Share

Bab. 4. Gelenyar Cinta yang Hilang

“Alhamdulillah, Neng,” kata Tania, Kartika dan Kholiefah bersamaan di dalam kamar pengantin, begitu mendengar acara ijab qabul selesai dilaksanakan. Mencipta senyum dari bibir tipis Nafisa yang sedari tadi menunggu dengan jantung berdebar tak keruan. 

Istri dari ketiga kakak Nafisa yang datang seminggu sebelum pernikahan itu merasa lega, ikut bahagia karena sekarang status Nafisa bukan lagi seorang gadis. Melainkan istri dari seorang Arzan, pemuda tampan asal kampung Neglasari. Satu per satu dari mereka pun memeluk Nafisa bergantian dari belakang, bahkan mencium kening sebagai tanda sayang.

Nafisa yang masih merasa gugup meraih sebelah tangan Tania, istri dari Alvin, kakak tertuanya yang tinggal di kota Sukabumi dengan begitu erat. Ia menoleh dengan bibir terkatup rapat.

“Sudah, sekarang kalian sudah sah, toh? Jadi, jangan gugup lagi.” Tania menenangkan sambil menumpukan sebelah tangannya di atas jemari Nafisa.

“Iya. Coba senyum,” goda Kartika dan Kholiefah bersamaan. Lantas menjawil dagu juga pipi tirus Nafisa bergantian, saking merasa gemas.

Pelan tapi pasti, selengkung berwarna merah muda itu tersenyum tipis seraya menatap pantulan diri di cermin. Untuk ke sekian kali ia terpana, tak percaya kalau bayangan di dalam cermin itu adalah dirinya. Bagaimana tidak? Dia yang tak biasa berdandan, hari ini justru dipoles sedemikian rupa oleh Teh Mimin, penata rias, sampai terlihat begitu cantik.

Terlebih, gaun pengantin Syar'i putih dengan model A-Line  menjuntai melebihi mata kaki. Membuat Nafisa terlihat begitu anggun, kian sempurna karena adanya sentuhan payet dan mutiara berwarna senada. Tak ketinggalan, hijab yang dipakainya pun dibiarkan menutupi dada.

“Tapi, kakiku gemetar, loh, Kak.” Nafisa menatap ketiga kakaknya itu dari pantulan cermin.

“Loh, coba rileks, Neng.” Kartika yang berdiri di samping kirinya langsung berjongkok dan memegang kaki Nafisa. “Lurusin dulu kakimu. Ibu pasti akan segera datang.”

Nafisa menuruti titah kakak iparnya itu. Namun, baru beberapa menit berselonjor, Laksmi yang memakai kebaya biru muda, senada dengan ketiga menantunya masuk dan menghampiri anaknya yang terlihat gugup.

“Ayo, Neng. Suamimu sudah menunggu,” katanya kemudian sambil mengusap lembut kepala Nafisa.

Nafisa menghela napas perlahan, lalu berdiri dengan kedua kaki masih gemetar. Tak bertenaga saat ia coba melangkah dan memijakkan kakinya. Beruntung, kedua kakak iparnya menggandeng di sisi kiri dan kanan. Sementara Laksmi dan Tania menggiring di belakang.

Begitu sampai di luar, kedua kaki Nafisa kian gemetar, tetapi ia masih mampu mengendalikannya agar terus berjalan menuju pelaminan. Di sana Arzan masih menunggu dengan perasaan harap-harap cemas. Lalu, lagi-lagi terpaku karena melihat kecantikan Nafisa.

“Ayo duduk, Neng,” titah Laksmi begitu kedua kakak iparnya mundur. Membuat Nafisa terkesiap, sadar bahwa ia sudah berada dekat dengan lelaki yang baru saja sah menjadi suaminya. Ia pun duduk.

Penghulu yang masih di hadapan Arzan pun menuntun kedua mempelai untuk berhadapan, lalu menyuruhnya bersalaman. Usai menggeser posisi duduk, Nafisa mengangkat sedikit wajah. Membuat pandangannya jatuh di kedua mata Arzan. Ia menelan ludah dengan susah payah sebelum melempari suaminya itu dengan senyuman.

Saat Arzan mengulurkan tangan, Nafisa meraih dan mencium punggung tangan suaminya yang ternyata begitu lembut. Jauh berbeda dengan telapak tangannya yang kasar. Tak hanya itu, Pak penghulu pun menyuruh Arzan untuk meletakan sebelah tangan yang lain di ubun-ubun Nafisa. Tentu dengan diiringi doa yang diikuti Arzan.

“Allahumma biamaanatika akhattuhaa, wa bikalimaatika istahlaltu farjahaa, fain gadhayta lii minhaa waladan faj'alhu mubaarakan syawiyyaa, walaa taj'al lissyaithaani fiihi syariikan walaa nashiba,” tutur Arzan dengan begitu fasih.

“Sekarang cium keningnya, Nak Arzan,” titah Pak Penghulu.

Nafisa pun terpejam, meresapi sentuhan bibir merah kehitaman Arzan saat mencium keningnya dengan begitu khidmat. Membuat ia tiba-tiba merasa tenang dan damai. Sampai hilang rasa gugup di hatinya.

Ijab kabul selesai. Tinggal resepsi yang mengharuskan kedua mempelai berdiri di pelaminan dengan didampingi orang tua masing-masing untuk menyambut tamu undangan. Penghulu dan beberapa saksi yang duduk di panggung turun, lalu mengantre di prasmanan dengan rombongan pria yang datang mengantar.

“Cantik!” Arzan berseru pelan sambil menjawil dagu lebah menggantung milik istrinya. Membuat Nafisa seketika menoleh, menerima tatapan penuh cinta dari kedua mata suaminya dengan bibir tersenyum tipis.

 “Gombal!” timpal Nafisa. Di kedua pipinya, semburat merah merona karena tersipu malu.

                                                                      *** 

Di dalam kamar, Nafisa yang baru saja selesai salat Magrib duduk di depan cermin dengan perasaan tak keruan. Harap-harap cemas menunggu Arzan yang melakukan salat berjamaah di masjid belakang rumah. Dia menghela napas perlahan berulang kali sambil mengedarkan pandangan. Kamarnya sudah dirias sedemikian rupa dengan kain berwarna biru muda yang menjuntai sampai ke dasar lantai. Lengkap dengan bunga hias di setiap penjuru ruang dan di tengah-tengah langit kamar, mengelilingi lampu.

Ranjang besar dan empuknya pun sudah di kelilingi kain putih tipis dengan empat tiang sebagai penyangga. Ditambah bunga melati yang menguarkan aroma sedap memenuhi ruangan, menggantung di sekeliling ranjang.

Nafisa tersenyum tipis, tak menyangka kalau pernikahannya akan semeriah dan seindah tadi. Ia pikir, tidak akan ada lelaki yang menginginkannya, apalagi menjadikannya sebagai seorang istri jika mengingat betapa tidak sempurnanya ia.

“Alhamdulillah, Ya Rabb,” lirihnya sambil menangkup wajah.

Nafisa terpejam barang sejenak, lantas berdiri dan mengikat rambut yang sedari tadi dibiarkan terurai. Sudah terlalu lama ia duduk menunggu. Mungkin, merebahkan diri sejenak akan membuatnya merasa tenang. Ia berjalan dan duduk di sisi ranjang. Namun, baru saja ia hendak berbaring, suara salam diiringi ketukan pintu terdengar pelan. Membuatnya seketika terduduk lagi dan melihat gagang pintu yang ditarik dari luar.

“Eh, Aa.” Nafisa salah tingkah begitu Arzan masuk dan menyeringai.

“Duh, maaf. Aa ganggu, ya?” Arzan merasa kikuk saat harus menutup pintu kamar. Itu artinya, dia hanya akan berdua saja dengan Nafisa.

“E-enggak. Neng belum tidur, kok. Hanya lagi rebahan aja. Kaki lumayan pegal soalnya.”

Nafisa beralasan. Padahal, sedari tadi ia menunggu Arzan dengan harap-harap cemas. Refleks jemarinya menyelipkan anak rambut yang berantakan sambil menoleh ke sana-sini mencari kerudung. Sayang, ia belum sempat mengambilnya dari lemari. 

“Ya, sudah. Lanjut tidur, Neng. Kamu pasti lelah, 'kan?” Arzan masih bergeming di samping pintu.

“Hm, i-iya, deh,” jawabnya semakin kikuk. “Terus Aa?”

“Ya, tidur juga.” Lelaki yang masih memakai kain sarung dan baju muslim itu refleks menggaruk pelipis yang sama sekali tidak terasa gatal.

“Y-ya, sudah. T-tidur di sini.” Nafisa tergagap sembari menepuk-nepuk ranjang dengan sebelah tangan. Namun, detik kemudian ia tersadar, sikapnya itu terkesan genit.

Arzan yang semakin merasa canggung melangkah pelan setelah menggantung peci di paku belakang pintu terlebih dulu, lalu duduk di sisi sebelah kanan sebelum akhirnya naik ke ranjang. Ia merebahkan diri di sana dengan kondisi tubuh yang tiba-tiba terasa lemas. Tak tahu harus berbuat apa, sampai akhirnya hanya telentang dengan kedua tangan bertumpu di perut dalam waktu yang cukup lama. Menatap kosong langit-langit kamar yang tertutup kain putih  transparan.

Pun dengan Nafisa. Dia yang tak tahu harus bicara apa merasakan tubuhnya semakin dingin dan kaku. Bahkan terasa susah untuk bergerak walau hanya untuk menyingkirkan anak rambut yang lagi-lagi menyembul ke wajahnya. Rasa lelah, malu, takut, dan juga gugup seolah bersatu untuk melumpuhkan setiap persendiannya sampai membuat ia terlelap.

Beberapa lama kemudian, Arzan yang masih terjaga menyadari kepulasan Nafisa. Ia lantas berbalik, menghadap ke arah istrinya itu dengan maksud hati ingin melihat dan memperhatikannya dari dekat secara diam-diam. Namun, begitu Nafisa bergerak dan berbalik membelakangi Arzan, ikat rambutnya terlepas. Membuat rambut keriting sebahu istrinya itu seketika melambung menyerupai bola. Ia terkesiap mundur, bahkan terduduk saking merasa geli karena tidak menyukai rambut dengan model seperti itu. Kribo.

“Astagfirullah! Serunya pelan sambil menyapu wajah kasar. Lupa, kalau ia pernah berkata siap dengan bagaimanapun keadaan Nafisa.

Namun, begitu pandangannya turun melihat kain sarung batik yang dipakai Nafisa tersingkap hampir selutut, kembali Arzan merasa geli. Kedua kaki istrinya itu terlihat tinggi kurus tanpa lekukan daging di betis.

“Kenapa bisa sekurus itu, sih?”

Arzan bergumam pelan seraya beringsut mundur. Mulutnya komat-kamit mengucapkan istigfar sampai berulang kali, seraya mencari debar yang dulu getarkan hati saat memandangi Nafisa. Namun, gelenyar-gelenyar cinta yang semula masih terasa pun seolah hilang. Ia menelan ludah tak mengerti, kenapa perasaannya tiba-tiba berubah seperti itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status