Share

Kekhawatiran Rania

Penulis: Uni Tari
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-30 22:44:03

Di meja makan, Rania hanya diam bahkan menatap Aldi saja tidak. Ia merasa malu dan bersalah dengan kejadian yang tadi mereka lewati.

Meskipun Aldi sudah berdehem berkali-kali memberikan kode agar wanita itu mendengar atau hanya sekedar menatapnya, tapi Rania tidak berkutik sama sekali.

Sarapan selesai, Rania memilih kembali ke kamar membuka laptopnya melihat laporan untuk besok. Ia menggaruk kepalanya karena sedikit pusing, selama ini ia hanya diam di rumah menikmati hasil yang Andika berikan.

Akan tetapi sekarang ia harus berjuang mati-matian untuk menghidupi sang anak meskipun ada Aldi yang dengan siap untuk merawat mereka berdua.

Tapi yang Rania rasa mereka menikah hanyalah menjalankan wasiat, tidak wajib bagi Aldi untuk menafkahi mereka berdua.

Padahal pria itu tulus sekali menyayangi mereka berdua.

"Urusan besok biar besok, ngapain kamu kerjakan hari ini?" Tiba-tiba saja Aldi masuk dengan secangkir kopi di tangannya.

"Gak dikerjain, cuma mastiin aja buat besok."

"Oh." Singkat sekali, Aldi tak mau memperpanjang obrolan tentang pekerjaan. Ia duduk di sofa yang mengarah ke balkon kamar, menikmati semilir angin yang sejuk di siang hari karena tidak terlalu terik hari ini.

"Maaf ya, jika kadang aku membuatmu risih."

Rania yang masih mengotak-atik laptopnya pun melirik pria itu yang masih menatap lurus ke arah luar.

"Kadang aku tidak bisa menahan diri. Ya... Tau sendiri kan aku masih bujang." Di akhiri dengan ketawa kecil Aldi berucap seperti itu.

"Tau masih bujang ngapain kamu mau nerima wasiat suamiku, Mas. Padahal kamu jangan merasa mempunyai balas budi yang harus dibayar. Yang lalu sudah berlalu, lagipula kan kamu sudah lama membantu Mas Andika."

"Jika aku menikahmu bukan karena wasiat bagaimana?"

Jari-jari Rania seketika terhenti mengetik saat mendeteksi ucapan dari suaminya itu. Ia menatap Aldi dengan tatapan yang penuh tanda tanya.

"Maksud kamu?"

"Hmmm... enggak, bukan apa-apa."

"Maksudnya apa?" Sekali lagi Rania berkata dengan nada yang sedikit tinggi.

Aldi menyeruput kopi hitamnya dengan nikmat. Ia menaruh kembali cangkir kopi itu ke meja, kemudian menatap Rania sambil tersenyum penuh arti.

"Aku...." Dia menggantungkan ucapannya, Aldi ingin tau sejauh apa rasa penasaran Rania terhadapnya yang secara sadar dan siap menerima istri sahabatnya itu untuk menikah dengannya.

Karena merasa tidak nyaman dengan prasangka buruknya pada Aldi, Rania menutup laptopnya kemudian pergi dari sana dan masuk ke kamar sang anak.

Ia duduk di tepi ranjang dengan pikiran yang berkecamuk. Mungkinkah kalau Aldi....

"Ah, enggak-enggak. Mana mungkin dia mau menusuk sahabatnya sendiri."

Wanita itu membuka lemari sang anak, dan membereskan baju yang dirasanya berantakan untuk melupakan prasangka-prasangka yang tak baik pada Aldi.

Namun, ternyata hal itu tidak membuat pikirannya melupakan perkataan Aldi tadi, malah semakin ia diam dan menyibukkan diri, semakin teringat kata demi kata yang Aldi katakan.

Dengan baju sang anak yang masih ada di tangannya, ia melamun dan mengingat kejadian-kejadian saat mereka bertemu dulu.

Dari tatapan Aldi yang tidak biasa saat menghadiri acara pernikahan dirinya dengan Andika, sampai saat mereka kumpul bersama untuk sekedar berkunjung ke rumahnya.

Tatapan dalam Aldi pada Rania selalu berbeda. Pernah sekali pria itu ketahuan sedang menatap sambil tersenyum pada Rania, tapi wanita itu pikir Aldi memanglah orang yang seperti itu.

Baik, lembut dan sangat menghormati orang-orang yang ada di lingkungannya.

Di sisi lain, Aldi masih menikmati kopinya, ia merasa bersalah pada Andika karena telah mencintai istrinya.

Tapi di sisi lain, ia juga merasa benar karena bukan saat sudah menikah dengan Andika ia mencintai Rania, tapi jauh sebelum Andika mengenal istrinya itu.

Mereka saling merahasiakan perasaan satu sama lain, karena dulu pernah mereka berjanji tidak akan menyukai perempuan sebelum mereka sukses dalam pekerjaan.

Namun, saat mereka sudah sukses dan Aldi ingin mengutarakan keinginannya pada Andika bahwa dia mencintai seorang wanita dan ingin ia membantunya, tapi justru Andika yang lebih dulu excited menceritakan bahwa ia telah jatuh hati pada seorang perempuan dan siap untuk melamarnya dalam waktu dekat.

Membiarkan sang sahabat yang lebih dulu bercerita, Aldi menatap dengan tatapan terkejut saat melihat foto perempuan yang Andika perlihatkan padanya.

Ia menatap Andika yang nampak sangat bahagia dan gembira karena telah berhasil menyatakan cinta pada perempuan itu, dan ia meminta pendapat Aldi untuk mengatur acara karena ia percaya penuh pada sang sahabat.

"Jadi, kamu mau cerita apa, Al?" tanya Andika.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Malam Pertamaku yang Kedua   SELESAI

    "Meskipun belum semua, tapi aku ingat kalau kamu mencintaiku selama tujuh tahun, Mas!" ujar Ayumi... yang ternyata dia memanglah Rania. "Tuhan... Semoga ini bukan mimpi, semoga ini bukan mimpi." "Ini nyata, Mas. Kita bertemu lagi setelah tiga tahun lamanya aku di sini hidup tanpa siapa pun!" "Maafkan aku, maaf... aku terlambat datang jemput kamu." Rania menggeleng, baginya ini sudah menjadi takdir dan ujian. Apakah mereka bisa melewati ujian ini, atau mereka menyerah tanpa saling tahu satu sama lain. Dan sekarang, di tengah kebun teh yang hijau, Tuhan melihat mereka bisa melewati ujian yang diberikan. Mereka kembali bersama dalam keadaan sehat dan tidak kurang satu pun. "Jangan pergi lagi, Rania... aku mencintaimu." "Aku janji, Mas. Akan terus ada di sisi kamu. Selamanya...." * Rania menatap kebun hijau di dekat jendela kamar Aldi, air matanya mengalir deras saat mengetahui jika sang anak sudah pergi meninggalkan dirinya saat dia tidak ada di sampingnya. "Maaf karena aku

  • Malam Pertamaku yang Kedua   Kembali

    Mentari pagi sangat cerah memasuki kamar Aldi, di sana Ayumi masih tertidur saat kemarin malam merasakan sakit kepala. Matanya mulai terbuka, orang pertama yang ia lihat adalah Aldi yang tengah berkutik dengan laptopnya. "Sudah tujuh tahun." "Tujuh tahun, Rania aku mencintaimu...." Suara dan bayangan itu kembali datang. Ayumi memegangi kepalanya dan berdesis. Membuat Aldi berbalik menatapnya dan langsung menghampiri. "Kamu udah bangun?" tanyanya, dengan wajah yang panik. "Apa masih sakit?" Perempuan itu menggeleng pelan. "Mau sarapan apa?" Ayumi tak menjawab, ia malah menatap Aldi tanpa berkedip. Hatinya campur aduk, antara percaya atau tidak bahwa dia adalah istri seorang pria yang sedang berada di hadapannya itu. "Bisa kamu tunjukan momen-momen bersama istrimu?" Aldi yang merasa bingung karena dia meminta itu pun, berdiri dan mengambil laptopnya. Ia kembali duduk di samping Ayumi. Pria itu menjelaskan saat Rania pertama kali kerja di kantornya, saat dia di kerjain

  • Malam Pertamaku yang Kedua   Pahlawan

    Sudah dua hari, Aldi masih setia menunggu kabar dari Ai, setiap malam yang ia bayangkan hanyalah Rania, dan masih sangat berharap bahwa perempuan itu memanglah istrinya. Malam sedingin ini, Aldi hanya diam berdiri di balkon, melihat kebun teh dengan suara jangkrik yang menemaninya. Ia bosan, ingin pergi tapi ke mana. Kemudian pria itu baru teringat bahwa ia ingin seuatu tempat. Bergegas dia menyambar jaket karena dingin, lalu pergi. Sebuah sungai kecil tapi suara air yang mengalir membuatnya merasa tenang. Tidak jauh dari saung, pria itu memutuskan untuk jalan kaki saja. Namun, saat diperjalanan dia melihat ada yang sedang ribut. Suara perempuan itu membuat Aldi bergegas lari menghampiri. "Hutangnya mana! Kita mah gak butuh tangisan kamu!" "Bayar sekarang atau kita bakar rumah kalian!" "Jangan... jangan, Pak. Tolong kasih saya waktu lagi." "Ahhhh lamaa!" "Woyy!" Aldi datang dan meninju wajah orang-orang itu saat mereka sudah melayangkan tangan ingin memukul Ayumi, dengan n

  • Malam Pertamaku yang Kedua   Marah

    Aldi yang terkejut langsung menghampiri perempuan itu takut jika sampai dia salah paham lagi. Tapi lagi-lagi Ayumi memberikan bogeman, ia menendang Aldi sampai tersungkur ke lantai. "Dasar mesum! Kamu pikir aku perempuan apaan, hah!" teriak Ayumi nyaring, sampai semua pegawai termasuk Teh Ai datang menghampiri mereka. Melihat Teh Ai datang, Ayumi langsung turun dari ranjang dan memeluknya dengan penuh ketakutan. "Tolong, Teh... dia mau perikosa aku!" ujar Ayumi dengan tubuh yang gemetar. Teh Ai melihat kancing baju anak buahnya itu terbuka. Kemudian ia menatap Aldi yang sedang berusaha berdiri. "Sumpah, saya gak ada maksud buat begitu," jawab Aldi membela. "Terus apa maksud kamu buka-buka kancing baju saya! Udah salah masih aja mengelak, jangan karena kamu punya banyak uang jadi bisa seenaknya pada orang miskin sepertiku. Ingat, biarpun miskin tapi aku masih punya harga diri!" teriak Ayumi. Aldi diam dengan mata menatap Ayumi, dia merasa sangat bersalah karena membuat pe

  • Malam Pertamaku yang Kedua   Kegundahan Hati

    Ayumi memeluk sang nenek erat sembari menangis. Dia masih bingung, siapa dia sebenarnya dan kenapa bisa ada di sana? Kenapa dia bisa hilang ingatan tiga tahun lalu itu. Apakah dia sudah menikah atau masih lajang? Setiap malam Ayumi memikirkan hal itu. Apakah keluarganya masih utuh, apakah dia mempunyai kekasih? Dia benar-benar tidak mengingat sedikitpun kenangan dulu. Perempuan itu pamit pada sang nenek. Ia kembali ke saung dengan wajah yang ceria, setidaknya sekarang dia tidak terlalu memikirkan dari mana mendapatkan uang. Sejak kemarin dia sudah frustasi, jika keluar dari kerjaan, ke mana lagi dia akan mencari uang. "Yumi, tolong siapkan air hangat untuk kamar 08, ya." Perempuan itu sontak menatap sang bos. Tangannya saling bertautan karena takut. Bagaimana jika dia melakukan hal yang kemarin lagi? Bisakah dia menolak? Tapi... apa mungkin bosnya itu akan memberikan kesempatan dua kali? "Ba-Baik... Teh." Dengan cepat ia berjalan menuju kamar Adli, di depan pintu Ayum

  • Malam Pertamaku yang Kedua   Hilang Ingatan

    Setelah sekian kali mengetuk, akhirnya ada yang nyaut juga. "Siapa—" Raut wajahnya berubah saat melihatku. Dengan cepat ia menutup pintu, tapi tanganku lebih cepat untuk menahannya. "Mau apa Bapak ke sini?" "Saya mau bertemu dengan kamu." "Atas dasar apa? Saya tidak mau bertemu dengan Bapak. Pulanglah!" "Tunggu. Saya minta maaf perihal yang tadi. Maaf jika saya lancang, demi apa pun, saya tidak bermaksud untuk melakukan itu." Sembari menatapku dengan kemarahan yang mulai mereda, dia kemudian membukakan pintu dan mengizinkanku untuk masuk. Lantai kayu yang sudah bolong-bolong begitu juga dengan dinding anyaman bambu. Kenapa dia tinggal di rumah seperti ini, apakah tidak ada yang lebih layak dari ini? "Duduklah." Dia sibuk mengambilkan air kemudian menaruhnya di hadapanku. "Maaf di sini tidak ada kursi," ujarnya, kemudian duduk berhadapan denganku. "Kamu tinggal sendiri?" "Tidak. Saya tinggal dengan Nenek saya, tapi dia sudah renta. Jadi tidak bisa ke mana-mana." "Oh..

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status