Share

4. Bertemu di Kantor

Gavriel memasukkan Luna ke dalam mobil mercy berwana hitam itu dengan perlahan. Lalu dia pun berbincang sebentar dengan sopir pribadinya.

"Tolong antar dia ya pak Adi," pinta Gavriel sambil menunjuk Luna dengan wajahnya.

Pak Adi menganggukkan kepalanya, "baik, Mas. Tapi mas Gavriel bagaimana ke kantornya?"

"Saya bawa mobil. Pokoknya bapak tolong antar dia sampai rumahnya. Jangan lupa kabari saya ya kalau sudah sampai. Saya gak bisa lama-lama karena ada urusan penting di kantor," jelas Gavriel.

Setelah sopir pribadinya itu menganggukkan kepalanya, Gavriel pun masuk sebentar ke dalam mobil.

"Nanti lo bisa arahin pak Adi jalan pulang ke rumah lo. Sorry gue gak bisa antar, karena ada urusan penting di kantor dan ini sudah cukup terlambat," ujar Gavriel.

Luna mengerti. Dia menganggukkan kepalanya, "iya, gapapa kok. Makasih banyak ya."

Gavriel membalas dengan senyuman tipis. Sangat tipis. Lalu laki-laki itu keluar dari mobil dan menutup pintu mobil tersebut. Setelah mobil yang dikendarai oleh pak Adi itu berjalan, baru lah Gavriel melangkah menghampiri mobil miliknya. 

***

Di dalam mobil hanya ada suara musik yang diputar oleh pak Adi. Sesekali dia memperhatikan wajah Luna yang terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Non, maaf, ini saya antarnya kemana ya?" tanya pak Adi.

Luna tersadar dari lamunannya, "ah, iya. Aduh maaf pak saya dari tadi melamun, jadi lupa untuk kasih tahu jalannya ke bapak."

"Ga apa-apa kok, Non," balas pak Adi.

Sepertinya saat ini akan lebih baik jika Luna pergi ke apartemennya saja. Sebab jika dia pulang ke rumah, tentu akan menjadi tanda tanya apalagi jika salah satu anggota keluarganya ada yang menyadari kondisi Luna yang saat ini masih kesulitan berjalan.

"Pak kita ke daerah Sudirman ya," ujar Luna.

"Siap, Non," jawab pak Adi dengan bersemangat.

Selama perjalanan, Luna memang lebih banyak diam. Perempuan itu terlalu larut dalam pikiran dan imajinasinya. Terutama saat memorinya kembali memutar tentang apa yang dia dan Gavriel lakukan tadi malam. 

Semua itu seakan terekam dengan sangat jelas dan pekat sehingga Luna masih mengingat betul bagaimana itu semua bisa terjadi. Dari awal, iya, dari awal sampai puncaknya. Dia kembali mengingat bagaimana Gavriel yang saat itu meminta izin untuk mengecup bibirnya. Jika diingat, Luna terkekeh sendiri. Laki-laki aneh, batin Luna.

Pasalnya selama ini, belum ada yang pernah meminta izin kepadanya jika ingin mencumbu dirinya. Tapi Gavriel tidak. Bahkan jika Luna tidak salah ingat, Gavriel juga sempat bertanya dua kali ketika laki-laki itu akan memasukkan miliknya pada milik Luna. Seakan Gavriel benar-benar meminta Luna untuk memikirkan itu semua dengan matang.

Luna menggigit ujung jarinya saat memorinya memutar kembali proses dimana Gavriel menyentuh dirinya dengan sangat lembut. Bahkan ketika mereka sampai pada puncaknya, Gavriel masih berusaha bermain dengan berhati-hati. Seolah tidak ingin menyakiti Luna. 

Satu hal yang Luna sadari adalah dia tidak menyesal. Iya, perempuan itu tidak menyesal sama sekali tentang apa yang terjadi tadi malam. Semua yang Gavriel lakukan benar-benar membuat Luna dapat merasakan sensasi yang berbeda. Rasa yang belum pernah dia dapatkan sebelumnya. 

"Non, ini sudah sampai di apartemennya,"

Ucapan dari pak Adi membuyarkan imajinasi Luna. Dia pun melihat sekeliling dari dalam mobil dan benar saja, mereka sudah sampai di depan apartemen. 

"Non mau saya bantu? Atau mungkin disini menyediakan kursi roda gak ya?" tawar pak Adi.

"Oh gak usah pak. Gapapa kok. Saya bisa sendiri," tolak Luna dengan lembut.

"Kalau begitu, terima kasih banyak ya, Pak. Maaf saya jadi merepotkan bapak," ujar Luna.

Pak Adi terkekeh, "waduh, gak merepotkan kok, Non. Kan sudah tugas saya. Lagi pula ini kan yang mintanya pak bos."

Luna membalasnya dengan senyum. Setelah benar-benar berpamitan, Luna pun keluar dari mobil mewah itu dan mencoba berjalan. Rasa perih itu masih ada. Tapi Luna memaksakan dirinya. 

Dan sesampainya di kamar apartemen, baru beberapa detik Luna menjatuhka tubuhnya di atas kasur yang empuk, dia teringat akan satu hal.

"ASTAGA GUE KAN ADA INTERVIEW KERJA!" pekiknya. 

***

"Sarah, ini sudah selesai semua kandidat yang diwawancaranya?" tanya Gavriel sambil menandatangi beberapa berkas yang ada di mejanya.

Sarah--sekretaris Gavriel itu membuka catatannya.

"Ada satu lagi, Pak. Tapi kandidatnya belum datang," jawab Sarah.

Gavriel menghentikan kegiatannya, "loh? Gimana sih? Kok bisa mau diwawancara malah belum datang,"

"Tadi saya sudah coba hubungi dan katanya dia sedang diperjalanan menuju kesini, Pak," balas Sarah.

"Gak bisa langsung diblacklist saja?" tanya Gavriel dengan nada tegas.

Sarah diam sejenak, "tapi pak kalau menurut saya, gapapa kita coba saja dulu. Soalnya waktu saya lihat resume yang dia kasih, cukup menarik. Dan orang HR pun mengiyakan."

"Tapi itu semua kembali lagi ke bapak. Kalau memang nanti saat diwawancara hasilnya tidak memuaskan, itu keputusan bapak. Hanya saja kalau dari saya dan pihak HR, tidak ada salahnya kita kasih kesempatan," lanjut Sarah.

"Coba saya lihat resumenya," pinta Gavriel.

Ketika Sarah baru saja akan menyerahkan berkas tersebut, sebuah ketukan dari luar ruangan terdengar. 

Sarah pun mengurungkan niatnya untuk memberikan berkas resume kepada Gavriel. Dia berjalan menuju pintu dan melihat siapa yang ada disana. Dari dalam, Gavriel sempat melirik jika Sarah sedang berbincang dengan seseorang. Namun rupanya hal itu tidak menarik perhatiannya sama sekali.

Lantas Gavriel pun memilih untuk lanjut menandatangi berkas-berkas yang sudah menumpuk di meja kerjanya. 

"Maaf pak, untuk kandidat terakhirnya sudah datang," ujar Sarah.

"Suruh masuk," perintah Gavriel.

Sarah pun menganggukkan kepalanya. Dia meminta seseorang itu untuk masuk ke dalam ruangan Gavriel. Sayangnya Sarah tidak bisa menemani, sebab masih ada pekerjaannya yang harus dilakukan. Sehingga dia meminta seseorang itu untuk masuk dan berbicara akan tujuannya sendiri kepada CEO disini.

Di tengah kegiatannya, Gavriel mendengar pintunya terketuk.

"Ya, masuk," ujar Gavriel dengan nada sedikit kencang.

Gavriel dapat mendengar sebuah langkah kaki yang berjalan semakin dekat dengan mejanya. Di berkas terakhir, ketika Gavriel sudah selesai menandatanganinya, bersamaan dengan itu kandidat tersebut sampai di depan meja Gavriel.

Gavriel mengangkat wajahnya.

Sama halnya dengan Gavriel, kandidat tersebut pun terkejut bukan main.

"Luna?"

"Ga-Gavriel?!"

Gavriel berdiri dari duduknya. 

"Jadi lo kandidatnya?" tanya Gavriel.

Luna menganggukkan kepalanya secara spontan. Ini gila. Ini benar-benar gila. Bagaimana bisa, calon atasannya adalah seseorang yang baru saja tidur dengannya tadi malam? Bagaimana ini bisa terjadi? Harus apa Luna sekarang? Mundur sebagai calon karyawan? Harusnya bisa, tapi pada kenyataannya tidak. Mengingat ancaman yang ayahnya berikan kepada Luna.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status