تسجيل الدخولCirebon, kota pesisir yang biasanya menghirup ketenangan rutinnya, kini telah berubah menjadi sebuah simpul operasional pengawasan yang rumit. Dalam kurun waktu kurang dari 24 jam setelah kedatangan Lidya, tiga faksi utama telah berhasil mendirikan basis darurat mereka. Pergerakan yang senyap, efisien, dan penuh intrik ini menjadikan Lidya tanpa sadar berada di pusat segitiga pengintaian yang intensif dan berisiko tinggi. Kota yang awalnya menawarkan perlindungan kini menyembunyikan mata-mata di setiap sudutnya, semua fokus pada satu individu.
Pangkalan Alvin: Stabilitas dan Kenyamanan
Dr. Alvin, sebagai tangan kanan yang cakap dan loyal, bertindak cepat atas perintah spesifik dari Dr. Bima. Melalui jaringan relasi dan kemampuan logistik yang tidak perlu diragukan, ia berhasil mendapatkan sebuah rumah sewa mewah di kawasan perumahan yang tertutup rapat, hanya dalam beberapa jam sejak instruksi diterima. Rumah itu cukup besar, terawat dengan sempurna, dan dilengkapi den
Pikirannya kalut. Sepanjang jalan menuju Cirebon, Dr. Alvin Mahawira merasa ada beban berat yang menindih dadanya. Lidya sudah tertidur lelap di kursi sebelah, wajahnya terlihat lelah setelah semua drama semalam. Tiap tikungan yang mereka lewati seakan ikut menikung hatinya, membawa serta rasa bersalah yang menusuk-nusuk. Ia mengantar Lidya bukan hanya karena merasa wajib setelah apa yang terjadi—lebih dari itu, ia butuh waktu dan ruang. Butuh menjauh dari hiruk pikuk Jakarta, menjauh dari Bima dan kekacauan di Cendekia Medika, agar ia bisa berpikir jernih.Baginya, ini bukan sekadar permintaan maaf. Ini adalah pelarian singkat untuk menemukan kebenaran. Alvin tahu, dia nggak akan bisa menghadapi Bima, atau dirinya sendiri, tanpa bukti konkret yang bisa menjelaskan mengapa dia jadi seperti kesetanan semalam. Ini bukan dia. Atau setidaknya, bukan sepenuhnya dia. Di lubuk hatinya, ada bisikan yang kuat kalau semua ini adalah jebakan."Aku akan cari tahu apa penyeba
Angin malam Cirebon yang hangat sama sekali tidak mampu menenangkan pikiran Riris. Di teras rumah dinas Puskesmas yang sepi itu, ia mondar-mandir bagai setrikaan listrik, bolak-balik menelusuri lantai keramik dingin. Bayangan tentang insiden serius yang diceritakan Alvin lewat telepon tadi terus menghantui. Lidya, sahabat mereka, korban dari apa yang entah Riris dan Wulan masih belum tahu persisnya. Hanya, kalimat Alvin sangat mengganggu: "Ada insiden serius di kantor Bima, aku sudah tidak punya pilihan lain kecuali membawanya pergi." Riris mencoba mengurai benang kusut yang terasa mencekik akal sehatnya.“Bagaimana bisa Alvin melakukan itu?” tanya Riris, suaranya sarat dengan kekosongan dan rasa tak percaya, memecah keheningan yang menyesakkan. Ia menoleh ke Wulan yang duduk di kursi rotan, memeluk lututnya, wajahnya tampak pias di bawah temaram lampu teras. “Orang itu perfeksionis dan sangat hati-hati. Dia tidak mungkin melakukan hal sekeji itu pada Lidya,
Gema pintu yang tertutup menghantam Lidya Paramitha Wardhana seperti palu godam. Bukan pintu biasa, melainkan pintu yang menghukum, menutup akses Dr. Leo Bima Adnyana dari kehidupannya, mungkin selamanya. Isak tangis yang tadi tertahan, kini lepas merobek dada. Ia masih terdampar di kursi kebesaran Direktur Utama, kepalanya terkulai, rambutnya menutupi wajah yang sembap, dan bahunya terguncang hebat. Air matanya terus mengalir, membasahi kain bajunya, seolah seluruh pasokan air di tubuhnya terkuras habis oleh kehancuran yang tak terbayangkan. Rasanya seperti seluruh organ dalamnya telah terpilin dan dipuntir menjadi gumpalan nyeri yang membakar.Dr. Alvin Mahawira berdiri kaku beberapa langkah di belakangnya, diselimuti aura rasa bersalah yang menusuk. Keheningan pekat di antara mereka adalah kanvas yang dilukis dengan penyesalan, canggung, dan sebuah patah hati besar yang kini terpampang nyata. Tangan Alvin terkepal, merasakan setiap isak tangis Lidya seperti pukulan telak ke ulu hat
Deru mesin sportcar merah menyala milik Dr. Leo Bima Adnyana memekakkan telinga di jalanan Jakarta yang relatif lengang pada jam segini. Kecepatan gila-gilaan yang ia injak itu seolah ingin menenggelamkan semua suara lain, terutama suara kehancuran yang bergema kencang di benaknya. Bukan rumahnya sendiri yang menjadi tujuan, melainkan rumah Dr. Asri Hartanto, ibunya. Ia butuh tempat, sebuah ruangan, sebuah dimensi di mana ia bisa meledakkan semua kekacauan dalam dirinya, diam-diam.Dasar bodoh! Tolol! Bagaimana bisa aku sebego ini mempercayainya selama ini?Batin Bima menjerit, mengutuki dirinya sendiri. Sebuah rasa jijik merayapi seluruh organ dalam tubuhnya. Tapi kutukan terbesar, tentu saja, meluncur deras tanpa filter kepada satu nama: Alvin Mahawira. Sahabatnya sendiri, yang sudah ia anggap keluarga.Alvin tahu, jelas dia tahu betapa aku mencintai Lidya. Bagaimana bisa dia sekejam itu? Setega itu? Ini bukan cuma urusan pekerjaan atau persaingan. Ini... peng
Udara di ruang kerja Direktur Utama mendadak terasa lima kali lebih padat, menindih, seolah semua oksigen sudah dihisap pergi, menyisakan kekosongan yang menyesakkan.Lidya Paramitha Wardhana adalah yang pertama runtuh.Begitu realitas menamparnya sepenuhnya—keterkejutan, rasa bersalah, dan kehinaan di mata suaminya yang tadi seperti menembus dadanya—lututnya melemas. Ia merosot ke kursi kerja Direktur Utama, napasnya terisak tak terkendali. Tangannya menutup wajah, seolah berharap dunia di balik telapak itu bisa menghilang. Tangisnya pecah—bukan tangis keras, melainkan isakan tercekik yang terdengar lebih menyakitkan daripada jeritan. Sebuah suara yang terpendam, merana, dari relung jiwanya."A-aku… aku tidak tahu… apa yang terjadi, aku.... aku hanya…" suaranya gemetar, kalimatnya berantakan seperti serpihan kaca. "Aku tidak—"Namun kata-kata itu mati sebelum sempat menjadi pembelaan. Apa gunanya pembelaan? Mata suaminya telah melihat semuanya. Kenyataan itu terlalu brutal untuk disa
Suasana di ruangan Direktur Utama sore itu berubah total. Aroma disinfektan rumah sakit yang biasanya netral kini tercampur dengan wangi parfum Lidya yang samar, menjadi afrodisiak memabukkan yang merasuki indra Dr. Alvin Mahawira. Desah napas berat keduanya memecah kesunyian, bersahutan dengan degup jantung yang berlomba."Alvin… tolong berhenti," Lidya menghiba, suaranya melemah di antara tarikan napasnya yang terputus-putus. Sebagian dirinya, sang dokter profesional yang disiplin, menjerit memintanya berhenti, mendorong pria di atasnya. Namun tubuhnya? Tubuhnya kini terasa begitu asing, terbelenggu, seolah terbius dan kehilangan seluruh kemampuannya untuk bergerak, untuk melawan. Keinginannya samar, suapanya tak berarti, seluruh protes dari otak logisnya kini tenggelam dalam lautan hasrat yang tak lagi asing baginya.Alvin mengerang, permohonan Lidya seperti bensin yang disiramkan ke kobaran api di dalam dirinya. Punggung tangannya mengusap pipi Lidya dengan sentuhan lembut, seolah







