Share

Malam Pertama yang Tertunda
Malam Pertama yang Tertunda
Author: AlphQueen

Part. 1. Diam-Diam Menaruh Rasa

“Harta ataupun rupa tidak selalu menjadi tolak ukur manusia, pada siapa mereka akan tanamkan rasa.”

*****

“Gimana kalau pernikahan anak kita segera dilaksanakan, Bu Mariam?”

Laksmi, ibu dari tiga anak lelaki dan satu perempuan itu mengajukan usul setelah beberapa menit duduk berdua di ruang tamu dengan Mariam, ibu dari satu anak lelaki dan dua anak perempuan.

Sebenarnya, ini bukan kali pertama Laksmi mendatangi rumah mewah berlantai dua itu. Sudah sering sejak terjalinnya hubungan antara anak mereka beberapa bulan yang lalu. Namun, keluarga Mariam belum juga menyanggupi apa yang dia ingin perihal kapan dilaksanakannya pernikahan.

Hening. Ruang tamu berukuran 4x4m itu seolah senyap, sampai hanya terdengar suara kipas duduk menyala yang terletak di samping lemari kaca berisi pernak-pernik berbentuk hewan dari keramik. Mariam menghela napas sambil beringsut, tapi belum juga membuka mulut setelah beberapa detik Laksmi menunggu.

Bukan karena tak cukup siap untuk melangsungkan pernikahan yang memang sudah diinginkan anak lelakinya. Akan tetapi, sebagai orang tua, ada banyak hal yang harus Mariam pertimbangkan selain perasaan bernama cinta. Terlebih karena  hubungan anak-anak mereka yang baru terjalin beberapa bulan, itu pun hanya lewat sebuah telepon. Namun, mengingat dari seberapa sering Laksmi datang berkunjung, Mariam kadung menerima apa yang selalu Laksmi bawa sebagai oleh-oleh. Ia pun tak cukup hati kalau sampai harus menolak niat baik dari seseorang.

“Sejak mendiskusikan masalah ini Minggu kemarin, belum ada keputusan apa-apa yang bisa saya katakan saat ini, Bu Laksmi.” Mariam menjawabnya setelah beberapa saat terdiam, memikirkan kata yang pas agar tak menyinggung wanita tua di hadapannya. Ia menyandarkan bahunya pada sandaran kursi setelah sedari tadi duduk tegak di sana.

“Tidak baik menunda-nunda pernikahan, Bu Mariam. Apalagi kalau anak-anak kita sudah saling suka.”

Laksmi tak begitu saja menyerah. Ia tetap meyakinkan Mariam sambil sesekali menoleh mengamati isi ruangan. Tempat itu masih sama seperti beberapa waktu lalu saat ia datang membawa ubi dan singkong. Sebuah bingkai cantik berisi foto satu keluarga besar terpajang di dinding, juga hiasan yang berjejer rapi dalam lemari kaca di bawahnya.

“Saya mah terserah anak-anak, Bu. Kalau memang mereka ingin segera menikah, ya, nikahkan,” timpal Mariam sambil berdeham. “Tapi sejauh ini, anak saya belum membicarakannya. Mungkin, dia masih butuh waktu untuk berpikir.”

“Alhamdulillah, kalau dari pihak saya, semua sudah sepakat untuk segera melaksanakan pernikahan jika memang ada jodohnya,” tutur Laksmi menjelaskan. Ia memang sudah membicarakan masalah pernikahan dengan suami juga anak-anaknya yang ada di perantauan. “Itu kenapa, saya ingin cepat-cepat mendapatkan jawaban.”

“Insya Allah. Biar nanti saya bicarakan lagi dengan keluarga, Bu Laksmi. Sekarang, suami dan anak-anak saya, kan,  belum pulang. Mereka baru saja berangkat pergi ke pasar.”

Sambil menjawab Mariam kembali mengubah posisi duduk, tegak setelah tadi bersandar di kursinya yang empuk. Kedua tangannya lantas bertaut, bertumpu di antara kedua paha yang tertutup gamis biru bercorak bunga-bunga kecil berwarna-warni. Ia menghela napas sambil menyuruh Laksmi untuk mencicipi suguhan. Ada beberapa potong bolu di piring, juga segelas air teh tawar panas di meja.

Laksmi mengangguk, mengiyakan walau akhirnya hanya menyeruput air yang masih terasa panas di lidah. Obrolan demi obrolan kemudian terlontar. Keduanya menceritakan banyak hal tentang kebiasaan anak-anak mereka sampai mencipta tawa, bahkan membuat Mariam sedikit bernostalgia. Dia ingat betul, kalau anak lelaki satu-satunya itu pemalu sedari kecil. Membuat ia harus mengantar dan menunggu anaknya saat masuk sekolah dasar selama setahun penuh.

“Duh, nggak kerasa udah siang aja ini. Saya kebanyakan ngobrol sepertinya, Bu Mariam.” Laksmi bergeser, sedikit lebih maju dari posisi duduk semula sambil meletakkan kantong keresek yang sedari tadi di pangkuannya ke meja. “Saya pamit pulang dulu, Bu. Ini, ada sedikit beras ketan, barang kali mau membuat bubur.”

“Nggak apa-apa, Bu Laksmi. Saya justru senang, dan malah merepotkan sepertinya.” Mariam menerima kantong keresek berisi ketan itu dengan sedikit ragu, tak enak hati karena Laksmi selalu tak pernah datang dengan tangan kosong. Namun, menolak rezeki pun tak mungkin ia lakukan.

“Merepotkan apa, Bu? Saya hanya ingin berbagi supaya keluarga Bu Mariam mencicipi sedikit rezeki yang saya punya.” Laksmi balas tersenyum. “Terima kasih atas waktunya, Bu. Dan saya tunggu keputusan pernikahan anak-anak kita secepat mungkin.”

Mariam yang duduk di hadapannya mengangguk pelan, lalu menyusul saat Laksmi tiba-tiba berdiri. Sambil tersenyum tipis ia berterima kasih, tanpa menjanjikan tentang kapan ia akan memberi keputusan. “Jangan sampai kapok untuk datang ke sini lagi, Bu Laksmi.” Lanjutnya seraya melangkah maju, mengantar tamunya itu ke luar.

Selesai bersalaman, Laksmi pun pergi meninggalkan rumah Mariam dengan harapan, rencana pernikahan anak mereka akan segera dilaksanakan. Ia tak begitu sabar menunggu, ingin segera melepas anak gadisnya pada seorang pemuda yang terkenal baik di masyarakat.

Yaitu Arzan, pemuda tulen berdarah Sunda yang memiliki wajah tampan, bertubuh sedang dengan kulit ibarat seputih susu. Janggutnya tumbuh tipis, tetapi tidak dengan kumis di atas bibir. Matanya bermanik hitam, lengkap dengan alis melengkung tebal seperti ulat bulu.

Lelaki usia dua puluh enam tahun itu menghabiskan masa remaja di pesantren yang tak jauh dari rumahnya. Beda desa, tetapi masih satu kecamatan. Mulai dari belajar sampai mengajar, lalu keluar karena harus membantu usaha Farhat, ayahnya, di pasar Ciranjang sebagai pedagang bahan-bahan kue dan plastik. Sedangkan saat malam, ia mengisi waktunya dengan mengajari anak-anak mengaji di masjid dekat rumah.

Setidaknya, itulah yang pertama kali membuat Laksmi tertarik saat Arzan menjadi bahan obrolan ibu-ibu pedagang yang kerap berbelanja di toko Farhat empat bulan lalu. Mereka sering kali memuji ketampanan, keramahan dan kepintaran yang dimiliki Arzan. Membuat Laksmi akhirnya penasaran, lalu mulai menjadi pelanggan di toko Farhat walau yang dibelinya hanya sekadar bahan-bahan kue.

Dari sana, mulailah Laksmi merancang sebuah rencana. Ia meminta nomor telepon Arzan sebagai langkah pertama, dengan alasan akan menghubungi Arzan kalau-kalau ada barang yang dibutuhkan. Sebab bukan hanya Laksmi yang kerap meminta nomor untuk urusan perbelanjaan, Arzan pun tanpa segan langsung mencatat nomor ponselnya di dalam selembar kertas, lalu menyerahkannya dengan begitu ramah. Laksmi bersorak senang di dalam hati. Betapa ingin agar Arzan menjadi suami Nafisa, anak bungsunya.

Dua minggu berselang, setelah bahan demi bahan kue sering kali Laksmi beli dari toko Farhat, ia mulai menyuruh Nafisa untuk mengirim pesan berisi daftar pesanan dengan alasan tak punya pulsa sebagai langkah kedua. Tanpa berpikir panjang, ia kerap menuliskan bahan yang diperlukan, lalu mengirimkan pesannya itu atas nama ibunya.

Tak berapa lama sejak Nafisa sering mewakili Laksmi untuk mengirim pesan, Arzan mengajaknya berkenalan dengan alasan ingin menyimpan nomor yang masih tak bernama. Tanpa merasa ragu, Nafisa pun menerima niat baik seseorang yang baru saja dikenalnya itu untuk berteman. Ia sedikit merasa senang karena memang tak mempunyai banyak teman.

Sejak saat itu, hubungan Arzan dan Nafisa semakin dekat walau hanya  saling berbalas pesan. Mereka kerap menceritakan banyak hal termasuk pengalaman masing-masing sewaktu masih belajar dan mengajar ngaji di pesantren. Tak jarang, obrolan keduanya bernada candaan. Membuat Nafisa sering kali tersenyum-senyum sambil membaca pesan, begitu juga Arzan sampai membuat orang tuanya terheran-heran.

Arzan yang belum mempunyai pasangan pun seolah kian tertarik, lalu diam-diam menaruh rasa walau sama sekali tak mempunyai gambaran tentang bagaimana Nafisa. Ia menyukainya, mengagumi caranya yang asyik setiap kali berkomunikasi. Yakin atas perasaannya, ia berusaha memberanikan diri setelah beberapa lama menimang-nimang untuk bicara sekaligus memastikan perasaan gadis berdarah Sunda itu, barangkali memang sudah mempunyai tambatan hati.

Namun kenyataannya, Nafisa memang seorang gadis tanpa kekasih. Bahkan belum pernah menjalin hubungan, lebih dari sekadar persahabatan selain cinta monyet saat masih di bangku sekolah dasar dulu. Ia pun mempunyai perasaan yang sama, diam-diam menaruh rasa.

Terlalu senang, Nafisa langsung beranjak bangun dari ranjang, menghampiri Laksmi yang tengah membuat adonan kue kering di dapur. Dia duduk berjongkok dengan napas terengah-engah, lalu menceritakan Arzan yang baru saja mengatakan perasaannya. “T-tapi, aku nggak lagi mimpi, kan? Kok, tiba-tiba gitu? Maksudku ... dia, kan, belum tahu rupaku?”

“Ini namanya jodoh,” timpal Laksmi sambil tersenyum senang karena ternyata, usahanya untuk membuat mereka jatuh cinta tak sia-sia.

“Bu?”

Suara jantan tiba-tiba mengejutkannya. Membuat Laksmi terperanjat dan menoleh seraya tersenyum datar. Ia menghela napas  “Ya?” tanyanya kemudian.

“Ojek?”

*** 

Seminggu sudah Mariam melaksanakan salat istikharah. Pun dengan Farhat dan Arzan demi meyakinkan diri perihal pernikahan yang diusulkan keluarga Nafisa. Saat ini, ia yang sedari awal mencintai gadis desa berdarah Sunda itu sudah mengantongi satu jawaban pasti. Sudah cukup mantap, walau belum pernah bertemu, apalagi bertatap muka secara langsung dengan pujaannya. Ia hanya meyakini apa yang dirasa olehnya, kalau Nafisa memang perempuan soleha, baik, hangat dan bahkan penurut. Cocok untuk dijadikan istri, seperti apa yang diinginkannya selama ini.

“Sudah dipikirkan dengan matang, Nak?”

Di ruang makan, Mariam, ibunya yang selalu tampak awet muda itu bertanya dengan intonasi serius begitu Arzan memberitahu perihal keputusan tentang keinginannya untuk menikahi Nafisa. Takut, kalau sampai anaknya itu merasa terburu-buru.

“Ayah harap, kamu sudah membolak-balikan apa yang kamu putuskan itu, Zan,” timpal Farhat, usai melahap sesendok nasi di tengah-tengah keluarga yang juga menikmati makan malamnya.

Sementara Arzan mengangguk, kedua adiknya—Fitri dan Aisyah—menyimak dan memperhatikan obrolan sambil menyantap makanan lezat di meja. Mereka ingin yang terbaik pula untuk kakak lelaki satu-satunya itu.

“Kalau begitu, kita harus segera memberi tahu keluarga Nafisa, Zan. Terus putuskan, kira-kira tanggal dan bulan berapa kalian akan menikah?” Farhat, ayahnya itu menambahkan sambil mengaduk nasi yang baru saja ia tuangi sesendok sayur tahu kuah santan.

“Sebenarnya, aku dan Nafisa pernah membicarakan masalah tanggal. Ya ... walaupun tadinya hanya iseng, tapi sepertinya pas kalau acara pernikahan itu dilaksanakan bersamaan dengan tanggal lahirnya, Yah.”

“Kapan?” sela Mariam. Ia tak cukup sabar. Tatapannya yang semula fokus ke nasi dalam piring, beralih pada Arzan yang justru asyik mengunyah.

“Enam belas Mei, Bu.” Arzan menyeringai, sebelum akhirnya kembali menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya.

“Wah, cocok!” seru Farhat, “bulan Mei nanti ayah dapat arisan.”

“Oh, iya. Lumayan buat tambah-tambah, Yah.” Mariam berkomentar sambil meletakan gelas yang baru saja selesai ia minum isinya. “Kalau begitu, besok kita harus pergi ke sana, gimana?”

Serempak, semuanya pun mengangguk antusias. Lantas, satu per satu kembali fokus pada apa yang sedang mereka makan. Ada ikan mas, sayur tahu dan jengkol goreng yang dipasak Mariam sebagai menu makan malam mereka.

“Besok, sebaiknya kamu beli cincin dulu, Nak. Biar sekalian lamaran aja, ya, kan, Yah?” Mariam menoleh, melihat ke arah Farhat yang duduk di sebelahnya dengan mulut masih mengunyah. Ia tersenyum tipis.

Sekali lagi Farhat mengangguk, setuju dengan apa yang diusulkan istrinya itu. Sedangkan Arzan yang baru saja selesai makan langsung pamit, undur diri untuk segera pergi ke kamar. Namun, bahagia yang dirasanya tak bisa disembunyikan. Terlihat jelas dari ekspresi , juga aura positif yang terpancar dari raut wajahnya.

Arzan segera meraih ponsel di meja begitu sampai di kamarnya yang cukup besar, lalu mengirim sebuah pesan singkat pada Nafisa tentang apa yang direncanakan keluarganya sambil tersenyum. Lama menunggu pesan balasan, Arzan pun meletakkan kembali ponsel itu di sana.

Ia menengadahkan wajah dengan kedua tangan bertumpu di meja, tempatnya meletakan Al-Quran dan beberapa kitab. Refleks jemarinya bergerak, mengetuk-ngetuk alas meja sampai mencipta bunyi “tok-tok-tok” di tengah keheningan malam.

Sementara jauh dari tempatnya berdiri, Nafisa seketika berlonjak senang. Membuat ia terduduk dari tidurnya, lalu menarik napas perlahan sebelum akhirnya berlari untuk menemui ibu juga ayahnya yang tengah menonton acara televisi di ruang tengah. Ia duduk bersila dengan napas terengah-engah.

“Ada apa, Neng, sampai mengos-ngosan gitu?” 

Asep, ayah Nafisa, yang duduk bersila di lantai beralas karpet plastik dengan kain sarung membungkus setengah dari badannya. Alis lelaki tua itu bertaut, menatap heran anaknya yang tersenyum-senyum sambil mengatur napas. Ia menyesap rokok yang terselip di antara jari tengah dan telunjuk, lalu mengembuskannya sampai mengepul ke udara. Nafisa yang tak kuat menahan asap mengipas-ngipasi area hidung karena terbatuk-batuk.

“Iya, kenapa, sih?” timpal Laksmi. Ia yang semula fokus ke layar TV, berubah haluan sampai menghadap Nafisa yang baru saja selesai menghela napas.

“Ini.” Nafisa menjeda seraya menelan ludah. “Aa bilang, besok mau datang untuk melamar.”

“Melamar?” Laksmi tak percaya, terbelalak sambil mengulang apa yang dikatakan Nafisa sebagai pertanyaan. Anaknya itu mengangguk antusias, tersenyum dengan tatapan haru. “Terus, terus?”

“Neng belum jawab, Bu. Tadi keburu senang dan langsung ke sinu.” Nafisa menyeringai, lalu membuka kunci ponsel sebelum menunjukkan pesan terakhir Arzan.

“Wah, cepat bilangin iya gitu.” Laksmi menyengir sambil menoleh ke arah Asep. “Alhamdulillah, kan, Pak?”

“Iya, alhamdulillah, Bu,” timpal Asep balas tersenyum. Rokok yang semula masih dapat diisap tak lagi ada di tangannya, ia matikan dengan menekankan apinya di dinding asbak. “Kasih tahu kakak-kakakmu jangan lupa, Neng. Ini kabar baik, mereka perlu tahu walau nggak mungkin bisa datang mendadak.”

Nafisa mengangguk-angguk, mengiyakan titah ayahnya. Namun, sebelum itu ia harus membalas pesan Arzan terlebih dulu, memastikan keyakinan lelaki yang belum pernah melihatnya sekali lagi.

[Sebelum Neng mengiyakan, yakin nggak kalau Aa mau melamar? Neng tidak secantik perempuan kebanyakan. Bukan pula anak dari keluarga berada, loh.] Pesan terkirim.

Arzan yang masih berdiri di sisi meja kamarnya langsung membuka pesan balasan. Ia tersenyum, melangkah mundur sebelum duduk di tepi ranjang. Kedua tangannya memegang ponsel yang mulai meredup, berpikir, kata apa yang pas untuk meyakinkan Nafisa.

Ia membuka pola ponsel, lalu mulai mengetik. [Harta atau rupa tidak selalu ciptakan rasa. Tapi hati yang tulus, sudah pasti bisa meluluhlantakkan kepala batu sekalipun. Begitu juga dengan perasaanku. Harta dan rupa tidak menjadi tolak ukur, pada siapa aku harus labuhkan rasa.]

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status