“Sesuatu yang buruk, tak perlulah dibalas dengan keburukan. Masih banyak cara lain, untuk mencapai kesejahteraan.”
***
Pernikahan bukan sebuah permainan, jaminan, ataupun kesepakatan. Melainkan keputusan tanpa paksaan dari kedua belah pihak. Juga ikatan suci yang Allah janjikan pahala, terhadap mereka yang melakukannya dengan tulus, ikhlas karena Allah.
Lalu, jika ikatan yang seharusnya suci itu justru dirusak oleh tangan-tangan kotor yang haus akan harta dan kekuasaan, pernikahan seperti apakah yang akan tercipta di kehidupan selanjutnya? Bukankah cinta yang dibumbui kemenyan tak kan bertahan lama?
Tak kenal maka tak sayang memang peribahasa yang tepat untuk sebuah hubungan. Namun, bagaimana jika cinta yang diharapkan justru tak kunjung hadir? Melainkan hilang, meninggalkan bercak-bercak hitam dalam kanvas kenangan.
Seperti Nafisa, gadis yang baru saja melepas masa lajangnya itu, kini tengah menerima timbal balik dari a
Malam ini sedikit berbeda dari malam-malam sebelumnya. Bulan sepertiga menggantung, berhiaskan ribuan bintang yang bersinar terang di atas sana. Mencipta keindahan, menularkan aura positif pada mereka yang melihatnya, termasuk pada Nafisa.Dia yang berdiri di balik jendela kamar, dapat dengan jelas menikmati pemandangan indah saat malam semakin gelap. Sungguh ciptaan Tuhan yang luar biasa sempurna, pikirnya. Ia bersyukur, dengan keadaannya yang jauh berbeda dengan perempuan kebanyakan, tetapi masih diberi kesempatan menikmati semuanya tanpa keluhan.Dengan matanya ia dapat memandang langit saat siang dan malam. Dengan telinganya ia dapat mendengar suara yang tercipta karena adanya embusan angin. Dan dengan hidungnya ia bisa menghirup aroma dari segala aroma. Tak peduli walau tubuhnya kurus kerontang. Tak masalah dengan kulitnya yang cokelat kehitaman. Apalagi rambut, yang jelas-jelas keriting karena turunan.Lillah, ia selalu berusaha menerima semua itu.
“Kalau sudah tiba pada waktunya, hujan ataupun badai tak kan bisa lunturkan perasaan. Cinta itu akan terus bersemi, sampai hanya maut yang memisahkan.”Suasana di dalam ruang bercat biru muda itu kembali hening. Sampai hanya terdengar suara detak jam di dinding, juga senandung binatang-binatang kecil di persawahan. Suami istri itu bergeming tanpa kata. Saling menatap, mencipta gejolak-gejolak hasrat di dalam dada.Arzan memiringkan tubuhnya, berbalik menghadap Nafisa yang sudah lebih dulu menghadap ke arahnya. Pelan ia mengangkat tangan, diusapnya puncak kepala Nafisa yang belum membuka hijab. Wanita itu terpejam, merasakan bulu kuduk meremang sambil menggigit bibir.‘Ya, Allah ... jika sekarang saatnya aku menyerahkan semua, karena-Mu aku patuh. Karena-Mu aku rida. Dan karena-Mu, aku akan mencintainya dengan tulus. Setulus dia yang mampu menerima kekurangan dalam diriku.’ Nafisa membuka mata perlahan. Dilihatnya Arzan masih
Laksmi mengangguk sambil meniriskan ceker ke dalam wadah berlubang. Lalu menyisihkannya, sebelum beralih pada bumbu yang harus dihaluskan. Enam siung bawang merah, tiga siung bawang putih, sejumput lada, dan penyedap rasa pun siap untuk diulek. Tak lupa, setelah itu Laksmi mengiris tiga batang daun bawang dan seledri.Setengah jam setelah azan Subuh dikumandangkan, matahari sudah sedikit memberi terang di sebagian alam semesta. Langit tak lagi segelap malam, walau terangnya belum meneroboskan cahaya lewat tiap-tiap jendela rumah.Dari luar suara ayam jantan terdengar berkokok lantang. Tak jarang bersahutan dengan domba yang minta diberi makan. Peliharaan Asep dan Laksmi itu kerap menjadi alarm, sebelum Nafisa menjadi seorang istri yang harus bangun lebih pagi dari suami.Sekarang, usai melakukan salat bersama, Nafisa cepat-cepat membuka dua jendela yang menghadap langsung ke halaman depan. Udara pagi seketika berembus, menerpa wajah tirusnya yang tak lagi terlih
“Neng Nafisa ikut? Aduh, ayah jadi nggak enak.” Farhat melap-lap kedua tangannya pada celemek yang ia pakai sebelum menyambut uluran tangan Arzan juga Nafisa.“Nggak apa-apa. Neng malah senang, Yah.” Nafisa menimpalinya dengan girang. Dia melihat ke sekeliling toko, ruang ukuran enam kali tiga meter itu penuh dengan barang dagangan. Tak hanya bahan plastik dan bahan-bahan kue, agar dab puding pun tertata rapi di etalase.“Duduk di sana, Neng.” Arzan menuduh ember bekas cat putih yang kosong, tempatnya duduk. “Aa mau bantuin ayah mengantongi gula.”Nafisa pun duduk di sama, di antara karung terigu dan ember wadah mentega. Dia ingin membantu, tapi untuk melakukannya perlu melihat bagaimana dulu suami dan ayah mertuanya bekerja.Namun, belum lima menit mereka sampai, dua pelanggan datang. Nafisa yang tak mau hanya duduk berdiam diri pun berdiri, melayani ibu-ibu yang datang den
Nafisa pun duduk di sama, di antara karung terigu dan ember wadah mentega. Dia ingin membantu, tapi untuk melakukannya perlu melihat bagaimana dulu suami dan ayah mertuanya bekerja.Namun, belum lima menit mereka sampai, dua pelanggan datang. Nafisa yang tak mau hanya duduk berdiam diri pun berdiri, melayani ibu-ibu yang datang dengan menanyai apa yang dibutuhkan mereka sambil mencatatnya. Begitu selesai ia langsung mengambil barang-barang tersebut dengan bantuan Arzan, lalu mengantonginya sebelum menjumlahkan semua menggunakan kalkulator.“Dua ratus lima belas ribu, Bu. Ini bonnya.” Nafisa tersenyum tipis setelah sebelumnya menyengir pada Arzan. Ia pikir, melayani pelanggan itu tidak seribet yang dia pikir. “Terima kasih sudah belanja di sini, Bu. Jangan lupa ke sini lagi besok.”“Oh, tentu atuh, Neng. Ibu memang sudah jadi pelanggan di sini.”Nafisa mengangguk, mengiyakan sebelum pelengan di hadapannya itu mengucap pa
“Sesuatu yang indah, tidak selalu datang dari seberapa mahal sebuah barang. Melainkan seberapa tulus dirimu, saat mencipta afeksi terhadap orang lain.”***Mengingat ajakan Arzan saat di perjalanan menuju pulang, Nafisa mengobrak-abrik isi lemari hanya untuk mencari pakaian bagus dan pas setelah mandi. Dia memilah-milah sampai ketemu satu baju yang ia tahu itu adalah kado pernikahan, entah dari siapa. Gamis merah muda bagian dalam, dan abu-abu di bagian luar yang tampak seperti jas.Usai mengenakannya ia berputar-putar di depan cermin. Bagian tengah gamis ia rentangkan sampai seperti membentuk sebuah payung. Cantik. Ya, pakaian itu memang cantik. Dan setidaknya, tubuh kerempeng Nafisa tersembunyi di balik pakaiannya syar'i tersebut.Tak lupa, ia pun menyiapkan tiga pakaian ganti. Barang kali, Arzan tidak akan buru-buru membawanya pulang kembali. Satu pakaian tidur, dua lagi gamis dengan model yang hampir sama untuk pergi ke pasar
Arzan balas tersenyum sambil menyodorkan sebelah tangan, disusul Nafisa yang langsung dipeluk oleh Mariam. “Ayo, masuk. Adik-adikmu sudah tak sabar menunggu.”“Kayak mau ngapain aja ditungguin,” seloroh Arzan, bercanda.“Ya, makanlah. Mereka udah kelaparan,” timpal Mariam sambil tergelak pelan. “Kalian juga belum makan, 'kan?”Sambil berjalan masuk, keduanya mengangguk.“Tuh, kan? Makanya ayo!” Mariam tak cukup sabar sambil menggiring Nafisa yang mengulum senyum.“Iya, iya, Bu.”Arzan yang lebih dulu berjalan pun sampai di ruang keluarga. Kedatangannya langsung disambut oleh kegaduhan yang diciptakan Fitri dan Aisyah. Kedua adiknya itu melontarkan godaan demi godaan, sampai membuat Arzan merasa kebal. Namun, tidak untuk Nafisa. Dia justru tersipu malu, setiap kali dijuluki pengantin baru.“Kalian, kalau kebelet nikah, cari jodoh sana!” balas Arzan, tak
Nafisa bangun dari tidurnya, mengerjap-ngerjap sebelum membuka mata perlahan. Setelah menyadari ada di mana ia sekarang, dadanya naik-turun mengingat betapa hasrat teramat dahsyat di tengah hujan lebat semalam. Tidak ada yang terlewat, semua berputar dalam ingatan, selayaknya sebuah rekaman film.Bibir tipisnya melengkung manis kala melihat Arzan yang masih tertidur pulas. Lelaki di sampingnya itu pasti merasa lelah. Sampai tak sadar, sudah berulang kali hidungnya dimainkan jemari lentik Nafisa. Sadar akan waktu yang terus berjalan, Nafisa menepuk-nepuk pipi Arzan sampai terbangun. Lelakinya itu mengejap, langsung membuka mata.“Sayang, dah bangun?” Arzan mengusap wajahnya kasar sambil menghela napas perlahan.“Huum. Bentar lagi Subuh.” Nafisa menyeringai. “Aku mau mandi, tapi malu.”“Kenapa? Ibu sama ayah belum bangun, kayaknya. Mandi aja.”“Takut.”Arza