kaivan dengan tangannya. Ia tak bisa melanjutkan. Matanya mulai berembun, sedikit membasahi kemeja Kaivan Kaivan memejamkan mata, sekuat tenaga ia mendorong tubuh Aira untuk menjauh darinya. Namun, Aira melawan. Ketika tubuh mereka berjarak, Kaivan mengumpulkan tenaga untuk berdiri. Tubuhnya kini benar-benar rapuh, tak sekokoh dulu. Saat berhasil berdiri dan menjauh dari sofa, lututnya
Satu jam yang lalu.Aira membuka handel pintu setelah wanita yang dalam tiga hari terakhir itu rutin menemuinya untuk mengajak mengobrol.Sama seperti dua hari sebelumnya, pintu sepeda sengaja tidak dikunci. Sebenarnya Aira hanya ingin menuntaskan rasa penasarannya saja—di mana dirinya berada sekarang. Aira mulai menuruni tangga perlahan dengan langkah mengendap-endap. Tidak ada siapa pun setelah sampai di bawah. Aira berhenti ketika sampai di sebuah ruangan yang sepertinya ruang keluarga. Pandangannya terpaku pada figura besar yang tergantung di ruangan itu. Wajah-wajah yang ia kenal ada di sana. Azzam, Lysandra, Rayyan, beberapa orang lainnya ia belum mengenalnya. Satu lagi, wanita paruh baya di samping Azzam pernah menemuinya di kamar asing itu.Aira menoleh ketika samar-samar mendengar orang sedang mengobrol. Aira melangkah pelan mendekati sumber suara yang ternyaman dari arah ruang makan."Mas Kai udah pulang dari rumah sakit, Mas?"“Udah, kemarin." Azzam menghela napas pelan.
Suara pintu terbuka lembut, seperti sebelumnya. Cahaya dari luar membentuk siluet pada dinding. Aira duduk di pojok matras, kali ini tidak langsung berdiri atau memaki. Rambutnya sudah sedikit lebih rapi, meski tetap tampak lesu. Wajahnya juga tak lagi menegang seperti hari-hari awal. Namun, mata bulatnya masih waspada. Perempuan yang sama kemarin kembali masuk, membawa buku catatannya dan secangkir air putih. Perempuan itu kembali duduk di kursi lipatnya. Mereka diam cukup lama. Namun, diam itu tidak menciptakan tekanan. Justru seperti … ruang untuk bernapas. “Kemarin kamu nanya, apa yang bikin aku bahagia terakhir kali. Aku mikir,” kata Aira tiba-tiba. Perempuan itu tidak menoleh cepat, hanya mengangkat kepalanya pelan—menunggu. “Aku ingat waktu aku akhirnya bisa bawa Rava pulang dari panti, tanpa rasa takut atau khawatir dihujat atau seseorang mencari masa laluku. Dan, hari itu ngerasa kayak hidupku paling kompit.” Aira menggigit bibir bawahnya. “Aku ngerasa dibutuhkan dan d