Share

Mendadak Mual

Author: Nia Kannia
last update Last Updated: 2025-03-21 09:07:47

Pria berambut lurus itu menarik tangannya kembali. Mungkin mengerti apa yang tengah kurasakan sekarang.

Pria itu kemudian lanjut makan. Jika aku tidak salah hitung, dia sudah nambah dua kali. Padahal tadi bilang hanya akan mencicip dan makan di rumah. Nyicip, 'kan biasanya sedikit, ini kenapa malah nambah dua kali?

Berbeda dengan aku sendiri yang baru makan tiga suap. Itu pun rasanya susah sekali menghabiskan makanan yang sudah masuk ke mulut. Entahlah, rasanya aneh sekali dengan masakan ini sebenarnya. Namun, aku merasa tidak enak hati pada Bu Rumi yang sudah susah payah memasak bila tidak memakannya.

Aroma kunyit yang berasal dari bumbu pepes ikan buatan Bu Rumi ini membuat perut terasa bergejolak. Namun, aku benar-benar tidak berani berkata jujur. Selain takut wanita paruh baya itu tersinggung, aku juga takut jika Bu Rumi tahu tentang kehamilanku. Bagaimana ini? Rasanya benar-benar membuatku mual. Beberapa hari ini rasa mual yang aneh itu memang kerap datang tiba-tiba. Namun, terakhir kali aku masih bisa menahan. Dan, kali ini rasanya yang paling parah. Aku benar-benar mual.

Aku memang sempat membaca, bahwa rasa mual pada kehamilan trimester pertama beberapa karena dipicu oleh aroma tertentu.

"Kamu kenapa, Al?" Lirih pria di sampingku bertanya.

Aku bergeming. Sekuat tenaga berusaha menahan gejolak ingin muntah.

“Nak Alya kenapa? Masakan Ibu nggak enak, ya?” tanya BuRumi pelan.

Aku menggeleng dengan cepat.

"Hmm, enak kok, Buk. Buktinya Pak Kaivan aja udah nambah dua kali."

Susah payah aku mengatakan ini dengan nada datar, sambil menahan mual. Kalian bisa bayangkan bagaimana rasanya.

“Astagfirullah. Ibu kok nggak ingatkan saya sih?” Pak Kaivan menyudahi makannya yang memang sudah habis. Hanya tinggal tulang ikan di piring sebelah yang memang Bu Rumi sediakan untuk menampung sisa tulang ikan. Ia terlihat mencuci tangannya dengan segera.

Kulihat senyum puas dari wanita paruh baya itu tanpa suara.

Tidak kuperhatikan lagi saat Pak Kaivan buru-buru pamit setelah minum segelas air.

Aku bahkan tidak mendengar apa pun lagi pesan yang dikatakan pria itu padaku sebelum mulai melangkah pergi. Mual di perut ini semakin parah, dan sekarang benar-benar tidak dapat ditahan lagi.

Aku pun bergegas bangun dari kursi dan berlari menuju wastafel di dapur yang terlihat dari meja makan.

Beruntung aku bisa sampai tepat waktu sebelum isi perut ini keluar semua. Sekarang aku tidak peduli lagi bagaimana Bu Rumi akan beranggapan.

Kurasakan pijatan lembut di tengkuk yang cukup membuatku nyaman. Tanpa melirik pun aku bisa tahu siapa orang itu. Aroma parfum maskulinnya sudah cukup kuhafal.

Susah payah aku menarik napas, kemudian mencuci mulut dan wajah setelah merasa puas.

Langkah buru-buru itu mendekat pada kami. Beberapa saat kemudian Pak Kaivan menyodorkan segelas air minum.

Aku meneguk habis isi gelas itu. Namun, hanya beberapa detik tinggal di perut. Ya, semua keluar lagi tanpa sisa.

Seketika aku merasa benar-benar tidak bertenaga. Beberapa saat kemudian tubuh ini terasa berat hingga membuatku susah payah menahan beban tubuh sendiri. Aku nyaris luruh ke lantai kalau tangan kekar itu menahan. Ya, Tuhan. Apa memang seberat ini perjuangan wanita hamil?

“Bawa duduk dulu, Nak.” Samar-samar kudengar Bu Rumi bersuara.

Beberapa detik kemudian, tubuhku terasa melayang ke udara. Ternyata Pak Kaivan mengangkat tubuh ini. Aku masih sadar, jadi tahu. Namun, tubuh ini memang seperti kehilangan tenaga.

Aku mendengar dering ponsel di kantongnya. Sepertinya sejak tadi sudah berulang-ulang.

“Ini, coba minum air hangat.” Suara Bu Rumi menyusul kami.

Aku sudah duduk bersandar pada sofa entah di ruangan mana. Mataku masih sulit terbuka.

Aku sedikit terkesiap saat kurasakan ada mengelap kening dengan tisu. Aku memang berkeringat. Mengeluarkan isi perut benar-benar menguras tenaga. Aku yakin itu bukan Bu Rumi. Aku bisa merasakan embusan napasnya yang ringan. Aroma parfum yang masih sama.

Bibir ini terasa bergetar. Embun hangat kurasakan mengalir di sudut mata.

“Maafkan saya, Alya.” Lirih suara itu mampir di pendengaranku. Entah maaf untuk kesalahan yang mana. Tiga kata yang cukup membuat hati ini seperti disiram air pegunungan.

Sedetik kemudian kurasakan sapuan kecil di pelipis yang basah.

“Sekarang coba minum lagi, ya," ucapnya pelan.

Aku membuka mata, segelas air sudah

berada di depan wajah.

Aku hanya berani meneguk sedikit, trauma. Beberapa detik, menunggu reaksi dari perut. Rasanya takut sekali. Saat merasa aman, aku kemudian minum lagi. Masih dari tangan Pak Kaivan.

“Sekarang gimana? Udah enakan atau kita perlu ke dokter?” Pak Kaivan bersuara lagi. Aku bisa menangkap nada kecemasan dari suara itu. Sesaat membuatku merasa seperti ada kupu-kupu terbang di perut. Ah, sempat-sempatnya perasaan aneh itu hadir di saat seperti ini.

“Nggak perlu, Pak. Saya sudah nggak apa-apa. Bapak pergi aja, kasihan Bu Kinan nungguin.”

Aku sungguh merasa sungkan sendiri. Dia sudah cukup lama menunda kepergiannya.

“Coba kasih makan yang lain, Nak. Siapa tahu, perut Alya nggak cocok sama makanan tadi.” Kali ini Bu Rumi menyahut. Ternyata beliau juga masih di sini.

“Biasanya ibu hamil memang suka pilih-pilih makanan, mungkin ada aroma makanan yang membuat Alya mual.”

Mendengar kalimat Bu Rumi, aku menoleh pada Pak Kaivan dengan kening berkerut. Perasaan tak nyaman di perut inu seakan berpindah ke hati, membuatku seketika tersadar. “Ibu tahu ...?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Pertanyaan Lysandra

    Suasana kafe bagian depan mendadak berubah hening—seakan orang-orang di sekitar lupa bernapas. Kalimat itu ....“Karena dia... anak kandung Papa. Sama seperti kamu.”Udara mendadak terasa berat. Mata Aira membelalak, tubuhnya juga terasa kaku. Seolah-olah bagian dari dirinya berhenti bekerja. Napasnya tercekat, tenggorokan pun terasa mengering. Ia menatap Azzam sejenak—tak tahu harus berkata apa. Juga tidak tahu harus merasa seperti apa.Tubuhnya seakan tersedot ke dalam pusaran yang tak kasat mata. Kepalanya penuh. Dadanya sesak. Mirisnya tak ada satu kata pun yang lolos dari bibirnya. Entah itu berupa amarah atau pun sekadar tanya. Rasa di dalam hatinya kini sulit untuk diraba. Terasa begitu ambigu dan membingungkan. Ia ingin menganggap kalimat pria paruh baya itu hanyalah igauan belaka.Aira kemudian membalikkan tubuh dan segera mengais langkah cepat. Bukan berlari, tetapi cukup tegas. Ia lebih seperti seseorang yang butuh melarikan diri sebelum hatinya meledak.Azzam hanya bisa

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Pengakuan

    "Siapa sebenernya Pak Azzam ini? Kenapa seolah tahu segalanya tentang ibu saya?"Azzam bergeming lagi. Sikapnya tetap tenang. Setidaknya ia mampu menyembunyikan ketegangan dalam hatinya dengan wajah dan kalimat yang tenang.Aira memutuskan untuk berdiri, lalu memutar tubuh. Berniat meninggalkan Azzam begitu saja. Tak peduli akan bagaimana nasibnya. Ia sama sekali tidak takut dipecat karena bersikap tidak baik pada pimpinan. "Sahara!" Namun, suara itu mampu memutus langkahnya yang hampir saja masuk kembali ke dalam kafe. Perlahan ia menoleh."Sahara adalah nama kecilmu, bukan?" tebak Azzam dengan penuh keyakinan.Aira terdiam. Sekujur tubuhnya terasa dingin. Entah karena senja yang mulai turun, atau karena nama itu—nama yang seharusnya tak ada seorang asing pun tahu.Selain dari Kaivan, Azzam juga menggali informasi melalui orang-orang suruhannya."Siapa sebenarnya Pak Azzam ini? Kenapa seolah tahu segalanya tentang Ibu saya?" suara Aira seolah menggema ulang. Terdengar pecah, seten

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Seperti Tahu Segalanya

    Suasana di luar kafe perlahan meredup, disapu cahaya sore yang jatuh miring di trotoar. Aira berdiri beberapa langkah dari pintu, sementara pria itu—Azzam—berdiri diam di hadapannya. Tak ada pelanggan lain, hanya lalu-lalang kendaraan dan desau angin yang membawa suara klakson dari kejauhan."Sebentar saja?" Suara Azzam lemah. Bukan hanya suara, tetapi tatapannya juga. Aira menimbang. Tubuhnya ingin menolak, tetapi rasa penasarannya terlanjur merangkak masuk ke dadanya. Apa yang ingin dibicarakan pria paruh itu?Ia menoleh sebentar ke dalam, memastikan Galang tidak memperhatikannya, lalu mengangguk.“Silakan.”Mereka duduk di bangku kecil di sisi kanan kafe. Meja bundar aluminium bergetar sedikit saat Aira meletakkan ponsel di atasnya. Sebenarnya ia masih menunggu balasan pesan chat yang ia kirim sejak pagi, tetapi belum terbaca—apalagi balasan.Tangan wanita itu menyatu di pangkuan, sedang Azzam hanya menatapnya sebentar lalu menunduk.“Terima kasih. Ini mungkin terdengar aneh atau

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Tak Punya Pilihan

    ["Om, apa kita bisa ketemu?"] Kaivan membaca pesan chat di ponselnya. Dia kemudian meletakkan ponsel di meja makan, kemudian melanjutkan makan. ["Plis, Om. Ada hal penting yang mau aku tanyain. 🥺"] Alya yang berada di sebelahnya menoleh pada sang suami. "Kayaknya dia lagi butuh banget sama kamu, Mas." Alya berucap. "Biar saja, tugasku sudah selesai. Bair Azzam yang melanjutkan." "Memangnya Mas Azzam bakal bisa mengatakan semua gitu aja, Mas?" tanya Alya. Kaivan menatap istrinya. "Aku gak mau masuk lebih dalam lagi, Yang," desahnya lirih. Layar ponsel Kaivan menyala lagi. [Maaf, untuk apa yang terjadi beberapa waktu lalu, Om!] Alya menatap Kaivan bingung. "Cck.“ Pria paruh baya itu berdecak. "Baru baca chatnya aja kamu udah lihatin aku penuh kecurigaan lagi. Apalagi kalau aku temuin dia." Kaivan memandangi layar ponselnya. Jempolnya sempat bergerak untuk membalas, tetapi berhenti di tengah jalan. Ia kembali menaruh ponsel ke meja. Kembali ke nasinya yang sudah

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Bukan Pelanggan Biasa

    “Jelas aja gak asing, emang siapa yang gak kenal sama dia?”Suara itu muncul tiba-tiba dari arah samping kanan Aira, membuat tubuhnya refleks menoleh cepat.Ternyata itu suara Galang, manajer kafe yang memang dikenal muncul tanpa suara seperti hantu shift sore. Sudah dua minggu ini pria paruh baya itu makin sering berdiri dan terlalu dekat saat berbicara. Bukan mengganggu, tetapi cukup untuk membuat Aira tak nyaman."Maksud Pak Galang?" Aira bertanya dengan nada santai, meski alisnya sedikit terangkat.Galang menunjuk samar ke arah luar jendela, ke tempat seorang pria baru saja berjalan menjauh dari kafe. Sosok yang belakangan merasa Aira kenali, meski tak bisa menyebutkan dari mana.“Masa kamu gak kenal sih sama beliau?”Aira menggeleng, ekspresinya polos, tetapi tetap waspada. “Saya memang gak kenal, Pak.”Galang terkekeh, seperti mendapati sesuatu yang lucu. “Beliau tuh ... salah satu pendiri jaringan bisnis kuliner terbesar di kota ini. Kafe ini juga masih ada di bawah jaringan g

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Perbincangan Singkat

    Beberapa kali Azzam datang ke sana lagi. Ia memesan menu berbeda, duduk di meja yang berbeda, dan kadang berpura-pura jadi pelanggan tetap. Tapi tiap kali, reaksinya tetap sama. Aira tak pernah mengenalnya. Ah, memang apa yang ia harapkan? Berharap Aira akan mengenalnya sebagai ayah begitu saja. Azzam bahkan terlalu pengecut untuk menyapanya. Ia pun hanya bisa melihat dari balik meja. Menjadi bayangan yang tak terlihat.a Hingga hari itu. Kafe sepi. Pelanggan hanya dua orang di pojok dan satu yang baru saja pergi. Aira sedang merapikan buku catatan order ketika suara Azzam memanggil. “Hmm Dek.” Aira menoleh. “Iya, Pak?” “Kalau boleh tahu ... kamu asli mana?” Aira tampak bingung sejenak, lalu tersenyum sopan. “Saya dilahirkan di Medan, Pak. Tapi besar di Jakarta.“ “Oh ....” Azzam menunduk sebentar, lalu berkata, “Orang tua kamu masih ada?” Pertanyaan itu membuat ekspresi Aira sedikit berubah. Namun, ia cepat mengendalikannya. “Saya dibesarkan keluarga angkat. Orang tu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status