21+ "Shanum …" Ozkhan melepas jas seraya menatap Shanum dengan tatapan berbeda. "Apa kamu masih membutuhkan bantuan saya?" Shanum mengerjap lambat ketika tahu-tahu Ozkhan sudah berdiri di hadapan dan merengkuh pinggangnya. Pikirannya sudah tak terkendali karena pengaruh obat tersebut. "Maaf Shanum, kalau saya sudah kurang ajar. Tapi, menurut saya, ini tidak ada salahnya. Kita bisa merahasiakan hal ini. Kamu butuh saya, dan saya juga butuh kamu." Shanum mendongak lalu menelan ludah. Dia tak pernah membayangkan kejadian malam itu akan menyeretnya pada hasrat terlarang dengan Ozkhan—sang atasan. Lantas, apakah hubungan terlarang itu akan berjalan sebagaimana mestinya, atau justru akan membawanya pada suatu kenyataan yang menyakitkan?
View More"Tuan, tolong saya. Saya mohon …"
Saat ini di sebuah kamar hotel seorang perempuan berpenampilan acak-acakan sedang merengek pada seorang pria berparas datar dan dingin.
Bukan tanpa alasan perempuan itu merengek meminta pertolongan pada pria yang dikenalnya. Terlebih, setiap hari dia bertemu pria dingin tersebut.
Seandainya dia tak lagi sedang dalam keadaan terdesak. Mana mungkin dia berani meminta hal yang sangat-sangat mustahil dan terkesan murahan.
"Shanum, apa kamu yakin?" Pria beralis tebal dan bermanik hitam itu mencoba meyakinkan sekali lagi. "Saya tidak ingin kamu menyesalinya setelah ini," tegasnya.
Perempuan bernama Shanum itu mengangguk cepat. "Saya yakin, Tuan. Yakin seribu persen. Dari pada saya harus menderita semalaman gara-gara obat sialan itu, lebih baik saya … saya minta bantuan sama Tuan Ozkhan."
Keputusan berat yang harus diambil Shanum, setelah dirinya dijebak oleh suaminya sendiri. Sial! Hidupnya benar-benar sial setelah menikah dengan Orhan—suaminya yang tak tahu diri dan tukang bohong.
"Ini semua gara-gara suami saya. Dia menjual saya, Tuan. Dia bohongi saya. Dia menjadikan saya sebagai penebus utang." Shanum memberikan penjelasan kepada Ozkhan—pria yang merupakan atasannya sendiri.
Ya, entah nasib apa yang digariskan oleh Tuhan pada kehidupan Shanum. Sampai-sampai dia berada di situasi sekarang ini.
Bertemu secara tidak sengaja di sebuah hotel ternama saat dia hendak melarikan diri dari pria 'berengsek' yang mengaku sudah membelinya. Shanum baru sadar jika suaminya lebih dulu mencekoki dirinya dengan obat perangsang.
Ozkhan berdecak keras, melihat sekretarisnya menceritakan kemalangannya. Tangannya secara sadar terulur, menyentuh sudut bibir Shanum yang berdarah. Miris sekali nasib perempuan di hadapannya ini, pikirnya.
"Siapa yang melakukan ini?" tanya Ozkhan, dengan raut datar. Namun, sorot matanya memancarkan kemarahan serta ketidaksukaan.
Shanum mengerjap, hingga cairan bening tak dapat dibendung lagi. Air matanya meleleh seiring isakannya. "Pria itu, Tuan. Dia yang melakukannya," ucap Shanum, sambil menahan rasa sesak yang teramat di dada.
Rahang Ozkhan seketika mengetat. Tatapan datar dan dingin itu berubah menjadi tatapan iba. "Ini juga?" Dia melirik lengan Shanum yang lebam, seperti habis terbentur sesuatu yang keras.
Shanum hanya mengangguk. Maniknya terpejam sesaat, lalu terangkat untuk sekadar menatap Ozkhan. "Tuan …"
Ozkhan menghela napas panjang. Membalas tatapan Shanum yang terlihat mengiba. "Suamimu ke mana?"
Shanum menggeleng, lalu berdiri. Obat perangsang semakin mempengaruhi akal sehatnya. Dengan tak tahu malu, Shanum mengalungkan kedua lengannya di leher Ozkhan. "Tuan … Tubuh saya rasanya sangat panas. Saya sudah tidak bisa menahannya lagi."
"Shanum …" Ozkhan memalingkan wajah ketika Shanum hendak menciumnya. Dia juga menahan pinggang perempuan itu agar tak terlalu dekat dengannya.
"Please, Tuan. Saya mohon …. Saya benar-benar tidak bisa menahannya." Anggaplah kali ini Shanum benar-benar sudah gila. Bagaimana tidak? Jelas-jelas yang dia mintai tolong adalah atasannya yang sudah beristri.
'Aku tidak peduli. Untuk saat ini hanya itu cara yang bisa menangani efek obat sialan ini. Soal ke depannya, kita lihat saja nanti.' Batin Shanum berperang dengan logikanya.
Ozkhan sendiri tak bisa berpikir apa pun untuk saat ini. Di satu sisi dia sudah mengenal Shanum dengan baik, dan di sisi lain Ozkhan tak bisa mengelak jika sang sekretaris memang memiliki daya tarik tersendiri di matanya sebagai laki-laki.
"Saya gerah!" Shanum tiba-tiba menurunkan resleting dress-nya, hingga kain itu luruh ke bawah kakinya. Yang tersisa hanya underwear warna merah yang menutupi kedua aset berisi nan sintal, dan inti tubuhnya.
Melihat tingkah Shanum yang ekstrem, Ozkhan tentu terperanjat. Bola matanya membulat sempurna, ketika pemandangan indah terpampang nyata di hadapan.
Ozkhan mendesah frustrasi. Dia sadar jika saat ini Shanum tidak sadar dengan apa yang diperbuatnya. Pengaruh obat perangsang memang sangat berbahaya.
"Shanum, apa yang kamu lakukan?" Suara Ozkhan bahkan terdengar serak dan berat.
"Saya hanya melakukan yang seharusnya, Tuan. Saya benar-benar tersiksa. Jadi, saya minta, Tuan mau membantu saya." Suara Shanum terdengar serak, dan berkali-kali dia menggosok kedua telapak tangan di depan muka. "Tuan …" Tatapannya semakin sayu.
"Ikut saya!" Ozkhan menarik tangan Shanum, membawanya ke kamar mandi, dan berdiri tepat di bawah shower. "Diam di sini."
Shanum kebingungan saat ini karena Ozkhan malah mengguyurnya dengan air dingin. "Tu- Tuan mau apakan saya? Saya tidak minta dimandikan, tapi …"
"Diamlah. Saya sedang berusaha meredakan efek obat itu," kata Ozkhan, menahan lengan Shanum agar tidak pergi, meski dia sendiri hampir basah karena cipratan air.
Shanum tak tahu kalau Ozkhan adalah pria normal yang tentu akan bereaksi jika disajikan pemandangan erotis semacam ini. Namun, meski pun begitu, Ozkhan masih tetap waras untuk tidak menuruti kemauan gila sekretarisnya.
"Dingin, Tuan." Shanum tidak bohong, saat ini dia benar-benar kedinginan. Tubuhnya yang semula panas kini menjadi dingin.
Ozkhan tak menanggapi. Diam-diam dia menikmati keindahan di depan mata. Kulit Shanum yang putih dan lekukan-lekukan yang pas begitu menggoda. Apalagi di bawah kucuran air seperti sekarang, membuat Shanum terlihat seksi.
Satu hal yang baru Ozkhan sadari—ternyata sekretarisnya itu sangat cantik.
'Sial! Singkirkan pikiran kotormu itu, Ozkhan. Dia sudah bersuami dan kamu juga sudah beristri.' Ozkhan membatin kesal, merutuki dirinya yang sudah lancang berpikiran mesum terhadap sekretarisnya sendiri.
Dan untuk itu, Ozkhan pun memilih menjauh. Demi kebaikan Shanum dan juga dirinya sendiri. Ozkhan berdiri bersandar pada dinding, dan mengalihkan pandangan ke tempat lain. Lama-lama dia sendiri yang tidak bisa mengendalikan diri.
"Tuan, berapa lama saya harus seperti ini?" tanya Shanum, yang mulai kedinginan. Bibirnya menggigil, dan sekujur tubuhnya gemetar.
"Satu jam," jawab Ozkhan tanpa mengalihkan tatapan dari pintu kamar mandi yang terbuka. Mati-matian dia menahan hasrat yang tak tahu malu muncul ke permukaan.
"Apa Tuan, satu jam? Bisa-bisa saya mati kedinginan," cicit Shanum. "Kenapa harus pakai cara seperti ini, kalau ada cara yang lebih menguntungkan," gumam Shanum, merasa jika cara tersebut sama sekali tak membantu.
Tentu saja Ozkhan dapat mendengar omongan Shanum, meski samar-samar. Sudut bibir lelaki tinggi itu berkedut, dadanya tak berhenti berdebar sedari tadi. Dia memilih tak menanggapi perkataan konyol Shanum.
Ozkhan berdeham berat, seraya bersedekap, sementara Shanum tertunduk lesu sambil menatap dirinya sendiri. Dari ujung kaki sampai ke dadanya yang berukuran cukup berisi.
Tiba-tiba saja Shanum berceletuk, "Tuan … Setidaknya Anda menatap saya. Apa Anda tidak tergoda dengan saya? Atau memang tubuh saya kalah jauh dengan tubuh istri Anda?"
Ozkhan masih diam, meski dia ingin sekali membalas celetukkan Shanum. Yang dikatakan perempuan itu tidaklah benar.
Andai saja Ozkhan bisa bicara blak-blakan kepada sekretarisnya itu. Namun, Ozkhan harus tetap menjaga imej-nya sebagai atasan, bukan?
'Dia tidak tahu kalau sejak tadi aku mati-matian menahan hasrat ini. Sial!' Ozkhan membatin.
"Tuan … seandainya Anda mau membantu saya. Saya janji akan merahasiakan hal ini. Saya pastikan ini yang pertama dan yang terakhir," ujar Shanum, yang sebenarnya dia sendiri merasa malu berkata demikian. "Saya pastikan, Nyonya Numa tidak akan pernah tahu soal ini."
Shanum menggigit bibir bawahnya, sambil melirik Ozkhan yang tak bergeming sedikit pun dari tempatnya. Entah apa yang sedang dipikirkan lelaki itu.
Sejurus kemudian, ponsel Ozkhan berdering. Dan dengan cepat dia menjawab panggilan telepon dari seseorang yang dia percayai.
"Ya. Bagaimana? Apa kamu sudah mendapatkan buktinya?" tanya Ozkhan yang nampak serius.
'Saya sudah mendapatkan buktinya, Tuan. Saya sudah mengirim beberapa fotonya.'
"Oke. Terima kasih. Kamu boleh pergi dari sana."
Ozkhan mengakhiri pembicaraan, lalu mengecek beberapa foto yang dikirimkan oleh orang kepercayaannya di ponselnya.
Tatapan Ozkhan menajam ketika melihat foto-foto tersebut. Dia hanya menyeringai, lalu menonaktifkan ponselnya.
"Shanum …" panggil Ozkhan, sambil meletakkan ponsel ke pinggir wastafel.
"Ya, Tuan." Shanum melihat Ozkhan melepas jas, dan menatapnya dengan tatapan berbeda.
Ozkhan lantas mendekat pada Shanum dengan seringai penuh arti. "Apa kamu masih membutuhkan bantuan saya?"
Shanum mengerjap lambat ketika tahu-tahu Ozkhan sudah berdiri di hadapan dan merengkuh pinggangnya. "Apa Tuan mau membantu saya?"
Tak ada jawaban dari mulut Ozkhan, karena saat ini lelaki itu sedang diliputi perasaan kesal bukan main. Pikirannya pun sudah tidak bisa dikendalikan. Saat ini yang dia butuhkan hanyalah pelampiasan.
"Maaf Shanum, kalau saya sudah kurang ajar. Tapi, menurut saya, ini tidak ada salahnya. Kita bisa merahasiakan hal ini. Kamu butuh saya, dan saya juga butuh kamu," kata Ozkhan, tanpa sungkan meraba bibir Shanum yang menggoda dengan ibu jari. Dan kali ini tubuhnya sudah benar-benar basah serta menginginkan Shanum.
Shanum mendongak lalu menelan ludah. Dia tak pernah membayangkan jika dia akan berada di posisi sekarang ini. Berada sangat dekat dengan atasannya.
"I-Iya, Tuan. Tidak masalah. Saya—"
"Kalau begitu, kita bisa memulainya."
Ozkhan lantas meraup bibir Shanum, menciumnya tanpa permisi. Perlahan dia mendorong tubuh Shanum agar merapat pada dinding kamar mandi. Awalnya Shanum cukup kewalahan, tetapi perlahan dia bisa mengimbangi permainan lidah sang atasan yang sangat liar.
Dan dari sinilah kisah mereka dimulai!
****
Bersambung....
"Kamu menghubungi ibu mertuamu?" tanya Keenan setelah Numa memberitahunya mengenai percakapannya semalam dengan Nyonya Jihan.Numa hanya mengangguk tenang seraya menyesap cangkir hot latte pesanannya. Pagi ini dia sengaja mengajak Keenan bertemu di tempat biasa. Sebuah kafe yang terletak agak jauh dari jangkauan orang-orang yang mengenalnya.Manik Keenan masih memerhatikan raut Numa, yang sejak datang tadi terlihat kuyu. Nampak begitu jelas jika perempuan yang dicintainya itu kurang tidur.Di satu sisi Keenan merasa kasihan dengan apa yang menimpa rumah tangga Numa. Namun, di sisi lain, dia pun tak menampik jika dia merasa senang dengan kabar mengenai Ozkhan yang memiliki perempuan simpanan.Bukankah itu berita bagus?Jika memang ternyata Ozkhan benar-benar memiliki perempuan lain, itu artinya ada kemungkinan Ozkhan akan menceraikan Numa. Lalu, Keenan akan mengambil kesempatan tersebut untuk merebut hati perempuan yang sudah lama dia cintai itu."Lalu, apa komentar ibunya Ozkhan, sete
"Halo, Numa?"Nyonya Jihan cukup terheran sebab istri dari putra semata wayangnya menelepon malam-malam. Dia yang semula hendak berbaring pun urung, dan terduduk di tepi tempat tidur.'Halo, Bu. Maaf malam-malam menelepon.'"Tidak apa-apa, Nak. Apa ada masalah?" tanya nyonya Jihan, cukup peka dengan situasi. Selama ini Numa jarang sekali menghubungi, kalau tidak ada masalah penting.'Begini, Bu...'Di seberang sana, Numa telah bertekad— menceritakan perihal masalah yang tengah menimpa rumah tangganya pada sang ibu mertua."Apa kamu yakin, Nak?" Hanya pertanyaan tersebut yang terlontar dari bibir Nyonya Jihan, lantaran dia masih agak terkejut dengan penuturan menantunya.Apa benar Ozkhan memiliki perempuan lain?Bagaimana mungkin putra yang dikenal sangat menyayangi keluarganya berani mempertaruhkan segalanya hanya demi perempuan lain.Berbagai pertanyaan berjejalan di kepala perempuan paruh baya itu. Nyonya Jihan menghela panjang, dengan mata terpejam sejenak. Seketika hatinya ikut me
"Bibi Shanum!"Ghul berseru riang ketika baru menginjakkan kaki ke dalam unit, dan langsung mendapati Shanum menyambutnya. Gadis itu pun langsung menghambur ke pelukan Shanum, yang sedikit membungkuk dengan kedua tangannya terentang lebar. "Ghul!" Shanum memeluk erat-erat tubuh mungil Ghul. Saat Ozkhan mengabari jika hendak pulang lebih awal dengan membawa Ghul, Shanum begitu tidak sabar ingin segera bertemu dengan gadis kecil itu. Sudah lama sekali sejak terakhir kali dia menemui Ghul di sekolah. Sementara Ozkhan tersenyum melihat putrinya begitu dekat dengan Shanum. Tak ada rasa khawatir sedikit pun di benak lelaki itu. Dia yakin sekali jika Ghul tidak akan banyak bertanya mengenai keberadaan Shanum di tempat ini."Ghul apa kabar?" tanya Shanum, mengurai pelukan, kemudian mencium pipi Ghul yang kemerahan. "Ghul baik, Bibi. Bibi Shanum apa kabar?" Tangan kecil Ghul mengusap pipi Shanum. Binar bahagia di kedua bola matanya cukup menjelaskan perasaannya saat ini. "Bibi baik." Shan
Beberapa jam kemudian...Perasaan Ozkhan sungguh merasa tidak nyaman, setelah beberapa waktu yang lalu lelaki itu mengetahui—jika ayah Shanum adalah seseorang yang pernah dia kenal. Tak hanya itu, Ozkhan pun merasa serba salah saat ini ketika berhadapan dengan Shanum. Dia seakan ragu untuk bersikap seperti biasa, padahal jelas-jelas dia mengetahui segalanya. Ketika memutuskan untuk mencari tahu, Ozkhan tentunya tidak bertanya lebih dulu. Ozkhan pikir, dia ingin memberi Shanum kejutan, saat waktunya sudah tepat. Akan tetapi, dia justru yang terkejut. 'Ternyata benar, apa yang dikatakan orang kalau dunia ini sangat sempit. Aku tidak pernah menyangka akan dipertemukan oleh putri dari Tuan Kemal. Shanum, apa yang harus aku katakan padamu. Aku seperti kehilangan muka di hadapanmu. Aku sungguh merasa malu.' Ozkhan terus melamun, sambil memandangi wajah cantik Shanum yang sedang menikmati teh. Pandangan lelaki itu terlihat kosong, tetapi sorot matanya menyiratkan suatu penyesalan yang me
Sembilan tahun yang lalu~"Ayah, bagaimana? Apa kita berhasil mendapatkan yayasan itu? Kalau kita gagal mendapatkannya, maka aku pun akan gagal mendapatkan Ozkhan." Numa begitu bersemangat ketika mendengar sang ayah hendak menjodohkannya dengan Ozkhan—lelaki incarannya sejak dulu. Namun, ketika keluarga Baris meminta syarat, perasaan perempuan itu menjadi khawatir. Berbeda dengan putrinya, Tuan Ahmed justru terlihat santai dan tenang. Dia seakan tidak terlalu memikirkan syarat dari calon besannya tersebut. Pasalnya, diam-diam dia sudah berhasil membuat yayasan itu menjadi miliknya. "Pernikahanmu dan Ozkhan pasti akan terlaksana," ucap Tuan Ahmed, penuh percaya diri sambil mengeluarkan sesuatu dari laci meja kerja. "Itu artinya?" Manik Numa memicing, memerhatikan sang ayah yang kini mengulurkan sebuah map padanya. "Itu apa, Ayah?" "Lihatlah sendiri." Tanpa bertanya lagi, Numa pun bergegas mengambil map warna hitam tersebut. Dia membukanya, lalu mengeja tulisan pada bagian depan l
"Jadi, suamimu setuju dengan tawaran Tuan Ozkhan? Dia setuju menceraikanmu? Gila! Suamimu benar-benar sudah gila, Shanum!"Elis terkejut dengan apa yang diceritakan Shanum mengenai Orhan, yang tidak berpikir panjang hanya demi uang. Di sisi lain, dia prihatin dengan hidup Shanum, yang berurusan dengan lelaki berengsek dan serakah macam Orhan.Shanum meraup raut murungnya, hatinya kecewa dengan kenyataan pahit ini. Dia menyesal karena pernah mencintai Orhan, yang sama sekali tidak pernah menghargainya."Dia memang sudah gila, Elis. Sejak awal dia memang tidak pernah menganggapku sebagai istri. Dia hanya menganggapku sebagai mesin uang.""Laki-laki seperti itu pantasnya di tembak mati saja. Andai dia suamiku, sudah sejak lama dia sudah menjadi arwah." Decakan Elis sangat keras."Aku sendiri masih tidak menyangka, jika aku pernah menikahi pria semacam itu."Elis mengusap-usap pundak Shanum, yang makin terlihat murung dan sedih. "Kamu terlalu baik untuknya, Shanum. Memang sudah seharusnya
Shanum tentu terkejut dengan pertanyaan Ozkhan barusan. Dirinya hampir tak bisa berkata-kata. Hanya sepasang maniknya yang menatap wajah serius di hadapan. Menikah? Apa lelaki ini serius dengan perkataannya, pikir Shanum. Ozkhan menyadari keterkejutan yang tercetak jelas di wajah wanitanya ini. Sampai-sampai Shanum tak berkedip sedikit pun. "Shanum?" panggilnya, menyentuh pipi Shanum dengan punggung tangan. Shanum terhenyak, lantas buru-buru menjawab, "Ya?" Sepasang maniknya berkedip lugu, sambil menggigit bibir bawah. Sikap Shanum membuat Ozkhan gemas. Lelaki itu lantas meraih tangan Shanum, dan menuntunnya ke meja mini bar. "Lebih baik kita duduk." Ozkhan meminta Shanum supaya duduk di stollbar, agar dia bisa bicara dengan santai dan nyaman. Shanum pun menurut, duduk di stollbar sambil memerhatikan Ozkhan yang saat ini sedang mengambil botol white wine di rak kaca. Sejurus kemudian, Ozkhan mengambil dua gelas berkaki tinggi dari pantry. Ozkhan membuka botol wine di tangan meng
"Shanum, minumlah." Elis menyodorkan segelas air dingin untuk Shanum, yang terlihat sedang tidak baik-baik saja sejak tiba beberapa waktu yang lalu..Shanum mengambil gelas air yang disodorkan Elis. "Terima kasih, Elis." Lantas dia meneguk air tersebut dengan perlahan sampai tersisa separuh, kemudian dia meletakkan gelas tersebut di meja makan.Elis menatap kasihan pada Shanum, lalu dia duduk di samping perempuan kesayangan Ozkhan itu. Elis turut kesal atas apa yang dilakukan oleh Numa pada Shanum, dan dia cukup lega karena mantan majikannya itu tidak berhasil dengan rencananya."Aku mengira kalau tadi aku akan ketahuan, Elis." Debaran jantung Shanum masih belum stabil akibat insiden tak terduga yang dia alami.Hampir ketahuan oleh Numa merupakan hal yang tidak pernah terbayangkan di benak Shanum."Bagaimana bisa nyonya Numa tahu segalanya soal mobil Tuan Ozkhan?" gumamnya."Itu bukan suatu hal yang sulit baginya, Shanum," sahut Elis, membuat Shanum sontak menatap perempuan yang menget
Pedro tak berhenti berupaya untuk menghindari kejaran mobil yang dia sangka Keenan dan Numa, dengan mempercepat laju mobil yang dikendarainya. Belum lagi mobil lain yang turut mengejar. Ketiga mobil tersebut saling berkejaran di jalanan yang lengang dan sepi. Sementara itu di kursi penumpang, seseorang yang menjadi target sedang dalam keadaan takut serta panik. Shanum nampak terlihat sangat gusar sekaligus cemas. Dia tidak mengerti—kenapa tiba-tiba ada yang mengikutinya sampai senekat ini. "Pedro sebenarnya siapa mereka? Kenapa mereka mengejar kita?" tanya Shanum yang sudah tidak bisa menahan diri sebab situasi, yang kian mengkhawatirkan. Pedro menoleh ke belakang sekilas, lalu berkata dengan ragu, "Sepertinya mereka itu Tuan Keenan dan Nyonya Numa, Shanum." Bola mata Shanum seketika membelalak. "A-apa? Jadi, yang di dalam mobil itu nyonya Numa?" Sejurus kemudian Shanum menoleh ke belakang untuk sekadar memastikan. Beruntung kaca mobil yang dibeli Ozkhan cukup gelap dan tidak tem
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments