Namun, ia melihat pintu terbuka, dengan pelan Aldi melepaskan Rania yang masih senyum-senyum, ia berjalan nenengoki Azka, ternyata anak itu sudah pules di kamarnya.
Aldi bisa bernapas tenang, ia kembali menutup pintu kamar sang anak dan masuk kembali ke kamarnya, kemudian dikunci. "Aku kangen sama kamu," gumam Rania. Aldi melihat itu merasa kasihan, ia kembali berbaring sambil menatap wajah istrinya. Tangan pria itu terangkat, mengelus pipi Rania lembut. Malam yang dingin dengan suara hujan di luar, di hadapannya ada wanita cantik yang sudah sah menjadi istri. Aldi pria normal, terlebih lagi ia masih perjaka belum pernah melakukan hal-hal yang berbau suami istri. Pria itu terbawa, ia semakin mendekat untuk mengecup bibir ranum sang istri yang sebentar lagi akan ia dapat. Namun gagal, Rania berbalik dan memeluk guling yang ada di sampingnya. Padahal tubuh Aldi sudah memanas, ia kini hanya bisa sabar sambil mengatur napas. Setidaknya, tadi ia sudah mendapatkan kecupan dari sang istri walaupun tidak mereka sengaja. *** "Aaaaa!" Teriakan nyaring Rania membuat Aldi yang tengah terlelap dalam pelukan istrinya itu langsung terbangun. Sedangkan Rania langsung lompat dari ranjang sambil memeluk guling, ia menatap Aldi yang masih mengucek mata, kemudian bertanya ada apa pada istrinya itu. "Kamu ngapain meluk-meluk aku." "Meluk?" "Azka ke mana?" Dia baru teringat bahwa semalam sang anak tidur bersamanya, Rania langsung melempar guling itu tepat pada wajah Aldi, kemudian keluar dengan tergesa menuju kamar sang anak. Ternyata Azka tidak ada di sana. Namun, saat wanita itu menatap ke bawah, ternyata Azka sudah duduk manis di meja makan menikmati roti dan susu yang dibuat oleh Mbok Nem. "Bunda udah bangun?" tanya Azka sedikit berteriak. Melihat itu Rania mengembuskan napas lega. "Kamu kok pagi banget bangunnya?" "Ini udah jam delapan, Bunda." Ke dua kalinya Rania terkejut, ia menatap ke luar yang sudah terang sekali, saking capeknya dia sampai tertidur pulas sekali. Buru-buru dia masuk kembali ke kamar untuk mencuci muka, di sana ternyata Aldi juga ingin masuk ke kamar mandi. Melihat sang suami yang sedikit lagi masuk, dia bergegas lari agar bisa masuk lebih dulu. Namun Aldi tak mau kalah, ia juga berusaha untuk masuk duluan, jadilah mereka tertahan di lubang pintu dengan badan yang saling berdempetan. "Aku dulu, Mas." "Aku dulu, Ran." "Ish kamu gak mau kalah dari perempuan, ya." "Kamu juga gak mau kalah dari lelaki." "Ya beda, lah." "Sama aja!" "Ishh!" Rania berusaha untuk masuk duluan, tapi Aldi pun juga kekeuh tak mau kalah. Padahal kamar mandi di kamar Azka kosong jika mereka ingin mengalah satu sama lain. Tapi karena sengaja, Aldi pun mendorong Rania sampai dia terpentok ke dinding, dengan cepat tangan Aldi menyalakan shower, sampai mereka kini tersiram air bersama. Rania yang terkejut karena merasa dirinya ingin jatuh, juga air yang tiba-tiba menyala, ia berpegangan pada baju bagian dada Aldi, sedangkan pria itu berusaha mencari kesempatan agar bisa lebih dekat dengan sang istri. Dia mendorong Rania agar lebih menempel ke dinding dan mendekapnya, membuat wanita itu menatapnya dengan tatapan yang dalam seolah terbawa oleh arus yang Aldi lakukan. Sedangkan mata Aldi tidak lepas dari menatap Rania, ia bahkan lebih berani untuk semakin mendekat. Membuat Rania tidak nyaman dan ingin melepaskan diri dari dekapan sang suami, tapi Aldi malah semakin mengeratkan pelukannya sampai-sampai wanita itu menjinjit dengan wajah yang sangat dekat sekali dengan sang suami. Jantungnya berdebar hebat saat Aldi terpejam dengan wajah yang semakin dekat. Melihat sang suami yang sangat lembut terhadapnya, wanita itu terbawa perasaan sampai pada akhirnya ia terpejam. Namun, di saat memejamkan mata, yang terbayang oleh Rania adalah senyuman hangat sang suami saat mereka akan mereguk manisnya madu bersama. Sontak wanita itu membuka mata dan mendorong Aldi, ia menggigit jarinya dengan mata yang sudah memerah. Kemudian pergi keluar dari kamar mandi dengan perasaan yang berkecamuk. Aldi diam, ia menatap diri di cermin. Kemudian tersenyum, lebih tepatnya ingin menertawakan diri sendiri. Ternyata tidak semudah itu ingin mendapatkan apa yang sudah menjadi haknya itu."Meskipun belum semua, tapi aku ingat kalau kamu mencintaiku selama tujuh tahun, Mas!" ujar Ayumi... yang ternyata dia memanglah Rania. "Tuhan... Semoga ini bukan mimpi, semoga ini bukan mimpi." "Ini nyata, Mas. Kita bertemu lagi setelah tiga tahun lamanya aku di sini hidup tanpa siapa pun!" "Maafkan aku, maaf... aku terlambat datang jemput kamu." Rania menggeleng, baginya ini sudah menjadi takdir dan ujian. Apakah mereka bisa melewati ujian ini, atau mereka menyerah tanpa saling tahu satu sama lain. Dan sekarang, di tengah kebun teh yang hijau, Tuhan melihat mereka bisa melewati ujian yang diberikan. Mereka kembali bersama dalam keadaan sehat dan tidak kurang satu pun. "Jangan pergi lagi, Rania... aku mencintaimu." "Aku janji, Mas. Akan terus ada di sisi kamu. Selamanya...." * Rania menatap kebun hijau di dekat jendela kamar Aldi, air matanya mengalir deras saat mengetahui jika sang anak sudah pergi meninggalkan dirinya saat dia tidak ada di sampingnya. "Maaf karena aku
Mentari pagi sangat cerah memasuki kamar Aldi, di sana Ayumi masih tertidur saat kemarin malam merasakan sakit kepala. Matanya mulai terbuka, orang pertama yang ia lihat adalah Aldi yang tengah berkutik dengan laptopnya. "Sudah tujuh tahun." "Tujuh tahun, Rania aku mencintaimu...." Suara dan bayangan itu kembali datang. Ayumi memegangi kepalanya dan berdesis. Membuat Aldi berbalik menatapnya dan langsung menghampiri. "Kamu udah bangun?" tanyanya, dengan wajah yang panik. "Apa masih sakit?" Perempuan itu menggeleng pelan. "Mau sarapan apa?" Ayumi tak menjawab, ia malah menatap Aldi tanpa berkedip. Hatinya campur aduk, antara percaya atau tidak bahwa dia adalah istri seorang pria yang sedang berada di hadapannya itu. "Bisa kamu tunjukan momen-momen bersama istrimu?" Aldi yang merasa bingung karena dia meminta itu pun, berdiri dan mengambil laptopnya. Ia kembali duduk di samping Ayumi. Pria itu menjelaskan saat Rania pertama kali kerja di kantornya, saat dia di kerjain
Sudah dua hari, Aldi masih setia menunggu kabar dari Ai, setiap malam yang ia bayangkan hanyalah Rania, dan masih sangat berharap bahwa perempuan itu memanglah istrinya. Malam sedingin ini, Aldi hanya diam berdiri di balkon, melihat kebun teh dengan suara jangkrik yang menemaninya. Ia bosan, ingin pergi tapi ke mana. Kemudian pria itu baru teringat bahwa ia ingin seuatu tempat. Bergegas dia menyambar jaket karena dingin, lalu pergi. Sebuah sungai kecil tapi suara air yang mengalir membuatnya merasa tenang. Tidak jauh dari saung, pria itu memutuskan untuk jalan kaki saja. Namun, saat diperjalanan dia melihat ada yang sedang ribut. Suara perempuan itu membuat Aldi bergegas lari menghampiri. "Hutangnya mana! Kita mah gak butuh tangisan kamu!" "Bayar sekarang atau kita bakar rumah kalian!" "Jangan... jangan, Pak. Tolong kasih saya waktu lagi." "Ahhhh lamaa!" "Woyy!" Aldi datang dan meninju wajah orang-orang itu saat mereka sudah melayangkan tangan ingin memukul Ayumi, dengan n
Aldi yang terkejut langsung menghampiri perempuan itu takut jika sampai dia salah paham lagi. Tapi lagi-lagi Ayumi memberikan bogeman, ia menendang Aldi sampai tersungkur ke lantai. "Dasar mesum! Kamu pikir aku perempuan apaan, hah!" teriak Ayumi nyaring, sampai semua pegawai termasuk Teh Ai datang menghampiri mereka. Melihat Teh Ai datang, Ayumi langsung turun dari ranjang dan memeluknya dengan penuh ketakutan. "Tolong, Teh... dia mau perikosa aku!" ujar Ayumi dengan tubuh yang gemetar. Teh Ai melihat kancing baju anak buahnya itu terbuka. Kemudian ia menatap Aldi yang sedang berusaha berdiri. "Sumpah, saya gak ada maksud buat begitu," jawab Aldi membela. "Terus apa maksud kamu buka-buka kancing baju saya! Udah salah masih aja mengelak, jangan karena kamu punya banyak uang jadi bisa seenaknya pada orang miskin sepertiku. Ingat, biarpun miskin tapi aku masih punya harga diri!" teriak Ayumi. Aldi diam dengan mata menatap Ayumi, dia merasa sangat bersalah karena membuat pe
Ayumi memeluk sang nenek erat sembari menangis. Dia masih bingung, siapa dia sebenarnya dan kenapa bisa ada di sana? Kenapa dia bisa hilang ingatan tiga tahun lalu itu. Apakah dia sudah menikah atau masih lajang? Setiap malam Ayumi memikirkan hal itu. Apakah keluarganya masih utuh, apakah dia mempunyai kekasih? Dia benar-benar tidak mengingat sedikitpun kenangan dulu. Perempuan itu pamit pada sang nenek. Ia kembali ke saung dengan wajah yang ceria, setidaknya sekarang dia tidak terlalu memikirkan dari mana mendapatkan uang. Sejak kemarin dia sudah frustasi, jika keluar dari kerjaan, ke mana lagi dia akan mencari uang. "Yumi, tolong siapkan air hangat untuk kamar 08, ya." Perempuan itu sontak menatap sang bos. Tangannya saling bertautan karena takut. Bagaimana jika dia melakukan hal yang kemarin lagi? Bisakah dia menolak? Tapi... apa mungkin bosnya itu akan memberikan kesempatan dua kali? "Ba-Baik... Teh." Dengan cepat ia berjalan menuju kamar Adli, di depan pintu Ayum
Setelah sekian kali mengetuk, akhirnya ada yang nyaut juga. "Siapa—" Raut wajahnya berubah saat melihatku. Dengan cepat ia menutup pintu, tapi tanganku lebih cepat untuk menahannya. "Mau apa Bapak ke sini?" "Saya mau bertemu dengan kamu." "Atas dasar apa? Saya tidak mau bertemu dengan Bapak. Pulanglah!" "Tunggu. Saya minta maaf perihal yang tadi. Maaf jika saya lancang, demi apa pun, saya tidak bermaksud untuk melakukan itu." Sembari menatapku dengan kemarahan yang mulai mereda, dia kemudian membukakan pintu dan mengizinkanku untuk masuk. Lantai kayu yang sudah bolong-bolong begitu juga dengan dinding anyaman bambu. Kenapa dia tinggal di rumah seperti ini, apakah tidak ada yang lebih layak dari ini? "Duduklah." Dia sibuk mengambilkan air kemudian menaruhnya di hadapanku. "Maaf di sini tidak ada kursi," ujarnya, kemudian duduk berhadapan denganku. "Kamu tinggal sendiri?" "Tidak. Saya tinggal dengan Nenek saya, tapi dia sudah renta. Jadi tidak bisa ke mana-mana." "Oh..