Pagi itu kamar Lysandra makin sepi. Tak ada aroma maskulin ciri khas Rayyan yang menyambutnya setiap hari.Tidak juga tak ada notifikasi pesan masuk dari sang. Layar ponsel Lysandra tetap kosong—seperti malam sebelumnya, seperti pagi kemarin.Ia menatap layar itu cukup lama. Bahkan tak sadar kalau jari-jarinya sudah mengetik, lalu menghapus kalimat-kalimat pendek.Lysandra memejamkan mata. “fokus, Ly?” gumamnya pelan. "Sekarang belum saatnya."Akan tetapi, hatinya berkata lain. Tubuhnya saja yang di rumah, angannya memikirkan Rayyan yang sedang jauh di mata.Ia bangkit dari tempat tidur dan menuju kamar mandi. Setelah bersiap, ia turun ke dapur. Rahma tengah sibuk di meja makan, memotong buah.“Kamu gak sarapan, Ly?” tanya ibunya sambil menatap sepintas.“Sudah, tadi,” jawab Lysandra cepat, meski sebenarnya belum.Rahma mengangguk tipis. Dia menyerahkan kotak plastik kecil berisi dokumen yang sempat dibawa Rayyan beberapa hari lalu, ia berkata, “Kalau mau ke kantor Rayyan, bilang aja.
“Dengan begitu kamu gak perlu berpura-pura lagi di hadapan orang tua kamu," lanjut Rayyan sambil menatap wanita di sampingnya. Tidak begitu dekat, tetapi tidak juga jauh.Lysandra masih bergeming dengan novel terbuka di tangannya. Tapi sejak sepuluh menit lalu, halaman itu belum juga dibalik. Matanya memang tertuju ke arah teks, tapi jari-jarinya menggenggam pinggir buku terlalu kaku. Rayyan tahu, perempuan itu tidak sedang membaca.Ia menarik napas, lalu menunduk sebentar sebelum membuka suara."Aku tahu, aku banyak salah. Dan, kalau menurut kamu aku gak layak dapat maafmu, gak apa-apa, Ly. Tapi aku cuma mau kamu tahu … aku gak pernah berhenti nyesel.” ucap Rayyan merendah. Mungkin sudah saatnya untuk dia tahu diri.Lysandra tidak langsung menanggapi. Namun, Rayyan bisa melihat tubuhnya menegang. Halus, tetapi cukup nyata.Masih tak ada balasan. Hanya kesunyian yang menggantung seperti kabut malam di antara mereka.Rayyan bangkit pelan. Ia menutup cangkir yang tadi ia buatkan untuk
Pagi hari, Rayyan baru sampai di kantor dibuat terkejut saat mendapati seseorang menunggu di ruangan kerjanya.Rayyan kemudian mengulas senyum dan menghampiri pria yang duduk di sofa itu."Mas Rendra, tumben pagi-pagi. Apa ada masalah dengan proyek?" tanya Rayyan kemudian duduk di sofa tunggal sambil melepas kancing jasnya.Rendra menggeleng. "Enggak, ini bukan masalah kerjaan," ucap Rendra pelan. Tatapannya sedikit tajam mengunci. "Sebenarnya aku ingin tanya ini tadi malam, tapi gak dapat waktu yang tepat." Rendra menarik napas panjang, lalu menatap lurus. “Beberapa hari lalu, aku lihat kamu sama Aira di mobil.”Hati Rayyan seperti mencelos. Dia kemudian mengangguk dan menyandarkan punggung pada sofa."Ya, Mas Rendra gak salah lihat. Itu memang Aira." Rayyan menunduk. "Aku harap kamu tidak mengecewakan adikku, Ray. Aku gak bisa bayangin gimana patah hatinya Lysandra jika sampai itu terjadi. Dan, yang pasti aku gak akan tinggal diam." Rendra menambahkan. Suara itu menggambarkan sesu
“Ehmmm, Mas Ray … pergi ke … ehmm, ternyata Mas Ray di …” Semua mata memaku pada Lysandra. Waktu seolah melambat, bahkan suara detik jam di dinding terdengar lebih nyaring untuk beberapa saat. Lysandra menarik napas pelan. “Mas Ray … ternyata ketiduran di ruang kerja.” Beberapa saat ruang makan hening. Tak lama kemudian, Rendra tertawa kecil. “Ya ampun Ray, sampai dicari-cari, ternyata cuma ketiduran.” Rendra menepuk bahu sang ipar. Rayyan hanya tersenyum kikuk. Sesekali ia melirik Lysandra yang menunduk sambil sibuk menyendok makanan. Azzam menimpali sambil mengangkat gelas, “Maklum, sekarang kamu ngerasain apa yang Papa rasain. Sibuk ngurus perusahaan, ga cuma di kantor, sampe di rumah masih ngurus kerjaan. Sekali duduk bisa lupa waktu. Belum lagi sampe rumah masih dicurigai istri." Azzam melirik Rahma di sebelahnya. Semua tertawa menyambut cerita Azzam. Tak terkecuali Rayyan, walau sedikit kaku. Rahma mengangguk, ikut tertawa pelan. Suasana mencair. Makan malam
Di meja makan, suasana tampak normal. Rayyan duduk di sebelah Lysandra, dengan Azzam dan Rahma di seberangnya. Obrolan ringan mengisi meja makan—tentang cucu tetangga, kabar sepupu di luar kota, hingga sayur asem buatan Rahma yang katanya makin enak. Rayyan menilai, ada saja cara papa mertuanya memuji sang istri.Ngomong-ngomong sebenarnya mereka belum mulai makan, karena masih ada yang ditunggu. Namun, Azzam sudah mencicipi sayur asam buatan istrinya. “Ini sambelnya buatan Mama dari tampilannya pasti enak banget, ga sabar pengin nyicipnya," ucap Rayyan sambil menatap sambal matah di hadapannya. "Tapi maaf nih, Ma, kayaknya sambel buatan Ly tetap masih nomor satu,” lanjut Rayyan, mencoba mencairkan suasana, kemudian melirik istrinya.Lysandra hanya menunduk sambil menyeruput air putih. Namun, ia tidak pergi. Tidak diam total. Ia tetap menanggapi, walau sekadarnya. Itu sudah cukup untuk menumbuhkan secuil harapan dalam hati Rayyan."Laki-laki di mana pun sama aja. Kalau muji pasti ada
"Oya, tadi pas di parkiran aku mau pulang ke sini, Aira datang lagi." Akhirnya Rayyan memilih jujur.Lysandra merasa jantungnya berdetak lebih kencang. "Aku bahkan gak habis pikir, gimana dulu aku bisa jatuh cinta pada manusia selicik dia?" Rayyan menambahi."Dia ngancam mau nyebarin ke sosmed foto colongan waktu aku dalam pengaruh obat tidur yang dia kasih. Siapa pun yang lihat pasti akan berpikir negatif." Rayyan mulai bercerita. Ada nada kepasrahan di sana. "Aku gak peduli dengan pemikiran orang lain, Ly. Yang paling aku takutkan adalah kamu. Aku takut aku kehilangan kepercayaanmu." Rayyan mengeratkan pelukannya. Detik berikutnya, Rayyan merasakan tangan Lysandra menarik kemeja bagian belakangnya. Namun, itu hanya beberapa detik. Karena setelah itu Lysandra terkesan buru-buru melepas.***Suara spatula beradu dengan panci terdengar dari dapur. Ternyata Azzam tengah sibuk di dapur. Azzam terlihat sedang mengaduk sesuatu di panci."Ternyata Papa demen di dapur juga?" celetuk Rayya