Beranda / Romansa / Malam Pertama yang Tertunda / Bab. 4. Gelenyar Cinta yang Hilang

Share

Bab. 4. Gelenyar Cinta yang Hilang

Penulis: AlphQueen
last update Terakhir Diperbarui: 2021-03-19 09:58:10

“Alhamdulillah, Neng,” kata Tania, Kartika dan Kholiefah bersamaan di dalam kamar pengantin, begitu mendengar acara ijab qabul selesai dilaksanakan. Mencipta senyum dari bibir tipis Nafisa yang sedari tadi menunggu dengan jantung berdebar tak keruan. 

Istri dari ketiga kakak Nafisa yang datang seminggu sebelum pernikahan itu merasa lega, ikut bahagia karena sekarang status Nafisa bukan lagi seorang gadis. Melainkan istri dari seorang Arzan, pemuda tampan asal kampung Neglasari. Satu per satu dari mereka pun memeluk Nafisa bergantian dari belakang, bahkan mencium kening sebagai tanda sayang.

Nafisa yang masih merasa gugup meraih sebelah tangan Tania, istri dari Alvin, kakak tertuanya yang tinggal di kota Sukabumi dengan begitu erat. Ia menoleh dengan bibir terkatup rapat.

“Sudah, sekarang kalian sudah sah, toh? Jadi, jangan gugup lagi.” Tania menenangkan sambil menumpukan sebelah tangannya di atas jemari Nafisa.

“Iya. Coba senyum,” goda Kartika dan Kholiefah bersamaan. Lantas menjawil dagu juga pipi tirus Nafisa bergantian, saking merasa gemas.

Pelan tapi pasti, selengkung berwarna merah muda itu tersenyum tipis seraya menatap pantulan diri di cermin. Untuk ke sekian kali ia terpana, tak percaya kalau bayangan di dalam cermin itu adalah dirinya. Bagaimana tidak? Dia yang tak biasa berdandan, hari ini justru dipoles sedemikian rupa oleh Teh Mimin, penata rias, sampai terlihat begitu cantik.

Terlebih, gaun pengantin Syar'i putih dengan model A-Line  menjuntai melebihi mata kaki. Membuat Nafisa terlihat begitu anggun, kian sempurna karena adanya sentuhan payet dan mutiara berwarna senada. Tak ketinggalan, hijab yang dipakainya pun dibiarkan menutupi dada.

“Tapi, kakiku gemetar, loh, Kak.” Nafisa menatap ketiga kakaknya itu dari pantulan cermin.

“Loh, coba rileks, Neng.” Kartika yang berdiri di samping kirinya langsung berjongkok dan memegang kaki Nafisa. “Lurusin dulu kakimu. Ibu pasti akan segera datang.”

Nafisa menuruti titah kakak iparnya itu. Namun, baru beberapa menit berselonjor, Laksmi yang memakai kebaya biru muda, senada dengan ketiga menantunya masuk dan menghampiri anaknya yang terlihat gugup.

“Ayo, Neng. Suamimu sudah menunggu,” katanya kemudian sambil mengusap lembut kepala Nafisa.

Nafisa menghela napas perlahan, lalu berdiri dengan kedua kaki masih gemetar. Tak bertenaga saat ia coba melangkah dan memijakkan kakinya. Beruntung, kedua kakak iparnya menggandeng di sisi kiri dan kanan. Sementara Laksmi dan Tania menggiring di belakang.

Begitu sampai di luar, kedua kaki Nafisa kian gemetar, tetapi ia masih mampu mengendalikannya agar terus berjalan menuju pelaminan. Di sana Arzan masih menunggu dengan perasaan harap-harap cemas. Lalu, lagi-lagi terpaku karena melihat kecantikan Nafisa.

“Ayo duduk, Neng,” titah Laksmi begitu kedua kakak iparnya mundur. Membuat Nafisa terkesiap, sadar bahwa ia sudah berada dekat dengan lelaki yang baru saja sah menjadi suaminya. Ia pun duduk.

Penghulu yang masih di hadapan Arzan pun menuntun kedua mempelai untuk berhadapan, lalu menyuruhnya bersalaman. Usai menggeser posisi duduk, Nafisa mengangkat sedikit wajah. Membuat pandangannya jatuh di kedua mata Arzan. Ia menelan ludah dengan susah payah sebelum melempari suaminya itu dengan senyuman.

Saat Arzan mengulurkan tangan, Nafisa meraih dan mencium punggung tangan suaminya yang ternyata begitu lembut. Jauh berbeda dengan telapak tangannya yang kasar. Tak hanya itu, Pak penghulu pun menyuruh Arzan untuk meletakan sebelah tangan yang lain di ubun-ubun Nafisa. Tentu dengan diiringi doa yang diikuti Arzan.

“Allahumma biamaanatika akhattuhaa, wa bikalimaatika istahlaltu farjahaa, fain gadhayta lii minhaa waladan faj'alhu mubaarakan syawiyyaa, walaa taj'al lissyaithaani fiihi syariikan walaa nashiba,” tutur Arzan dengan begitu fasih.

“Sekarang cium keningnya, Nak Arzan,” titah Pak Penghulu.

Nafisa pun terpejam, meresapi sentuhan bibir merah kehitaman Arzan saat mencium keningnya dengan begitu khidmat. Membuat ia tiba-tiba merasa tenang dan damai. Sampai hilang rasa gugup di hatinya.

Ijab kabul selesai. Tinggal resepsi yang mengharuskan kedua mempelai berdiri di pelaminan dengan didampingi orang tua masing-masing untuk menyambut tamu undangan. Penghulu dan beberapa saksi yang duduk di panggung turun, lalu mengantre di prasmanan dengan rombongan pria yang datang mengantar.

“Cantik!” Arzan berseru pelan sambil menjawil dagu lebah menggantung milik istrinya. Membuat Nafisa seketika menoleh, menerima tatapan penuh cinta dari kedua mata suaminya dengan bibir tersenyum tipis.

 “Gombal!” timpal Nafisa. Di kedua pipinya, semburat merah merona karena tersipu malu.

                                                                      *** 

Di dalam kamar, Nafisa yang baru saja selesai salat Magrib duduk di depan cermin dengan perasaan tak keruan. Harap-harap cemas menunggu Arzan yang melakukan salat berjamaah di masjid belakang rumah. Dia menghela napas perlahan berulang kali sambil mengedarkan pandangan. Kamarnya sudah dirias sedemikian rupa dengan kain berwarna biru muda yang menjuntai sampai ke dasar lantai. Lengkap dengan bunga hias di setiap penjuru ruang dan di tengah-tengah langit kamar, mengelilingi lampu.

Ranjang besar dan empuknya pun sudah di kelilingi kain putih tipis dengan empat tiang sebagai penyangga. Ditambah bunga melati yang menguarkan aroma sedap memenuhi ruangan, menggantung di sekeliling ranjang.

Nafisa tersenyum tipis, tak menyangka kalau pernikahannya akan semeriah dan seindah tadi. Ia pikir, tidak akan ada lelaki yang menginginkannya, apalagi menjadikannya sebagai seorang istri jika mengingat betapa tidak sempurnanya ia.

“Alhamdulillah, Ya Rabb,” lirihnya sambil menangkup wajah.

Nafisa terpejam barang sejenak, lantas berdiri dan mengikat rambut yang sedari tadi dibiarkan terurai. Sudah terlalu lama ia duduk menunggu. Mungkin, merebahkan diri sejenak akan membuatnya merasa tenang. Ia berjalan dan duduk di sisi ranjang. Namun, baru saja ia hendak berbaring, suara salam diiringi ketukan pintu terdengar pelan. Membuatnya seketika terduduk lagi dan melihat gagang pintu yang ditarik dari luar.

“Eh, Aa.” Nafisa salah tingkah begitu Arzan masuk dan menyeringai.

“Duh, maaf. Aa ganggu, ya?” Arzan merasa kikuk saat harus menutup pintu kamar. Itu artinya, dia hanya akan berdua saja dengan Nafisa.

“E-enggak. Neng belum tidur, kok. Hanya lagi rebahan aja. Kaki lumayan pegal soalnya.”

Nafisa beralasan. Padahal, sedari tadi ia menunggu Arzan dengan harap-harap cemas. Refleks jemarinya menyelipkan anak rambut yang berantakan sambil menoleh ke sana-sini mencari kerudung. Sayang, ia belum sempat mengambilnya dari lemari. 

“Ya, sudah. Lanjut tidur, Neng. Kamu pasti lelah, 'kan?” Arzan masih bergeming di samping pintu.

“Hm, i-iya, deh,” jawabnya semakin kikuk. “Terus Aa?”

“Ya, tidur juga.” Lelaki yang masih memakai kain sarung dan baju muslim itu refleks menggaruk pelipis yang sama sekali tidak terasa gatal.

“Y-ya, sudah. T-tidur di sini.” Nafisa tergagap sembari menepuk-nepuk ranjang dengan sebelah tangan. Namun, detik kemudian ia tersadar, sikapnya itu terkesan genit.

Arzan yang semakin merasa canggung melangkah pelan setelah menggantung peci di paku belakang pintu terlebih dulu, lalu duduk di sisi sebelah kanan sebelum akhirnya naik ke ranjang. Ia merebahkan diri di sana dengan kondisi tubuh yang tiba-tiba terasa lemas. Tak tahu harus berbuat apa, sampai akhirnya hanya telentang dengan kedua tangan bertumpu di perut dalam waktu yang cukup lama. Menatap kosong langit-langit kamar yang tertutup kain putih  transparan.

Pun dengan Nafisa. Dia yang tak tahu harus bicara apa merasakan tubuhnya semakin dingin dan kaku. Bahkan terasa susah untuk bergerak walau hanya untuk menyingkirkan anak rambut yang lagi-lagi menyembul ke wajahnya. Rasa lelah, malu, takut, dan juga gugup seolah bersatu untuk melumpuhkan setiap persendiannya sampai membuat ia terlelap.

Beberapa lama kemudian, Arzan yang masih terjaga menyadari kepulasan Nafisa. Ia lantas berbalik, menghadap ke arah istrinya itu dengan maksud hati ingin melihat dan memperhatikannya dari dekat secara diam-diam. Namun, begitu Nafisa bergerak dan berbalik membelakangi Arzan, ikat rambutnya terlepas. Membuat rambut keriting sebahu istrinya itu seketika melambung menyerupai bola. Ia terkesiap mundur, bahkan terduduk saking merasa geli karena tidak menyukai rambut dengan model seperti itu. Kribo.

“Astagfirullah! Serunya pelan sambil menyapu wajah kasar. Lupa, kalau ia pernah berkata siap dengan bagaimanapun keadaan Nafisa.

Namun, begitu pandangannya turun melihat kain sarung batik yang dipakai Nafisa tersingkap hampir selutut, kembali Arzan merasa geli. Kedua kaki istrinya itu terlihat tinggi kurus tanpa lekukan daging di betis.

“Kenapa bisa sekurus itu, sih?”

Arzan bergumam pelan seraya beringsut mundur. Mulutnya komat-kamit mengucapkan istigfar sampai berulang kali, seraya mencari debar yang dulu getarkan hati saat memandangi Nafisa. Namun, gelenyar-gelenyar cinta yang semula masih terasa pun seolah hilang. Ia menelan ludah tak mengerti, kenapa perasaannya tiba-tiba berubah seperti itu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Malam Pertama yang Tertunda   Bab. 81. Akhir Dari Sebuah Cerita Cinta

    Setelah beberapa waktu tak sempat pergi ke pemakaman karena sibuk bekerja, Arzan pun akhirnya berangkat hari itu juga tanpa ditemani siapa pun. Dia memang sengaja ingin pergi seorang diri, setelah terakhir kali pergi bersama keluarga juga anaknya. Selain karena ingin khusuk saat mengirim doa, lelaki berambut cepak itu pun ingin mencurahkan seluruh kerinduannya dalam setiap untaian kata.Dinyalakannya mesin motor yang biasa Arzan pakai untuk membonceng Nafisa ke mana pun. Lantas, ia lajukan motornya itu sehingga keluar dari halaman rumah sang Ibu. Ya, setelah sebelumnya mengontrak rumah sederhana dengan Nafisa, Arzan pun memilih untuk kembali tinggal dengan orang tuanya untuk bisa menitipkan Razan saat ia pergi ke pasar. Lagi pula, keluarga Nafisa benar-benar menyerahkan anaknya itu sebagai pengganti Nafisa.Di sepanjang jalan, isi pikiran Arzan dipenuhi oleh kenangan-kenangan bersama Nafisa. Mulai dari bagaimana dirinya bisa be

  • Malam Pertama yang Tertunda   Bab. 80. Akhir Dari Sebuah Pertemuan

    “Di mana ada pertemuan, kita pun akan menjumpai sebuah perpisahan. Dan rasa sakit karena kehilangan, seharusnya menjadi cambuk untuk melanjutkan perjuangan.”***Malam semakin larut, tapi Nafisa belum juga melahirkan bayi yang diharapkannya. Bayi yang menjadi satu-satunya alasan untuk tetap bertahan hidup saat tenggelam dalam tekanan batin. Ia hanya terus mengerang kesakitan, mengejan setiap kali terjadi kontraksi yang mengencangkan perut serta otot-ototnya. Membuat kaki yang semula menekuk seperti orang tengah berjongkok lurus seketika, menegang seiring jempol dan telunjuk bertaut. Barulah setelah hilang rasa sakit di perut, otot-ototnya melerai lagi. Ia tergolek lemah di tengah-tengah isak tangisnya.“Aa bangga padamu, Neng. Semangatlah.”Arzan berbisik seraya mengusap kening. Suasana di dalam ruang persalinan tersebut membuatnya kepanasan, semakin berkeringat karena perasaan cemas yang sedari tadi kem

  • Malam Pertama yang Tertunda   Bab. 79. Melepas Pergi

    SELEPAS ISYA, setelah Ibnu memberi tahu rencananya pada Said, ia pamit pergi pada ibunya. Walau dilarang dan dihalang-halangi, Ibnu justru menerobos dengan mata menyorot tajam pada ibunya sendiri.Wanita itu tak bisa apa-apa selain melepas buah hatinya pergiIbnu berjalan keluar, menghentikan angkot kemudian menaikinya cepat-cepat. Ia begitu tidak sabar ingin segera memukul bagian kemaluan Zein, seperti yang dilakukan orang suruhannya.Setengah jam ia sampai di perempatan jalan. Menengok ke sisi kiri dan kanan, kemudian ia turun dari angkot dan memberi selembar uang.Gelap. Di daerah itu memang jarang ada lampu penerang jalan. Ibnu melangkah hendak menyebrang. Tapi ...BRUKKK ... Seseorang memakai helm menubruknya kencang-kencang dengan motor. Ibnu terpental beberapa meter dari lokasi. Tubuhnya menggelinding di jalan aspal.“I-ibu ....”Gamer’s king itu terengah-engah, sekarat. Wajahnya berlumuran darah tak berupa. C

  • Malam Pertama yang Tertunda   Bab. 78. Meringis Kesakitan

    Seseorang datang, terperangah dengan kaki membeku. Mulutnya ternganga dengan kedua tangan menangkupnya. Ia berdiri tepat di kaki Ibnu yang masih tidak sadarkan diri.“Tttttt-tolonggg ...!” Wanita sekitar dua puluh tahunan itu berteriak. “T-tolong!”Menit kemudian keadaan masih sepi tanpa seorang pun yang datang. Setelah menetralkan keterkejutannya, wanita itu berlari menuju ke rumah Pak Rt setempat.Lalu sepuluh menit kemudian, Ibnu sudah sadarkan diri dan meringis kesakitan. Perlahan, ia menggeser tubuhnya ke tepi jalan. Menyenderkan pundaknya di tembok rumah kosong, sepertinya.“I-itu, Pak!” kata seorang perempuan yang menemukan Ibnu, menunjuk. “Dia sudah sadar, sepertinya.”Pak Rt yang melihat Ibnu langsung mendekat melihat kondisi Ibnu. “Adek, kenapa?”Tak mendapat jawaban, Pak Rt dan satu warga lainnya membopoh Ibnu, membawanya ke rumah Pak Rt untuk penanganan pertama.Di dalam rumah yang tidak terlalu besar, Ibnu berbaring di at

  • Malam Pertama yang Tertunda   Bab. 76. Permainan yang Menantang

    BEGITU TIBA DI RUMAH, Ibnu mendapati ibunya tertidur di ruang tengah dengan televisi menyala. Itu adalah sebuah kebiasaan. Katanya, Nuri tidak bisa tidur tanpa ditemani suara dari televisi, ponsel, atau radio. Karena ia memiliki mimpi yang sama setiap kali tertidur.Ibnu berjinjit menuju ke lantai atas. Sesampainya di kamar, ia segera mengganti baju dan membuka ponsel. Tapi kali ini bukan untuk berman game, dia membuka kontak dengan nama Zein, kemudian mengirim pesan panjang lebar dan sok akrab.“Sore ... kamu Zein, temannya Aurel tukang mereview sebuah game? Kenalin, gue Ibnu temannya Aurel. Singkat kata, maaf gue ganggu dan sok kenal. Tapi gue mau sebuah game yang menantang dan berdarah-darah. Bisa?”Pesan terkirim.Sembari menunggu sebuah balasan, Ibnu membuka laptop dan bermain-main di dalam akun facebooknya. Membalas sebuah chat, komentar, dan lain-lain.Dia berjengkit meraih ponsel yang bergetar. Satu pesan telah masuk dari Zein.

  • Malam Pertama yang Tertunda   Bab. 75. Sama-Sama Kaku

    Di KANTIN, Said menunjukkan review sebuah game android berbayar. Alih-alih menyimak setiap penjelasan permainan itu, Ibnu menatap fokus pada Zein, remaja seusianya yang mereview sebuah game balapan mobil.Ibnu menyenderkan pundaknya di kursi. “Lu tahu dari mana kalau dia teman Aurel?”Said meletakkan ponselnya di meja, memutar tubuhnya mengubah posisi duduk, menghadap Ibnu. “Dari Aurel?”Ibnu tersentak dari posisinya, mendekatkan wajahnya pada Said. “Sejak kapan Lu mulai dekat dengan Aurel? Perasaan dulu Lu nggak suka sama dia!”Said tergelak, tawanya sangat keras membuat banyak mata menatapnya. Kemudian ia berbisik, “tenang, Bro. Gue nggsk nikung.”Ibnu menghela napas lega. “Katakan! Gue tahu Lu mau ngomong sesuatu.”“Goog boy. “Said kembali berbisik-bisik, “Saat Lu masuk rumah sakit, gue sering ketemu dia buat ngasih tahu keadaan, Lu. Dan gue sudah bilang tentang perasaan, Lu, Bro.”“What?” Ibnu terperangah. “Gila, Lu?”“Kaga

  • Malam Pertama yang Tertunda   Bab. 74. Nyaman

    DI WARNET, di dalam bilik pembatas Ibnu tengah asik bermain game kesukaannya. Ia merasa kesal karena tiga minggu penuh tidak memegang ponsel. Akibatnya, ia tertinggal beberapa level dan kalah saingan dengan beberapa teman onlinenya.Setelah puas bermain game, Ibnu membuka akun facebook, twitter, dan instagram. Ia tercengang dengan notiv yang memenuhi pemberitahuannya. Pun dengan pesan yang menumpuk di mesenger.Ia membukanya, kemudian membalas satu-persatu. Memberi tahu mereka, bahawa sang gamer’s king telah kembali. Remaja sembilan belas tahun itu tidak peduli, walau sang Ibu telah melarangnya bermain gadged, bahkan Nuri tidak memberikan ponsel anaknya sendiri demi kesehatan. Tapi, Ibnu justri bermain game di warnet hingga beberapa jam. Sementara di rumah, ibunya menghawatirkan Ibnu yang tak kunjung pulang.Tiga jam kemudian, waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Ibnu merentangkan tangannya, menggeliat. Ia menguap lebar-lebar tanpa menutup mulut, ten

  • Malam Pertama yang Tertunda   Bab. 73. Makan Berdua

    MUTIA, Said dan Aurel baru saja sampai di rumah sakit. Ini adalah yang kedua kalinya mereka datang menjenguk. Dan tahukah? Kedatangan Aurellah yang sedikit membuat Ibnu membaik.Mutia membuka pintu ruangan, kemudian masuk diikuti Said dan Aurel. Mendapati Ibnu yang tengah tertidur, mereka saling berbisik menyapa ibunya Ibnu.“Gimana keadaannya sekarang, Bu?” tanya Aurel. Sebelah tangannya meraih tangan Ibnu, menggenggam.“Dokter bilang, Ibnu akan segera pulang.”“Syukurlah.” Mutia menjawab singkat mendahului Aurel yang hendak bercakap. “Kira-kira kapan?”“Katanya nunggu kondisi sore ini. Kalau benar-benar tidak ada keluhan lagi, Ibnu boleh pulang sore ini juga.” Nuri menatap manik Mutia dan Aurel bergantian.Sebagai seorang Ibu yang pastinya sedikit lebih banyak memiliki pengalaman, ia tahu betul arti tatapan dua remaja itu.“Baguslah,” timpal Said yang berada di samping Ibnu.Mendengar suara-suara bisikkan, Ibnu terbangun. Ia

  • Malam Pertama yang Tertunda   Bab. 72. YouTubers

    DI DALAM KAMAR, Ibnu duduk pokus pada laptopnya. Jari-jari tangannya begitu cepat menjelajahi setiap situs diinternet. Kali ini, ia akan mengapload sebuah video yang ia buat sepulang dari sekolah.Ia merekam beberapa siswa yang berhamburan, kendaraan yang berlalu-lalang, pejalan kaki dan dirinya sendiri yang berjalan menyusuri trotoar seorang diri. kemudian diedit sedemikian rupa dengan iringan musik.Selesai mengapload video, Ibnu menjelajahi youtube untuk mencari sebuah review game android terbaru. Ia pikir, benar menurut Said tentang permainan lamanya. Membosankan.Klik, Ibnu menekan tombol play dan menonton sebuah ulasan tentang permainan berdarah di dalamnya. Seorang remaja menjelaskan tentang beberapa aturan dan keseruan game tersebut.Tak berhenti di situ, Ibnu kembali mencari review game yang lain. Alhasil, ia mengunduh empat permainan berdarah sekaligus. Kemudian mencobanya satu persatu.Ketergantungannya pada sebuah game online semakin me

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status