LOGINDi lorong kost yang sempit, aroma mi instan berbaur dengan cucian basah, Kevin mengetuk pintu dengan ritme panik yang salah, terlalu cepat untuk lagu pop, terlalu lambat untuk kode morse SOS. Gerald berdiri sedikit di belakangnya, wajahnya terpanggang rasa bersalah dan sedikit rontoknya rambut karena stres berlebih. Suasana remang dari jendela kost membuat segalanya terasa seperti adegan drama yang butuh efek kabut asap.
"Riris! Riiissss!" Kevin berseru dengan suara yang diusahakan pelan tapi entah kenapa terdengar seperti anjing terjepit pintu. Pintu berderit terbuka, menampakkan Riris yang matanya sedikit sembab, mungkin baru bangun tidur atau baru selesai marathon drama Korea 20 episode tanpa jeda.
"Kevin? Gerald? Astaga, pagi-pagi gini kok udah nongol. Kayak lalat ngerubungin gorengan." Riris melipat tangan di dada, ekspresinya menyiratkan ‘kalau kalian ngemis lagi, gue siram pakai air cucian beras.’ "Ada apaan sih?"
Kevin menggeser Gerald
Ketidakjujuran Bima bertahan selama dua hari penuh setelah hasil tersebut keluar. Dua hari yang dipenuhi oleh kelegaan diam-diam di pihak Bima, dan ketidaktahuan sepenuhnya di pihak Lidya. Namun, sore itu di ruang intern yang ramai, ponsel Lidya bergetar di mejanya. Itu Wulan, kawan intern-nya yang tampak cemas. Wulan tidak berbicara panjang, hanya kalimat-kalimat singkat yang menusuk langsung ke inti masalah, mengoyak ketenangan buatan."Ris dan Gerald positif, Lid. Sifilis," suara Wulan terdengar parau namun tegas dari ujung telepon, seperti pisau dingin yang menyentuh kulit. "Kau harus segera periksa. Ini menyebar cepat di antara mereka yang punya kontak dekat dengan Kevin dan Vito."Telepon terputus secara mendadak. Lidya menjatuhkan ponselnya ke meja. Gerald dan Riris? Positif Sifilis? Tubuhnya mendadak lemas, bukan karena takut tertular infeksi mematikan itu secara langsung—meskipun itu juga—melainkan karena kesadaran yang baru datang seperti sambaran petir di siang bolong: Bima
Kabar tentang kegawatdaruratan Dian, telah menyebar di lingkaran residen dan intern, menciptakan riak kecemasan dan bisikan di lorong-lorong rumah sakit. Namun, di kalangan staf senior, informasi itu sampai ke telinga Dr. Bima dengan detail yang jauh lebih mengganggu. Bukan sekadar gagal katup jantung yang parah, melainkan diagnosis akhir yang mencengangkan: Sifilis Kardiovaskular, sebuah komplikasi langka yang menandakan infeksi telah berlarut-larut tanpa terdeteksi. Bagi Bima, diagnosis ini bagaikan bom waktu yang mengancam struktur kehidupan yang telah ia bangun dengan cermat.Meskipun ia telah berusaha keras mengendalikan hidup Lidya, memastikan setiap aspek selaras dengan citra kesempurnaan yang ia proyeksikan, ada satu variabel yang selalu luput dari kendalinya: masa lalu. Bima sangat menyadari bahwa Lidya pernah menjalin hubungan intim dengan Kevin.Ia juga tahu pergaulan bebas yang dicontohkan oleh Kevin dan Vito, kebiasaan yang kini berujung pada kondisi tragis Dian. Ketakuta
Pukul tujuh pagi. Matahari baru saja malas-malasan merangkak naik, menyiramkan cahayanya yang oranye kekuningan ke kamar kos Riris yang mungil melalui celah gorden yang tidak tertutup sempurna. Udara Jakarta sudah mulai hangat, tapi pagi itu terasa dingin menusuk sampai tulang sumsum. Wulan baru saja selesai mandi, membersihkan sisa lelah setelah jaga malam yang panjang dan mendebarkan di rumah sakit. Uap air masih menempel tipis di kulitnya. Di sisi lain kamar, Riris masih sibuk menyeduh kopi, wajahnya penuh tanda tanya besar, seperti seorang detektif yang kehilangan petunjuk kunci."Ris, serius? Ini kenapa mendadak sekali? Ada masalah sepenting itu di IGD sampai-sampai harus pagi-pagi gini ngajak kumpul di kosku?" Riris menyodorkan secangkir kopi mengepul ke tangan Wulan. Aroma robusta yang pekat menyebar. Sebagai sesama ko-asisten intern atau "ko-ass," mereka sudah terbiasa dengan drama yang tak ada habisnya di rumah sakit. Tapi, Wulan sampai rela-rela datang lebih pagi da
Gerald berdiri di lorong sunyi di luar ruang ganti staf IGD, punggungnya menempel ke dinding keramik dingin. Ponselnya terasa licin karena keringat cemas yang membanjiri telapak tangannya. Dia harus melakukan panggilan ini, secepatnya. Jari-jarinya gemetar saat menekan nomor Vito. Panggilan pertama tidak diangkat. Gerald mencoba lagi, memaksa dirinya tetap tenang, meskipun isi perutnya terasa seperti habis bergulat dengan komodo mini.Setelah deringan keempat, suara Vito yang serak dan terganggu menyambutnya. "Halo... ada apa, Ger? Aku baru tidur dua jam," gerutu Vito."Vit, ini penting. Penting sekali. Bisa kita ketemu di kafe biasa malam ini setelah aku selesai tugas jaga?" tanya Gerald, nada suaranya lebih tegang dari senar gitar rock era 80-an."Malam ini enggak bisa.""Harus sekarang. Tolong ini penting.Sangat penting. Ajak Kevin sekalian."Vito sempat terdiam, menangkap nada kepanikan tak biasa dari suara Gerald. "Sekarang? Ini... jam e
Lampu operasi memancarkan cahaya putih keemasan yang dingin, menciptakan lingkaran fokus yang mematikan di atas meja bedah. Di sana, di antara desis mesin-mesin bypass yang terus berdenyut dan suara tajam monitor jantung, Dian terbaring tak berdaya. Nafas setiap anggota tim terasa tertahan di balik maskerDr. Bima berdiri tegak di posisi ahli bedah utama. Tangannya yang sigap dan mata yang setajam elang terpaku pada rongga dada yang kini terbuka. Di hadapannya, jantung Dian berdetak lemah dan tidak stabil. Dr. Alvin di sampingnya berbicara dengan nada mendesak. "Tekanan darah turun lagi, Bima. Katup aortanya parah. Infeksi membuat jaringan katupnya kaku, tidak bisa menutup sempurna. Ini Gagal Jantung Akut!"Bima, dengan gerakan yang selalu diiringi presisi menakutkan, mengambil scalpel. "Aktifkan bypass total, Raditya. Saya akan mulai memotong bagian yang rusak. Siapkan prostetik biologi nomor delapan belas." Dokter Raditya, internis senior di samping mesin bypass, menelan ludah sebel
Jam dua seperempat pagi di IGD Rumah Sakit Cendikia Medika. Angka di jam dinding LED itu terasa kayak vonis, dingin dan tanpa ampun. Suasana IGD yang biasanya 'lumayan' tenang di jam-jam keramat gini, langsung pecah berantakan begitu pintu kaca otomatis terbuka kasar. Dua perempuan yang pakaiannya sekenanya, rok mini ngepas dan make up tebal yang udah luntur di sana-sini, menerjang masuk. Namanya Silvi dan Neni, keduanya setengah mati mendorong ranjang dorong berisi wanita pucat, Dian, yang terengah-engah dan memegang erat dadanya."Dokter! Cepet dong! Ini teman saya! Dia dari tadi pegangin dada! Bilang rasanya kayak ditindih batu gede!" teriak Silvi, suaranya parau banget, hampir habis karena panik atau mungkin karena habis teriak-teriak di jalan.Gerald, residen jantung tahun ketiga yang lagi on duty, langsung sigap mendekat. Rambutnya agak acak-acakan, khas anak residen yang udah kurang tidur berminggu-minggu. Di sebelahnya, ada Wulan, dokter intern yang baru empat bulan ngebuang n







