“Bukan hanya cinta yang akan membuat pernikahan kian sempurna. Akan tetapi tulusnya hati, untuk menerima setiap kekurangan pasangan.”
Sudah dari tiga hari lalu kediaman Mariam ramai oleh orang-orang yang tak lain adalah para tetangga juga sanak saudara. Mereka sengaja datang untuk membantu mempersiapkan segala keperluan acara syukuran sebelum pernikahan. Mulai dari membuat berbagai jenis kue, termasuk bugis dan kue ali sebagai makanan khas di Jawa Barat. Setidaknya sampai tadi malam, saat acara syukuran selesai dilaksanakan.
Namun sekarang, begitu pagi menjelang, keramaian bukan lagi karena harus membuat berbagai jenis makanan. Mereka sibuk mempersiapkan diri, memakai pakaian hasil sewaan dengan warna senada: Kebaya biru muda, dipadu padankan dengan kain sinjang batik cokelat yang menyerupai rok setumit.Farhat dan Mariam saling membantu saat merapikan pakaian. Begitu juga Fitri dan Aisyah yang saling memoles wajah dengan setumpuk peralatan kecantikan sampai tak kalah cantik dengan aktris-aktris di televisi. Merekan pun tak segan-segan mendandani Mariam sampai terlihat jauh lebih muda.Sementara Arzan yang melakukan segalanya sendirian baru saja selesai memasang kemeja putih dengan jas hitam, senada dengan sepatu pantofelnya yang mengilap oleh polesan semir. Dia berdiri tegak di depan cermin, melihat pantulan diri sekali lagi untun mengecek barangkali ada yang lupa dipakai.“Ah, ya. Kopiah,” gumamnya seraya membuka lemari. Kopiah hitam yang baru seminggu lalu ia beli masih tersimpan rapi di dalam dus.Begitu diri merasa mantap untuk berangkat, buru-buru ia keluar kamar dan menemui orang tua juga adik dan keluarga besarnya yang akan ikut mengantar di ruang tamu, termasuk Ustaz Zaki selaku panutan Arzan. Mereka sudah cukup lama duduk menunggu sambil mengobrol, membicarakan perihal apa saja yang akan dibawa, lalu mengeceknya kembali agar tak ketinggalan.Namun, semuanya sudah terkumpul rapi di salah satu kursi, termasuk dua karung besar beras dari sawah sendiri. Bersisian dengan barang bawaan berisi kebutuhan Arzan dan Nafisa sebagai cendera mata yang dihias sedemikian rupa, sampai ada yang menyerupai angsa.“Siap berangkat?” Arzan berucap begitu sampai di ruang tamu. Keluarganya menoleh, terbelalak melihat kesempurnaan dan ketampanan yang dimiliki lelaki usia dua puluh enam tahunan itu.Keluarganya mengangguk antusias, lalu bergegas pergi keluar setelah mengambil satu per satu barang yang harus dibawa oleh masing-masing dari mereka, terkecuali Arzan dan orang tuanya. Di halaman depan sudah tersedia lima AVV hitam yang tiga di antaranya adalah kendaraan sewaan, tanpa riasan seperti mobil yang akan ditumpangi Arzan.Sebelum berangkat, Farhat memberi mukadimah terlebih dulu. Ia mengucapkan banyak terima kasih pada beberapa tetangga juga keluarga yang sudah menyempatkan diri untuk ikut mengantar ke pernikahan Arzan. Lalu, giliran Ustaz Zaki, selaku pemilik dari pesantren di mana Arzan belajar dan mengajar dulu untuk mengisi doa ritual penutup dengan harapan, perjalanan lancar serta selamat sampai tujuan. Mereka langsung mengangkat kedua telapak tangan sedada, lalu mengaminkannya begitu doa selesai dipanjatkan.Satu per satu dari mereka lantas masuk ke mobil, duduk bersampingan sambil mengobrol untuk mengisi waktu di sepanjang perjalanan. Begitu semua siap, mobil pengantin yang dikendarai Kang Dirman, adik bungsu Farhat, melaju lebih dulu sebagai pemimpin jalan. Ia menengok kaca spion kiri dan kanan bergantian untuk memastikan ada dan tidaknya kendaraan lain di belakang saat hendak melewati belokan.Tak lebih dari tiga puluh menit, sampailah keluarga Arzan bersama rombongan lainnya di kampung Jati. Satu per satu keluar setelah mobil terparkir di tempat yang telah disediakan, membawa serta barang bawaan. Arzan berjalan lebih dulu, rombongan pun mengikuti langkahnya menyusuri gang berukuran satu meter setengah, sepanjang kurang lebih seratus meter.Begitu sampai, kedatangan mempelai pria langsung disambut dengan iring-iringan rentak rebana para santri dari pesantren Al-Hidayah yang dipimpin oleh Ustaz Zaki sendiri. Mereka terlihat ikut bahagia, tersenyum lebar sepanjang mengalunkan beberapa selawat Nabi. Suasana penyambutan tampak begitu meriah, mencipta senyum dari wajah-wajah mereka yang menyaksikannya. Lebih berwarna lagi karena adanya hiasan pesta outdoor yang dibuat kasual. Pelaminan kayu diganti backdrop berbalut batik berwarna biru muda, lengkap dengan taman di bawah panggung yang dipenuhi bunga dan payung kecil, juga pagar kayu setinggi tujuh puluh lima centimeter bercat putih sebagai pembatas antara panggung dan tempat untuk para tamu undangan.Lahan kosong di depan rumah Laksmi itu sudah disewa, lalu dihias sedemikian rupa dengan menggantungkan berbagai jenis bunga plastik di setiap tiang penyangga tenda. Ditambah kain-kain panjang berwarna senada dengan pelaminan yang menutupi area panggung.Begitu penyambutan selesai, acara berlanjut ke tahap serah terima barang berupa cendera mata dari mempelai pria untuk mempelai wanita. Sampai tiba di mana Arzan sudah berhadapan dengan wali mempelai wanita, Asep Sudrajat, selaku ayah Nafisa, dan penghulu di panggung pelaminan. Farhat, didampingi Kang Dirman, Ustaz Zaki dan beberapa kerabat lain pun duduk di samping Arzan.“Bismillah dulu, Nak Arzan,” kata Pak Penghulu sambil tersenyum, menggoda Arzan yang tampak gugup.Arzan mengangguk, balas tersenyum sambil mengucapkan Basmalah di dalam hati.“Sudah siap?” lanjut Pak Penghulu. “Insya Allah siap, Pak.”Namun, sebelum dimulainya acara ijab qabul, Pak Penghulu menyatakan beberapa poin terlebih dulu, memberitahu Arzan perihal apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan seorang suami terhadap istri sambil menunjukkan sebuah buku tentang panduan berumah tangga. Di sana, terdapat beberapa cerita dari pengalam orang-orang yang pernah dirongrong banyak masalah dalam keluarga, tetapi mampu menyelesaikannya dengan baik. Barulah setelah suasana tegang kian mencair, Pak Penghulu mulai menuntun Arzan. Diraihnya uluran tangan Asep dengan jantung berdebar, lalu ia menarik dan mengembuskan napas perlahan saat mendengar kalimat ijab qabul yang dikatakan Asep.Detik kemudian Arzan menjawab, “Saya terima nikah dan kawinnya Siti Nafisa bin Asep Sudrajat dengan maskawin berupa emas sepuluh gram dibayar tunai.”“Bagaimana sah?” tanya penghulu sambil menoleh ke sisi kiri dan kanan.“Sah!” seru serempak para saksi yang tak lain adalah keluarga dan tetangga mereka sendiri.“Alhamdulillah, Neng,” kata Tania, Kartika dan Kholiefah bersamaan di dalam kamar pengantin, begitu mendengar acara ijab qabul selesai dilaksanakan. Mencipta senyum dari bibir tipis Nafisa yang sedari tadi menunggu dengan jantung berdebar tak keruan. Istri dari ketiga kakak Nafisa yang datang seminggu sebelum pernikahan itu merasa lega, ikut bahagia karena sekarang status Nafisa bukan lagi seorang gadis. Melainkan istri dari seorang Arzan, pemuda tampan asal kampung Neglasari. Satu per satu dari mereka pun memeluk Nafisa bergantian dari belakang, bahkan mencium kening sebagai tanda sayang."Mulai sekarang, tanggung jawab ibuku beralih tangan, Neng. Selamat, ya." Salah satu dari kakak iparnya itu berucap lagi. Membuat Nafisa seketika tersipu malu. Sampai merona di kedua belah pipinya yang tirus.
Setelah beberapa waktu tak sempat pergi ke pemakaman karena sibuk bekerja, Arzan pun akhirnya berangkat hari itu juga tanpa ditemani siapa pun. Dia memang sengaja ingin pergi seorang diri, setelah terakhir kali pergi bersama keluarga juga anaknya. Selain karena ingin khusuk saat mengirim doa, lelaki berambut cepak itu pun ingin mencurahkan seluruh kerinduannya dalam setiap untaian kata.Dinyalakannya mesin motor yang biasa Arzan pakai untuk membonceng Nafisa ke mana pun. Lantas, ia lajukan motornya itu sehingga keluar dari halaman rumah sang Ibu. Ya, setelah sebelumnya mengontrak rumah sederhana dengan Nafisa, Arzan pun memilih untuk kembali tinggal dengan orang tuanya untuk bisa menitipkan Razan saat ia pergi ke pasar. Lagi pula, keluarga Nafisa benar-benar menyerahkan anaknya itu sebagai pengganti Nafisa.Di sepanjang jalan, isi pikiran Arzan dipenuhi oleh kenangan-kenangan bersama Nafisa. Mulai dari bagaimana dirinya bisa be
“Di mana ada pertemuan, kita pun akan menjumpai sebuah perpisahan. Dan rasa sakit karena kehilangan, seharusnya menjadi cambuk untuk melanjutkan perjuangan.”***Malam semakin larut, tapi Nafisa belum juga melahirkan bayi yang diharapkannya. Bayi yang menjadi satu-satunya alasan untuk tetap bertahan hidup saat tenggelam dalam tekanan batin. Ia hanya terus mengerang kesakitan, mengejan setiap kali terjadi kontraksi yang mengencangkan perut serta otot-ototnya. Membuat kaki yang semula menekuk seperti orang tengah berjongkok lurus seketika, menegang seiring jempol dan telunjuk bertaut. Barulah setelah hilang rasa sakit di perut, otot-ototnya melerai lagi. Ia tergolek lemah di tengah-tengah isak tangisnya.“Aa bangga padamu, Neng. Semangatlah.”Arzan berbisik seraya mengusap kening. Suasana di dalam ruang persalinan tersebut membuatnya kepanasan, semakin berkeringat karena perasaan cemas yang sedari tadi kem
SELEPAS ISYA, setelah Ibnu memberi tahu rencananya pada Said, ia pamit pergi pada ibunya. Walau dilarang dan dihalang-halangi, Ibnu justru menerobos dengan mata menyorot tajam pada ibunya sendiri.Wanita itu tak bisa apa-apa selain melepas buah hatinya pergiIbnu berjalan keluar, menghentikan angkot kemudian menaikinya cepat-cepat. Ia begitu tidak sabar ingin segera memukul bagian kemaluan Zein, seperti yang dilakukan orang suruhannya.Setengah jam ia sampai di perempatan jalan. Menengok ke sisi kiri dan kanan, kemudian ia turun dari angkot dan memberi selembar uang.Gelap. Di daerah itu memang jarang ada lampu penerang jalan. Ibnu melangkah hendak menyebrang. Tapi ...BRUKKK ... Seseorang memakai helm menubruknya kencang-kencang dengan motor. Ibnu terpental beberapa meter dari lokasi. Tubuhnya menggelinding di jalan aspal.“I-ibu ....”Gamer’s king itu terengah-engah, sekarat. Wajahnya berlumuran darah tak berupa. C
Seseorang datang, terperangah dengan kaki membeku. Mulutnya ternganga dengan kedua tangan menangkupnya. Ia berdiri tepat di kaki Ibnu yang masih tidak sadarkan diri.“Tttttt-tolonggg ...!” Wanita sekitar dua puluh tahunan itu berteriak. “T-tolong!”Menit kemudian keadaan masih sepi tanpa seorang pun yang datang. Setelah menetralkan keterkejutannya, wanita itu berlari menuju ke rumah Pak Rt setempat.Lalu sepuluh menit kemudian, Ibnu sudah sadarkan diri dan meringis kesakitan. Perlahan, ia menggeser tubuhnya ke tepi jalan. Menyenderkan pundaknya di tembok rumah kosong, sepertinya.“I-itu, Pak!” kata seorang perempuan yang menemukan Ibnu, menunjuk. “Dia sudah sadar, sepertinya.”Pak Rt yang melihat Ibnu langsung mendekat melihat kondisi Ibnu. “Adek, kenapa?”Tak mendapat jawaban, Pak Rt dan satu warga lainnya membopoh Ibnu, membawanya ke rumah Pak Rt untuk penanganan pertama.Di dalam rumah yang tidak terlalu besar, Ibnu berbaring di at
BEGITU TIBA DI RUMAH, Ibnu mendapati ibunya tertidur di ruang tengah dengan televisi menyala. Itu adalah sebuah kebiasaan. Katanya, Nuri tidak bisa tidur tanpa ditemani suara dari televisi, ponsel, atau radio. Karena ia memiliki mimpi yang sama setiap kali tertidur.Ibnu berjinjit menuju ke lantai atas. Sesampainya di kamar, ia segera mengganti baju dan membuka ponsel. Tapi kali ini bukan untuk berman game, dia membuka kontak dengan nama Zein, kemudian mengirim pesan panjang lebar dan sok akrab.“Sore ... kamu Zein, temannya Aurel tukang mereview sebuah game? Kenalin, gue Ibnu temannya Aurel. Singkat kata, maaf gue ganggu dan sok kenal. Tapi gue mau sebuah game yang menantang dan berdarah-darah. Bisa?”Pesan terkirim.Sembari menunggu sebuah balasan, Ibnu membuka laptop dan bermain-main di dalam akun facebooknya. Membalas sebuah chat, komentar, dan lain-lain.Dia berjengkit meraih ponsel yang bergetar. Satu pesan telah masuk dari Zein.
Di KANTIN, Said menunjukkan review sebuah game android berbayar. Alih-alih menyimak setiap penjelasan permainan itu, Ibnu menatap fokus pada Zein, remaja seusianya yang mereview sebuah game balapan mobil.Ibnu menyenderkan pundaknya di kursi. “Lu tahu dari mana kalau dia teman Aurel?”Said meletakkan ponselnya di meja, memutar tubuhnya mengubah posisi duduk, menghadap Ibnu. “Dari Aurel?”Ibnu tersentak dari posisinya, mendekatkan wajahnya pada Said. “Sejak kapan Lu mulai dekat dengan Aurel? Perasaan dulu Lu nggak suka sama dia!”Said tergelak, tawanya sangat keras membuat banyak mata menatapnya. Kemudian ia berbisik, “tenang, Bro. Gue nggsk nikung.”Ibnu menghela napas lega. “Katakan! Gue tahu Lu mau ngomong sesuatu.”“Goog boy. “Said kembali berbisik-bisik, “Saat Lu masuk rumah sakit, gue sering ketemu dia buat ngasih tahu keadaan, Lu. Dan gue sudah bilang tentang perasaan, Lu, Bro.”“What?” Ibnu terperangah. “Gila, Lu?”“Kaga