Di meja makan, Rania hanya diam bahkan menatap Aldi saja tidak. Ia merasa malu dan bersalah dengan kejadian yang tadi mereka lewati.
Meskipun Aldi sudah berdehem berkali-kali memberikan kode agar wanita itu mendengar atau hanya sekedar menatapnya, tapi Rania tidak berkutik sama sekali. Sarapan selesai, Rania memilih kembali ke kamar membuka laptopnya melihat laporan untuk besok. Ia menggaruk kepalanya karena sedikit pusing, selama ini ia hanya diam di rumah menikmati hasil yang Andika berikan. Akan tetapi sekarang ia harus berjuang mati-matian untuk menghidupi sang anak meskipun ada Aldi yang dengan siap untuk merawat mereka berdua. Tapi yang Rania rasa mereka menikah hanyalah menjalankan wasiat, tidak wajib bagi Aldi untuk menafkahi mereka berdua. Padahal pria itu tulus sekali menyayangi mereka berdua. "Urusan besok biar besok, ngapain kamu kerjakan hari ini?" Tiba-tiba saja Aldi masuk dengan secangkir kopi di tangannya. "Gak dikerjain, cuma mastiin aja buat besok." "Oh." Singkat sekali, Aldi tak mau memperpanjang obrolan tentang pekerjaan. Ia duduk di sofa yang mengarah ke balkon kamar, menikmati semilir angin yang sejuk di siang hari karena tidak terlalu terik hari ini. "Maaf ya, jika kadang aku membuatmu risih." Rania yang masih mengotak-atik laptopnya pun melirik pria itu yang masih menatap lurus ke arah luar. "Kadang aku tidak bisa menahan diri. Ya... Tau sendiri kan aku masih bujang." Di akhiri dengan ketawa kecil Aldi berucap seperti itu. "Tau masih bujang ngapain kamu mau nerima wasiat suamiku, Mas. Padahal kamu jangan merasa mempunyai balas budi yang harus dibayar. Yang lalu sudah berlalu, lagipula kan kamu sudah lama membantu Mas Andika." "Jika aku menikahmu bukan karena wasiat bagaimana?" Jari-jari Rania seketika terhenti mengetik saat mendeteksi ucapan dari suaminya itu. Ia menatap Aldi dengan tatapan yang penuh tanda tanya. "Maksud kamu?" "Hmmm... enggak, bukan apa-apa." "Maksudnya apa?" Sekali lagi Rania berkata dengan nada yang sedikit tinggi. Aldi menyeruput kopi hitamnya dengan nikmat. Ia menaruh kembali cangkir kopi itu ke meja, kemudian menatap Rania sambil tersenyum penuh arti. "Aku...." Dia menggantungkan ucapannya, Aldi ingin tau sejauh apa rasa penasaran Rania terhadapnya yang secara sadar dan siap menerima istri sahabatnya itu untuk menikah dengannya. Karena merasa tidak nyaman dengan prasangka buruknya pada Aldi, Rania menutup laptopnya kemudian pergi dari sana dan masuk ke kamar sang anak. Ia duduk di tepi ranjang dengan pikiran yang berkecamuk. Mungkinkah kalau Aldi.... "Ah, enggak-enggak. Mana mungkin dia mau menusuk sahabatnya sendiri." Wanita itu membuka lemari sang anak, dan membereskan baju yang dirasanya berantakan untuk melupakan prasangka-prasangka yang tak baik pada Aldi. Namun, ternyata hal itu tidak membuat pikirannya melupakan perkataan Aldi tadi, malah semakin ia diam dan menyibukkan diri, semakin teringat kata demi kata yang Aldi katakan. Dengan baju sang anak yang masih ada di tangannya, ia melamun dan mengingat kejadian-kejadian saat mereka bertemu dulu. Dari tatapan Aldi yang tidak biasa saat menghadiri acara pernikahan dirinya dengan Andika, sampai saat mereka kumpul bersama untuk sekedar berkunjung ke rumahnya. Tatapan dalam Aldi pada Rania selalu berbeda. Pernah sekali pria itu ketahuan sedang menatap sambil tersenyum pada Rania, tapi wanita itu pikir Aldi memanglah orang yang seperti itu. Baik, lembut dan sangat menghormati orang-orang yang ada di lingkungannya. Di sisi lain, Aldi masih menikmati kopinya, ia merasa bersalah pada Andika karena telah mencintai istrinya. Tapi di sisi lain, ia juga merasa benar karena bukan saat sudah menikah dengan Andika ia mencintai Rania, tapi jauh sebelum Andika mengenal istrinya itu. Mereka saling merahasiakan perasaan satu sama lain, karena dulu pernah mereka berjanji tidak akan menyukai perempuan sebelum mereka sukses dalam pekerjaan. Namun, saat mereka sudah sukses dan Aldi ingin mengutarakan keinginannya pada Andika bahwa dia mencintai seorang wanita dan ingin ia membantunya, tapi justru Andika yang lebih dulu excited menceritakan bahwa ia telah jatuh hati pada seorang perempuan dan siap untuk melamarnya dalam waktu dekat. Membiarkan sang sahabat yang lebih dulu bercerita, Aldi menatap dengan tatapan terkejut saat melihat foto perempuan yang Andika perlihatkan padanya. Ia menatap Andika yang nampak sangat bahagia dan gembira karena telah berhasil menyatakan cinta pada perempuan itu, dan ia meminta pendapat Aldi untuk mengatur acara karena ia percaya penuh pada sang sahabat. "Jadi, kamu mau cerita apa, Al?" tanya Andika.*Pagi menyapa, Rania yang tertidur di kursi tunggu rumah sakit, ia dibangunkan oleh suster karena Aldi sudah siuman, dan orang yang pertama ia panggil adalah Rania. Wanita itu dengan cepat mengikuti suster untuk masuk. Ia duduk di samping sang suami sembari menggenggam tangannya. "Mas... kamu udah sadar.""Rania....""Aku di sini, Mas.""Kamu baik-baik aja, kan?" Suara Aldi masih pelan dan serak. Wanita itu mengangguk, air mata kembali luruh begitu saja. Ia mencium tangan sang suami dan memeluk tangannya. Rasa takut kehilangan tiba-tiba muncul, ia tidak mau kehilangan suami untuk yang kedua kalinya. "Harusnya yang berbaring di sini sekarang itu aku, Mas. Kenapa kamu malah ngalangin aku.""Karna aku takut kamu kenapa-napa.""Bodoh kamu, Mas!" ujar Rania, ia merasa sangat bersalah karena selama ini selalu menganggap Aldi tidak ada.Sedangkan pria itu hanya tersenyum menanggapi perkataan istrinya. Hari-hari berlalu, wanita itu dengan cekatan membantu sang suami. Dari menyuapinya ma
Rania turun dari mobil dengan wajah yang cemberut. Ia melangkah masuk kembali ke kantor tanpa mengatakan sepatah kata pun pada Aldi.Sedangkan pria itu hanya menggeleng pelan, kemudian ia menelpon seseorang untuk menyelidiki siapa pria yang tadi bersama Rania. Aldi rasa, mereka akrab sekali. Pria itu memutuskan untuk pergi, ia ada janji dengan seseorang yang akan ditemui sore ini. Sesampainya di hotel, pria itu langsung datang ke jamuan makan bersama yang sudah disediakan. Obrolan tentang bisnis dan kerja sama di dalamnya. Namun, ada satu perempuan yang sedari tadi menatap Aldi tak berkedip. Dia juga iseng mengambil minuman dan duduk di samping Aldi saat orang lain sebagian sudah pergi. "Kamu Aldi, kan?" tanyanya. "Hmm," jawab pria itu dingin. Perempuan itu tersenyum menggoda, ia mengibaskan rambutnya, kemudian menatap pria itu. "Kamu pasti sudah tau kan siapa aku?"Malas sekali Aldi rasa, harus meladeni perempuan yang sama sekali tidak menarik hatinya. Hanya buang-buang waktu s
"Mmm, kita mau ke mana?""Ayo tebak. Mau ke mana?"Wanita itu menggeleng pelan."Nanti kamu juga tau."Rania mengangguk patuh. Sepanjang perjalanan ia tak banyak mengobrol. Mereka pun telah sampai di tempat yang dituju. Rania turun dengan tatapan penuh kerinduan pada tempat itu. Ia melirik pria di sampingnya yang sedang tersenyum, memberikan kode untuk ia menggandeng tangannya. Rania pun menerima tawaran itu, ia menggandengnya dan mereka memasuki area cafe yang banyak sekali kenangan di dalamnya. Mereka duduk, pria itu memesan makanan legend yang dulu selalu mereka pesan.Tak lama, pesanan itu pun datang."Nih, banana milk dengan steak ayam saus jamur. Kentangnya setengah matang, kesukaan kamu.""Kamu masih ingat?" tanya Rania. "Mana mungkin aku lupa makanan kesukaan kekasihku."Rania berdehem mendengar itu. Ia tak membenarkan apa yang dikatakan oleh pria bernama Irfan itu. "Oh, maaf. Maksudku, mantan kekasih."Rania mencoba tersenyum, ia kemudian menikmati makanan itu saat Irfan
"Pagi yang indah, istriku.""Hmm.""Gak mau bangun nih? Kayaknya enak banget ya tidur di pelukan aku.""Hmm?" Rania yang baru membuka mata itu mendongak, mengucek matanya dan kini terlihat jelas siapa yang berbicara. Aldi tersenyum menatap sang istri. Tangannya digenggam oleh tangan Rania yang sebelah kiri, sedangkan wajah wanita itu masih menempel di dadanya. "Apa aku bilang. Nyaman kan tidur di pelukan suamimu ini."Rania yang menyadari itu langsung menarik diri, ia merasa malu, kejadian itu terulang kembali. "Dasar modus!" umpatnya."Aku?" Aldi yang mendengar itu langsung duduk, ia mencondongkan tubuhnya kepada Rania, membuat wanita itu memundurkan tubuhnya."Kan kamu yang deketin aku duluan. Emangnya semalam gak ingat, apa yang kamu lakuin ke aku? Bahkan, seumur hidup pun aku tidak akan bisa melupakannya.""Memangnya apa yang aku lakuin?" tanya Rania cemas, sembari mengingat apa yang semalam ia lakukan. Perasaan dia tertidur pulas tanpa bangun sama sekali. "Kamu lupa atau pur
"Ya... takut aja. Kalau kayak waktu itu lagi, aku kan kalau tidur orangnya gak bisa diem. Di sofa aja sering jatoh kadang-kadang.""Hah, yang bener? Tuh kan... Udah, mulai sekarang, kamu tidur sama aku di ranjang. Jangan di sofa lagi.""Tapi—""Masih mau nolak?"Wanita itu mau tak mau mengalah. Ia akan pikirkan caranya nanti, biar tidak satu ranjang dengan sang suami tapi dia masih bisa tidur dengan pulas. ***Selepas bekerja, mereka kembali ke rumah. Azka sudah menunggu walaupun malam mulai larut. Anak kecil itu ingin mengobrol dulu dengan sang ayah. Ia berteriak gembira saat keduanya masuk ke rumah. Mbok Nem meminta maaf karena tidak menidurkan Azka seperti biasa, ia mengeluh bahwa Azka selalu ingin menunggu keduanya untuk pulang.Rania memaklumi, ia meminta Mbok Nem untuk istirahat lebih dulu. Malam ini ia yang akan menemani Azka tidur. Makan malam sudah tersedia, karena dingin wanita itu memanaskannya kembali. Walupun Aldi berucap tidak perlu karena takut sang istri merasa lela
Sepanjang malam Rania tidur hanya sebentar-sebentar, setakut itu dia jika sampai kebablasan dan tidur dalam keadaan memeluk Aldi. Alhasil, pagi ini saat bekerja ia mengantuk, sesekali menguap dan berakhir tertidur dengan beralasan tangan di meja. Nita yang baru selesai mengambil air, ia melihat Rania yang sedang terlelap. Tanpa pikir panjang ia menyiramkan airnya, membuat wanita itu langsung terbangun. "Enak banget Lo ya tidur di kantor, yang lain pada kerja.""Aku....""Kerja. Jangan makan gaji buta!"Nita tersenyum miring melihat wanita itu yang basah kuyup, kemudian kembali ke mejanya. Bukan kerja, tapi malah memainkan ponselnya.Karena basah, wanita itu memutuskan untuk pergi ke toilet, ternyata di sana ada Aldi yang juga baru keluar dari kamar mandi. Pria itu memperhatikan sang istri, ia pun bertanya kenapa bisa seperti ini. "Siapa yang lakuin ini ke kamu?""Nita." Dia sangat ingin rasa memberikan pelajaran pada perempuan itu, jika dia memberikan kesedihan pada sang suami, Ra