“Lelaki sejati tak kan pernah merasa takut, atau mundur saat mendapatkan ancaman. Entah itu berupa kekerasan, ataupun hanya sekadar pertanyaan yang menyudutkan pilihan.”
***
Arzan berdiri tegak di depan sebuah cermin yang memantulkan seluruh badan. Sambil menyisir rambut berantakannya ia tersenyum lebar, lalu mengatur napas agar tak terlalu tegang saat menjalani acara lamaran nanti. Aura positif kemudian terpancar, membuatnya semakin terlihat tampan dengan kemeja biru muda bertangan panjang yang ia pakai.
“Nak,” panggil Mariam sambil membuka pintu. Dilihatnya anak lelaki yang ia sayangi itu menoleh sambil tersenyum. “Sudah siap?”
“Ya, Bu. Insya Allah.”
Arzan mengangguk antusias sebelum akhirnya berbalik badan membelakangi cermin, lalu melangkah cepat menghampiri Mariam yang masih berdiri di ambang pintu. Digandengnya tangan wanita paruh baya yang memakai gamis biru muda polos, senada dengan kerudungnya itu sambil tersenyum. Mereka berjalan bersisian ke luar rumah. Ayah serta adiknya sudah menunggu di dalam mobil.
Beruntung, cuaca siang ini tidak begitu panas seperti hari-hari kemarin. Cukup sejuk karena sepoi angin berulang kali mengelebat, menerpa wajah penuh bahagia satu keluarga yang akan melakukan lamaran. Langit di atas sana pun tak seterik biasanya, sedikit mendung walau tak menunjukkan akan adanya hujan.
“Nah, itu Ibu sama Kak Arzan!” seru Aisyah sambil membuka pintu, menyambut kedatangan Mariam. Gadis berusia tujuh belas tahun itu tak cukup sabar setelah lama menunggu. “Lama banget dandannya, Kak. Aku sampai kalah. Iya nggak, Kak Fitri?” Ia menoleh ke arah Fitri, mencari dukungan untuk mengolok-olok kakak lelakinya.
Fitri yang tengah duduk bersandar sambil berselancar di dalam Facebook hanya mengangguk-angguk tanpa sepatah kata, tak begitu tertarik dengan ajakan adik bungsunya untuk menggoda Arzan. Ia terlalu asyik berbalas komen, sampai tiba-tiba tertawa pelan sendiri.
“Dih!” Aisyah menautkan alis sambil bergeser, memberi ruang untuk Mariam agar duduk di samping sebelah kirinya. Ia melipat kedua tangan di dada dengan bibir mengerucut.
“Kamunya aja yang kecepatan,” timpal Arzan begitu mendapati Fitri mengacuhkan Aisyah. Ia tertawa pelan, puas melihat kejadian langka sepanjang masa. Biasanya, kakak-beradik itu kompak menggoda Arzan.
“Sudah, sudah. Kalian ini malah bercanda terus.” Mariam yang baru saja duduk tegak seraya memeluk tas selendangnya menengahi. “Jalan, Yah. Bismillah.”
Mobil yang dikendarai Farhat pun akhirnya melaju pelan, keluar dari halaman yang di sekelilingnya terdapat beberapa jenis bunga dan empat pohon palem bambu setinggi dua meteran. Lalu, dengan kecepatan sedang melesat, kedua mata Farhat fokus melihat jalan sambil sesekali melirik kaca spion, memastikan tidak adanya kendaraan lain saat melewati belokan.
Sementara Arzan yang sedari tadi diam nyatanya tengah menebak-nebak, seperti apakah rupa Nafisa yang menguasai hati dan pikirannya selama ini. Apakah gadis desa itu berkulit putih atau hitam manis, bertubuh tinggi atau sedang, dan apakah sebawel saat di telepon atau tidak, pikirnya berulang-ulang.
Demi untuk mengalihkan pemikirannya yang terus-menerus sama, Arzan mengedarkan pandangan dengan menengok ke sisi kiri terlebih dulu. Pohon beringin usia puluhan tahun berjejer di sepanjang pinggiran jalan, dengan berhektar-hektar persawahan di bawahnya yang serempak berwarna hijau tua. Sementara saat menengok ke sisi kanan, dia melihat selokan dengan airnya yang surut karena musim kemarau panjang.
“Tenang aja kali, Kak,” celetuk Fitri dari belakangnya. Gadis usia dua puluh tahunan itu menyengir sambil menopang dagu sambil buru-buru mengalihkan pandangan ke luar jendela. “Kakak udah ganteng, kok.”
“Loh, emang udah ganteng dari lahir, kok,” seloroh Arzan sambil menahan tawa. Dia melirik sekilas adiknya itu dari kaca spion yang terdapat di tengah-tengah atap mobil bagian depan. “Jadi, maaf. Kakak nggak bisa ngasih receh!”
“Dih!” Fitri menoleh seketika, melihat kakaknya sambil mengernyit kesal. “Gueernya kebangetan!”
Seketika, gelak tawa pun memecah keheningan di antara mereka. Membuat Arzan yang semula merasa gugup menjadi jauh lebih tenang karena lagi-lagi, godaan demi godaan terlontar dari mulut kedua adik perempuannya. Tak sadar, setengah jam terlewat dengan begitu cepat. Mereka akan segera sampai di kampung Jati, tempat di mana Nafisa tinggal.
Begitu sampai di depan gang menuju rumah Nafisa, Farhat melewatinya sedikit. Ia menghentikan mobilnya di sana, menepi di depan sebuah rumah tanpa pagar setelah Arzan turun dan meminta izin terlebih dulu.
Satu per satu dari mereka turun sambil merapikan pakaian yang sedikit kusut. Terlebih lagi Arzan, dia bahkan berdeham berulang kali saat menunggu keluarganya di samping mobil karena tiba-tiba merasa sedikit gatal di tenggorokan.
“Rumahnya yang mana, Nak?”
Mariam mengedarkan pandangan. Perkampungan itu jauh lebih asri dari tempat tinggalnya. Tidak ada swalayan, terkecuali warung-warung kecil di pinggir jalan. Tak jauh dari tempatnya berdiri, tampak hijau perbukitan yang dipenuhi pohon dan bambu. Namun, ada satu yang terlihat gundul karena terkena longsor saat musim hujan kemarin.
“Di dalam, Bu. Kata Nafisa masuk gang dulu,” jelas Arzan setelah merasa jauh lebih baik. Untuk memastikannya lagi ia merogoh ponsel di dalam saku celana. Sambil berjalan menyusuri gang, ia menghubungi Nafisa.
Di sisi kirinya terdapat beberapa rumah sederhana beratap asbes. Kebanyakan di antaranya adalah rumah jenis panggung berdinding anyaman bambu. Sedang di sisi kanan, beberapa rumah justru terletak di tengah-tengah persawahan dengan jalan setapak sebagai akses menuju ke rumah masing-masing.
[Rumah ibu catnya warna ungu, A. Bentar lagi pasti sampai,] tutur Nafisa di seberang telepon. [Nomor tujuh puluh delapan.]
[Ungu?] Arzan mendesis sambil mengedarkan pandangan. [Oke. Aa, udah nemu rumahnya.]
[Baiklah. Selamat bertamu,] bisik Nafisa seraya mengucap salam. Tak berapa lama setelah Arzan membalas salam, telepon terputus.
“Rumahnya itu, Bu. Yang cat ungu.” Setelah menelengkan kepala ke kanan dan menunjuk rumah Nafisa, Arzan menoleh melihat keluarganya yang berjalan beriringan di belakang.
“Yang itu?” Mariam memicingkan mata yang sudah terkena rabun jauh, sampai terpaut kedua alis tebalnya.
Arzan mengangguk. Dilihatnya sebuah rumah bercat ungu, dengan putih di setiap kusen jendela dan juga pintu yang tertera nomor tujuh puluh delapan di tengah-tengah. “Tidak salah lagi,” pikirnya.
Belum sempat Arzan mengetuk-ngetukkan kunci pagar besinya, seorang lelaki tinggi kurus keluar dari balik pintu. Asep, ayah Nafisa tersenyum lebar mengetahui siapa yang baru saja datang. Ia bergegas, segera memakai sandal dan membuka tulak pagar. “Alhamdulillah kalian sampai. Mari-mari,” ajaknya seraya mundur memberi jalan.
Arzan yang berada lebih dekat dengan pintu pun langsung masuk, di susul Farhat dan kemudian ibu juga adik-adiknya. Mereka berjalan beriringan, mengikuti Asep yang lalu disambut Laksmi di ambang pintu.
Seperti pertemuan orang-orang pada umunya, usai mengucap salam mereka bersalaman dan saling mencium pipi kiri dan kanan, terkecuali Arzan, Asep dan Farhat. Namun, begitu masuk dan duduk di ruang tamu, Arzan tak menemukan sosok yang membuatnya penasaran sepanjang jalan. Nafisa tidak ada di sana, atau di ruangan lain saat Arzan mencuri pandang.
Sebagai kepala keluarga, Farhat langsung membicarakan maksud dari kedatangannya dengan tanpa mengurangi rasa hormat. Disimak dengan saksama oleh kedua belah pihak keluarga, tak terkecuali Arzan walau fokusnya buyar karena tak kunjung menemukan Nafisa. Dia yang duduk di tengah-tengah Farhat dan Mariam hanya sesekali tersenyum saat Asep melontarkan pujian demi pujian atas ketampanan dan kerapiannya dalam berpakaian.
“Baiklah, Nak Arzan,” kata Asep begitu lamaran baru saja dikatakan Farhat, sebagai wali Arzan.
“I-iya, Pak.” Arzan sedikit terperanjat dan langsung menundukkan pandangan sebelum akhirnya balas menatap Asep.
“Izinkan bapak bertanya, sebelum memanggil Nafisa untuk bergabung dan memberi jawaban atas lamaranmu, ya?” Asep menatap lekat kedua mata Arzan di hadapannya. Seolah tengah mencari ketulusan dari sorot mata pemuda tampan di hadapannya
“Silakan, Pak. Dengan senang hati, saya akan menjawab semampu saya bisa.” Arzan tersenyum tipis, dengan jantung bertalu-talu. Gugup karena untuk pertama kali ia bertemu ayah dari wanita yang dicintainya beberapa minggu terakhir.
“Begini ....” Asep menjeda, memikirkan kata apa yang pas untuk bertanya. “Apa Nak Arzan sudah benar-benar matang dengan keputusan ini?”
Arzan mengangguk yakin dengan bibir tersungging. Pipinya yang sedikit tembam sampai naik karena tertarik. Ia benar-benar serius. Tak terpikir jika harus bermain-main soal asmara dan masa depan.
“Dengan apa pun keadaan Nafisa?” Lanjut Asep, kembali mencari ketulusan dari kedua mata Arzan. Namun, kali ini Arzan bergeming, berpikir tentang apa yang dimaksud oleh lelaki tua di hadapannya.
‘Memang, kenapa dengan keadaan Nafisa?’ pikir Arzan, sebelum akhirnya ia mengangguk lagi.
“Meskipun Nafisa buta, tuli, atau cacat yang lain?” Asep menekankan bagian cacat yang berarti lain baginya. Sebab, ia mengakui betul ketidaksempurnaan anak bungsunya.
Arzan bergeming. Jakunnya terlihat naik-turun saat menelan ludah dengan susah payah. Takut kalau sampai apa yang dikatakan Asep memanglah benar. Pikiran buruk kemudian menari-nari dalam ingatan, membuat ia bergidik semisal istri yang dicintainya tak bisa melakukan apa-apa karena buta.
‘T-tapi nggak mungkin dia bisa membalas pesan kalau memang buta? Ya, walau memang terkadang telat. Atau mungkin tuli? Ah, mana bisa dia bicara lewat telepon!’ Arzan bergumam dalam hati. ‘Terus, cacat apa? Lumpuhkah?’
“Gimana, Nak?” Asep kembali berucap tanya di tengah keheningan.
Dalam sekejap Arzan menoleh, tersenyum kikuk sambil menggaruk pelipisnya yang tak terasa gatal sama sekali. Lantas ia menoleh, melihat kedua orang tuanya bergantian untuk meminta kekuatan. Mereka menganggukkan kepala tanpa ragu.
“Insya Allah.” Ia kembali menarik wajah, menoleh dan melihat Asep yang masih menatapnya. “Insya Allah saya siap, Pak.”
Nafisa yang sedari tadi mencuri dengar dengan jantung berdebar di balik kamar pun bernapas lega. Tersenyum lebar, karena setidaknya ia tahu, kalau Arzan tidak akan memandang bagaimana rupanya yang tak secantik wanita di luar sana. Namun, perasaan gugup masih menyelimuti hatinya. Ia tak begitu percaya diri untuk menemui Arzan dan keluarganya.
“Neng?”
Laksmi mengetuk pintu, seraya memanggil anak bungsunya yang mengunci pintu. Membuat Nafisa yang mendengarnya berlonjak kaget sampai menangkup dada, beristigfar sambil beranjak bangun dari duduknya di depan cermin. Ia melangkah cepat, tetapi lambat saat membuka kunci dan menarik gagang pintu kamarnya.
“Ya, Bu.” Ia berucap kikuk, menyengir mengalihkan rasa gugupnya.
Laksmi melangkah masuk. “Sudah siap untuk menemui mereka, Neng?”
“Insya Allah, Bu.” Nafisa mengangguk pelan sambil menggandeng sebelah tangan keriput Laksmi. Lalu bersandar di pundak ringkih ibunya itu sambil menghela napas. “Tapi aku gugup, Bu.”
“Nggak apa-apa.” Laksmi mengusap lembut serta mencium puncak kepala anak bungsunya itu. Lantas menarik diri dan mengajak Nafisa untuk segera menemui tamu mereka di ruang tamu.
Saat tiba di sana, Nafisa melihat sosok pemuda tengah menunduk dengan kedua tangan bertaut di antara lutut. Begitu mengalihkan pandangan ke sisi lain, dua orang gadis cantik tersenyum manis padanya. Ia balas tersenyum seraya mengucap salam.
Seketika Arzan mengangkat wajah, sorot matanya langsung tertuju pada gadis yang sedari tadi ditunggu-tunggu. “W-waalaikum salam,” jawabnya terbata-bata tanpa mengalihkan pandangan, menilik Nafisa dari ujung kaki sampai kepala yang dibalut kerudung senada dengan warna bajunya, putih.
Pun dengan Farhat dan Mariam, keduanya ikut memandang sosok Nafisa yang alim, seolah terhipnotis oleh keanggunan dan kesederhanaan dari calon menantunya itu. Tidak ada pakaian mewah, tidak pula riasan wajah seperti perempuan pada umumnya. Nafisa hanya memakai gamis berenda putih di sekeliling pinggang, dan juga bedak bayi dengan lipstik merah muda setipis mungkin.
Nafisa menunduk malu, berjalan pelan dengan digandeng Laksmi sebelum duduk di antara ayah dan ibunya itu. Tubuhnya bergetar, jantung hatinya pun tak kalah berdebar. Ia mendadak merasa panas, sampai keringat dingin membasahi puncak kepala.
“Ini putri bapak, Siti Nafisa,” tutur Asep sambil melempar senyum, membuyarkan lamunan Arzan yang langsung mengalihkan pandangan ke arahnya. “Dan kenalkan Neng. Itu Arzan.”
Nafisa terlihat gusar, malu jika harus mengangkat wajah dan melihat dengan jelas bagaimana sosok yang beberapa minggu terakhir mampu mencuri dan memiliki hatinya. Namun, perlahan-lahan ia mengangkat wajah dengan tatapan langsung tertuju pada lelaki yang ditunggunya sedari tadi sambil tersenyum kikuk. Padahal, saat di telepon tadi, ia tak merasakan gugup sama sekali. Arzan balas tersenyum, lalu refleks menggaruk pelipis sebelah kanan yang sama sekali tidak terasa gatal.
Hubungan yang terjalin hanya lewat sebuah ponsel, membuat keduanya merasa aneh saat bertemu secara langsung. Bahkan terasa jauh lebih canggung untuk bicara, walau sebelumnya telah terbiasa mengobrol lewat sambungan telepon. Dalam sekejap, gelenyar aneh mengaliri setiap aliran darah mereka. Mencipta denyar-denyar di dada walau tanpa sepatah kata.
“Nak Arzan datang untuk melamar. Apa Neng bersedia menerimanya?” Asep kembali memecah keheningan di antara kecanggungan mereka. Membuat Arzan, terlebih keluarganya merasa tegang saat menunggu sebuah jawaban.
Nafisa menelan ludah seraya mengucapkan basmalah. “Ya, Ayah.”
“Bukan hanya cinta yang akan membuat pernikahan kian sempurna. Akan tetapi tulusnya hati, untuk menerima setiap kekurangan pasangan.”Sudah dari tiga hari lalu kediaman Mariam ramai oleh orang-orang yang tak lain adalah para tetangga juga sanak saudara. Mereka sengaja datang untuk membantu mempersiapkan segala keperluan acara syukuran sebelum pernikahan. Mulai dari membuat berbagai jenis kue, termasuk bugis dan kue ali sebagai makanan khas di Jawa Barat. Setidaknya sampai tadi malam, saat acara syukuran selesai dilaksanakan.Namun sekarang, begitu pagi menjelang, keramaian bukan lagi karena harus membuat berbagai jenis makanan. Mereka sibuk mempersiapkan diri, memakai pakaian hasil sewaan dengan warna senada: Kebaya biru muda, dipadu padankan dengan kain sinjang batik cokelat yang menyerupai rok setumit.Farhat dan Mariam saling membantu saat merapikan pakaian. Begitu juga Fitri dan Aisyah yang saling memoles wajah dengan setu
“Alhamdulillah, Neng,” kata Tania, Kartika dan Kholiefah bersamaan di dalam kamar pengantin, begitu mendengar acara ijab qabul selesai dilaksanakan. Mencipta senyum dari bibir tipis Nafisa yang sedari tadi menunggu dengan jantung berdebar tak keruan.Istri dari ketiga kakak Nafisa yang datang seminggu sebelum pernikahan itu merasa lega, ikut bahagia karena sekarang status Nafisa bukan lagi seorang gadis. Melainkan istri dari seorang Arzan, pemuda tampan asal kampung Neglasari. Satu per satu dari mereka pun memeluk Nafisa bergantian dari belakang, bahkan mencium kening sebagai tanda sayang.Nafisa yang masih merasa gugup meraih sebelah tangan Tania, istri dari Alvin, kakak tertuanya yang tinggal di kota Sukabumi dengan begitu erat. Ia menoleh dengan bibir terkatup rapat.“Sudah, sekarang kalian sudah sah, toh? Jadi, jangan gugup lagi.” Tania menenangkan sambil menumpukan sebelah tangannya di atas jemari Nafisa.“Iya. Coba senyum,” goda Kartika dan Kholiefah bersamaa
“Jatuh cinta adalah sesuatu yang menyenangkan. Tetapi akan menjadi rumit, kalau masalah kecil saja dipermasalahkan."***Adzan Subuh berkumandang, terdengar jelas dari masjid ke masjid, terlebih yang terletak di belakang rumah Laksmi. Menggema, menggetarkan langit di kampung Jati. Nafisa yang biasa bangun pukul tiga dini hari mengerjap-ngerjapkan mata. Ia terlambat bangun sampai buru-buru menyingkap selimut tebal yang membungkus tubuhnya semalaman seraya duduk bersila.Namun, melihat tidak adanya Arzan membuat ia bergeming barang sejenak. Di mana dia? Pikirnya dalam hati. Barulah setelah itu ia menoleh dan mengedarkan pandangan sembari mengikat rambut yang terlepas saat tertidur pulas. Dilihatnya Arzan tidur di lantai, meringkuk beralaskan kasur lantai yang biasa dipakai tidur saat cuaca panas.“Aa?” gumamnya heran, “kok, tidur di lantai?”Nafisa yang merasa bingung akhirnya beranjak t
"Cinta mungkin tak dapat hadir. Tapi hatinya luluh oleh rasa iba."***Pukul sembilan pagi, usai melakukan sarapan bersama keluarga di rumah Laksmi, Arzan menerima telepon dari Farhat yang menyuruhnya pulang sebentar untuk membicarakan tentang salah satu tokonya di pasar. Arzan pamit, pergi seorang diri walau Nafisa sempat meminta ikut. Ia tak mungkin membawa istrinya itu, karena ada hal lain yang akan dikatakannya pada Mariam.Dengan motor bebek butut ayah mertuanya Arzan berangkat. Ia tak cukup sabar untuk segera sampai dan mengeluhkan apa yang dirasakannya terhadap Nafisa pada Mariam, dengan harapan akan mendapatkan solusi. Ia melajukan motornya cepat, melesat tanpa mengurangi fokusnya berkendara. Namun, begitu sampai dua puluh menit kemudian, yang langsung ditanyakan Mariam adalah menantunya.“Nafisa masih beres-beres rumah, Bu. Jadi nggak bisa ikut. Ibu sehat?” Arzan mengalihkan pembicaraan, balik bertanya seraya menggiring ibunya u
"Segala upaya dilakukan, hanya demi sebuah perasaan!"***Tiga hari menikmati masa pengantin baru di rumah mertua, membuat Arzan merasa terpenjara. Tidak ada yang bisa dilakukannya selain diam di kamar, atau menemani ayah mertuanya di teras sambil menikmati secangkir kopi. Sesekali ia pun membantu Asep memberi makan domba. Seru, karena itu adalah hal yang belum pernah ia lakukan. Namun, karena hari ini Asep dan Laksmi pergi ke ladang, ia yang baru selesai salat hanya duduk-duduk di kursi ruang keluarga sambil menonton acara di televisi.Sesekali matanya menangkap sosok Nafisa, memperhatikan istrinya itu yang sedang melipat baju di lantai, tak jauh dari tempat di mana ia duduk. Walau warna kulit Nafisa terbilang hitam, juga tubuh yang ternyata kerempeng, istrinya itu berwajah cantik dan manis. Pipi tirus membuat hidungnya semakin mancung, kedua mata berbulu lentik itu pun sipit seperti gadis keturunan Tiongk
"Cinta tak kan bisa dipaksa. Tapi, usaha untuk mendapatkannya akan mengubah segala."***‘Malah ikut.’ Arzan mengusap hidung begitu Nafisa masuk. ‘Eh, tapi kan ini kamarnya,' lanjutnya lagi sambil menahan tawa.Nafisa yang baru masuk langsung membuka lemari, menyimpan pakaiannya di sana sebelum kembali untuk mengambil pakaian lain. Tak lupa, sesekali ia mencuri pandang, melihat Arzan duduk di sisi ranjang sambil membaca kitab yang ia bawa sewaktu acara pernikahannya kemarin.Barulah saat untuk ketiga kalinya Nafisa menyimpan baju dalam lemari, ia menutup pintu dan menghampiri Arzan yang masih duduk di sisi ranjang. “Maafin ibu, ya, A. Ibu mah emang suka gitu, suka ngagetin.”“Iya, nggak apa-apa. Lagian salah kita juga nggak nyahut saat dipanggil, 'kan?” tanya Adzan sambil menoleh dan menutup kitab yang baru saja ia baca. Bibirnya yang seksi tersenyum tipis.“Iya, sih. Tapi, kan
“Apa yang terlihat di depan mata, tidak selalu mencerminkan apa yang sebenarnya terjadi.”Matahari kian meninggi, tapi panasnya tak membuat niat Laksmi melemah untuk menemui seorang wanita tua yang terkenal dengan jampi-jampinya. Ia terlalu semangat, tepatnya tak cukup sabar untuk menanyakan perihal ketahanan parfum juga jampi yang ia beli beberapa bulan lalu.Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam lebih, Laksmi pun sampai di kampung Bojong. Bersama tukang ojek, ia melewati gang demi gang sebelum akhirnya tiba di depan sebuah rumah tua bercat kuning kusam.“Tunggu sebentar bisa, Mang?” Laksmi bertanya begitu turun dari motor yang ditumpanginya. “Paling cuma setengah jam.”“Boleh, Bu. Tapi saya minta ongkos yang barusan dulu. Mau beli rokok sama kopi,” tutur lelaki usia tiga puluh tahunan itu sambil menyengir.Laksmi mengangguk, lalu merogoh tas selendang kecil yang menggelayut di tubuhnya yang tambun. “Jangan lupa,
Azan Isya sudah lama berlalu setelah seharian penuh Arzan hanya diam di rumah. Sesekali dia hanya pergi ke kandang, memberi makan domba dengan rumput yang dikumpulkan Asep setiap pagi. Juga duduk-duduk di teras, menemani Asep dan Nafisa mengobrol sembari menikmati secangkir kopi sore tadi.Perkampungan yang cukup jauh dari perkotaan itu sudah sepi dari lalu-lalang warga, apalagi kendaraan. Hanya terdapat beberapa orang yang masih di luar, itu pun karena adanya tugas meronda setiap malam. Kasus pencurian yang kerap terjadi menjelang bulan Ramadan, membuat mereka kompak membagi jadwal jaga. Sebagai warga baru, nama Arzan pun sudah tercatat di papan yang menggantung di pos ronda. Malam ini, dia bersiap-siap keluar seusai salat bersama Asep.“Hati-hati, ya, A. Kalau ada malingnya, Aa jangan ikut ngejar. Mending pulang aja. Kan, Neng juga takut di rumah.” Di dalam kamar, sambil menyodorkan kain sarung dan jaket, supaya Arzan tak kedinginan sepanjang malam, Nafisa b