“Alhamdulillah, Neng,” kata Tania, Kartika dan Kholiefah bersamaan di dalam kamar pengantin, begitu mendengar acara ijab qabul selesai dilaksanakan. Mencipta senyum dari bibir tipis Nafisa yang sedari tadi menunggu dengan jantung berdebar tak keruan.
Istri dari ketiga kakak Nafisa yang datang seminggu sebelum pernikahan itu merasa lega, ikut bahagia karena sekarang status Nafisa bukan lagi seorang gadis. Melainkan istri dari seorang Arzan, pemuda tampan asal kampung Neglasari. Satu per satu dari mereka pun memeluk Nafisa bergantian dari belakang, bahkan mencium kening sebagai tanda sayang.Nafisa yang masih merasa gugup meraih sebelah tangan Tania, istri dari Alvin, kakak tertuanya yang tinggal di kota Sukabumi dengan begitu erat. Ia menoleh dengan bibir terkatup rapat.“Sudah, sekarang kalian sudah sah, toh? Jadi, jangan gugup lagi.” Tania menenangkan sambil menumpukan sebelah tangannya di atas jemari Nafisa.“Iya. Coba senyum,” goda Kartika dan Kholiefah bersamaan. Lantas menjawil dagu juga pipi tirus Nafisa bergantian, saking merasa gemas.Pelan tapi pasti, selengkung berwarna merah muda itu tersenyum tipis seraya menatap pantulan diri di cermin. Untuk ke sekian kali ia terpana, tak percaya kalau bayangan di dalam cermin itu adalah dirinya. Bagaimana tidak? Dia yang tak biasa berdandan, hari ini justru dipoles sedemikian rupa oleh Teh Mimin, penata rias, sampai terlihat begitu cantik.Terlebih, gaun pengantin Syar'i putih dengan model A-Line menjuntai melebihi mata kaki. Membuat Nafisa terlihat begitu anggun, kian sempurna karena adanya sentuhan payet dan mutiara berwarna senada. Tak ketinggalan, hijab yang dipakainya pun dibiarkan menutupi dada.“Tapi, kakiku gemetar, loh, Kak.” Nafisa menatap ketiga kakaknya itu dari pantulan cermin.“Loh, coba rileks, Neng.” Kartika yang berdiri di samping kirinya langsung berjongkok dan memegang kaki Nafisa. “Lurusin dulu kakimu. Ibu pasti akan segera datang.”Nafisa menuruti titah kakak iparnya itu. Namun, baru beberapa menit berselonjor, Laksmi yang memakai kebaya biru muda, senada dengan ketiga menantunya masuk dan menghampiri anaknya yang terlihat gugup.“Ayo, Neng. Suamimu sudah menunggu,” katanya kemudian sambil mengusap lembut kepala Nafisa.Nafisa menghela napas perlahan, lalu berdiri dengan kedua kaki masih gemetar. Tak bertenaga saat ia coba melangkah dan memijakkan kakinya. Beruntung, kedua kakak iparnya menggandeng di sisi kiri dan kanan. Sementara Laksmi dan Tania menggiring di belakang.Begitu sampai di luar, kedua kaki Nafisa kian gemetar, tetapi ia masih mampu mengendalikannya agar terus berjalan menuju pelaminan. Di sana Arzan masih menunggu dengan perasaan harap-harap cemas. Lalu, lagi-lagi terpaku karena melihat kecantikan Nafisa.“Ayo duduk, Neng,” titah Laksmi begitu kedua kakak iparnya mundur. Membuat Nafisa terkesiap, sadar bahwa ia sudah berada dekat dengan lelaki yang baru saja sah menjadi suaminya. Ia pun duduk.Penghulu yang masih di hadapan Arzan pun menuntun kedua mempelai untuk berhadapan, lalu menyuruhnya bersalaman. Usai menggeser posisi duduk, Nafisa mengangkat sedikit wajah. Membuat pandangannya jatuh di kedua mata Arzan. Ia menelan ludah dengan susah payah sebelum melempari suaminya itu dengan senyuman.Saat Arzan mengulurkan tangan, Nafisa meraih dan mencium punggung tangan suaminya yang ternyata begitu lembut. Jauh berbeda dengan telapak tangannya yang kasar. Tak hanya itu, Pak penghulu pun menyuruh Arzan untuk meletakan sebelah tangan yang lain di ubun-ubun Nafisa. Tentu dengan diiringi doa yang diikuti Arzan.“Allahumma biamaanatika akhattuhaa, wa bikalimaatika istahlaltu farjahaa, fain gadhayta lii minhaa waladan faj'alhu mubaarakan syawiyyaa, walaa taj'al lissyaithaani fiihi syariikan walaa nashiba,” tutur Arzan dengan begitu fasih.“Sekarang cium keningnya, Nak Arzan,” titah Pak Penghulu.Nafisa pun terpejam, meresapi sentuhan bibir merah kehitaman Arzan saat mencium keningnya dengan begitu khidmat. Membuat ia tiba-tiba merasa tenang dan damai. Sampai hilang rasa gugup di hatinya.Ijab kabul selesai. Tinggal resepsi yang mengharuskan kedua mempelai berdiri di pelaminan dengan didampingi orang tua masing-masing untuk menyambut tamu undangan. Penghulu dan beberapa saksi yang duduk di panggung turun, lalu mengantre di prasmanan dengan rombongan pria yang datang mengantar.“Cantik!” Arzan berseru pelan sambil menjawil dagu lebah menggantung milik istrinya. Membuat Nafisa seketika menoleh, menerima tatapan penuh cinta dari kedua mata suaminya dengan bibir tersenyum tipis. “Gombal!” timpal Nafisa. Di kedua pipinya, semburat merah merona karena tersipu malu.***
Di dalam kamar, Nafisa yang baru saja selesai salat Magrib duduk di depan cermin dengan perasaan tak keruan. Harap-harap cemas menunggu Arzan yang melakukan salat berjamaah di masjid belakang rumah. Dia menghela napas perlahan berulang kali sambil mengedarkan pandangan. Kamarnya sudah dirias sedemikian rupa dengan kain berwarna biru muda yang menjuntai sampai ke dasar lantai. Lengkap dengan bunga hias di setiap penjuru ruang dan di tengah-tengah langit kamar, mengelilingi lampu.
Ranjang besar dan empuknya pun sudah di kelilingi kain putih tipis dengan empat tiang sebagai penyangga. Ditambah bunga melati yang menguarkan aroma sedap memenuhi ruangan, menggantung di sekeliling ranjang.Nafisa tersenyum tipis, tak menyangka kalau pernikahannya akan semeriah dan seindah tadi. Ia pikir, tidak akan ada lelaki yang menginginkannya, apalagi menjadikannya sebagai seorang istri jika mengingat betapa tidak sempurnanya ia.“Alhamdulillah, Ya Rabb,” lirihnya sambil menangkup wajah.Nafisa terpejam barang sejenak, lantas berdiri dan mengikat rambut yang sedari tadi dibiarkan terurai. Sudah terlalu lama ia duduk menunggu. Mungkin, merebahkan diri sejenak akan membuatnya merasa tenang. Ia berjalan dan duduk di sisi ranjang. Namun, baru saja ia hendak berbaring, suara salam diiringi ketukan pintu terdengar pelan. Membuatnya seketika terduduk lagi dan melihat gagang pintu yang ditarik dari luar.“Eh, Aa.” Nafisa salah tingkah begitu Arzan masuk dan menyeringai.“Duh, maaf. Aa ganggu, ya?” Arzan merasa kikuk saat harus menutup pintu kamar. Itu artinya, dia hanya akan berdua saja dengan Nafisa.“E-enggak. Neng belum tidur, kok. Hanya lagi rebahan aja. Kaki lumayan pegal soalnya.”Nafisa beralasan. Padahal, sedari tadi ia menunggu Arzan dengan harap-harap cemas. Refleks jemarinya menyelipkan anak rambut yang berantakan sambil menoleh ke sana-sini mencari kerudung. Sayang, ia belum sempat mengambilnya dari lemari. “Ya, sudah. Lanjut tidur, Neng. Kamu pasti lelah, 'kan?” Arzan masih bergeming di samping pintu.“Hm, i-iya, deh,” jawabnya semakin kikuk. “Terus Aa?”“Ya, tidur juga.” Lelaki yang masih memakai kain sarung dan baju muslim itu refleks menggaruk pelipis yang sama sekali tidak terasa gatal.“Y-ya, sudah. T-tidur di sini.” Nafisa tergagap sembari menepuk-nepuk ranjang dengan sebelah tangan. Namun, detik kemudian ia tersadar, sikapnya itu terkesan genit.Arzan yang semakin merasa canggung melangkah pelan setelah menggantung peci di paku belakang pintu terlebih dulu, lalu duduk di sisi sebelah kanan sebelum akhirnya naik ke ranjang. Ia merebahkan diri di sana dengan kondisi tubuh yang tiba-tiba terasa lemas. Tak tahu harus berbuat apa, sampai akhirnya hanya telentang dengan kedua tangan bertumpu di perut dalam waktu yang cukup lama. Menatap kosong langit-langit kamar yang tertutup kain putih transparan.Pun dengan Nafisa. Dia yang tak tahu harus bicara apa merasakan tubuhnya semakin dingin dan kaku. Bahkan terasa susah untuk bergerak walau hanya untuk menyingkirkan anak rambut yang lagi-lagi menyembul ke wajahnya. Rasa lelah, malu, takut, dan juga gugup seolah bersatu untuk melumpuhkan setiap persendiannya sampai membuat ia terlelap.Beberapa lama kemudian, Arzan yang masih terjaga menyadari kepulasan Nafisa. Ia lantas berbalik, menghadap ke arah istrinya itu dengan maksud hati ingin melihat dan memperhatikannya dari dekat secara diam-diam. Namun, begitu Nafisa bergerak dan berbalik membelakangi Arzan, ikat rambutnya terlepas. Membuat rambut keriting sebahu istrinya itu seketika melambung menyerupai bola. Ia terkesiap mundur, bahkan terduduk saking merasa geli karena tidak menyukai rambut dengan model seperti itu. Kribo.“Astagfirullah! Serunya pelan sambil menyapu wajah kasar. Lupa, kalau ia pernah berkata siap dengan bagaimanapun keadaan Nafisa.Namun, begitu pandangannya turun melihat kain sarung batik yang dipakai Nafisa tersingkap hampir selutut, kembali Arzan merasa geli. Kedua kaki istrinya itu terlihat tinggi kurus tanpa lekukan daging di betis.“Kenapa bisa sekurus itu, sih?”Arzan bergumam pelan seraya beringsut mundur. Mulutnya komat-kamit mengucapkan istigfar sampai berulang kali, seraya mencari debar yang dulu getarkan hati saat memandangi Nafisa. Namun, gelenyar-gelenyar cinta yang semula masih terasa pun seolah hilang. Ia menelan ludah tak mengerti, kenapa perasaannya tiba-tiba berubah seperti itu.“Jatuh cinta adalah sesuatu yang menyenangkan. Tetapi akan menjadi rumit, kalau masalah kecil saja dipermasalahkan."***Adzan Subuh berkumandang, terdengar jelas dari masjid ke masjid, terlebih yang terletak di belakang rumah Laksmi. Menggema, menggetarkan langit di kampung Jati. Nafisa yang biasa bangun pukul tiga dini hari mengerjap-ngerjapkan mata. Ia terlambat bangun sampai buru-buru menyingkap selimut tebal yang membungkus tubuhnya semalaman seraya duduk bersila.Namun, melihat tidak adanya Arzan membuat ia bergeming barang sejenak. Di mana dia? Pikirnya dalam hati. Barulah setelah itu ia menoleh dan mengedarkan pandangan sembari mengikat rambut yang terlepas saat tertidur pulas. Dilihatnya Arzan tidur di lantai, meringkuk beralaskan kasur lantai yang biasa dipakai tidur saat cuaca panas.“Aa?” gumamnya heran, “kok, tidur di lantai?”Nafisa yang merasa bingung akhirnya beranjak t
"Cinta mungkin tak dapat hadir. Tapi hatinya luluh oleh rasa iba."***Pukul sembilan pagi, usai melakukan sarapan bersama keluarga di rumah Laksmi, Arzan menerima telepon dari Farhat yang menyuruhnya pulang sebentar untuk membicarakan tentang salah satu tokonya di pasar. Arzan pamit, pergi seorang diri walau Nafisa sempat meminta ikut. Ia tak mungkin membawa istrinya itu, karena ada hal lain yang akan dikatakannya pada Mariam.Dengan motor bebek butut ayah mertuanya Arzan berangkat. Ia tak cukup sabar untuk segera sampai dan mengeluhkan apa yang dirasakannya terhadap Nafisa pada Mariam, dengan harapan akan mendapatkan solusi. Ia melajukan motornya cepat, melesat tanpa mengurangi fokusnya berkendara. Namun, begitu sampai dua puluh menit kemudian, yang langsung ditanyakan Mariam adalah menantunya.“Nafisa masih beres-beres rumah, Bu. Jadi nggak bisa ikut. Ibu sehat?” Arzan mengalihkan pembicaraan, balik bertanya seraya menggiring ibunya u
"Segala upaya dilakukan, hanya demi sebuah perasaan!"***Tiga hari menikmati masa pengantin baru di rumah mertua, membuat Arzan merasa terpenjara. Tidak ada yang bisa dilakukannya selain diam di kamar, atau menemani ayah mertuanya di teras sambil menikmati secangkir kopi. Sesekali ia pun membantu Asep memberi makan domba. Seru, karena itu adalah hal yang belum pernah ia lakukan. Namun, karena hari ini Asep dan Laksmi pergi ke ladang, ia yang baru selesai salat hanya duduk-duduk di kursi ruang keluarga sambil menonton acara di televisi.Sesekali matanya menangkap sosok Nafisa, memperhatikan istrinya itu yang sedang melipat baju di lantai, tak jauh dari tempat di mana ia duduk. Walau warna kulit Nafisa terbilang hitam, juga tubuh yang ternyata kerempeng, istrinya itu berwajah cantik dan manis. Pipi tirus membuat hidungnya semakin mancung, kedua mata berbulu lentik itu pun sipit seperti gadis keturunan Tiongk
"Cinta tak kan bisa dipaksa. Tapi, usaha untuk mendapatkannya akan mengubah segala."***‘Malah ikut.’ Arzan mengusap hidung begitu Nafisa masuk. ‘Eh, tapi kan ini kamarnya,' lanjutnya lagi sambil menahan tawa.Nafisa yang baru masuk langsung membuka lemari, menyimpan pakaiannya di sana sebelum kembali untuk mengambil pakaian lain. Tak lupa, sesekali ia mencuri pandang, melihat Arzan duduk di sisi ranjang sambil membaca kitab yang ia bawa sewaktu acara pernikahannya kemarin.Barulah saat untuk ketiga kalinya Nafisa menyimpan baju dalam lemari, ia menutup pintu dan menghampiri Arzan yang masih duduk di sisi ranjang. “Maafin ibu, ya, A. Ibu mah emang suka gitu, suka ngagetin.”“Iya, nggak apa-apa. Lagian salah kita juga nggak nyahut saat dipanggil, 'kan?” tanya Adzan sambil menoleh dan menutup kitab yang baru saja ia baca. Bibirnya yang seksi tersenyum tipis.“Iya, sih. Tapi, kan
“Apa yang terlihat di depan mata, tidak selalu mencerminkan apa yang sebenarnya terjadi.”Matahari kian meninggi, tapi panasnya tak membuat niat Laksmi melemah untuk menemui seorang wanita tua yang terkenal dengan jampi-jampinya. Ia terlalu semangat, tepatnya tak cukup sabar untuk menanyakan perihal ketahanan parfum juga jampi yang ia beli beberapa bulan lalu.Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam lebih, Laksmi pun sampai di kampung Bojong. Bersama tukang ojek, ia melewati gang demi gang sebelum akhirnya tiba di depan sebuah rumah tua bercat kuning kusam.“Tunggu sebentar bisa, Mang?” Laksmi bertanya begitu turun dari motor yang ditumpanginya. “Paling cuma setengah jam.”“Boleh, Bu. Tapi saya minta ongkos yang barusan dulu. Mau beli rokok sama kopi,” tutur lelaki usia tiga puluh tahunan itu sambil menyengir.Laksmi mengangguk, lalu merogoh tas selendang kecil yang menggelayut di tubuhnya yang tambun. “Jangan lupa,
Azan Isya sudah lama berlalu setelah seharian penuh Arzan hanya diam di rumah. Sesekali dia hanya pergi ke kandang, memberi makan domba dengan rumput yang dikumpulkan Asep setiap pagi. Juga duduk-duduk di teras, menemani Asep dan Nafisa mengobrol sembari menikmati secangkir kopi sore tadi.Perkampungan yang cukup jauh dari perkotaan itu sudah sepi dari lalu-lalang warga, apalagi kendaraan. Hanya terdapat beberapa orang yang masih di luar, itu pun karena adanya tugas meronda setiap malam. Kasus pencurian yang kerap terjadi menjelang bulan Ramadan, membuat mereka kompak membagi jadwal jaga. Sebagai warga baru, nama Arzan pun sudah tercatat di papan yang menggantung di pos ronda. Malam ini, dia bersiap-siap keluar seusai salat bersama Asep.“Hati-hati, ya, A. Kalau ada malingnya, Aa jangan ikut ngejar. Mending pulang aja. Kan, Neng juga takut di rumah.” Di dalam kamar, sambil menyodorkan kain sarung dan jaket, supaya Arzan tak kedinginan sepanjang malam, Nafisa b
“Mengikuti nafsu sesaat hanya akan menimbulkan masalah baru, lalu menenggelamkanmu ke dalam lembah hitam penuh dusta. Maka jujurlah, maka cinta kan datang dengan sendirinya.”***Matahari baru saja menampakkan dirinya. Disambut kicauan burung pipit yang bertengger, hampir di setiap genteng rumah warga di kampung Jati. Namun, sinarnya yang mampu menerangi seantero bumi belum memberi hangat. Cuaca pagi masih sedingin malam, apalagi saat kelebat angin masuk melewati jendela, pintu, dan ventilasi udara.Namun, dinginnya pagi tak membuat setiap orang malas untuk beraktivitas. Termasuk keluarga Asep yang mulai sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Sejak lima menit lalu Laksmi sibuk mencuci pakaiannya. Ditemani Nafisa dari dapur sembari memasak nasi dan sayur yang baru saja ia beli dari Kang Ntis—pedagang sayur keliling. Ada terong ungu, siap untuk dibikin balado, tahu tempe, dan ikan asin.Sementara di halaman be
Udara pagi tak lagi sesejuk tadi. Jauh lebih terasa hangat, karena cahaya yang mulai benderang seolah menyelimuti tubuh Arzan di tengah-tengah kelebat angin saat mengendarai motor. Semakin lama, tak lagi ada kabut yang menghalangi pandangan di sepanjang jalan. Membuat Arzan sampai lebih cepat dari perkiraan.“Assalamualaikum, Yah.” Arzan melangkah setelah mengucap salam. Dilihatnya tumpukkan plastik di dinding toko, rapi dan bersih karena ayahnya memang jauh lebuh telaten dari anak atau keluarganya yang lain.Farhat yang mendengarnya pun langsung menjawab salam. Ia berhenti barang sebentar dari kesibukannya menata barang, lalu menyambut uluran tangan Arzan. “Tumben telat? Dulu, biasanya paling semangat.”“Semalam kebagian tugas meronda, Yah. Aku tidur abis Subuh. Jadi, ya kesiangan.”“Pantas,” timpal Farhat sambil berbalik membelakangi Arzan. “Ya, sudah. Bantu ayah beresin plastik dulu sana. N