MasukHari pertama Lidya Paramitha Wardhana bertugas di Puskesmas Pembantu (Pustu) Cirebon Timur terasa seperti menempuh maraton dengan napas ngos-ngosan. Ia sanggup menyusuri rute pelayanan kesehatan warga dengan sabar, tapi menghadapi tumpukan birokrasi yang lebih rumit dari benang kusut memang selalu menguji kesabarannya hingga ke batas maksimal. "Sudahlah," bisiknya pada diri sendiri sambil menarik napas lega, aroma minyak telon dari ruang persalinan yang baru saja kosong masih tercium samar. "Ini cuma hari pertama. Besok pasti menemukan sistemnya. Semoga saja."
Ia melangkah keluar Pustu tepat pukul lima sore, hatinya terasa sedikit lebih ringan walau otaknya terasa kebas dan sudah nyaris meledak. Stafnya ramah, pasiennya polos, tapi perutnya? Aduh, perutnya sudah protes minta diisi, menjerit minta perhatian sejak istirahat makan siang yang hanya diisi biskuit gabin dan air mineral itu. Pukul tujuh malam, alarm kelaparan sudah meraung di batas ambang kebisingan, serasa genderan
Udara di ruang kerja Direktur Utama mendadak terasa lima kali lebih padat, menindih, seolah semua oksigen sudah dihisap pergi, menyisakan kekosongan yang menyesakkan.Lidya Paramitha Wardhana adalah yang pertama runtuh.Begitu realitas menamparnya sepenuhnya—keterkejutan, rasa bersalah, dan kehinaan di mata suaminya yang tadi seperti menembus dadanya—lututnya melemas. Ia merosot ke kursi kerja Direktur Utama, napasnya terisak tak terkendali. Tangannya menutup wajah, seolah berharap dunia di balik telapak itu bisa menghilang. Tangisnya pecah—bukan tangis keras, melainkan isakan tercekik yang terdengar lebih menyakitkan daripada jeritan. Sebuah suara yang terpendam, merana, dari relung jiwanya."A-aku… aku tidak tahu… apa yang terjadi, aku.... aku hanya…" suaranya gemetar, kalimatnya berantakan seperti serpihan kaca. "Aku tidak—"Namun kata-kata itu mati sebelum sempat menjadi pembelaan. Apa gunanya pembelaan? Mata suaminya telah melihat semuanya. Kenyataan itu terlalu brutal untuk disa
Suasana di ruangan Direktur Utama sore itu berubah total. Aroma disinfektan rumah sakit yang biasanya netral kini tercampur dengan wangi parfum Lidya yang samar, menjadi afrodisiak memabukkan yang merasuki indra Dr. Alvin Mahawira. Desah napas berat keduanya memecah kesunyian, bersahutan dengan degup jantung yang berlomba."Alvin… tolong berhenti," Lidya menghiba, suaranya melemah di antara tarikan napasnya yang terputus-putus. Sebagian dirinya, sang dokter profesional yang disiplin, menjerit memintanya berhenti, mendorong pria di atasnya. Namun tubuhnya? Tubuhnya kini terasa begitu asing, terbelenggu, seolah terbius dan kehilangan seluruh kemampuannya untuk bergerak, untuk melawan. Keinginannya samar, suapanya tak berarti, seluruh protes dari otak logisnya kini tenggelam dalam lautan hasrat yang tak lagi asing baginya.Alvin mengerang, permohonan Lidya seperti bensin yang disiramkan ke kobaran api di dalam dirinya. Punggung tangannya mengusap pipi Lidya dengan sentuhan lembut, seolah
Pikiran Lidya sudah kalut sejak telepon dari Alvin. Ada yang tidak beres, Bima pasti sedang menghadapi sesuatu yang besar di balik pintu kantornya yang selalu tertutup rapat itu. Desakan dari keluarga Wisesa? Lidya tidak bisa membayangkan sebesar apa tekanannya sampai seorang Bima Wardhana bisa sepanik itu – Alvin sendiri bilang kalau Bima tidak pernah begini.Bekal makan malam di tangannya terasa berat, bukan karena isinya, tapi karena beban pikiran yang ikut di dalamnya. Semangkuk sup iga kesukaan Bima dan sedikit nasi hangat. Sederhana, tapi Lidya berharap bisa memberikan sedikit kehangatan di tengah badai yang melanda suaminya. Gedung megah Paramitha Corp kini terasa sepi di jam kerja di luar normal ini, lampu-lampu di sebagian besar lantai sudah dimatikan, hanya menyisakan kerlip di beberapa ruangan. Lidya langsung menuju lift pribadi Bima, beruntung OB Rudi masih ada di bawah dan membantunya mengaktifkan akses."Bima?" panggil Lidya lembut, setelah pintu ruang direktur utama ter
Pukul 20.30 malam. Dapur Direksi Cendekia Medika mendadak sibuk—atau setidaknya, itulah yang coba ditampilkan Kaiden dan Vito saat memanggil Office Boy bernama Rudi. Kaiden memegangi bungkusan kopi bubuk premium beraroma kuat, sementara Vito berdiri di sampingnya dengan ekspresi serius yang dibuat-buat."Rudi," ujar Vito, menyerahkan bungkusan itu ke tangan si OB. "Ini kopi Toraja spesial, langka banget. Dokter Alvin kepingin banget, katanya lagi pusing urusan di atas." Vito menunjuk ke arah lantai dua dengan dagunya, seolah Alvin baru saja menelepon mereka dengan permintaan darurat."Betul," Kaiden menyambung cepat, nadanya meyakinkan. "Titipan dari Dokter Alvin. Beliau masih ngebut kerja di ruangan Dokter Bima, belum balik ke ruangannya sendiri. Jadi, tolong siapin kopi ini untuk beliau. Pastikan kopinya pekat dan panas, ya!"Rudi mengangguk patuh. Ia sudah biasa melayani permintaan mendadak dari para petinggi, dan dokter Alvin adalah salah satu bos besar yang paling ia hormati. Rud
Kafe 'Kopi Jomblo Berkabut' sungguh hidup sesuai namanya. Sudut-sudut remang yang cocok untuk pertemuan rahasia, diiringi alunan musik mellow yang entah kenapa selalu terasa menyalahkan nasib. Kevin Abimanyu Wisesa duduk tegap, tatapannya seolah ingin mengoreksi desain interior tempat itu. Di hadapannya, Vito sibuk memainkan sendok di cangkir kopinya, mencoba menciptakan suara simfoni paling datar di dunia. Sementara itu, Dian, mantan kekasih gelap Kevin, tampil dengan aura skeptis yang begitu kentara, seolah baru saja disuguhi lelucon paling hambar sepanjang abad. Matanya, dulu bersinar karena cinta yang (menurutnya) tulus, kini hanya memancarkan perhitungan akurat seorang akuntan pajak yang berhati batu. Dia sudah lama terasing dari sirkus bernama Cendekia Medika, dan nampaknya tidak terlalu tertarik untuk kembali menjadi badutnya."Aku tahu ini bukan yang kau harapkan dariku, Dian," Kevin memulai, suaranya dipoles rapi, terdengar seperti presentasi bisnis yang siap meruntuhkan ekon
Di dalam apartemen Kaiden, suasana frustrasi mencapai puncaknya. Setiap usaha mencari 'dosa' atau kelemahan Dr. Alvin Mahawira, Wakil Direktur Utama Cendekia Medika yang lurus bak tiang listrik, selalu nihil. Alvin bersih seperti seprai baru yang dicuci tujuh kali bilas. Kaiden, dengan logika dinginnya, kini merancang skenario “out of the box” yang sangat gelap, berisi jiwa-jiwa putus asa."Jika dia memang sangat bersih," Kaiden memulai, suaranya tetap tenang, tapi matanya memancarkan perhitungan dingin. Ia berhenti sejenak, melirik satu per satu wajah tegang teman-temannya. "maka kelemahan itu harus diciptakan. Kita harus menjebaknya untuk membuat kesalahan, dan kesalahan itu harus fatal, yang akan membuat Bima kehilangan kepercayaan."Gerald, yang terlihat lesu, mengerjapkan matanya. "Dijebak bagaimana? Kita bukan agen rahasia yang suka menyelundupkan mata-mata berambut pirang ke markas musuh, Kaiden."Kaiden menghela napas. "Kita permalukan dia," jawabnya singkat. "Kita hancurkan r







