Home / Romansa / Malam Pertama dengan Dosenku / Tak Bisa Menyimpan Sendiri

Share

Tak Bisa Menyimpan Sendiri

Author: Nia Kannia
last update Last Updated: 2025-03-28 21:16:53

"Ibu tahu ....?"

Pria itu mengangguk. Seketika membuatku menghela napas panjang.

“Saya nggak bisa menyimpan sendirian, Al. Ibu yang menjadi tempat saya berbagi semuanya, bahkan melebihi mama saya sendiri.”

Suaranya lebih terdengar seperti keluhan.

Apa tadi dia baru saja memberitahu hal pribadinya padaku?

“Ya udah kamu mau makan ap—"

Dering ponsel memotong ucapan pria itu.

“Itu pasti Bu Kinan. Pak Kaivan pulang aja, saya udah nggak apa-apa.” Ucapanku tidak sepenuhnya bohong, karena aku memang sudah lebih baik.

Aku bahkan merasa tidak nyaman berada dalam situasi ini. Rasa mual pun sudah mulai berkurang. Hanya kepala saja yang kini terasa pusing, juga perut yang kembali terasa lapar.

Drama mual-mual hari ini akhirnya berakhir, setelah aku memakan sate madura gerobak yang kata Pak Kaivan mangkal tidak jauh dari rumah. Sebelumnya aku sudah mencoba memakan-makanan yang ada di rumah, tetapi terasa sia-sia setelah aku menelannya. Akhirnya pria itu pergi setelah lewat jam sepuluh malam.

****

Sejak mengantarku ke rumah ini malam itu, aku tidak pernah lagi melihat Pak Kaivan datang. Hari ini lewat satu bulan. Belum ada tanda-tanda pria itu ke sini.

Tidak begitu masalah, sih. Aku masih punya Bu Rumi sebagai teman mengobrol dan teman melakukan segala hal.

Sebisa mungkin menikmati waktu-waktu yang harus kulalui. Jika dibayangkan memang berat, tetapi aku mencoba melewati dengan terus menganfirmasi energi kebahagiaan dalam diri.

Ternyata Ibu asuh Pak Kaivan itu baik sekali. Perlakuanyya padaku seperti ibuku sendiri. Aku tidak pernah kesepian karenanya.

Aku memang meliburkan kegiatan rutinitasku sebelum pernikahan. Kegiatan kampus kutinggalkan untuk sementara. Entah sampai kapan. Apakah nanti bisa lanjut atau tidak, aku belum tahu dan belum bisa memutuskan. Aku tidak ingin perubahan fisikku diketahui teman-teman seperjuanganku. Aku bahkan mulai menutup komunikasi dengan teman-teman kuliah. Semua pesan chat yang masuk menanyakan kabar kujawab seperlunya. Sebisa mungkin menghindari untuk memoles fakta dengan sedikit kebohongan.

Aku tengah asyik tenggelam membaca novel romance saat samar-samar kudengar suara orang mengobrol di luar. Pintu kamarku memang tidak tertutup rapat.

"Ibu ndak nyangka kamu tega seperti ini sama dia?" Itu suara Bu Rumi.

Aku bangkit dari ranjang tempat aku duduk, kemudian melangkah pelan ke arah pintu dan keluar. Memastikan jika teman mengobrol Ibu adalah orang yang ada di pikiranku.

"Bukannya kamu bilang dia nggak salah? Terus kenapa kamu biarkan dia menanggung sendiri kesalahanmu?" Suara Bu Rumi sedikit meninggi. "Kalau Ibu tidak memintamu datang, apa kamu akan membiarkannya sendiri sampai dia melahirkan?"

Sekarang aku bisa melihat punggung lawan bicara Ibu. Dia sedang duduk menghadap meja makan. Bukan sedang menikmati jamuan makan siang, tetapi menampung wejangan dari Ibu.

Masih dari kejauhan aku bisa mencium aroma khas yang tak pernah berubah.

Pria itu menunduk tanpa suara. Dia yang juga biasa mengoceh pada tiap mahasiswa yang melalaikan tugas, kini seakan tak berkutik menerima kuliah khusus dari ibu asuhnya itu.

Aku baru tahu, jika wanita paruh baya itu bisa cerewet juga. Dia baru berhenti berbicara setelah tanpa sengaja pandangannya menangkap sosokku yang berdiri mematung.

Pak Kaivan yang tadi memunggungiku kini menoleh. Wajah pria itu tetap dingin, datar seperti biasa.

Dia kemudian berdiri menatapku dari kejauhan. Aku memilih membuang pandangan ke lantai daripada harus beradu tatap dengannya.

Dengan langkah gontai aku mulai melangkah mendekat pada mereka. Namun, Ibu meninggalkan kami begitu aku sampai di sana. Mungkin ingin membiarkan kami bicara berdua.

"Gimana kabar kamu, Al." Pertanyaan itu terdengar kaku. Seperti jauh dari kepribadian Pak Kaivan yang kukenal selama ini.

"Seperti yang Bapak lihat, saya baik," ucapku datar tanpa menatap lawan bicara.

Dia menarik salah satu kursi, memintaku duduk di sana. Aku pun menurut.

"Maafkan saya, baru sempat mengunjungi kamu hari ini." Dia berbicara setelah aku duduk.

"Saya hanya ...."

Aku melengos dan membuang muka untuk sesaat. tersenyum miring.

"Saya paham kok, Pak. Lagipula saya juga tidak pernah meminta Bapak untuk selalu mengunjungi saya." Aku mengucap datar. Sejak hari petaka itu dimulai, aku seakan tidak memiliki keinginan apa-apa lagi. Mimpi dan cita-cita seakan kandas begitu saja. Meski seharusnya aku bisa bangkit, tetapi entah kapan waktunya. Aku tidak tahu.

"Kita ke dokter hari ini. Periksa kandungan kamu." Dia berucap pelan.

"Minggu kemarin sudah kontrol kok diantar Ibu," jawabku singkat tanpa menatap padanya.

Sebisa mungkin aku menghindari kontak mata dan fisik dengannya.

Tidak bisa dipungkiri jika sejak hari pertama kami menikah, aku kerap merasakan gejolak yang aneh saat berdekatan dengan dirinya. Perasaan yang masih samar-samar itu lebih baik menghilang sebelum terlihat jelas.

"Tapi saya ingin lihat dia lewat usg. Boleh, 'kan?" Dia seperti memohon.

Aku memandangnya sesaat. Tatapan lemahnya membuatku sulit berkata tidak.

"Percuma, Pak. Belum kelihatan. Dia masih sangat kecil." Aku menunduk. Kuharap dia menyerah saja. Makin lama mungkin aku tidak akan bisa bertahan.

Aku berdiri seraya berkata, "Udahlah, Bapak pulang aja. Weekend begini seharusnya Bapak temani Bu Kinan liburan atau sekadar menghabiskan waktu di rumah." Aku merasa seperti ada yang mengiris pelan bongkahan merah di dalam sana. Sejak awal aku memang harus belajar merelakan. Lagi-lagi aku memang tidak boleh berharap apa pun dari pernikahan ini.

Aku memutar tubuh dan mulai melangkah untuk meninggalkannya. Namun, kalimat singkat darinya mampu memasung langkahku cukup lama.

"Tapi saya maunya sama kamu hari ini."

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Pertanyaan Lysandra

    Suasana kafe bagian depan mendadak berubah hening—seakan orang-orang di sekitar lupa bernapas. Kalimat itu ....“Karena dia... anak kandung Papa. Sama seperti kamu.”Udara mendadak terasa berat. Mata Aira membelalak, tubuhnya juga terasa kaku. Seolah-olah bagian dari dirinya berhenti bekerja. Napasnya tercekat, tenggorokan pun terasa mengering. Ia menatap Azzam sejenak—tak tahu harus berkata apa. Juga tidak tahu harus merasa seperti apa.Tubuhnya seakan tersedot ke dalam pusaran yang tak kasat mata. Kepalanya penuh. Dadanya sesak. Mirisnya tak ada satu kata pun yang lolos dari bibirnya. Entah itu berupa amarah atau pun sekadar tanya. Rasa di dalam hatinya kini sulit untuk diraba. Terasa begitu ambigu dan membingungkan. Ia ingin menganggap kalimat pria paruh baya itu hanyalah igauan belaka.Aira kemudian membalikkan tubuh dan segera mengais langkah cepat. Bukan berlari, tetapi cukup tegas. Ia lebih seperti seseorang yang butuh melarikan diri sebelum hatinya meledak.Azzam hanya bisa

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Pengakuan

    "Siapa sebenernya Pak Azzam ini? Kenapa seolah tahu segalanya tentang ibu saya?"Azzam bergeming lagi. Sikapnya tetap tenang. Setidaknya ia mampu menyembunyikan ketegangan dalam hatinya dengan wajah dan kalimat yang tenang.Aira memutuskan untuk berdiri, lalu memutar tubuh. Berniat meninggalkan Azzam begitu saja. Tak peduli akan bagaimana nasibnya. Ia sama sekali tidak takut dipecat karena bersikap tidak baik pada pimpinan. "Sahara!" Namun, suara itu mampu memutus langkahnya yang hampir saja masuk kembali ke dalam kafe. Perlahan ia menoleh."Sahara adalah nama kecilmu, bukan?" tebak Azzam dengan penuh keyakinan.Aira terdiam. Sekujur tubuhnya terasa dingin. Entah karena senja yang mulai turun, atau karena nama itu—nama yang seharusnya tak ada seorang asing pun tahu.Selain dari Kaivan, Azzam juga menggali informasi melalui orang-orang suruhannya."Siapa sebenarnya Pak Azzam ini? Kenapa seolah tahu segalanya tentang Ibu saya?" suara Aira seolah menggema ulang. Terdengar pecah, seten

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Seperti Tahu Segalanya

    Suasana di luar kafe perlahan meredup, disapu cahaya sore yang jatuh miring di trotoar. Aira berdiri beberapa langkah dari pintu, sementara pria itu—Azzam—berdiri diam di hadapannya. Tak ada pelanggan lain, hanya lalu-lalang kendaraan dan desau angin yang membawa suara klakson dari kejauhan."Sebentar saja?" Suara Azzam lemah. Bukan hanya suara, tetapi tatapannya juga. Aira menimbang. Tubuhnya ingin menolak, tetapi rasa penasarannya terlanjur merangkak masuk ke dadanya. Apa yang ingin dibicarakan pria paruh itu?Ia menoleh sebentar ke dalam, memastikan Galang tidak memperhatikannya, lalu mengangguk.“Silakan.”Mereka duduk di bangku kecil di sisi kanan kafe. Meja bundar aluminium bergetar sedikit saat Aira meletakkan ponsel di atasnya. Sebenarnya ia masih menunggu balasan pesan chat yang ia kirim sejak pagi, tetapi belum terbaca—apalagi balasan.Tangan wanita itu menyatu di pangkuan, sedang Azzam hanya menatapnya sebentar lalu menunduk.“Terima kasih. Ini mungkin terdengar aneh atau

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Tak Punya Pilihan

    ["Om, apa kita bisa ketemu?"] Kaivan membaca pesan chat di ponselnya. Dia kemudian meletakkan ponsel di meja makan, kemudian melanjutkan makan. ["Plis, Om. Ada hal penting yang mau aku tanyain. 🥺"] Alya yang berada di sebelahnya menoleh pada sang suami. "Kayaknya dia lagi butuh banget sama kamu, Mas." Alya berucap. "Biar saja, tugasku sudah selesai. Bair Azzam yang melanjutkan." "Memangnya Mas Azzam bakal bisa mengatakan semua gitu aja, Mas?" tanya Alya. Kaivan menatap istrinya. "Aku gak mau masuk lebih dalam lagi, Yang," desahnya lirih. Layar ponsel Kaivan menyala lagi. [Maaf, untuk apa yang terjadi beberapa waktu lalu, Om!] Alya menatap Kaivan bingung. "Cck.“ Pria paruh baya itu berdecak. "Baru baca chatnya aja kamu udah lihatin aku penuh kecurigaan lagi. Apalagi kalau aku temuin dia." Kaivan memandangi layar ponselnya. Jempolnya sempat bergerak untuk membalas, tetapi berhenti di tengah jalan. Ia kembali menaruh ponsel ke meja. Kembali ke nasinya yang sudah

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Bukan Pelanggan Biasa

    “Jelas aja gak asing, emang siapa yang gak kenal sama dia?”Suara itu muncul tiba-tiba dari arah samping kanan Aira, membuat tubuhnya refleks menoleh cepat.Ternyata itu suara Galang, manajer kafe yang memang dikenal muncul tanpa suara seperti hantu shift sore. Sudah dua minggu ini pria paruh baya itu makin sering berdiri dan terlalu dekat saat berbicara. Bukan mengganggu, tetapi cukup untuk membuat Aira tak nyaman."Maksud Pak Galang?" Aira bertanya dengan nada santai, meski alisnya sedikit terangkat.Galang menunjuk samar ke arah luar jendela, ke tempat seorang pria baru saja berjalan menjauh dari kafe. Sosok yang belakangan merasa Aira kenali, meski tak bisa menyebutkan dari mana.“Masa kamu gak kenal sih sama beliau?”Aira menggeleng, ekspresinya polos, tetapi tetap waspada. “Saya memang gak kenal, Pak.”Galang terkekeh, seperti mendapati sesuatu yang lucu. “Beliau tuh ... salah satu pendiri jaringan bisnis kuliner terbesar di kota ini. Kafe ini juga masih ada di bawah jaringan g

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Perbincangan Singkat

    Beberapa kali Azzam datang ke sana lagi. Ia memesan menu berbeda, duduk di meja yang berbeda, dan kadang berpura-pura jadi pelanggan tetap. Tapi tiap kali, reaksinya tetap sama. Aira tak pernah mengenalnya. Ah, memang apa yang ia harapkan? Berharap Aira akan mengenalnya sebagai ayah begitu saja. Azzam bahkan terlalu pengecut untuk menyapanya. Ia pun hanya bisa melihat dari balik meja. Menjadi bayangan yang tak terlihat.a Hingga hari itu. Kafe sepi. Pelanggan hanya dua orang di pojok dan satu yang baru saja pergi. Aira sedang merapikan buku catatan order ketika suara Azzam memanggil. “Hmm Dek.” Aira menoleh. “Iya, Pak?” “Kalau boleh tahu ... kamu asli mana?” Aira tampak bingung sejenak, lalu tersenyum sopan. “Saya dilahirkan di Medan, Pak. Tapi besar di Jakarta.“ “Oh ....” Azzam menunduk sebentar, lalu berkata, “Orang tua kamu masih ada?” Pertanyaan itu membuat ekspresi Aira sedikit berubah. Namun, ia cepat mengendalikannya. “Saya dibesarkan keluarga angkat. Orang tu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status