Pertanyaan itu dirasa janggal oleh Deryl. Kening tentu mengernyit.“Biar kamu tenang, Mas De. Aku biasa menyibukkan diri dengan membaca Al-Qur’an kalau lagi banyak masalah. Alhamdulillah, hati terasa lebih tenang, Mas De. Mungkin saja, kamu pengen coba, siapa tahu ada perubahan,” ucap Afsana sambil tersenyum. Lalu, ia pergi mengambil kitab suci yang disimpan di lemari.“Ya sudahlah, terserah kamu saja,” jawab Deryl.“Oke.”Afsana kembali duduk. Wudhunya belum batal. Jadi, ia langsung mengambil kitab suci itu dan sekarang membukanya.“Suaraku nggak bagus,” ucap Afsana sebelum memulai melantunkan ayat-ayat suci itu.“Iya. Buruan.”Deryl duduk tak jauh dari Afsana.Afsana mengambil napas. Lalu, ia mulai melafazkan basmallah sebelum membaca ayat-ayat yang tertulis di dalam kitab suci itu.Ketika mendengar suara istrinya, Deryl agak terkejut. Ia membuka mata lebar-lebar untuk sesaat. Yang dikata tidak merdu, nyatanya tak begitu bagi telinga lelaki itu.Sebagus ini dia ngomongnya nggak merd
Jam dinding terus bergerak jarumnya, nyatanya Afsana tidak semudah itu memajamkan matanya kembali setelah bermimpi buruk.“Kenapa belum tidur?” tanya Deryl saat melihat mata istrinya masih terbuka.“Aku jadi nggak ngantuk, Mas. Kamu tidur aja.”“Kenapa?”“Ya karena kamu pasti ngantuk, kan? Nggak usah nungguin aku tidur, Mas.”“Bukan itu. Kamu belum ngantuk karena takut bermimpi buruk lagi, kan?” tebak Deryl.Lebih tepatnya, Afsana belum bisa tidur karena bimbang akan mengatakan mimpi itu pada Deryl atau disimpan sendiri. Namun, mimpinya tadi seperti sebuah petunjuk. Juga, kejadian-kejadian di luar nalar yang beberapa waktu lalu dialami makin menambah pikiran.“Aku cerita, tapi kamu jangan tersinggung, ya, Mas.” Afsana memberanikan diri.“Cerita soal mimpi burukmu itu? Kenapa harus tersinggung?”“Aku ngomong dulu sebelum cerita, Mas. Soalnya, dalam mimpiku sosok itu ngomongnya agak aneh.”“Kamu cerita sambil tiduran begitu?”Memang benar, Afsana tidak beranjak dari tempat pembaringann
“Kamu mau ngapain, sih, De?” tanya Asih sebab setelah Haribowo meninggalkan rumah, anak lelakinya malah sibuk sendiri mempersiapkan keperluan untuk menggali tanah.“Mau gali tanah, Bu.”“Buat apa?” Asih keheranan.“Ada sesuatu yang harus dicaritahu, Bu.” Deryl tidak mengatakan tujuan sesungguhnya karena memang belum jelas hasilnya seperti apa.“Apa memangnya?”Asih makin penasaran, makanya ia ingin segera tahu tujuan itu.“Nanti Ibu akan tahu, Bu. Aku saja penasaran. Sudah tanyanya, Bu. Aku harus segera melakukannya agar rasa penasaran kita menghilang.”Asih menghela napas karena perkataan sang anak belum dipahami. Namun, ia hanya bisa diam dan mengikuti anak lelakinya itu.Sedangkan Afsana, ia juga bingung harus mengatakan kebenarannya atau tidak pada Asih. Dirinya kan tahu semuanya dan yang menjadi alasan Deryl mau menggali tanah itu.Deryl melihat Afsana. Lalu, ia pergi sebentar menemui sang istri.“Kamu pura-pura nggak tahu saja. Biar Ibu lihat sendiri nanti,” bisik Deryl. Lalu, k
“Aku nggak mau disentuh sama kamu walau kita sudah menikah. Aku nggak sudi disentuh sama kamu. Udah rambut panjang, tindikan, akhlak minus, nggak ada bagus-bagusnya kalau jadi ayah dari anak-anakku! Jangan sampai, amit-amit!”Afsana mengatakannya dengan sangat enteng ketika mereka sudah berada di dalam kamar yang sama. Ya, kamar pengantin yang harusnya dipenuhi oleh aura keromantisan yang begitu syahdu. Namun, beda hal dengan dua orang ini.“Dih! Aku juga amit-amit punya anak yang dikandung sama kamu kali! Jangan sok kecantikan! Nafsu juga nggak!”“Baguslah. Lakukan saja terus sampai enam bulanan. Setelah itu, aku akan menggugat cerai.”Deryl melebarkan mata ketika mendengar ucapan yang Afsana lontarkan. Ia yang tak belajar agama tentu tak paham tentang hukum seorang suami yang wajib memberikan nafkah lahir maupun batin.“Hey! Nggak gitu juga! Kamu tahu kan, aku menikahimu gara-gara apa!” bentak Deryl mendekati Afsana yang sejak tadi duduk di sofa.“Bukan urusanku kali! Kamu juga tahu
“Sial! Bau apa ini!” gumam Deryl seraya membuka mata.Menyadari ada yang tak beres dengan dirinya, Deryl membelalakan mata. Betapa terkejutnya ketika kedua lengannya mendekap pinggang bagian belakang dari wanita yang tidur seranjang dengannya. Perlahan tapi pasti, tanggannya dilepas dan mundur pelan-pelan. Ia tak mau membangunkan Afsana yang ternyata tidur di tempat yang semestinya. Deryl sendiri yang melewati batasannya.Apa-apaan ini? Kenapa aku memeluknya? Dan lagi, bau yang nggak enak tadi, datang dari arah pantatnya? Afsana kentut? Sialan!Deryl mengibaskan tangannya pelan berusaha mengusir sisa aroma yang mengganggu pernapasan. Namun, saat melihat tubuh bagian atas milik istrinya, kerudung yang dipakai tersingkap dan lepas. Bukan hanya rambut yang mati-matian ditutupi oleh Afsana telah terlihat, tetapi bagian dada pun terlihat bentuknya begitu jelas.Lelaki yang sebenarnya sudah sah menjadi suami dari Afsana itu malah menarik napas seraya membuang pandangannya. Matanya pun tanpa
Ih! Apaan coba. Pagi-pagi sudah sayang-sayangan begitu sama pacaranya di depan istrinya. Meluk? Ih! Sudah bisa ditebak kalau hubungan mereka sudah selayaknya suami-istri. Ih! Amit-amit! Aku tambah nggak suka sama dia. Pengen cepat-cepat cerai saja. Jangan sampai ada cinta di antara kami dan itu nggak bakal terjadi. Untung saja, tadi malam nggak terjadi apa-apa. Padahal dia mesum begitu sama pacaranya. Alhamdulillah. Sama aku dia tahu diri.Tatapan penuh rasa jijik dihunjamkan ke arah Deryl. Lantas, Afsana kembali memalingkan wajah lurus ke depan. Ia tak mau berlama-lama melihat sikap suaminya yang tak pantas dikata suami.Bagaimana dengan Mas Arsakha, ya? Semenjak dia pergi menuntut ilmu lagi, kami putus hubungan. Dan sekarang, aku malah jadi istri orang. Apa Mas Arsakha sudah tahu? Kan Bu Najwa hadir di pernikahanku. Dan lagi, kata beliau, Mas Arsakha sudah dijodohkan. Ah! Kenapa semua jadi seperti ini?Sambil melepas mukena dan melipatnya, Afsana merenungi kisah hidupnya. Merenungi
Ingatan Deryl terlempar ke masa di mana Klara bertamu ke rumah. Ia mengingat begitu jelas kalau kekasih yang dicintainya itu malah memperlakukan wanita pemilik surganya tak begitu sopan. Ya, Klara tanpa sungkan berani menyuruh-nyuruh Asih. Deryl mengetahuinya ketika ia meninggalkan mereka sebentar, lalu kembali dan mendengar kalimat-kalimat yang kurang enak didengar yang dikatakan oleh Klara.“De! Ngapain kamu berdiri di situ? Mau ikut salat?” tanya Asih ketika melihat anak lelakinya mematung di dekat pintu.Deryl tersentak. Ia melamun hingga tak sadar kalau aktivitas dua orang yang diintip telah usai. Jadilah, ia tertangkap basah. Malu, tentu saja. Namun, ia tak akan memerlihatkannya dengan jelas.“Mana ada! Aku Cuma lewat kok!”Afsana dan Asih tersenyum mengetahui Deryl berusaha untuk berbohong.“Lewat, apa lewat? Aku pikir, sejak tadi, kamu berdiri sambil mengintip ke sini kok,” ujar Afsana mulai mencibir. “Iya kan, Bu. Ibu lihat kalau Mas De berdiri lama di sana. Mana ada lewat be
Afsana tersenyum dengan kedua ujung bibir terasa kaku. Ia bingung, bagaimana harus menanggapi perkataan ibu mertuanya itu?Walau Afsana tidak setuju dengan perjodohan yang terjadi, wanita itu tetap berusaha menghormati para orang tua yang telah membuatnya seperti ini. Ia telah diajarkan rasa sopan sejak kecil. Jadi, sebisa mungkin, ia menjalankan ajaran itu. Kebaikan adalah segalanya. Terutama pada orang tua.“Apa kamu sudah berpikir untuk bercerai dari Deryl, Nduk?” tanya Asih yang membuat Afsana terperajat.Di sisi lain, Deryl sangat terkejut pula. Ia teringat lagi dengan percakapan tadi malam. Afsana yang telah berencana akan menggugat cerai setelah enam bulan pernikahan karena Deryl tak menyentuhnya dan tak memberi nafkah batin. Kalau istrinya itu sampai mengatakan rencana itu sekarang, Deryl benar-benar tak berkutik. Ia harus menghentikannya.Deryl keluar dari persembunyiannya dengan sedikit bersandiwara. Seolah tak mengetahui kalau ada dua orang wanita yang sedang berbicara di s