Share

Part. 2. Lamaran Datang Menyapa

“Lelaki sejati tak kan pernah merasa takut, atau mundur saat mendapatkan ancaman. Entah itu berupa kekerasan, ataupun hanya sekadar pertanyaan yang menyudutkan pilihan.”

*** 

Arzan berdiri tegak di depan sebuah cermin yang memantulkan seluruh badan. Sambil menyisir rambut berantakannya ia tersenyum lebar, lalu mengatur napas agar tak terlalu tegang saat menjalani acara lamaran nanti. Aura positif kemudian terpancar, membuatnya semakin terlihat tampan dengan kemeja biru muda bertangan panjang yang ia pakai.

“Nak,” panggil Mariam sambil membuka pintu. Dilihatnya anak lelaki yang ia sayangi itu menoleh sambil tersenyum. “Sudah siap?”

“Ya, Bu. Insya Allah.”

Arzan mengangguk antusias sebelum akhirnya berbalik badan membelakangi cermin, lalu melangkah cepat menghampiri Mariam yang masih berdiri di ambang pintu. Digandengnya tangan wanita paruh baya yang memakai gamis biru muda polos, senada dengan kerudungnya itu sambil tersenyum. Mereka berjalan bersisian ke luar rumah. Ayah serta adiknya sudah menunggu di dalam mobil.

Beruntung, cuaca siang ini tidak begitu panas seperti hari-hari kemarin. Cukup sejuk karena sepoi angin berulang kali mengelebat, menerpa wajah penuh bahagia satu keluarga yang akan melakukan lamaran. Langit di atas sana pun tak seterik biasanya, sedikit mendung walau tak menunjukkan akan adanya hujan.

“Nah, itu Ibu sama Kak Arzan!” seru Aisyah sambil membuka pintu, menyambut kedatangan Mariam. Gadis berusia tujuh belas tahun itu tak cukup sabar setelah lama menunggu. “Lama banget dandannya, Kak. Aku sampai kalah. Iya nggak, Kak Fitri?” Ia menoleh ke arah Fitri, mencari dukungan untuk mengolok-olok kakak lelakinya.

Fitri yang tengah duduk bersandar sambil berselancar di dalam Facebook hanya mengangguk-angguk tanpa sepatah kata, tak begitu tertarik dengan ajakan adik bungsunya untuk menggoda Arzan. Ia terlalu asyik berbalas komen, sampai tiba-tiba tertawa pelan sendiri.

“Dih!” Aisyah menautkan alis sambil bergeser, memberi ruang untuk Mariam agar duduk di samping sebelah kirinya. Ia melipat kedua tangan di dada dengan bibir mengerucut.

“Kamunya aja yang kecepatan,” timpal Arzan begitu mendapati Fitri mengacuhkan Aisyah. Ia tertawa pelan, puas melihat kejadian langka sepanjang masa. Biasanya, kakak-beradik itu kompak menggoda Arzan.

“Sudah, sudah. Kalian ini malah bercanda terus.” Mariam yang baru saja duduk tegak seraya memeluk tas selendangnya menengahi. “Jalan, Yah. Bismillah.”

Mobil yang dikendarai Farhat pun akhirnya melaju pelan, keluar dari halaman yang di sekelilingnya terdapat beberapa jenis bunga dan empat pohon palem bambu setinggi dua meteran. Lalu, dengan kecepatan sedang melesat, kedua mata Farhat fokus melihat jalan sambil sesekali melirik kaca spion, memastikan tidak adanya kendaraan lain saat melewati belokan.

Sementara Arzan yang sedari tadi diam nyatanya tengah menebak-nebak, seperti apakah rupa Nafisa yang menguasai hati dan pikirannya selama ini. Apakah gadis desa itu berkulit putih atau hitam manis, bertubuh tinggi atau sedang, dan apakah sebawel saat di telepon atau tidak, pikirnya berulang-ulang.

Demi untuk mengalihkan pemikirannya yang terus-menerus sama, Arzan mengedarkan pandangan dengan menengok ke sisi kiri terlebih dulu. Pohon beringin usia puluhan tahun berjejer di sepanjang pinggiran jalan, dengan berhektar-hektar persawahan di bawahnya yang serempak berwarna hijau tua. Sementara saat menengok ke sisi kanan, dia melihat selokan dengan airnya yang surut karena musim kemarau panjang.

“Tenang aja kali, Kak,” celetuk Fitri dari belakangnya. Gadis usia dua puluh tahunan itu menyengir sambil menopang dagu sambil buru-buru mengalihkan pandangan ke luar jendela. “Kakak udah ganteng, kok.”

“Loh, emang udah ganteng dari lahir, kok,” seloroh Arzan sambil menahan tawa. Dia melirik sekilas adiknya itu dari kaca spion yang terdapat di tengah-tengah atap mobil bagian depan. “Jadi, maaf. Kakak nggak bisa ngasih receh!”

“Dih!” Fitri menoleh seketika, melihat kakaknya sambil mengernyit kesal. “Gueernya kebangetan!”

Seketika, gelak tawa pun memecah keheningan di antara mereka. Membuat Arzan yang semula merasa gugup menjadi jauh lebih tenang karena lagi-lagi, godaan demi godaan terlontar dari mulut kedua adik perempuannya. Tak sadar, setengah jam terlewat dengan begitu cepat. Mereka akan segera sampai di kampung Jati, tempat di mana Nafisa tinggal.

Begitu sampai di depan gang menuju rumah Nafisa, Farhat melewatinya sedikit. Ia menghentikan mobilnya di sana, menepi di depan sebuah rumah tanpa pagar setelah Arzan turun dan meminta izin terlebih dulu.

Satu per satu dari mereka turun sambil merapikan pakaian yang sedikit kusut. Terlebih lagi Arzan, dia bahkan berdeham berulang kali saat menunggu keluarganya di samping mobil karena tiba-tiba merasa sedikit gatal di tenggorokan.

“Rumahnya yang mana, Nak?”

Mariam mengedarkan pandangan. Perkampungan itu jauh lebih asri dari tempat tinggalnya. Tidak ada swalayan, terkecuali warung-warung kecil di pinggir jalan. Tak jauh dari tempatnya berdiri, tampak hijau perbukitan yang dipenuhi pohon dan bambu. Namun, ada satu yang terlihat gundul karena terkena longsor saat musim hujan kemarin.

“Di dalam, Bu. Kata Nafisa masuk gang dulu,” jelas Arzan setelah merasa jauh lebih baik. Untuk memastikannya lagi ia merogoh ponsel di dalam saku celana. Sambil berjalan menyusuri gang, ia menghubungi Nafisa.

Di sisi kirinya terdapat beberapa rumah sederhana beratap asbes. Kebanyakan di antaranya adalah rumah jenis panggung berdinding anyaman bambu. Sedang di sisi kanan, beberapa rumah justru terletak di tengah-tengah persawahan dengan jalan setapak sebagai akses menuju ke rumah masing-masing.

[Rumah ibu catnya warna ungu, A. Bentar lagi pasti sampai,] tutur Nafisa di seberang telepon. [Nomor tujuh puluh delapan.]

[Ungu?] Arzan mendesis sambil mengedarkan pandangan. [Oke. Aa, udah nemu rumahnya.]

[Baiklah. Selamat bertamu,] bisik Nafisa seraya mengucap salam. Tak berapa lama setelah Arzan membalas salam, telepon terputus.

“Rumahnya itu, Bu. Yang cat ungu.” Setelah menelengkan kepala ke kanan dan menunjuk rumah Nafisa, Arzan menoleh melihat keluarganya yang berjalan beriringan di belakang.

“Yang itu?” Mariam memicingkan mata yang sudah terkena rabun jauh, sampai terpaut kedua alis tebalnya.

Arzan mengangguk. Dilihatnya sebuah rumah bercat ungu, dengan putih di setiap kusen jendela dan juga pintu yang tertera nomor tujuh puluh delapan di tengah-tengah. “Tidak salah lagi,” pikirnya.

Belum sempat Arzan mengetuk-ngetukkan kunci pagar besinya, seorang lelaki tinggi kurus keluar dari balik pintu. Asep, ayah Nafisa tersenyum lebar mengetahui siapa yang baru saja datang. Ia bergegas, segera memakai sandal dan membuka tulak pagar. “Alhamdulillah kalian sampai. Mari-mari,” ajaknya seraya mundur memberi jalan.

Arzan yang berada lebih dekat dengan pintu pun langsung masuk, di susul Farhat dan kemudian ibu juga adik-adiknya. Mereka berjalan beriringan, mengikuti Asep yang lalu disambut Laksmi di ambang pintu.

Seperti pertemuan orang-orang pada umunya, usai mengucap salam mereka bersalaman dan saling mencium pipi kiri dan kanan, terkecuali Arzan, Asep dan Farhat. Namun, begitu masuk dan duduk di ruang tamu, Arzan tak menemukan sosok yang membuatnya penasaran sepanjang jalan. Nafisa tidak ada di sana, atau di ruangan lain saat Arzan mencuri pandang.

Sebagai kepala keluarga, Farhat langsung membicarakan maksud dari kedatangannya dengan tanpa mengurangi rasa hormat. Disimak dengan saksama oleh kedua belah pihak keluarga, tak terkecuali Arzan walau fokusnya buyar karena tak kunjung menemukan Nafisa. Dia yang duduk di tengah-tengah Farhat dan Mariam hanya sesekali tersenyum saat Asep melontarkan pujian demi pujian atas ketampanan dan kerapiannya dalam berpakaian.

“Baiklah, Nak Arzan,” kata Asep begitu lamaran baru saja dikatakan Farhat, sebagai wali Arzan.

“I-iya, Pak.” Arzan sedikit terperanjat dan langsung menundukkan pandangan sebelum akhirnya balas menatap Asep.

“Izinkan bapak bertanya, sebelum memanggil Nafisa untuk bergabung dan memberi jawaban atas lamaranmu, ya?” Asep menatap lekat kedua mata Arzan di hadapannya. Seolah tengah mencari ketulusan dari sorot mata pemuda tampan di hadapannya

“Silakan, Pak. Dengan senang hati, saya akan menjawab semampu saya bisa.” Arzan tersenyum tipis, dengan jantung bertalu-talu. Gugup karena untuk pertama kali ia bertemu ayah dari wanita yang dicintainya beberapa minggu terakhir.

“Begini ....” Asep menjeda, memikirkan kata apa yang pas untuk bertanya. “Apa Nak Arzan sudah benar-benar matang dengan keputusan ini?”

Arzan mengangguk yakin dengan bibir tersungging. Pipinya yang sedikit tembam sampai naik karena tertarik. Ia benar-benar serius. Tak terpikir jika harus bermain-main soal asmara dan masa depan.

“Dengan apa pun keadaan Nafisa?” Lanjut Asep, kembali mencari ketulusan dari kedua mata Arzan. Namun, kali ini Arzan bergeming, berpikir tentang apa yang dimaksud oleh lelaki tua di hadapannya.

‘Memang, kenapa dengan keadaan Nafisa?’ pikir Arzan, sebelum akhirnya ia mengangguk lagi.

“Meskipun Nafisa buta, tuli, atau cacat yang lain?” Asep menekankan bagian cacat yang berarti lain baginya. Sebab, ia mengakui betul ketidaksempurnaan anak bungsunya.

Arzan bergeming. Jakunnya terlihat naik-turun saat menelan ludah dengan susah payah. Takut kalau sampai apa yang dikatakan Asep memanglah benar. Pikiran buruk kemudian menari-nari dalam ingatan, membuat ia bergidik semisal istri yang dicintainya tak bisa melakukan apa-apa karena buta.

‘T-tapi nggak mungkin dia bisa membalas pesan kalau memang buta? Ya, walau memang terkadang telat. Atau mungkin tuli? Ah, mana bisa dia bicara lewat telepon!’ Arzan bergumam dalam hati. ‘Terus, cacat apa? Lumpuhkah?’

“Gimana, Nak?” Asep kembali berucap tanya di tengah keheningan.

Dalam sekejap Arzan menoleh, tersenyum kikuk sambil menggaruk pelipisnya yang tak terasa gatal sama sekali. Lantas ia menoleh, melihat kedua orang tuanya bergantian untuk meminta kekuatan. Mereka menganggukkan kepala tanpa ragu.

“Insya Allah.” Ia kembali menarik wajah, menoleh dan melihat Asep yang masih menatapnya. “Insya Allah saya siap, Pak.”

Nafisa yang sedari tadi mencuri dengar dengan jantung berdebar di balik kamar pun bernapas lega. Tersenyum lebar, karena setidaknya ia tahu, kalau Arzan tidak akan memandang bagaimana rupanya yang tak secantik wanita di luar sana. Namun, perasaan gugup masih menyelimuti hatinya. Ia tak begitu percaya diri untuk menemui Arzan dan keluarganya.

“Neng?”

Laksmi mengetuk pintu, seraya memanggil anak bungsunya yang mengunci pintu. Membuat Nafisa yang mendengarnya berlonjak kaget sampai menangkup dada, beristigfar sambil beranjak bangun dari duduknya di depan cermin. Ia melangkah cepat, tetapi lambat saat membuka kunci dan menarik gagang pintu kamarnya.

“Ya, Bu.” Ia berucap kikuk, menyengir mengalihkan rasa gugupnya.

Laksmi melangkah masuk. “Sudah siap untuk menemui mereka, Neng?”

“Insya Allah, Bu.” Nafisa mengangguk pelan sambil menggandeng sebelah tangan keriput Laksmi. Lalu bersandar di pundak ringkih ibunya itu sambil menghela napas. “Tapi aku gugup, Bu.”

“Nggak apa-apa.” Laksmi mengusap lembut serta mencium puncak kepala anak bungsunya itu. Lantas menarik diri dan mengajak Nafisa untuk segera menemui tamu mereka di ruang tamu.

Saat tiba di sana, Nafisa melihat sosok pemuda tengah menunduk dengan kedua tangan bertaut di antara lutut. Begitu mengalihkan pandangan ke sisi lain, dua orang gadis cantik tersenyum manis padanya. Ia balas tersenyum seraya mengucap salam.

Seketika Arzan mengangkat wajah, sorot matanya langsung tertuju pada gadis yang sedari tadi ditunggu-tunggu. “W-waalaikum salam,” jawabnya terbata-bata tanpa mengalihkan pandangan, menilik Nafisa dari ujung kaki sampai kepala yang dibalut kerudung senada dengan warna bajunya, putih.

Pun dengan Farhat dan Mariam, keduanya ikut memandang sosok Nafisa yang alim, seolah terhipnotis oleh keanggunan dan kesederhanaan dari calon menantunya itu. Tidak ada pakaian mewah, tidak pula riasan wajah seperti perempuan pada umumnya. Nafisa hanya memakai gamis berenda putih di sekeliling pinggang, dan juga bedak bayi dengan lipstik merah muda setipis mungkin.

Nafisa menunduk malu, berjalan pelan dengan digandeng Laksmi sebelum duduk di antara ayah dan ibunya itu. Tubuhnya bergetar, jantung hatinya pun tak kalah berdebar. Ia mendadak merasa panas, sampai keringat dingin membasahi puncak kepala.

“Ini putri bapak, Siti Nafisa,” tutur Asep sambil melempar senyum, membuyarkan lamunan Arzan yang langsung mengalihkan pandangan ke arahnya. “Dan kenalkan Neng. Itu Arzan.”

Nafisa terlihat gusar, malu jika harus mengangkat wajah dan melihat dengan jelas bagaimana sosok yang beberapa minggu terakhir mampu mencuri dan memiliki hatinya. Namun, perlahan-lahan ia mengangkat wajah dengan tatapan langsung tertuju pada lelaki yang ditunggunya sedari tadi sambil tersenyum kikuk. Padahal, saat di telepon tadi, ia tak merasakan gugup sama sekali. Arzan balas tersenyum, lalu refleks menggaruk pelipis sebelah kanan yang sama sekali tidak terasa gatal.

Hubungan yang terjalin hanya lewat sebuah ponsel, membuat keduanya merasa aneh saat bertemu secara langsung. Bahkan terasa jauh lebih canggung untuk bicara, walau sebelumnya telah terbiasa mengobrol lewat sambungan telepon. Dalam sekejap, gelenyar aneh mengaliri setiap aliran darah mereka. Mencipta denyar-denyar di dada walau tanpa sepatah kata.

“Nak Arzan datang untuk melamar. Apa Neng bersedia menerimanya?” Asep kembali memecah keheningan di antara kecanggungan mereka. Membuat Arzan, terlebih keluarganya merasa tegang saat menunggu sebuah jawaban.

Nafisa menelan ludah seraya mengucapkan basmalah. “Ya, Ayah.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status