Share

Mendadak Mual

Auteur: Nia Kannia
last update Dernière mise à jour: 2025-03-21 09:07:47

Pria berambut lurus itu menarik tangannya kembali. Mungkin mengerti apa yang tengah kurasakan sekarang.

Pria itu kemudian lanjut makan. Jika aku tidak salah hitung, dia sudah nambah dua kali. Padahal tadi bilang hanya akan mencicip dan makan di rumah. Nyicip, 'kan biasanya sedikit, ini kenapa malah nambah dua kali?

Berbeda dengan aku sendiri yang baru makan tiga suap. Itu pun rasanya susah sekali menghabiskan makanan yang sudah masuk ke mulut. Entahlah, rasanya aneh sekali dengan masakan ini sebenarnya. Namun, aku merasa tidak enak hati pada Bu Rumi yang sudah susah payah memasak bila tidak memakannya.

Aroma kunyit yang berasal dari bumbu pepes ikan buatan Bu Rumi ini membuat perut terasa bergejolak. Namun, aku benar-benar tidak berani berkata jujur. Selain takut wanita paruh baya itu tersinggung, aku juga takut jika Bu Rumi tahu tentang kehamilanku. Bagaimana ini? Rasanya benar-benar membuatku mual. Beberapa hari ini rasa mual yang aneh itu memang kerap datang tiba-tiba. Namun, terakhir kali aku masih bisa menahan. Dan, kali ini rasanya yang paling parah. Aku benar-benar mual.

Aku memang sempat membaca, bahwa rasa mual pada kehamilan trimester pertama beberapa karena dipicu oleh aroma tertentu.

"Kamu kenapa, Al?" Lirih pria di sampingku bertanya.

Aku bergeming. Sekuat tenaga berusaha menahan gejolak ingin muntah.

“Nak Alya kenapa? Masakan Ibu nggak enak, ya?” tanya BuRumi pelan.

Aku menggeleng dengan cepat.

"Hmm, enak kok, Buk. Buktinya Pak Kaivan aja udah nambah dua kali."

Susah payah aku mengatakan ini dengan nada datar, sambil menahan mual. Kalian bisa bayangkan bagaimana rasanya.

“Astagfirullah. Ibu kok nggak ingatkan saya sih?” Pak Kaivan menyudahi makannya yang memang sudah habis. Hanya tinggal tulang ikan di piring sebelah yang memang Bu Rumi sediakan untuk menampung sisa tulang ikan. Ia terlihat mencuci tangannya dengan segera.

Kulihat senyum puas dari wanita paruh baya itu tanpa suara.

Tidak kuperhatikan lagi saat Pak Kaivan buru-buru pamit setelah minum segelas air.

Aku bahkan tidak mendengar apa pun lagi pesan yang dikatakan pria itu padaku sebelum mulai melangkah pergi. Mual di perut ini semakin parah, dan sekarang benar-benar tidak dapat ditahan lagi.

Aku pun bergegas bangun dari kursi dan berlari menuju wastafel di dapur yang terlihat dari meja makan.

Beruntung aku bisa sampai tepat waktu sebelum isi perut ini keluar semua. Sekarang aku tidak peduli lagi bagaimana Bu Rumi akan beranggapan.

Kurasakan pijatan lembut di tengkuk yang cukup membuatku nyaman. Tanpa melirik pun aku bisa tahu siapa orang itu. Aroma parfum maskulinnya sudah cukup kuhafal.

Susah payah aku menarik napas, kemudian mencuci mulut dan wajah setelah merasa puas.

Langkah buru-buru itu mendekat pada kami. Beberapa saat kemudian Pak Kaivan menyodorkan segelas air minum.

Aku meneguk habis isi gelas itu. Namun, hanya beberapa detik tinggal di perut. Ya, semua keluar lagi tanpa sisa.

Seketika aku merasa benar-benar tidak bertenaga. Beberapa saat kemudian tubuh ini terasa berat hingga membuatku susah payah menahan beban tubuh sendiri. Aku nyaris luruh ke lantai kalau tangan kekar itu menahan. Ya, Tuhan. Apa memang seberat ini perjuangan wanita hamil?

“Bawa duduk dulu, Nak.” Samar-samar kudengar Bu Rumi bersuara.

Beberapa detik kemudian, tubuhku terasa melayang ke udara. Ternyata Pak Kaivan mengangkat tubuh ini. Aku masih sadar, jadi tahu. Namun, tubuh ini memang seperti kehilangan tenaga.

Aku mendengar dering ponsel di kantongnya. Sepertinya sejak tadi sudah berulang-ulang.

“Ini, coba minum air hangat.” Suara Bu Rumi menyusul kami.

Aku sudah duduk bersandar pada sofa entah di ruangan mana. Mataku masih sulit terbuka.

Aku sedikit terkesiap saat kurasakan ada mengelap kening dengan tisu. Aku memang berkeringat. Mengeluarkan isi perut benar-benar menguras tenaga. Aku yakin itu bukan Bu Rumi. Aku bisa merasakan embusan napasnya yang ringan. Aroma parfum yang masih sama.

Bibir ini terasa bergetar. Embun hangat kurasakan mengalir di sudut mata.

“Maafkan saya, Alya.” Lirih suara itu mampir di pendengaranku. Entah maaf untuk kesalahan yang mana. Tiga kata yang cukup membuat hati ini seperti disiram air pegunungan.

Sedetik kemudian kurasakan sapuan kecil di pelipis yang basah.

“Sekarang coba minum lagi, ya," ucapnya pelan.

Aku membuka mata, segelas air sudah

berada di depan wajah.

Aku hanya berani meneguk sedikit, trauma. Beberapa detik, menunggu reaksi dari perut. Rasanya takut sekali. Saat merasa aman, aku kemudian minum lagi. Masih dari tangan Pak Kaivan.

“Sekarang gimana? Udah enakan atau kita perlu ke dokter?” Pak Kaivan bersuara lagi. Aku bisa menangkap nada kecemasan dari suara itu. Sesaat membuatku merasa seperti ada kupu-kupu terbang di perut. Ah, sempat-sempatnya perasaan aneh itu hadir di saat seperti ini.

“Nggak perlu, Pak. Saya sudah nggak apa-apa. Bapak pergi aja, kasihan Bu Kinan nungguin.”

Aku sungguh merasa sungkan sendiri. Dia sudah cukup lama menunda kepergiannya.

“Coba kasih makan yang lain, Nak. Siapa tahu, perut Alya nggak cocok sama makanan tadi.” Kali ini Bu Rumi menyahut. Ternyata beliau juga masih di sini.

“Biasanya ibu hamil memang suka pilih-pilih makanan, mungkin ada aroma makanan yang membuat Alya mual.”

Mendengar kalimat Bu Rumi, aku menoleh pada Pak Kaivan dengan kening berkerut. Perasaan tak nyaman di perut inu seakan berpindah ke hati, membuatku seketika tersadar. “Ibu tahu ...?”

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Related chapter

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Tak Bisa Menyimpan Sendiri

    "Ibu tahu ....?" Pria itu mengangguk. Seketika membuatku menghela napas panjang. “Saya nggak bisa menyimpan sendirian, Al. Ibu yang menjadi tempat saya berbagi semuanya, bahkan melebihi mama saya sendiri.”Suaranya lebih terdengar seperti keluhan. Apa tadi dia baru saja memberitahu hal pribadinya padaku?“Ya udah kamu mau makan ap—" Dering ponsel memotong ucapan pria itu.“Itu pasti Bu Kinan. Pak Kaivan pulang aja, saya udah nggak apa-apa.” Ucapanku tidak sepenuhnya bohong, karena aku memang sudah lebih baik. Aku bahkan merasa tidak nyaman berada dalam situasi ini. Rasa mual pun sudah mulai berkurang. Hanya kepala saja yang kini terasa pusing, juga perut yang kembali terasa lapar. Drama mual-mual hari ini akhirnya berakhir, setelah aku memakan sate madura gerobak yang kata Pak Kaivan mangkal tidak jauh dari rumah. Sebelumnya aku sudah mencoba memakan-makanan yang ada di rumah, tetapi terasa sia-sia setelah aku menelannya. Akhirnya pria itu pergi setelah lewat jam sepuluh malam.

    Dernière mise à jour : 2025-03-28
  • Malam Pertama dengan Dosenku   8. Jangan Bawa Dia Pergi

    Aku berbalik. "Jangan, Pak. Kasihan Bu Kinan kalau tahu Bapak--" "Alya, bisa nggak sih kamu jangan panggil saya Bapak? Saya suami kamu loh, bukan bapak kamu." Dia mengalihkan pembicaraan. Aku bergeming. Sementara dia mulai melangkah mendekat. "Kalau kamu nggak mau ke dokter nggak apa-apa. Gimana kalau kita jalan-jalan keluar?" Dia memberikan penawaran. Aku menggeleng, Aku benar-benar tidak mood untuk pergi ke mana pun. Lebih baik berdiam diri di kamar sambil menamatkan novel. Aku melengos. Melangkah meninggalkan dia yang masih berdiri di sana. "Alya." Dia meraih pergelangan tanganku. "Tolong maafkan saya." Dia berucap lagi. "Entah kenapa saya merasa kamu sedang marah sama saya." Aku nyaris tertawa. Dosen muda yang dikenal tegas dan selalu perfeksionis untuk sekian kalinya meminta maaf padaku? "Entahlah, saya merasa bersalah karena mengabaikan kamu." Dia masih memegang pergelangan tanganku. Mungkin takut aku pergi lagi. "Pak, tolong jangan gini," ucapku memohon sa

    Dernière mise à jour : 2025-03-28
  • Malam Pertama dengan Dosenku   9. Fakta yang Disembunyikan

    Pov Kaivan"Kapan kamu akan menceraikan Kinan, Kai?" Suara Mama yang menuntut di seberang sana cukup membuatku pusing. Mama selalu begini. Hampir setiap hari dia membahas hal itu, padahal aku tidak pernah berpikir sekali pun untuk mencari Kinan. "Mama apaan sih, pagi-pagi bahas cerai. Sudah kubilang, aku tidak akan menceraikan Kinan, Ma. Apa pun yang terjadi," tugasku. "Mama butuh cucu, Kai," selanya tak mau kalah."Iya, Kai tahu. Tapi ....""Dengar, Kai. Sampai kapan kamu mempertahankan perempuan yang tidak pernah mau memberimu keturunan, Kai?" Mama terdengar kesal. "Ma, Kinan bukan nggak mau, tapi mem–""Kenapa sih kamu nggak pernah mau dengarin Mama. Kamu benar-benar dibutakan cinta oleh Kinan. Sampai-sampai kamu nggak bisa menemukan kejelekannya." Aku tertawa lirih. Mama benar. Aku selalu melihat Kinan yang selalu sempurna. Belum ada cela yang bisa kutemukan. "Ma, beri kami waktu. Kita sedang berusaha?""Waktu? Kalian sudah menikah tujuh tahun, Kai? Mau selama apa lagi? Kamu

    Dernière mise à jour : 2025-03-28
  • Malam Pertama dengan Dosenku   10. Ke Mana Perginya Alya?

    Pov Kaivan Aku mengerutkan dahi mendengar jawaban Kayra yang penuh dengan teka-teki. Mama cukup dekat dengan Kayra yang merupakan anak dari sahabat masa kecilnya.Mama sempat menjodohkanku dengan Kayra. Namun, kami sama-sama menolak. Karena hubungan kami murni adalah persahabatan. "Kamu terlalu percaya pada Kinan, Kay. Itu pil kontr asepsi." Setelah berkata begitu Kayra menutup telepon. Namun, kalimat terakhirnya berhasil membuatku syok. Jadi, Mama benar. Kinan bukan belum bisa hamil, tetapi memang tidak mau hamil. Kenapa Kinan harus melakukan itu? Dia tidak pernah mengatakan ingin menunda kehamilan. Dia bahkan selalu bersikap seolah-olah sama inginnya sepertiku yang rindu akan hadirnya buah hati. Lantas, kenapa dia harus mengkonsumsi pil penunda keha milan? Sejak kapan dia mengkonsumsinya? Apakah selama tujuh tahun pernikahan kami? Untuk apa?Ah, memikirkan ini kepalaku terasa ingin pecah. Kinan jelas-jelas membohongiku. Entah apa tujuannya. Tapi kebohongan ini cukup membuatku be

    Dernière mise à jour : 2025-03-29
  • Malam Pertama dengan Dosenku   11. Sisi Lain dari Kinan

    PoV Kaivan "Mas dari mana aja?" Kinan bersedekap menatapku saat aku baru saja membuka pintu. Matanya tak berkedip menatapku, menelusuri tubuh dari ujung kepala hingga ujung kaki. Mungkin heran melihat penampilanku yang kacau. Kemeja berantakan dan kusut, rambut yang sudah mulai gondrong tidak lagi tertata. Belum lagi wajah yang sudah pasti sama kusutnya. "Ini bukan pertama kalinya Mas pulang larut seperti ini!" Aku bergeming. Tanpa menghiraukannya aku bergegas melangkah, melewati dia yang masih dengan posisi semula. Jujur saja aku kesal. Aku lelah, mood berantakan, sampai rumah malah disambut dengan sikap ingin menghakimi darinya. Sejak kepergian Alya aku memang kerap pulang larut. Waktu yang tersisa kugunakan untuk mencarinya ke mana saja. Terkadang aku malah memilih pulang dan berdiam diri di rumah sana. Malam ini jika Bu Rumi tidak mendesakku untuk pulang, mungkin aku tidak pulang lagi. Aku seperti kehabisan akal. Orang-orang yang kukerahkan untuk mencari Alya sam

    Dernière mise à jour : 2025-03-29
  • Malam Pertama dengan Dosenku   12. Hilangnya Buku Nikah

    "Mas Kai mau cari siapa? Mereka? Mereka ... siapa yang Mas Kai maksud?" Kinan mengerutkan dahi. Aku gelagapan. Apa yang harus kulakukan? Aku memang cukup kecewa dengan kebohongan yang dia buat bertahun-tahun. Namun, aku belum siap melihatnya terluka. "Hmm, bukan Apa-apa. Cuma ... cuma mahasiswa." Apa aku terlihat gugup? Mata Kinan menatap seperti menyelidik. "Mahasiswa?" Aku mengangguk tanpa suara, tak ingin salah bicara. Kemudian beranjak meninggalkannya untuk mengganti pakaian salat yang masih kukenakan. "Mas." Ternyata dia membuntutiku.Aku melirik dengan ujung mata. Tetap bergeming dalam mode dingin yang masih belum bisa kuperbaiki saat berhadapan dengan Kinan."Apa begitu sulit untuk memaafkanku? Kita udah cukup lama kayak gini, Mas," protes Kinan, "kita udah kayak orang lain di rumah dan kamar yang sama, Mas." Aku menoleh, berhadapan dengan dirinya. Menatap dia dengan tatapan ... mungkin jenuh. Ya, jenuh."Gimana aku bisa maafin kamu sementara kamu nggak benar-benar ikhla

    Dernière mise à jour : 2025-03-29
  • Malam Pertama dengan Dosenku   13. Mendadak Ingin Pulang

    Rutinitas hari ini kujalani jauh dari kata profesional. Fokusku terbagi ke mana-mana. Aku sama sekali tidak bisa berkonsentrasi. Dari masalah keberadaan Alya dan anakku yang belum kutemukan rimbanya, perdebatan dingin dengan Kinan pagi ini, hingga fakta yang baru saja kutemukan jika Mama mengetahui pernikahan keduaku. Saat menelepon Mama, belum sempat bertanya apa pun aku sudah diserang habis-habisan."Kamu benar-benar, ya, Kai. Keterlaluan banget, segitu bencinyakah kamu ke Mama sampai hal sebesar ini kamu sembunyikan dari Mama." Mama mengomel seperti biasa. Aku hanya meringis seperti biasa. Omelan Mama adalah hal biasa. Namun, ada hal yang lebih mengganggu. "Buat apa kamu tanya KK dan buku nikah? Kamu kan nggak butuh. Jadi, biar Mama yang simpan," ucap Mama saat aku mengkonfirmasi kebenaran ucapan Bu Rumi."Lebih nggak masuk akal lagi kalau Mama yang simpan, 'kan?" protesku tak terima."Udah, deh, kamu urusin aja tuh istri kesayanganmu. Nggak perlu peduli apa yang Mama lakukan."

    Dernière mise à jour : 2025-03-30
  • Malam Pertama dengan Dosenku   14. Sang Penolong

    POV Alya Aku tidak pernah bermimpi menjadi istri kedua. Apalagi sampai dilabrak istri pertama. Dikatain pelakor dimaki habis-habisan dan diseret paksa keluar dari rumah.Aku bahkan tidak sempat pamit pada Bu Rumi. Sekadar mengatakan selamat tinggal untuk tak 'kan pernah kembali. Mereka membungkam mulutku dengan sapu tangan hingga aku tak mampu bersuara dan kehilangan setengah kesadaranku. Aku tahu, hatinya terluka karena suaminya menitipkan benih di rahim perempuan lain? Namun, pantaskah dia memperlakukanku seperti bina-.tang? Tidak bisakah dia memberiku kesempatan padaku untuk menjelaskan kenapa ini bisa terjadi? Apakah dia masih tega melakukan ini jika tahu siapa yang menyebabkan petaka itu terjadi padaku? Seharusnya dia marah pada kakaknya, 'kan? Bukan padaku.Saat terbangun, aku terbaring di atas sehelai tikar pandan. Di sekitarku banyak kotak-kotak kardus yang bertumpuk. Bau debu yang menyengat hidung juga cukup menyesakkan. Ruangan tak diberikan penerangan sama sekali. Tempat

    Dernière mise à jour : 2025-03-30

Latest chapter

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Tulus

    Nyaris satu pekan berlalu sejak malam yang terasa seperti titik balik segalanya. Mas Kaivan sudah jauh lebih baik. Lukanya memang belum sembuh sempurna, tapi ia sudah bisa berjalan tanpa banyak meringis. Sementara aku, diperbolehkan pulang oleh dokter, dengan syarat harus bedrest total sampai batas waktu tertentu.“Pelan, Sayang. Jangan sok kuat. Biar aku aja yang bawa tasnya.” Ia merebut tas kecil dari tanganku begitu kami sampai di depan rumah.Duh, ini orang udah kayak alarm berjalan yang nyaris tak memberiku ruang bernapas. Protektif bukan main.Aku menghela napas dalam, lalu menggeleng. “Tasnya bahkan lebih ringan dari dompet aku, loh, Mas.”Dia menatap tajam. “Itu tetap terlalu berat untuk orang yang lagi hamil dan baru keluar dari rumah sakit, Sayang." Tuh, kan lebay.Aku tertawa kecil, tetapi tidak membalas. Ini hari pertama aku kembali ke rumah, dan aku tidak ingin merusak suasana hati Mas Kaivan.Begitu masuk ke dalam rumah, aroma wangi melati yang biasa kugunakan sebagai p

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Jangan Pernah Menjauh

    "Jadi, selama ini aku bukan lagi mimpi, tapi memang kamu ada di sana?" tanyanku tak percaya. "Pantesan rasanya kayak bukan mimpi."Pantas saja mimpi itu tidak seperti mimpi. Aku merasakan pipi yang tiba-tiba menghangat."Sekarang baru sadar, gimana nyamannya tidur di pelukanku? Makanya jangan sok-sokan kabur dari rumah." Dia menggerutu.Aku tersenyum malu. "Jadi, sejak kapan Mas di sana?" "Sejak hari pertama kamu di sana lah." Dia tersenyum penuh kemenangan."Kok bisa?""Udah aku bilang, kamu gak bisa pergi jauh dariku, Sayang.""Tapi, kata Edo Mas masih cariin aku waktu–""Dan, kamu percaya? Itu cuma akal-akalan dia aja." Mas Kaivan mengulum senyum, tetapi kali ini lebih mirip menahan tawa."Kenapa Mas gak samperin aku aja?""Karena aku gak siap kalau kamu menolak saat aku ajak pulang.""Jadi, selama ini Mas Kai sembunyi di mana? Kenapa aku gak pernah lihat?""Di mana-mana, kadang di bawah meja, kadang di dalam lemari, seringnya di balkon sempit di bawah jendela."Aku menutup mulut

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Kunjungan

    "Apa?" tanyaku antara tak percaya dan tak mengerti. "A–aku hamil, Buk?" tanyaku lirih dan nyaris tak terdengar mungkin.Wanita paruh baya itu mengangguk. Matanya berkaca-kaca. Entah terharu atau prihatin. Pasalnya Rayyan masih terlalu kecil untuk memiliki seorang adik.Aku pun tidak tahu harus bahagia atau sedih. Ini kabar yang mengejutkan. Aku masih terdiam. Kata-kata Bu Rumi terus terngiang di kepala.Di satu sisi hati ini memang terasa menghangat—kehidupan baru sedang tumbuh dalam rahimku. Namun di sisi lain, hatiku berdegup penuh cemas. Di saat yang sama, suamiku masih terbaring tak sadarkan diri, baru saja melewati batas antara hidup dan mati.Aku mengelus perutku pelan. Meskipun belum ada perubahan fisik, aku bisa merasakan bahwa ada sesuatu di sana. Sesuatu yang tak terlihat, tetapi aku bisa merasakan kehadirannya sekarang***Ketukan pelan di pintu mengalihkan perhatianku. Seorang perempuan berjas putih masuk, mengenakan name tag bertuliskan, “dr. Intan Rizkita, Sp.OG.” Dia me

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Kabar Mengejutkan

    "Terlambat! Kaivan sudah hampir kehilangan nyawa, lu pikir gua masih tinggal diam?"Aku hanya menunduk. Suasana tegang yang menyelimuti ruang tunggu itu begitu menyesakkan. Ingin rasanya meminta mereka berhenti berdebat. Meski tidak sampai mengundang perhatian pengunjung lain, tetapi cukup membuatku merasa ... mual. Dan, secara tiba-tiba aku merasakan sakit luar biasa dari dalam perutku. Tepat di bawah pusar. Rasanya melilit seakan ada yang menarik dari dalam.Aku memejamkan mata, mencoba menarik napas dalam-dalam, menahan sakit yang tiba-tiba mendera juga nyeri di kepala rasanya kian menjadi. Rasa sakit itu tak menjadi satu, tapi seperti menyerang dari segala arah. Seolah mereka mencengkeram kepala dan leherku sekaligus, juga di bawah pusar. “Alya?” Bu Rumi memegang lenganku, kemudian menepuk pipiku lembut.Aku membuka mata, tapi dunia seperti terus bergerak. Suara-suara di sekeliling mulai terdengar seperti dari kejauhan. Samar. Bergema. Aneh. Bahkan suara Mas Azzam dan Arga yang s

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Ancaman Azzam

    Dokter menatapku sebentar. “Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi…”Aku langsung lemas. Suara dokter menghilang di antara detak jantungku yang kacau. Kepala mendadak terasa berputar. Namun, kemudian dokter melanjutkan ....“… Dia masih bernapas. Tapi kondisinya sangat kritis. Kami butuh donor darah segera, golongan darah pasien B negatif."Aku tercekat. Setahuku itu termasuk golongan darah langka. Sementara golongan darahku tidak sama dengannya. Mas Azzam memekik, “Apa gak ada di bank darah?”Pria dengan berjas putih itu menggeleng. "Sayangnya persediaan di bank darah sedang kosong."Aku masih berdiri terpaku di depan dokter. Kata-katanya menggema di kepala seperti dentuman yang seakan memecah kepala. "Kondisinya kritis. Kami butuh donor darah segera."Tangan dan kakiku mendadak dingin. Aku menoleh ke arah Rayyan, yang masih tertidur dalam pelukanku, tak tahu apa yang sedang terjadi. "Ya Allah, Tolong selamatkan suamiku!" Sejak tadi aku tadi air mata yang keluar, dan suara y

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Harapan yang Menipis

    Aku mematung beberapa saat. Menatap mata sayu yang hampir meredup. Wajahnya memerah seperti menahan sakit. "Maaas!!!" Akhirnya aku bisa bersuara. Mengeluarkan jeritan dengan lantang. "Ray—yan!" Tangannya terulur hendak menggapai Rayyan yang sempat kubelakangi. Aku bergegas menggendong dan memeluk putraku. Kemudian menggapai tubuh Mas Kaivan. Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana ini bisa terjadi? Siapa yang melakukan ini?Aku belum benar-benar memahami situasi saat sekelebat tubuh bergerak cepat menuju jendela, menggeser dengan cepat daun jendela dan menghilang dari sana. Aku bahkan tidak tahu jika ternyata jendela itu bisa dibuka. Kupikir jendela mati. Sebab itu, aku tak pernah membuka jendela selain tirainya saja. Tangan dingin itu menggemggam jemariku. "Ma–af, Sa–ayang." Aku menggeleng. Air mata sudah tak mampu ditahan lagi. "Sial! Dia kabur!" Suara itu mengejutkanku. "Cepat kejar! Jangan sampai lolos! Panggil ambulans, cepat!" . Entah sejak kapan mereka masuk dan bagaima

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Tragedi di Ujung Senja

    Tidak! Tidak mungkin Mas Kaivan di sini.Aku mempercepat langkah untuk naik, ingin memastikan bahwa pandanganku tak menipu. Namun, beban menggendong Rayyan yang terus bertambah berat badannya, cukup membuatku kesulitan berjalan cepat naik tangga. Sampai di atas, napasku aku mengatur napas yang tak beraturan.Tak ada siapa-siapa di sana selain suara toa masjid yang sudah mulai mengumandangkan syalawat tanda sebentar lagi masuk waktu salat. Dinginnya angin yang meniupkan bau tanah basah makin mendukung suasa misteri yang tengah menguasai imajinasiku.Aku mengerjap cepat. Jantung seakan berdetak lebih kencang dari sebelumnya. Lebih kencang dari angin yang tiba-tiba juga menambah kecepatan.Apa iya Mas Kaivan tadi memang di sini? Ah, mungkin aku hanya berhalusinasi. Memangnya dari mana dia tahu aku di sini? Apa selama ini dia mengikutiku dan ... tetapi Edo bilang Mas Kaivan masih mencariku.Tak ada siapa pun di lorong menuju kamarku. Sepertinya memang aku tadi berhalunisasi. Aku hanya sed

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Sosok Misterius 2

    PoV Alya Aku menyodorkan sejumlah uang yang kupikir cukup untuk mengganti uang Edo yang dipakai untuk membayar sewa kamar. Sebenarnya aku tidak berniat tinggal di sini selama satu tahun. Apa lagi aku tahu biaya sewa kamar elit dengan fasilitas super komplit untuk standar kos-kosan pasti cukup mahal. Uang yang kubawa juga tak seberapa. Uang itu adalah uang sisa belanja bulanan untuk keperluanku dan Rayyan yang diberikan oleh Mas Kaivan sejak menjadi istrinya. Namun, cukup untuk mengganti uang Edo. Meski setelah ini, aku harus benar-benar berjuang untuk mulai mencari sumber pendapatan tanpa meninggalkan Rayyan."Gak perlu dikembalikan, Al. Itu uang kamu." Edo menyodorkan amplop cokelat yang keberikan.Aku mengernyit. "Maksudku, anggap aja ini bayaran untuk balas budi."Aku menatap heran. "Balas budi apa?""Kan kamu dulu sering bantu aku ngerjain tugas kuliah dulu." Edo menjawab sebelum kemudian menyeruput kopi yang disediakan anaknya Tante Diah. Kami memang bertemu di teras rumah p

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Sosok Misterius

    Aku memeluk tubuh sendiri sembari memegang pipi yang terasa menghanhat. Tadi itu benar-benar cuma mimpi, tetapi kenapa pipiku rasanya mengembang, jantung juga deg-degan.Aku beranjak dan menuju kamar mandi. Setelah membersihkan diri aku berwudhu dan melaksanakan salat subuh.Sepertinya tadi memang aku hanya berkhayal, karena aroma maskulin itu sekarang sudah tidak ada. Aku menghela napas panjang, lalu mulai memanjatkan doa pada pemilik semesta.Usai salat, aku bersiap untuk turun ke bawah. Berniat mengambil pesananku pada Bu Ranti kemarin.Namun, sebelum itu aku mengecek ponsel yang sudah kuisi dengan kartu sim dan sudah aku daftarkan dengan akun aplikasi cat hijau. Ada balasan chat dari Edo yang semalam kukirim."Iya, Al. Aku yang bayar uang sewa selama satu tahun buat kamu. Maaf, gak izin. Tapi aku beneran tulus kok mau bantuin. Jangan ditolak, ya. Aku tahu kamu sedang ada masalah," tulis Edo dalam pesan chatnya.Aku hanya membaca balasan pesan itu, tidak ingin membalas sekarang. Mu

Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status