Share

Part. 3. (Bukan) Pernikahan Impian

“Bukan hanya cinta yang akan membuat pernikahan kian sempurna. Akan tetapi tulusnya hati, untuk menerima setiap kekurangan pasangan.”

Sudah dari tiga hari lalu kediaman Mariam ramai oleh orang-orang yang tak lain adalah para tetangga juga sanak saudara. Mereka sengaja datang untuk membantu mempersiapkan segala keperluan acara syukuran sebelum pernikahan. Mulai dari membuat berbagai jenis kue, termasuk bugis dan kue ali sebagai makanan khas di Jawa Barat. Setidaknya sampai tadi malam, saat acara syukuran selesai dilaksanakan.

Namun sekarang, begitu pagi menjelang, keramaian bukan lagi karena harus membuat berbagai jenis makanan. Mereka sibuk mempersiapkan diri, memakai pakaian hasil sewaan dengan warna senada: Kebaya biru muda, dipadu padankan dengan kain sinjang batik cokelat yang menyerupai rok setumit.

Farhat dan Mariam saling membantu saat merapikan pakaian. Begitu juga Fitri dan Aisyah yang saling memoles wajah dengan setumpuk peralatan kecantikan sampai tak kalah cantik dengan aktris-aktris di televisi. Merekan pun tak segan-segan mendandani Mariam sampai terlihat jauh lebih muda.

Sementara Arzan yang melakukan segalanya sendirian baru saja selesai memasang kemeja putih dengan jas hitam, senada dengan sepatu pantofelnya yang mengilap oleh polesan semir. Dia berdiri tegak di depan cermin, melihat pantulan diri sekali lagi untun mengecek barangkali ada yang lupa dipakai.

“Ah, ya. Kopiah,” gumamnya seraya membuka lemari. Kopiah hitam yang baru seminggu lalu ia beli masih tersimpan rapi di dalam dus.

Begitu diri merasa mantap untuk berangkat, buru-buru ia keluar kamar dan menemui orang tua juga adik dan keluarga besarnya yang akan ikut mengantar di ruang tamu, termasuk Ustaz Zaki selaku panutan Arzan. Mereka sudah cukup lama duduk menunggu sambil mengobrol, membicarakan perihal apa saja yang akan dibawa, lalu mengeceknya kembali agar tak ketinggalan.

Namun, semuanya sudah terkumpul rapi di salah satu kursi, termasuk dua karung besar beras dari sawah sendiri. Bersisian dengan barang bawaan berisi kebutuhan Arzan dan Nafisa sebagai cendera mata yang dihias sedemikian rupa, sampai ada yang menyerupai angsa.

“Siap berangkat?” Arzan berucap begitu sampai di ruang tamu. Keluarganya menoleh, terbelalak melihat kesempurnaan dan ketampanan yang dimiliki lelaki usia dua puluh enam tahunan itu.

Keluarganya mengangguk antusias, lalu bergegas pergi keluar setelah mengambil satu per satu barang yang harus dibawa oleh masing-masing dari mereka, terkecuali Arzan dan orang tuanya. Di halaman depan sudah tersedia lima AVV hitam yang tiga di antaranya adalah kendaraan sewaan, tanpa riasan seperti mobil yang akan ditumpangi Arzan.

Sebelum berangkat, Farhat memberi mukadimah terlebih dulu. Ia mengucapkan banyak terima kasih pada beberapa tetangga juga keluarga yang sudah menyempatkan diri untuk ikut mengantar ke pernikahan Arzan. Lalu, giliran Ustaz Zaki, selaku pemilik dari pesantren di mana Arzan belajar dan mengajar dulu untuk mengisi doa ritual penutup dengan harapan, perjalanan lancar serta selamat sampai tujuan. Mereka langsung mengangkat kedua telapak tangan sedada, lalu mengaminkannya begitu doa selesai dipanjatkan.

Satu per satu dari mereka lantas masuk ke mobil, duduk bersampingan sambil mengobrol untuk mengisi waktu di sepanjang perjalanan. Begitu semua siap, mobil pengantin yang dikendarai Kang Dirman, adik bungsu Farhat, melaju lebih dulu sebagai pemimpin jalan. Ia menengok kaca spion kiri dan kanan bergantian untuk memastikan ada dan tidaknya kendaraan lain di belakang saat hendak melewati belokan.

Tak lebih dari tiga puluh menit, sampailah keluarga Arzan bersama rombongan lainnya di kampung Jati. Satu per satu keluar setelah mobil terparkir di tempat yang telah disediakan, membawa serta barang bawaan. Arzan berjalan lebih dulu, rombongan pun mengikuti langkahnya menyusuri gang berukuran satu meter setengah, sepanjang kurang lebih seratus meter.

Begitu sampai, kedatangan mempelai pria langsung disambut dengan iring-iringan rentak rebana para santri dari pesantren Al-Hidayah yang dipimpin oleh Ustaz Zaki sendiri. Mereka terlihat ikut bahagia, tersenyum lebar sepanjang mengalunkan beberapa selawat Nabi.

 Suasana penyambutan tampak begitu meriah, mencipta senyum dari wajah-wajah mereka yang menyaksikannya. Lebih berwarna lagi karena adanya hiasan pesta outdoor yang dibuat kasual. Pelaminan kayu diganti backdrop berbalut batik berwarna biru muda, lengkap dengan taman di bawah panggung yang dipenuhi bunga dan payung kecil, juga pagar kayu setinggi tujuh puluh lima centimeter bercat putih sebagai pembatas antara panggung dan tempat untuk para tamu undangan.

Lahan kosong di depan rumah Laksmi itu sudah disewa, lalu dihias sedemikian rupa dengan menggantungkan berbagai jenis bunga plastik di setiap tiang penyangga tenda. Ditambah kain-kain panjang berwarna senada dengan pelaminan yang menutupi area panggung.

Begitu penyambutan selesai, acara berlanjut ke tahap serah terima barang berupa cendera mata dari mempelai pria untuk mempelai wanita. Sampai tiba di mana Arzan sudah berhadapan dengan wali mempelai wanita, Asep Sudrajat, selaku ayah Nafisa, dan penghulu di panggung pelaminan. Farhat, didampingi Kang Dirman,  Ustaz Zaki dan beberapa kerabat lain pun duduk di samping Arzan.

“Bismillah dulu, Nak Arzan,” kata Pak Penghulu sambil tersenyum, menggoda Arzan yang tampak gugup.

Arzan mengangguk, balas tersenyum sambil mengucapkan Basmalah di dalam hati.

“Sudah siap?” lanjut Pak Penghulu. 

“Insya Allah siap, Pak.”

Namun, sebelum dimulainya acara ijab qabul,  Pak Penghulu menyatakan beberapa poin terlebih dulu, memberitahu Arzan perihal apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan seorang suami terhadap istri sambil menunjukkan sebuah buku tentang panduan berumah tangga. Di sana, terdapat beberapa cerita dari pengalam orang-orang yang pernah dirongrong banyak masalah dalam keluarga, tetapi mampu menyelesaikannya dengan baik. 

Barulah setelah suasana tegang kian mencair, Pak Penghulu mulai menuntun Arzan. Diraihnya uluran tangan Asep dengan jantung berdebar, lalu ia menarik dan mengembuskan napas perlahan saat mendengar kalimat ijab qabul yang dikatakan Asep.

Detik kemudian Arzan menjawab, “Saya terima nikah dan kawinnya Siti Nafisa bin Asep Sudrajat dengan maskawin berupa emas sepuluh gram dibayar tunai.”

“Bagaimana sah?” tanya penghulu sambil menoleh ke sisi kiri dan kanan.

“Sah!” seru serempak para saksi yang tak lain adalah keluarga dan tetangga mereka sendiri.

“Alhamdulillah, Neng,” kata Tania, Kartika dan Kholiefah bersamaan di dalam kamar pengantin, begitu mendengar acara ijab qabul selesai dilaksanakan. Mencipta senyum dari bibir tipis Nafisa yang sedari tadi menunggu dengan jantung berdebar tak keruan. 

Istri dari ketiga kakak Nafisa yang datang seminggu sebelum pernikahan itu merasa lega, ikut bahagia karena sekarang status Nafisa bukan lagi seorang gadis. Melainkan istri dari seorang Arzan, pemuda tampan asal kampung Neglasari. Satu per satu dari mereka pun memeluk Nafisa bergantian dari belakang, bahkan mencium kening sebagai tanda sayang.

"Mulai sekarang, tanggung jawab ibuku beralih tangan, Neng. Selamat, ya." Salah satu dari kakak iparnya itu berucap lagi. Membuat Nafisa seketika tersipu malu. Sampai merona di kedua belah pipinya yang tirus.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status