Afsana tersenyum dengan kedua ujung bibir terasa kaku. Ia bingung, bagaimana harus menanggapi perkataan ibu mertuanya itu?
Walau Afsana tidak setuju dengan perjodohan yang terjadi, wanita itu tetap berusaha menghormati para orang tua yang telah membuatnya seperti ini. Ia telah diajarkan rasa sopan sejak kecil. Jadi, sebisa mungkin, ia menjalankan ajaran itu. Kebaikan adalah segalanya. Terutama pada orang tua.
“Apa kamu sudah berpikir untuk bercerai dari Deryl, Nduk?” tanya Asih yang membuat Afsana terperajat.
Di sisi lain, Deryl sangat terkejut pula. Ia teringat lagi dengan percakapan tadi malam. Afsana yang telah berencana akan menggugat cerai setelah enam bulan pernikahan karena Deryl tak menyentuhnya dan tak memberi nafkah batin. Kalau istrinya itu sampai mengatakan rencana itu sekarang, Deryl benar-benar tak berkutik. Ia harus menghentikannya.
Deryl keluar dari persembunyiannya dengan sedikit bersandiwara. Seolah tak mengetahui kalau ada dua orang wanita yang sedang berbicara di sana.
“Oh, De. Kebetulan kamu ke sini,” ujar Asih melupakan pertanyaan tadi ketika melihat anak lelakinya.
Baguslah, fokus Ibu berubah. Gawat kalau tadi sampai Afsana menjawabnya. Untung, aku menguping dan bisa mengantisipasi.
Kening mengerut. Deryl pura-pura tidak memahami perkataan Asih. Padahal, ia sudah tahu kalau Asih akan menyuruhnya untuk mengajak Afsana pergi jalan-jalan.
“Memangnya, ada apa, Bu?”
“Kamu ini, ya. Ajak istrimu jalan ke mana gitu. Belanja atau apa. Kamu kan, suka naik motor waktu main sama teman-teman. Kenapa sekarang nggak ajak istrimu pergi? Mumpung kamu belum kerja juga kan? Ingat, kamu disuruh sama Bapak untuk bekerja setelah menikah. Ibu sudah nggak bisa membelamu lagi karena kamu memang sudah dewasa, De.”
Deryl mendesah kasar. Lelaki yang tak pernah memikirkan pekerjaan sebelumnya, sekarang malah dipaksa untuk mencari uang. Sejak kecil hingga usianya 27 tahun, Deryl sangat dimanja oleh Asih. Deryl hanya ingin bersenang-senang dan menghamburkan uang saja. Asih pun selalu mendukungnya. Jadi, Haribowo tak bisa berbuat banyak.
Kecuali, saat meminta Deryl untuk menikah dan harus memenuhi syarat yang lainnya. Haribowo sudah tak memedulikan rengekan dari Asih karena usia Deryl sudah tak pantas dimanja secara berlebihan.
Dasar! Anak mama!
Dalam diam, hati Afsana berbisik. Bibirnya pula tersenyum tipis mengejek suaminya yang ternyata teramat dimanja oleh Asih.
“Iya, Bu. Aku tahu dan mengingat perkataan Bapak yang menyebalkan itu. Nggak adil banget. Sudah disuruh menikah dengan paksaan. Masih disuruh untuk bekerja lagi,” keluh Deryl, agak manja dengan wajah yang ditekuk.
“Loh, kok, mengeluh, Mas De. Katanya, mau menabung buat ….”
“Mau jalan-jalan? Ayo!” Deryl sengaja memotong perkataan Afsana yang menjurus ke rencana pernikahannya dengan Klara. Deryl belum siap kalau semua rencana itu diketahui oleh Asih.
Lelaki berpostur tinggi, rambut sebahu dan ada beberapa tindikan di telinga itu menghampiri Afsana. Senyumnya dibuat semanis mungkin. Padahal, ada maksud tertentu dari lengkungan indah yang terlukis di bibir itu.
Afsana mengernyit. Kesal juga ketika perkataannya dipotong begitu saja.
“Ayo, Af. Jangan pakai lama. Kamu mau jalan-jalan kan?” tanya Deryl ketika sudah di dekat istrinya. Ia membuat raut wajah yang menjadikan Afsana makin risi ketika melihatnya. Ajakan itu pun penuh penekanan.
“De, masa manggil istri begitu? Nggak ada manis-manisnya,” ujar Asih. Ia ingin membuat hubungan dua orang itu makin dekat mengingat percakapannya dengan Afsana tadi telah menjurus ke ranah perceraian yang bisa saja terjadi. Asih tak mau itu terjadi.
Ibu ini, bisa-bisanya menyuruhku memanggilnya dengan kata-kata sayang. Geli sendiri.
Deryl hanya bisa menggerutu di dalam dada. Senyumnya makin aneh. Ia hanya ingin memisahkan dua orang yang tadi berbicara ke pembahasan yang rumit. Walau mungkin ada saja kesempatan yang akan terjadi suatu hari nanti, tetapi setidaknya untuk saat ini, rencana itu belum terdengar di telinga ibunya.
“Ayo,” ajak Deryl lagi seraya menggenggam pergelangan tangan Afsana. Tentu, wanita itu melebarkan mata. Ia melihat ke arah Deryl masih dengan mata yang melotot.
Deryl malah melebarkan senyuman sambil menarik istrinya.
“Kami pergi dulu ya, Bu.” Deryl berpamitan dan tak menghiraukan Afsana yang memprotes dalam diam.
“Iya. Hati-hati. Jangan ngebut-ngebut.”
“Iya, Bu.”
Mereka berlalu.
“Afsana jangan sampai meminta cerai. Dia wanita baik. Deryl harusnya nggak berhubungan lagi sama Klara,” gumam Asih ketika melihat anak dan menantunya pergi menaiki motor.
“Apaan sih, kamu! Pegang-pegang sembarangan!” protes Afsana ketika motor telah melaju di jalan raya.
“Gara-gara kamu, kok! Bukannya kamu tadi mau menceritakan tentang rencanaku yang mau menikahi Klara? Jangan bodoh, ya! Aku masih merahasiakan semuanya! Kamu jangan ngomong sembarangan!”
Dua orang yang baru saja melangkah ke jenjang pelaminan, nyatanya tak seharmonis kebanyakan orang. Di atas motor dengan angin yang menerpa sebagai saksi bisu pertengkaran mereka.
“Terus, kamu jadi boleh memegangku, gitu? Kamu juga, jangan bodoh, ya!”
Afsana sebenarnya tahu batasan sebagai seorang istri, tetapi itu terjadi ketika ia menikah dengan orang yang tepat menurutnya. Ini kan, sudah menikah karena terpaksa, gara-gara harus menebus utang. Ditambah, suaminya tak sesuai harapan. Minus akhlak bagi Afsana sulit untuk mendapat penghormatan khusus darinya. Ia ingin mengabaikan tugas istri yang baik agar bisa lepas dari Deryl.
“Kita cari tempat makan di pantai. Aku akan bertemu sama Klara. Kamu bebas mau ngapain.”
Deryl mengalihkan pembicaraan hingga membuat Afsana ingin menggeplak kepala yang ada di hadapannya. Namun, ia menahan diri.
“Aku menunggu di tempat makan. Cepat ke sini. Aku kangen.”
Deryl mengirim pesan itu kepada Klara. Ia juga mengirimkan lokasi keberadaannya.
“Ngapain kamu masih di sini? Sana, pergi sesukamu. Aku nggak mau diganggu waktu aku berbicara sama Klara,” ujar Deryl ketika melihat istrinya asyik memainkan ponsel sambil duduk di meja pesanannya.
“Aku mau di sini. Kamu saja yang pergi. Repot amat, ngusir-ngusir,” ketus Afsana tak memalingkan wajahnya dari ponsel yang di genggam.
Deryl geregetan. Ia menyatukan gigi atas dan bawah kuat-kuat sambil melebarkan mata. Namun, ia tak bisa melakukan apa-apa. Deryl akhirnya bangkit dan mencari tempat duduk lain.
“Jadi orang kok, nyebelin gitu. Bisa-bisanya, Bapak ngomong kalau dia penurut. Apanya yang penurut?”
Di kursi yang lain, Deryl menunggu pujaan hatinya. Ia juga menyempatkan diri untuk menggerutui tindakan wanita yang telah dijodohkan oleh Haribowo. Ya, Deryl selalu merutuki pernyataan yang dilontarkan oleh bapaknya tentang sikap Afsana yang katanya salihah dan bisa diatur sesuka hati. Nyatanya, tak begitu sama sekali.
“Sayang, kamu benar kan, nggak macam-macam sama istri sialanmu itu?” tanya Klara setelah wanita itu duduk di hadapan Deryl.
Posisi antara Deryl dan Afsana lumayan jauh, tetapi Deryl masih bisa melihat keberadaan istrinya yang masih sibuk dengan ponselnya. Sedangkan Klara, ia membelakangi Afsana, hingga tak tahu kalau ada istri pacarnya di tempat yang sama.
Afsana benar-benar tak peduli dengan apa yang sedang dilakukan oleh suaminya bersama pacarnya. Ia fokus dengan ponselnya dan berbisnis online. Walau tak menyetok barang, Afsana sudah berpenghasilan yang cukup besar dari bisnisnya itu meski ia juga bekerja di kantin sebuah pondok pesantren bersama ibunya sebelum dinikahi oleh Deryl. Ia begitu telaten dan merawat bisnisnya dengan sungguh-sungguh hingga banyak orang yang telah percaya padanya.
“Tentu saja, aku nggak melakukan apa-apa, Sayang,” jawab Deryl berusaha fokus pada Klara seorang.
“Kamu tidur sekamar kan, sama dia?” Klara masih memasang wajah cemberut. Bagaimanapun, ia tak rela kalau pacarnya sekamar dengan istrinya.
Belum sempat menjawabnya, fokus Deryl kembali terbagi. Ia melebarkan mata ketika melihat ada seorang lelaki berpeci dan memakai sarung duduk di depan istrinya yang sedang sendirian sambil memainkan ponsel.
“Walau kalian diam, Ibu akan tetap mengurusnya. Tidak ada yang bisa menolak,” tegas Asih meski diakhiri dengan senyuman.“Kalau aku, terserah Afsa saja, Bu,” timpal Deryl.“Nduk, kamu pasti mau, kan?” tanya Asih tatapannya bertemu dengan Afsana di spion.“Kalau kami pergi, Ibu sendirian di rumah,” jawab Afsana sambil nyengir.“Nggak masalah, Nduk. Masih ada mbak-mbak sama pegawai yang lain. Kamu nggak perlu mengkhawatirkannya. Kalian pergi paling lama semingguan. Itu nggak lama, Nduk.”“Tapi, tetap butuh biaya banyak kan, Bu?” Afsana memang merasa tidak enak hati.“Jangan pikirkan itu, Nduk. Setelah kalian pulang bulan madu, Deryl akan bekerja melanjutkan pekerjaan Bapak di tambak. Nantinya akan terkumpul lagi uangnya, Nduk.”Karena tidak ada lagi alasan untuk menolak perintah dari Asih, Afsana mengangguk pelan. Deryl melihatnya. Tentu senyumnya kembali merekah.“Kalau begitu, Afsa mau, Bu.”“Alhamdulillah. Harusnya memang begitu, Nduk. Kamu nggak perlu memusingkan biayanya. Nanti Ibu
Afsana sudah pasti akan mengakhiri pernikahan kami. Dia sudah punya cowok idaman. Dia akan kembali padanya dan menikah. Sedangkan aku, yang mati-matian aku jaga malah berkhianat walau dilakukan demi aku, tapi harusnya bukan begitu caranya.Dalam hati, Deryl berbisik. Tatapannya sendu bergulir tak fokus. Seringnya ke arah bawah, tapi tidak menunduk.Sebelum mulai bicara, Afsana sempat melihat ekspresi yang Deryl gambarkan lewat wajahnya.Apa yang sedang dia pikirkan? “Ayo, Nduk. Bu Asih sama Mas Deryl pasti sudah tidak sabar mendengar keputusanmu,” ujar Aminah membuat Afsana kembali fokus.Afsana kembali mengangguk sambil mengambil napas dalam.“Sebelumnya, terima kasih karena Ibu sama Mas Deryl mau memenuhi kemauanku dan datang ke sini. Untuk waktu yang diberikan kepadaku juga selama tinggal di rumah ini. Aku rasa semua itu cukup untukku berpikir dan harus memberikan keputusan untuk pernikahanku bersama Mas Deryl untuk ke depannya.”Afsana berhenti untuk mengambil napas. Namun, kedua
“Seperti yang kamu lihat sekarang, Af. Alhamdulillah, aku baik walau memang aku jadi sering memikirkanmu,” jawab Deryl yang spontan membuat teman Afsana tidak enak berada di antara mereka.“Af, aku tunggu di motor, ya,” ujarnya berbisik.Afsana ingin mencegah, tetapi tidak mungkin. Hanya bisa melebarkan kedua mata saat temannya perlahan meninggalkannya.“Af, maaf, kamu pasti nggak nyaman bertemu denganku begini.” Perkataan Deryl kembali memfokuskan Afsana.Senyum tersungging untuk sedikit mencairkan suasana.“Takdir yang mempertemukan kita, Mas. Mungkin, agar aku tau kalau kamu sudah benar-benar serius untuk berubah. Kita mungkin perlu bicara, walau nggak lama. Nggak mungkin aku menghindar terus, kan?” ujar Afsana harus menentukan dengan tegas.“Kalau gitu, apa kita bisa cari tempat yang lebih nyaman?”“Boleh, Mas.”Deryl mengitarkan pandangannya. Ia menemukan bangku di taman kecil dan kosong.“Tuh! Di sana, yuk,” ajak Deryl sambil mengacungkan jemarinya.Afsana mengikuti arah telunju
Sudah dua bulan semenjak Deryl mengantarkan Afsana ke rumah orang tuanya, selama itu pula, dua orang itu tidak saling memberi kabar.Jasad Marwan sudah dikembalikan dan dikebumikan dengan benar. Dengan seperti itu pula, Haribowo dan semua yang terlibat sudah jelas dimasukkan ke dalam penjara.“Nduk, sudah dua bulan kamu di sini. Apa kamu belum menentukannya? Kasihan Deryl, pasti sedang menunggu kepastian darimu di sana. Bu Asih kelihatan sayang juga sama kamu kan, Nduk?” tanya Aminah yang duduk di sebelah Afsana.Anak perempuannya itu melihat pergerakan sang ibu. Ia membuang napas perlahan. Tak dimungkiri, Afsana masih bingung mau dibawa ke mana pernikahannya yang baru seumur jagung. Memang benar, ada perjanjian akan bercerai di antara mereka, tetapi Afsana mulai gundah saat mengetahui Deryl bersungguh-sungguh mengubah kepribadiannya.“Tapi memang, sepertinya Deryl tidak pantas dijadikan suami untukmu kan, Nduk? Dia pasti nggak salat atau mengerjakan ibadah yang lain. Walau begitu, ke
“Pak, bagaimana?” tanya Lingga yang bisa ditangkap oleh Deryl.“Mas Lingga, apa kamu juga tahu, hm?” Deryl ingin segera menemukan titik terang sesungguhnya.Mungkin ini waktunya, bagaimanapun perasaan bersalah ini nggak bisa hilang begitu saja. Walau aku sudah coba untuk menebusnya dengan caraku sendiri.Haribowo bergeming. Padahal, Lingga yang ada di sebelahnya tampak gelisah. Pertanyaan yang dilontarkan oleh Deryl terasa menghunjam jantungnya.“Pak, jelaskan kalau memang Bapak tahu,” pinta Asih yang didampingi oleh Afsana. Tenaganya terasa menguap. Butuh orang untuk menjaganya.Embusan kasar dilakukan. Haribowo bersiap mengucapkan kalimat. Ia sudah memutuskan solusi paling tepat. Meski terasa sangat berat.“Aku akan mengakui semuanya,” ujar Haribowo.“Bapak yakin?” tanya Lingga agak kaget.“Iya, Ga. Mungkin inilah saatnya. Bapak merasa bersalah.”Lingga mengangguk pasrah.“Ada apa sebenarnya, Pak?” tanya Asih kini air matanya semakin deras mengalir. Perasaannya tidak karuan. Apakah
“Kamu mau ngapain, sih, De?” tanya Asih sebab setelah Haribowo meninggalkan rumah, anak lelakinya malah sibuk sendiri mempersiapkan keperluan untuk menggali tanah.“Mau gali tanah, Bu.”“Buat apa?” Asih keheranan.“Ada sesuatu yang harus dicaritahu, Bu.” Deryl tidak mengatakan tujuan sesungguhnya karena memang belum jelas hasilnya seperti apa.“Apa memangnya?”Asih makin penasaran, makanya ia ingin segera tahu tujuan itu.“Nanti Ibu akan tahu, Bu. Aku saja penasaran. Sudah tanyanya, Bu. Aku harus segera melakukannya agar rasa penasaran kita menghilang.”Asih menghela napas karena perkataan sang anak belum dipahami. Namun, ia hanya bisa diam dan mengikuti anak lelakinya itu.Sedangkan Afsana, ia juga bingung harus mengatakan kebenarannya atau tidak pada Asih. Dirinya kan tahu semuanya dan yang menjadi alasan Deryl mau menggali tanah itu.Deryl melihat Afsana. Lalu, ia pergi sebentar menemui sang istri.“Kamu pura-pura nggak tahu saja. Biar Ibu lihat sendiri nanti,” bisik Deryl. Lalu, k